Di ruang kerjanya yang nyaman karena hanya ditempati berdua dengan Isabella, Nathaniel duduk di depan laptop. Terdiam dalam konsentrasinya membaca outline yang baru saja diselesaikan oleh Isabella. Mata biru Nathaniel menelusuri baris demi baris dengan teliti, tenggelam dalam detail dan alur cerita yang disusun dengan baik oleh Isabella. Hingga beberapa saat, tak ada yang bisa membuyarkan fokusnya pada layar, Nathaniel bahkan tidak sadar jika kedua mata cokelat Isabella menatapnya dengan kesal.
“Nate!” panggil Isabella dengan nada tinggi.
“Hm...” sahut Nathaniel, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
“Kau tahu ini sudah jam berapa?” tanya Isabella sambil menyodorkan jam meja pada Nathaniel.
Nathaniel menoleh sejenak, melihat jarum jam itu. “Jam satu siang, kan?” tanyanya.
“Kau tahu jika itu sudah masuk jam istirahat kan?” tegas Isabella.
“Oh, kau benar. Ka
Sementara Isabella berlari mencari bantuan, Nathaniel berbalik ke ruangan yang terbakar. Ia segera mengambil alat pemadam api yang terpasang di dinding koridor, kemudian membawanya ke dalam ruangannya. Dengan cepat, Nathaniel menggunakan APAR untuk menjinakkan kobaran api yang semakin membesar.Ketika api akhirnya berhasil padam, Nathaniel terengah-engah. Tubuhnya merosot terduduk di lantai dengan perasaan lega, setidaknya api sudah berhasil dipadamkan dan tidak mengancam ruangan lain. Nathaniel menyandarkan tubuhnya di dinding, berusaha mencerna hal menegangkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Saat sedang disibukkan dengan pikirannya, Nathaniel merasa ada rasa sakit yang menusuk di lengannya. Ia menoleh memerhatikan tangan kanannya, melihat darah segar mengucur dari sana hingga kemeja putih yang ia kenakan berlumuran warna merah pekat. Nathaniel baru menyadari jika ia terkena cukup banyak pecahan beling.“Ishh…” desis Nathaniel merasaka
“Kenapa kau ke sini?” tanya Isabella.“Aku... khawatir,” jawab Nathaniel dengan suara pelan.“Aku kan sudah bilang, aku baik-baik saja, Nate,” ucap Isabella dengan mencoba memaksakan senyum di bibirnya.“Sepertinya tidak.” Nathaniel memerhatikan wajah Isabella yang masih dipenuhi tekanan meski perempuan itu berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Isabella.Nathaniel menggeleng, lalu dengan tenang menjawab, “Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal padamu.”“Apa?” Isabella mengernyitkan dahi.“Apa kau pernah mengalami teror semacam ini sebelumnya?” tanya Nathaniel.Isabella menggeleng pelan. “Tidak.”Nathaniel menyadari keadaan Isabella yang terlihat linglung sejak tadi, membuatnya berpikir keras. “Aku melihatmu sangat terguncang sejak tadi, aku jadi berpikir jika kau punya
Nathaniel dan Isabella berjalan menuju parkiran sambil mengenakan mantel mereka masing-masing. Tiba di parkiran, cahaya sore mulai memancar lembut, menciptakan suasana yang tenang di sekitar.“Aku menyesal karena mobilku rusak lagi, dan harus kembali ke bengkel. Lagi-lagi harus menumpang mobilmu,” ujar Nathaniel berusaha menciptakan topik pembicaraan yang lebih santai.Isabella sedikit terkejut karena Nathaniel tiba-tiba membahasnya. “Kenapa kau malah memikirkan hal itu?”“Aku hanya merasa tidak enak terus menumpang mobilmu.”Isabella tersenyum lembut. “Aku sama sekali tidak keberatan, Nate. Jadi, kau tak perlu membahas soal itu lagi.”“Baiklah, baiklah,” ujar Nathaniel sambil mengulurkan tangannya, “Kunci mobilmu? Kali ini biar aku yang menyetir.”Tanpa banyak kata, Isabella menyerahkan kunci mobilnya pada Nathaniel. Mereka naik ke mobil, dan Nathaniel dengan hati-hati
Dengan tangan yang gemetar, Isabella meraih ponsel yang terselip di sakunya. Ketika ia melihat nama yang berkedip di layar ponselnya, lega melanda hatinya. Ternyata panggilan itu dari Nathaniel.Dengan hati yang masih berdebar, Isabella segera mengangkat panggilan tersebut sambil berjalan menuju kamarnya. “Halo,” sapanya. “Aku baru akan menelponmu. Kau sudah sampai rumah?”“Ya, baru saja,” jawab Nathaniel dari seberang. Suaranya terdengar lembut, membuat perasaan Isabella merasa nyaman.“Aku senang kau menelponku lebih dulu. Apa kau masih khawatir padaku?”“Ya...” Nathaniel seperti bingung harus bicara apa. “…itu karena tadi kau terus menangis di kantor.”Isabella memasuki kamarnya sambil tersenyum getir. “Maaf aku sudah membuatmu khawatir.”“Tak perlu ada yang dimaafkan,” kata Nathaniel. “Baikl
