Sementara Isabella berlari mencari bantuan, Nathaniel berbalik ke ruangan yang terbakar. Ia segera mengambil alat pemadam api yang terpasang di dinding koridor, kemudian membawanya ke dalam ruangannya. Dengan cepat, Nathaniel menggunakan APAR untuk menjinakkan kobaran api yang semakin membesar.
Ketika api akhirnya berhasil padam, Nathaniel terengah-engah. Tubuhnya merosot terduduk di lantai dengan perasaan lega, setidaknya api sudah berhasil dipadamkan dan tidak mengancam ruangan lain. Nathaniel menyandarkan tubuhnya di dinding, berusaha mencerna hal menegangkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.
Saat sedang disibukkan dengan pikirannya, Nathaniel merasa ada rasa sakit yang menusuk di lengannya. Ia menoleh memerhatikan tangan kanannya, melihat darah segar mengucur dari sana hingga kemeja putih yang ia kenakan berlumuran warna merah pekat. Nathaniel baru menyadari jika ia terkena cukup banyak pecahan beling.
“Ishh…” desis Nathaniel merasaka
“Kenapa kau ke sini?” tanya Isabella.“Aku... khawatir,” jawab Nathaniel dengan suara pelan.“Aku kan sudah bilang, aku baik-baik saja, Nate,” ucap Isabella dengan mencoba memaksakan senyum di bibirnya.“Sepertinya tidak.” Nathaniel memerhatikan wajah Isabella yang masih dipenuhi tekanan meski perempuan itu berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Isabella.Nathaniel menggeleng, lalu dengan tenang menjawab, “Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal padamu.”“Apa?” Isabella mengernyitkan dahi.“Apa kau pernah mengalami teror semacam ini sebelumnya?” tanya Nathaniel.Isabella menggeleng pelan. “Tidak.”Nathaniel menyadari keadaan Isabella yang terlihat linglung sejak tadi, membuatnya berpikir keras. “Aku melihatmu sangat terguncang sejak tadi, aku jadi berpikir jika kau punya
Nathaniel dan Isabella berjalan menuju parkiran sambil mengenakan mantel mereka masing-masing. Tiba di parkiran, cahaya sore mulai memancar lembut, menciptakan suasana yang tenang di sekitar.“Aku menyesal karena mobilku rusak lagi, dan harus kembali ke bengkel. Lagi-lagi harus menumpang mobilmu,” ujar Nathaniel berusaha menciptakan topik pembicaraan yang lebih santai.Isabella sedikit terkejut karena Nathaniel tiba-tiba membahasnya. “Kenapa kau malah memikirkan hal itu?”“Aku hanya merasa tidak enak terus menumpang mobilmu.”Isabella tersenyum lembut. “Aku sama sekali tidak keberatan, Nate. Jadi, kau tak perlu membahas soal itu lagi.”“Baiklah, baiklah,” ujar Nathaniel sambil mengulurkan tangannya, “Kunci mobilmu? Kali ini biar aku yang menyetir.”Tanpa banyak kata, Isabella menyerahkan kunci mobilnya pada Nathaniel. Mereka naik ke mobil, dan Nathaniel dengan hati-hati
Dengan tangan yang gemetar, Isabella meraih ponsel yang terselip di sakunya. Ketika ia melihat nama yang berkedip di layar ponselnya, lega melanda hatinya. Ternyata panggilan itu dari Nathaniel.Dengan hati yang masih berdebar, Isabella segera mengangkat panggilan tersebut sambil berjalan menuju kamarnya. “Halo,” sapanya. “Aku baru akan menelponmu. Kau sudah sampai rumah?”“Ya, baru saja,” jawab Nathaniel dari seberang. Suaranya terdengar lembut, membuat perasaan Isabella merasa nyaman.“Aku senang kau menelponku lebih dulu. Apa kau masih khawatir padaku?”“Ya...” Nathaniel seperti bingung harus bicara apa. “…itu karena tadi kau terus menangis di kantor.”Isabella memasuki kamarnya sambil tersenyum getir. “Maaf aku sudah membuatmu khawatir.”“Tak perlu ada yang dimaafkan,” kata Nathaniel. “Baikl
Nathaniel menghempaskan tangan Julian hingga cengkeraman pria baya itu akhirnya terlepas, “Paman, kau ini apa-apaan?” tanyanya tak habis pikir. “Sejak tadi pagi kau aneh sekali!”Julian tertunduk, terlihat kebingungan. Setelah beberapa saat terdiam, ia kembali menatap Nathaniel dengan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Nate. Aku tidak bermaksud kasar,” ucapnya, langkahnya mendekati Nathaniel.Namun Nathaniel segera mundur, menjaga jarak dari pria yang selama ini sudah seperti ayah baginya. Namun hari ini, ia hampir tidak mengenali Julian yang tiba-tiba saja marah meledak-ledak tanpa alasan yang jelas.“Paman, sepertinya kau sedang banyak masalah?” tanya Nathaniel dengan nada khawatir. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”Julian mencoba tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Nate. Maafkan aku karena sebelumnya sudah membentakmu, bahkan meremas tanganmu. Aku tidak bermaksud seperti itu.” D
