Isabella duduk di sofa ruang tengah rumahnya, memandang hampa ke arah jendela yang kabur oleh pikirannya yang kacau. Emilia mendekat dengan gelas air putih di tangan, menghampiri dengan kekhawatiran yang terpancar jelas di matanya.
“Kau sudah merasa lebih tenang?” tanya Emilia, sambil menawarkan gelas air kepada Isabella.
Isabella menerima air tersebut dengan gemetar dan meminumnya perlahan, berusaha keras untuk menenangkan diri. “Sudah lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum, meski ia berusaha memaksa senyum itu agar ibunya tidak terlalu khawatir.
Emilia bisa melihat getar di tangan Isabella yang memegang gelas yang baru saja ia berikan, melihat itu membuat Emilia yakin jika Isabella masih terkejut akibat pertengkaran hebat dengan Henrik sebelumnya. “Kau masih terlihat ketakutan,” ucapnya Emilia.
Isabella merasa jika ia memang tidak bisa menutupi apa pun dari Ibunya. “Ancaman Henrik tadi memang sangat mengga
Isabella masih berdiri di depan rumah dan memerhatikan Nathaniel yang menyandarkan bahunya di ambang pintu dengan wajah kesal. Pemuda itu bahkan tidak mempersilakan ia masuk. Isabella tak mengerti, kesalahan apalagi yang ia buat hingga membuat Nate bad mood kali ini. Atau justru, pria muda itu kesal karena sikap ibunya sebelumnya?Tak tahan dengan kecanggungan itu, Isabella akhirnya memutuskan untuk bertanya. “Nate, aku tahu kau selalu kesal sepanjang hari, tapi hari ini apa suasana hatimu lebih buruk dari biasanya? Mukamu kusut sekali seperti cucian basah,” ujarnya dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana.“Kenapa kau ke sini membawa kari?” tanya Nathaniel, jutek.“Salahku membawa kari?” Isabella heran.“Nate belum boleh makan kari, Bella.” Tiba-tiba suara Julian terdengar di udara. Tak lama kemudian Julian muncul dari arah belakang Nathaniel. Isabella menoleh pada Julian yang berjalan mendeka
Nathaniel masih diam sambil memerhatikan layar ponsel dengan ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan. Di layar itu, terpampang jelas sebuah foto dirinya yang tertidur pulas di sofa kantor. Ia ingat beberapa hari lalu memang tidur di sofa baru yang dibeli oleh Andreas, tapi ia tidak tahu kapan Isabella mengambil fotonya saat sedang tidur itu, menurutnya itu sangat memalukan.Isabella yang melihat reaksi Nathaniel, segera menyadari apa yang terjadi. Wajahnya memerah, tersadar bahwa ia belum mengubah wallpaper ponselnya.“Aku tidak ada niat apa pun, Nate. Aku hanya merasa fotomu sangat cocok dijadikan wallpaper,” ucap Isabella sambil mengambil kembali ponselnya dari tangan Nathaniel.Pemuda itu masih terdiam, ia sendiri juga bingung kenapa perasaannya jadi campur aduk begini. Di satu sisi ia kesal karena Isabella selalu usil bahkan diam-diam memotretnya saat sedang tidur, di sisi lain— tindakan Isabella menjadikan fotonya sebagai
Musim dingin tiba. Salju mulai menari-nari dari langit, menutupi tanah dengan lapisan putihnya yang mempesona. Nathaniel baru saja selesai berganti baju, lalu berjalan keluar kamar sambil menggosok kedua tangannya dengan keras— mencoba menghangatkan diri di pagi yang terasa beku. Napas yang keluar dari mulutnya seperti asap putih, menandakan betapa dinginnya suhu ruang tanpa pemanas ini.Dengan langkah agak gemetar karena kedinginan, Nathaniel menuju ruang tengah, di mana mantel cokelat kesayangannya tergantung di kursi. Ia meraih mantel itu dan segera membungkus tubuhnya dengan rapat.“Paman, aku akan berangkat ke kantor sekarang,” serunya sambil mencari-cari Julian di sekeliling rumah. Untuk beberapa saat, tak ada sahutan dari Julian. Heran, Nathaniel mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang terasa sepi. “Sepi sekali?” tanya Nathaniel pada diri sendiri. “Paman?” teriaknya lagi, mencoba memastikan jika Julian sedang tida