Nathaniel menghempaskan tangan Julian hingga cengkeraman pria baya itu akhirnya terlepas, “Paman, kau ini apa-apaan?” tanyanya tak habis pikir. “Sejak tadi pagi kau aneh sekali!”Julian tertunduk, terlihat kebingungan. Setelah beberapa saat terdiam, ia kembali menatap Nathaniel dengan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Nate. Aku tidak bermaksud kasar,” ucapnya, langkahnya mendekati Nathaniel.Namun Nathaniel segera mundur, menjaga jarak dari pria yang selama ini sudah seperti ayah baginya. Namun hari ini, ia hampir tidak mengenali Julian yang tiba-tiba saja marah meledak-ledak tanpa alasan yang jelas.“Paman, sepertinya kau sedang banyak masalah?” tanya Nathaniel dengan nada khawatir. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”Julian mencoba tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Nate. Maafkan aku karena sebelumnya sudah membentakmu, bahkan meremas tanganmu. Aku tidak bermaksud seperti itu.” D
Tiba di rumah Elena, seorang pelayan dengan ramah membukakan pintu dan menyambut kedatangan Isabella dan Nathaniel dengan senyum lembut. “Nyonya Elena sudah menunggu kalian sejak tadi,” ucap pelayan itu dengan penuh hormat. “Masuklah.”“Permisi,” ucap Isabella dengan sopan saat mereka memasuki rumah tersebut. Nathaniel mengikuti di belakangnya, memperhatikan sekeliling dengan perasaan rindu.Pelayan tersebut mengantarkan Nathaniel dan Isabella ke ruang makan besar yang sudah ditata sedemikian rupa. Keduanya kaget melihat meja persegi panjang yang kini sudah dipenuhi dengan begitu banyak masakan yang menggugah selera. “Apa-apaan ini? Kenapa banyak sekali? Siapa yang bisa menghabiskan ini semua?”Pelayan hanya tersenyum mendengar respons Nathaniel. “Nyonya Elena sangat antusias karena kau akhirnya mau berkunjung kemari.”Nathaniel hanya terdiam bingung, sedangkan pelayan itu segera pamit. “Sa
Nathaniel dan Elena masih berdiri berhadapan di ruang tengah. Elena heran saat memerhatikan wajah Nathaniel yang terlihat sangat serius. “Serius sekali? Memangnya apa yang ingin kau tanyakan soal Julian?” tanya Elena, kemudian ia duduk dan menarik Nathaniel agar duduk di sampingnya.“Selama ini, apa benar kau sering bertemu paman Julian?” tanya Nathaniel.“Ya,” jawab Elena. “Kami juga sering bertelepon, atau sebatas berkirim pesan.”“Sesering apa?” Nathaniel penasaran.“Sangat sering, Nate. Memangnya kenapa?” jawab Elena tanpa berpikir, Nathaniel bisa menilai jika jawaban tersebut memang apa adanya. Nathaniel terdiam, terperangah karena jawaban Elena sangat berbeda dengan apa yang pernah Julian katakan.“Nate? Kenapa malah melamun?” tanya Elena, memperhatikan Nathaniel yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang serius.Nathaniel menatap Elena, kemudian be
Acara makan malam yang dilanjutkan dengan ngobrol santai di ruang tamu hingga hampir tengah malam. Isabella terlihat sangat nyaman dengan Elena, seolah-olah insiden menegangkan di kantor sebelumnya telah terhapus dari pikirannya. Nathaniel, yang diam-diam mengamatinya, merasa lega melihat keceriaan gadis itu.Meski pikiran tentang Julian masih agak mengganggu pikirannya, Nathaniel mencoba untuk mengabaikan hal itu untuk sementara— Nathaniel tak ingin membuat yang lain khawatir jika melihatnya terbengong karena pikirannya sibuk sendiri.Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan masuk di hp Nathaniel. Dengan cepat, dia meraih hp-nya dan melihat pesan dari Julian.[ Sudah malam begini, kenapa belum pulang? Apa kau masih marah padaku?]Nathaniel merasa agak sedih setelah membaca pesan dari Julian. Pria itu mungkin lebih overthinking setelah Nathaniel pergi begitu saja tadi. Dengan hati yang terenyuh, Na
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela