Musim dingin tiba. Salju mulai menari-nari dari langit, menutupi tanah dengan lapisan putihnya yang mempesona. Nathaniel baru saja selesai berganti baju, lalu berjalan keluar kamar sambil menggosok kedua tangannya dengan keras— mencoba menghangatkan diri di pagi yang terasa beku. Napas yang keluar dari mulutnya seperti asap putih, menandakan betapa dinginnya suhu ruang tanpa pemanas ini.
Dengan langkah agak gemetar karena kedinginan, Nathaniel menuju ruang tengah, di mana mantel cokelat kesayangannya tergantung di kursi. Ia meraih mantel itu dan segera membungkus tubuhnya dengan rapat.
“Paman, aku akan berangkat ke kantor sekarang,” serunya sambil mencari-cari Julian di sekeliling rumah. Untuk beberapa saat, tak ada sahutan dari Julian. Heran, Nathaniel mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang terasa sepi. “Sepi sekali?” tanya Nathaniel pada diri sendiri. “Paman?” teriaknya lagi, mencoba memastikan jika Julian sedang tida
Isabella duduk di balik kemudi dengan tatapan tajam yang mengarah ke depan. Tangannya berpegang pada kemudi, mencengkeramnya dengan erat seolah ingin menghancurkannya. Suara klakson dari mobil di belakangnya yang berani menyalip tanpa izin membuatnya semakin marah. Setelahnya, Isabella menginjak gas mobilnya, dan mempercepat laju mobilnya hingga tiap berbelok di tikungan membuat Nathaniel yang duduk di sampingnya agak terhempas. Nathaniel memperhatikan Isabella dengan heran, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tak biasanya perempuan itu bersikap seperti ini. Wajah cantik dan kedua mata cokelat yang biasanya berekspresi jahil itu, kini hanya menyisakan gurat kemarahan. “Isabella, sebenarnya ada apa?” tanya Nathaniel. Isabella tak menyahut, napasnya masih memburu naik turun. Sejak tadi ia sibuk menenangkan diri, namun kemarahannya setelah melihat Henrik mendekati Nathaniel membuatnya naik pitam. Isabella tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh mantan kekasihnya itu,
Di ruang kerjanya yang nyaman karena hanya ditempati berdua dengan Isabella, Nathaniel duduk di depan laptop. Terdiam dalam konsentrasinya membaca outline yang baru saja diselesaikan oleh Isabella. Mata biru Nathaniel menelusuri baris demi baris dengan teliti, tenggelam dalam detail dan alur cerita yang disusun dengan baik oleh Isabella. Hingga beberapa saat, tak ada yang bisa membuyarkan fokusnya pada layar, Nathaniel bahkan tidak sadar jika kedua mata cokelat Isabella menatapnya dengan kesal.“Nate!” panggil Isabella dengan nada tinggi.“Hm...” sahut Nathaniel, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.“Kau tahu ini sudah jam berapa?” tanya Isabella sambil menyodorkan jam meja pada Nathaniel.Nathaniel menoleh sejenak, melihat jarum jam itu. “Jam satu siang, kan?” tanyanya.“Kau tahu jika itu sudah masuk jam istirahat kan?” tegas Isabella.“Oh, kau benar. Ka
Sementara Isabella berlari mencari bantuan, Nathaniel berbalik ke ruangan yang terbakar. Ia segera mengambil alat pemadam api yang terpasang di dinding koridor, kemudian membawanya ke dalam ruangannya. Dengan cepat, Nathaniel menggunakan APAR untuk menjinakkan kobaran api yang semakin membesar.Ketika api akhirnya berhasil padam, Nathaniel terengah-engah. Tubuhnya merosot terduduk di lantai dengan perasaan lega, setidaknya api sudah berhasil dipadamkan dan tidak mengancam ruangan lain. Nathaniel menyandarkan tubuhnya di dinding, berusaha mencerna hal menegangkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Saat sedang disibukkan dengan pikirannya, Nathaniel merasa ada rasa sakit yang menusuk di lengannya. Ia menoleh memerhatikan tangan kanannya, melihat darah segar mengucur dari sana hingga kemeja putih yang ia kenakan berlumuran warna merah pekat. Nathaniel baru menyadari jika ia terkena cukup banyak pecahan beling.“Ishh…” desis Nathaniel merasaka