Isabella duduk di balik kemudi dengan tatapan tajam yang mengarah ke depan. Tangannya berpegang pada kemudi, mencengkeramnya dengan erat seolah ingin menghancurkannya. Suara klakson dari mobil di belakangnya yang berani menyalip tanpa izin membuatnya semakin marah. Setelahnya, Isabella menginjak gas mobilnya, dan mempercepat laju mobilnya hingga tiap berbelok di tikungan membuat Nathaniel yang duduk di sampingnya agak terhempas. Nathaniel memperhatikan Isabella dengan heran, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tak biasanya perempuan itu bersikap seperti ini. Wajah cantik dan kedua mata cokelat yang biasanya berekspresi jahil itu, kini hanya menyisakan gurat kemarahan. “Isabella, sebenarnya ada apa?” tanya Nathaniel. Isabella tak menyahut, napasnya masih memburu naik turun. Sejak tadi ia sibuk menenangkan diri, namun kemarahannya setelah melihat Henrik mendekati Nathaniel membuatnya naik pitam. Isabella tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh mantan kekasihnya itu,
Di ruang kerjanya yang nyaman karena hanya ditempati berdua dengan Isabella, Nathaniel duduk di depan laptop. Terdiam dalam konsentrasinya membaca outline yang baru saja diselesaikan oleh Isabella. Mata biru Nathaniel menelusuri baris demi baris dengan teliti, tenggelam dalam detail dan alur cerita yang disusun dengan baik oleh Isabella. Hingga beberapa saat, tak ada yang bisa membuyarkan fokusnya pada layar, Nathaniel bahkan tidak sadar jika kedua mata cokelat Isabella menatapnya dengan kesal.“Nate!” panggil Isabella dengan nada tinggi.“Hm...” sahut Nathaniel, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.“Kau tahu ini sudah jam berapa?” tanya Isabella sambil menyodorkan jam meja pada Nathaniel.Nathaniel menoleh sejenak, melihat jarum jam itu. “Jam satu siang, kan?” tanyanya.“Kau tahu jika itu sudah masuk jam istirahat kan?” tegas Isabella.“Oh, kau benar. Ka
Sementara Isabella berlari mencari bantuan, Nathaniel berbalik ke ruangan yang terbakar. Ia segera mengambil alat pemadam api yang terpasang di dinding koridor, kemudian membawanya ke dalam ruangannya. Dengan cepat, Nathaniel menggunakan APAR untuk menjinakkan kobaran api yang semakin membesar.Ketika api akhirnya berhasil padam, Nathaniel terengah-engah. Tubuhnya merosot terduduk di lantai dengan perasaan lega, setidaknya api sudah berhasil dipadamkan dan tidak mengancam ruangan lain. Nathaniel menyandarkan tubuhnya di dinding, berusaha mencerna hal menegangkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Saat sedang disibukkan dengan pikirannya, Nathaniel merasa ada rasa sakit yang menusuk di lengannya. Ia menoleh memerhatikan tangan kanannya, melihat darah segar mengucur dari sana hingga kemeja putih yang ia kenakan berlumuran warna merah pekat. Nathaniel baru menyadari jika ia terkena cukup banyak pecahan beling.“Ishh…” desis Nathaniel merasaka
“Kenapa kau ke sini?” tanya Isabella.“Aku... khawatir,” jawab Nathaniel dengan suara pelan.“Aku kan sudah bilang, aku baik-baik saja, Nate,” ucap Isabella dengan mencoba memaksakan senyum di bibirnya.“Sepertinya tidak.” Nathaniel memerhatikan wajah Isabella yang masih dipenuhi tekanan meski perempuan itu berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Isabella.Nathaniel menggeleng, lalu dengan tenang menjawab, “Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal padamu.”“Apa?” Isabella mengernyitkan dahi.“Apa kau pernah mengalami teror semacam ini sebelumnya?” tanya Nathaniel.Isabella menggeleng pelan. “Tidak.”Nathaniel menyadari keadaan Isabella yang terlihat linglung sejak tadi, membuatnya berpikir keras. “Aku melihatmu sangat terguncang sejak tadi, aku jadi berpikir jika kau punya
Nathaniel dan Isabella berjalan menuju parkiran sambil mengenakan mantel mereka masing-masing. Tiba di parkiran, cahaya sore mulai memancar lembut, menciptakan suasana yang tenang di sekitar.“Aku menyesal karena mobilku rusak lagi, dan harus kembali ke bengkel. Lagi-lagi harus menumpang mobilmu,” ujar Nathaniel berusaha menciptakan topik pembicaraan yang lebih santai.Isabella sedikit terkejut karena Nathaniel tiba-tiba membahasnya. “Kenapa kau malah memikirkan hal itu?”“Aku hanya merasa tidak enak terus menumpang mobilmu.”Isabella tersenyum lembut. “Aku sama sekali tidak keberatan, Nate. Jadi, kau tak perlu membahas soal itu lagi.”“Baiklah, baiklah,” ujar Nathaniel sambil mengulurkan tangannya, “Kunci mobilmu? Kali ini biar aku yang menyetir.”Tanpa banyak kata, Isabella menyerahkan kunci mobilnya pada Nathaniel. Mereka naik ke mobil, dan Nathaniel dengan hati-hati