Isabella merasa tidak nyaman dengan suasana tegang yang entah bagaimana bisa tercipta secara tiba-tiba. Sebelumnya Emilia tidak pernah bersikap dingin seperti ini, ia tak tahu kenapa kali ini ibunya datang dengan kemarahan yang tidak ia ketahui alasannya. Isabella menyadari bahwa Emilia menatap Nathaniel dengan dingin dan segera mencoba mencairkan situasi.
“Ibu, kenapa kau menatap Nate seperti itu? Kau membuatnya tidak nyaman,” tegur Isabella dengan suara berbisik.
Emilia menoleh pada Isabella, “Kau terlalu sibuk memikirkan perasaan pacarmu? Hingga kau tidak peduli dengan apa yang menimpa ayahmu?” sindir Emilia.
Isabella kaget mendengar ucapan Emilia. Dia sempat menoleh pada Nathaniel, merasa segan pada pemuda itu. Isabella sebelumnya mengundang Nathaniel untuk makan malam bersama, tapi justru disambut dengan situasi yang tidak mengenakan seperti ini. Ia berharap segera mengatasi situasi ini.
“Ibu, apa yang sebenarnya kau bic
Emilia memasuki kamarnya dengan langkah berat, merasa lelah setelah percakapan dengan Isabella. Duduk di tepi tempat tidur, wajahnya masih terlihat gelisah. Dia menghela napas panjang, pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Emilia kemudian meraih ponselnya, lalu mengetik sesuatu di sana. [Henrik, terima kasih sudah mengabari bibi atas apa yang terjadi pada ayah Isabella. Menurutmu, apa sebaiknya Isabella memang harus membantu Ayahnya agar segera dibebaskan? Apa kau tahu jika ayahnya sudah melakukan kekerasan pada Bella?] Pesannya segera terkirim pada nomor Henrik, dan tak lama kemudian ponselnya berbunyi, menandakan adanya pesan balasan: [Tentu saja, Bibi. Secepatnya harus membantu Paman Hugo keluar, bukankah kau tidak ingin nama baik Isabella hancur? Aku memang tahu jika Paman Hugo sempat memukuli Isabella, tapi orang-orang tidak akan peduli soal itu karena mereka tidak benar-benar tahu apa yang terjadi] Emilia terdiam, merenungi balasan dari
Isabella dan Emilia duduk dalam keheningan di ruang tengah, keduanya seakan terjebak dalam kesunyian. Isabella menatap Emilia, merasa bingung karena sikap ibunya sangat tak biasa hari ini.“Ibu,” suara Isabella akhirnya memecah kesunyian. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kau sangat aneh hari ini, aku seperti tidak mengenalimu.”Emilia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Maafkan ibu, Bella,” ucapnya dengan nada menyesal. “Ibu tidak berniat menghancurkan kebahagiaanmu, tapi ibu melakukan ini demi dirimu.”Isabella terdiam sejenak, mencerna kata-kata ibunya. “Apa maksudmu demi aku, Ibu? Jika kau memang mendukungku, harusnya kau menghargai pilihanku,” ada getar yang terselip dalam suara Isabella.Emilia menatap Isabella dengan pandangan penuh penyesalan. “Kenapa kau harus memilih Nathaniel? Bukankah dia bukan pria baik-baik?”Isabella merasa jengkel dengan pertanyaan ibunya.
Pengakuan Nathaniel sontak membuat Julian geleng kepala. “Kau ini, selalu sembarangan! Berapa kali aku harus mengingatkanmu agar makan dengan benar? Lambungmu itu rentan, beginilah akibatnya kalau kau tidak makan teratur,” omel Julian dengan nada yang keras.Nathaniel yang awalnya hanya merasa sakit perut, kini juga merasa kepalanya jadi pusing mendengar omelan tersebut. “Iya, maafkan aku, Paman.”“Sudah seperti ini baru kau menyesal, kan?” sindir Julian dengan nada kecewa.“Iya, maaf. Tapi bisakah kau berhenti mengomel? Aku sakit, rasanya aku makin sakit mendengarmu marah-marah.” Nathaniel kesal. Jika hal ini terjadi 15 tahun lalu, pasti Nathaniel sudah menangis kencang hingga mengganggu para tetangganya. Kadang Nathaniel menyesal karena tumbuh dewasa dan tidak bisa melampiaskan emosi sesuai keinginannya.“Cepat bangun, aku akan mengantarmu ke rumah sakit,” ucap Julian. Nathaniel yang kesal mala