“Kenapa kau ke sini?” tanya Isabella.“Aku... khawatir,” jawab Nathaniel dengan suara pelan.“Aku kan sudah bilang, aku baik-baik saja, Nate,” ucap Isabella dengan mencoba memaksakan senyum di bibirnya.“Sepertinya tidak.” Nathaniel memerhatikan wajah Isabella yang masih dipenuhi tekanan meski perempuan itu berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Isabella.Nathaniel menggeleng, lalu dengan tenang menjawab, “Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal padamu.”“Apa?” Isabella mengernyitkan dahi.“Apa kau pernah mengalami teror semacam ini sebelumnya?” tanya Nathaniel.Isabella menggeleng pelan. “Tidak.”Nathaniel menyadari keadaan Isabella yang terlihat linglung sejak tadi, membuatnya berpikir keras. “Aku melihatmu sangat terguncang sejak tadi, aku jadi berpikir jika kau punya
Nathaniel dan Isabella berjalan menuju parkiran sambil mengenakan mantel mereka masing-masing. Tiba di parkiran, cahaya sore mulai memancar lembut, menciptakan suasana yang tenang di sekitar.“Aku menyesal karena mobilku rusak lagi, dan harus kembali ke bengkel. Lagi-lagi harus menumpang mobilmu,” ujar Nathaniel berusaha menciptakan topik pembicaraan yang lebih santai.Isabella sedikit terkejut karena Nathaniel tiba-tiba membahasnya. “Kenapa kau malah memikirkan hal itu?”“Aku hanya merasa tidak enak terus menumpang mobilmu.”Isabella tersenyum lembut. “Aku sama sekali tidak keberatan, Nate. Jadi, kau tak perlu membahas soal itu lagi.”“Baiklah, baiklah,” ujar Nathaniel sambil mengulurkan tangannya, “Kunci mobilmu? Kali ini biar aku yang menyetir.”Tanpa banyak kata, Isabella menyerahkan kunci mobilnya pada Nathaniel. Mereka naik ke mobil, dan Nathaniel dengan hati-hati
Dengan tangan yang gemetar, Isabella meraih ponsel yang terselip di sakunya. Ketika ia melihat nama yang berkedip di layar ponselnya, lega melanda hatinya. Ternyata panggilan itu dari Nathaniel.Dengan hati yang masih berdebar, Isabella segera mengangkat panggilan tersebut sambil berjalan menuju kamarnya. “Halo,” sapanya. “Aku baru akan menelponmu. Kau sudah sampai rumah?”“Ya, baru saja,” jawab Nathaniel dari seberang. Suaranya terdengar lembut, membuat perasaan Isabella merasa nyaman.“Aku senang kau menelponku lebih dulu. Apa kau masih khawatir padaku?”“Ya...” Nathaniel seperti bingung harus bicara apa. “…itu karena tadi kau terus menangis di kantor.”Isabella memasuki kamarnya sambil tersenyum getir. “Maaf aku sudah membuatmu khawatir.”“Tak perlu ada yang dimaafkan,” kata Nathaniel. “Baikl
Nathaniel menghempaskan tangan Julian hingga cengkeraman pria baya itu akhirnya terlepas, “Paman, kau ini apa-apaan?” tanyanya tak habis pikir. “Sejak tadi pagi kau aneh sekali!”Julian tertunduk, terlihat kebingungan. Setelah beberapa saat terdiam, ia kembali menatap Nathaniel dengan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Nate. Aku tidak bermaksud kasar,” ucapnya, langkahnya mendekati Nathaniel.Namun Nathaniel segera mundur, menjaga jarak dari pria yang selama ini sudah seperti ayah baginya. Namun hari ini, ia hampir tidak mengenali Julian yang tiba-tiba saja marah meledak-ledak tanpa alasan yang jelas.“Paman, sepertinya kau sedang banyak masalah?” tanya Nathaniel dengan nada khawatir. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”Julian mencoba tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Nate. Maafkan aku karena sebelumnya sudah membentakmu, bahkan meremas tanganmu. Aku tidak bermaksud seperti itu.” D
Tiba di rumah Elena, seorang pelayan dengan ramah membukakan pintu dan menyambut kedatangan Isabella dan Nathaniel dengan senyum lembut. “Nyonya Elena sudah menunggu kalian sejak tadi,” ucap pelayan itu dengan penuh hormat. “Masuklah.”“Permisi,” ucap Isabella dengan sopan saat mereka memasuki rumah tersebut. Nathaniel mengikuti di belakangnya, memperhatikan sekeliling dengan perasaan rindu.Pelayan tersebut mengantarkan Nathaniel dan Isabella ke ruang makan besar yang sudah ditata sedemikian rupa. Keduanya kaget melihat meja persegi panjang yang kini sudah dipenuhi dengan begitu banyak masakan yang menggugah selera. “Apa-apaan ini? Kenapa banyak sekali? Siapa yang bisa menghabiskan ini semua?”Pelayan hanya tersenyum mendengar respons Nathaniel. “Nyonya Elena sangat antusias karena kau akhirnya mau berkunjung kemari.”Nathaniel hanya terdiam bingung, sedangkan pelayan itu segera pamit. “Sa