Tiba di rumah Elena, seorang pelayan dengan ramah membukakan pintu dan menyambut kedatangan Isabella dan Nathaniel dengan senyum lembut. “Nyonya Elena sudah menunggu kalian sejak tadi,” ucap pelayan itu dengan penuh hormat. “Masuklah.”“Permisi,” ucap Isabella dengan sopan saat mereka memasuki rumah tersebut. Nathaniel mengikuti di belakangnya, memperhatikan sekeliling dengan perasaan rindu.Pelayan tersebut mengantarkan Nathaniel dan Isabella ke ruang makan besar yang sudah ditata sedemikian rupa. Keduanya kaget melihat meja persegi panjang yang kini sudah dipenuhi dengan begitu banyak masakan yang menggugah selera. “Apa-apaan ini? Kenapa banyak sekali? Siapa yang bisa menghabiskan ini semua?”Pelayan hanya tersenyum mendengar respons Nathaniel. “Nyonya Elena sangat antusias karena kau akhirnya mau berkunjung kemari.”Nathaniel hanya terdiam bingung, sedangkan pelayan itu segera pamit. “Sa
Nathaniel dan Elena masih berdiri berhadapan di ruang tengah. Elena heran saat memerhatikan wajah Nathaniel yang terlihat sangat serius. “Serius sekali? Memangnya apa yang ingin kau tanyakan soal Julian?” tanya Elena, kemudian ia duduk dan menarik Nathaniel agar duduk di sampingnya.“Selama ini, apa benar kau sering bertemu paman Julian?” tanya Nathaniel.“Ya,” jawab Elena. “Kami juga sering bertelepon, atau sebatas berkirim pesan.”“Sesering apa?” Nathaniel penasaran.“Sangat sering, Nate. Memangnya kenapa?” jawab Elena tanpa berpikir, Nathaniel bisa menilai jika jawaban tersebut memang apa adanya. Nathaniel terdiam, terperangah karena jawaban Elena sangat berbeda dengan apa yang pernah Julian katakan.“Nate? Kenapa malah melamun?” tanya Elena, memperhatikan Nathaniel yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang serius.Nathaniel menatap Elena, kemudian be
Acara makan malam yang dilanjutkan dengan ngobrol santai di ruang tamu hingga hampir tengah malam. Isabella terlihat sangat nyaman dengan Elena, seolah-olah insiden menegangkan di kantor sebelumnya telah terhapus dari pikirannya. Nathaniel, yang diam-diam mengamatinya, merasa lega melihat keceriaan gadis itu.Meski pikiran tentang Julian masih agak mengganggu pikirannya, Nathaniel mencoba untuk mengabaikan hal itu untuk sementara— Nathaniel tak ingin membuat yang lain khawatir jika melihatnya terbengong karena pikirannya sibuk sendiri.Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan masuk di hp Nathaniel. Dengan cepat, dia meraih hp-nya dan melihat pesan dari Julian.[ Sudah malam begini, kenapa belum pulang? Apa kau masih marah padaku?]Nathaniel merasa agak sedih setelah membaca pesan dari Julian. Pria itu mungkin lebih overthinking setelah Nathaniel pergi begitu saja tadi. Dengan hati yang terenyuh, Na
Nathaniel terbangun karena suara dering ponselnya. Masih dalam keadaan setengah sadar dan mata yang terpejam, ia meraba-raba kasur mencari ponselnya yang terus berdering. Setelah menemukan ponselnya, Nathaniel segera menjawab panggilan tanpa melihat nama pemanggil.“Halo?” sapa Nathaniel dengan suara lesu.“Kau masih tidur?” terdengar suara Isabella di seberang telepon.“Hm... Lagipula hari ini kita tidak perlu ke kantor kan? Pak Andreas minta kita istirahat dulu,” jawab Nathaniel dengan mata masih terpejam.“Lantas, kau mau menyia-nyiakan libur khusus kita?” tanya Isabella.“Libur apa? Kita diminta istirahat,” kata Nathaniel.“Nate, istirahat bukan berarti hanya rebahan di rumah. Bukankah otak kita juga butuh healing? Kita butuh refreshing, Sayang,” kata Isabella.“Hm?” Nathaniel bergumam tak jelas.“Hm apa?