Julian berdiri di samping ranjang putih di ruang emergency, tempat Nathaniel terbaring. Tatapan cemas melintas di matanya saat melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lemas dan menahan sakit sejak tadi.Dokter yang baru selesai memasang infus berbicara pada Julian, “Kami akan melakukan observasi, karena sepertinya Nathaniel mengalami radang lambung cukup parah.”“Apakah dia perlu rawat inap?” tanya Julian.“Tidak,” sahut Nathaniel. Julian langsung menoleh dengan tatapan kesal pada pemuda itu. “Aku tidak bertanya padamu.”Julian kembali menatap pada dokter di hadapannya— yang tengah tertawa kecil setelah melihat interaksi Julian dan Nathaniel.“Perlu atau tidaknya, akan kita putuskan setelah masa observasi,” jawab dokter tersebut, lalu menoleh pada Nathaniel. “Istirahatlah dulu sambil menunggu infusnya habis. Kami akan melakukan pengecekan ulang nanti,” lanjutnya
Emilia baru saja selesai memasak saat terdengar suara bel pintu. Ia segera melepas celemek di tubuhnya, lalu mengelap tangannya yang berlumuran tepung pada kain dapur dan berjalan menuju pintu.Setelah membuka pintu, Emilia terkejut melihat Henrik berdiri di depannya. “Bibi,” sapanya dengan senyum yang tipis.“Henrik, ada urusan apa kau datang ke sini?” tanya Emilia, suaranya sedikit dingin karena masih teringat akan kebohongan Henrik sebelumnya, yang membuat Emilia harus menyinggung Nathaniel.“Aku datang karena ingin bertemu dengan Isabella, dan juga kau, Bi,” jawab Henrik tanpa rasa bersalah, tatapannya tetap tenang saat dia menyampaikan maksud kedatangannya. Emilia hanya diam, tidak menanggapi ucapan basa-basi Henrik, juga tidak mempersilakan pria itu masuk ke dalam rumah.“Bibi, apa kau tidak memintaku masuk?” tanyanya Henrik yang melihat Emilia hanya diam dan menatapnya.“Tidak,” jaw
Isabella sudah sampai jalanan dekat rumahnya, dia bisa melihat mobil Henrik yang terparkir di tepi jalan depan rumahnya. Hatinya berdegup kencang, berbagai emosi menyelimuti pikirannya. Ia mempercepat laju mobilnya, lalu berbelok dengan kasar masuk ke halaman rumah.Setelah mematikan mesin mobil, Isabella melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Isabella lalu membanting pintu mobil dengan keras, memperlihatkan betapa marahnya dia. Langkah-langkah Isabella menghantarnya mendekati Henrik yang masih berdiri di teras.“Mau apa lagi kau?” tanya Isabella dengan nada tajam.Henrik menatap Isabella dengan tatapan memohon, “Isabella...” panggilnya.“Aaargh!” Isabella menutup kupingnya dengan kasar. “Aku jijik mendengar kau menyebut namaku.”Henrik terdiam, ekspresinya tampak kecewa. “Haruskah kau bersikap seperti itu di depanku, Bella? Kenapa kau sebegitu bencinya padaku?”“Aku mem
Isabella duduk di sofa ruang tengah rumahnya, memandang hampa ke arah jendela yang kabur oleh pikirannya yang kacau. Emilia mendekat dengan gelas air putih di tangan, menghampiri dengan kekhawatiran yang terpancar jelas di matanya.“Kau sudah merasa lebih tenang?” tanya Emilia, sambil menawarkan gelas air kepada Isabella.Isabella menerima air tersebut dengan gemetar dan meminumnya perlahan, berusaha keras untuk menenangkan diri. “Sudah lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum, meski ia berusaha memaksa senyum itu agar ibunya tidak terlalu khawatir.Emilia bisa melihat getar di tangan Isabella yang memegang gelas yang baru saja ia berikan, melihat itu membuat Emilia yakin jika Isabella masih terkejut akibat pertengkaran hebat dengan Henrik sebelumnya. “Kau masih terlihat ketakutan,” ucapnya Emilia.Isabella merasa jika ia memang tidak bisa menutupi apa pun dari Ibunya. “Ancaman Henrik tadi memang sangat mengga
Isabella masih berdiri di depan rumah dan memerhatikan Nathaniel yang menyandarkan bahunya di ambang pintu dengan wajah kesal. Pemuda itu bahkan tidak mempersilakan ia masuk. Isabella tak mengerti, kesalahan apalagi yang ia buat hingga membuat Nate bad mood kali ini. Atau justru, pria muda itu kesal karena sikap ibunya sebelumnya?Tak tahan dengan kecanggungan itu, Isabella akhirnya memutuskan untuk bertanya. “Nate, aku tahu kau selalu kesal sepanjang hari, tapi hari ini apa suasana hatimu lebih buruk dari biasanya? Mukamu kusut sekali seperti cucian basah,” ujarnya dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana.“Kenapa kau ke sini membawa kari?” tanya Nathaniel, jutek.“Salahku membawa kari?” Isabella heran.“Nate belum boleh makan kari, Bella.” Tiba-tiba suara Julian terdengar di udara. Tak lama kemudian Julian muncul dari arah belakang Nathaniel. Isabella menoleh pada Julian yang berjalan mendeka