Isabella sudah sampai jalanan dekat rumahnya, dia bisa melihat mobil Henrik yang terparkir di tepi jalan depan rumahnya. Hatinya berdegup kencang, berbagai emosi menyelimuti pikirannya. Ia mempercepat laju mobilnya, lalu berbelok dengan kasar masuk ke halaman rumah.
Setelah mematikan mesin mobil, Isabella melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Isabella lalu membanting pintu mobil dengan keras, memperlihatkan betapa marahnya dia. Langkah-langkah Isabella menghantarnya mendekati Henrik yang masih berdiri di teras.
“Mau apa lagi kau?” tanya Isabella dengan nada tajam.
Henrik menatap Isabella dengan tatapan memohon, “Isabella...” panggilnya.
“Aaargh!” Isabella menutup kupingnya dengan kasar. “Aku jijik mendengar kau menyebut namaku.”
Henrik terdiam, ekspresinya tampak kecewa. “Haruskah kau bersikap seperti itu di depanku, Bella? Kenapa kau sebegitu bencinya padaku?”
“Aku mem
Isabella duduk di sofa ruang tengah rumahnya, memandang hampa ke arah jendela yang kabur oleh pikirannya yang kacau. Emilia mendekat dengan gelas air putih di tangan, menghampiri dengan kekhawatiran yang terpancar jelas di matanya.“Kau sudah merasa lebih tenang?” tanya Emilia, sambil menawarkan gelas air kepada Isabella.Isabella menerima air tersebut dengan gemetar dan meminumnya perlahan, berusaha keras untuk menenangkan diri. “Sudah lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum, meski ia berusaha memaksa senyum itu agar ibunya tidak terlalu khawatir.Emilia bisa melihat getar di tangan Isabella yang memegang gelas yang baru saja ia berikan, melihat itu membuat Emilia yakin jika Isabella masih terkejut akibat pertengkaran hebat dengan Henrik sebelumnya. “Kau masih terlihat ketakutan,” ucapnya Emilia.Isabella merasa jika ia memang tidak bisa menutupi apa pun dari Ibunya. “Ancaman Henrik tadi memang sangat mengga
Isabella masih berdiri di depan rumah dan memerhatikan Nathaniel yang menyandarkan bahunya di ambang pintu dengan wajah kesal. Pemuda itu bahkan tidak mempersilakan ia masuk. Isabella tak mengerti, kesalahan apalagi yang ia buat hingga membuat Nate bad mood kali ini. Atau justru, pria muda itu kesal karena sikap ibunya sebelumnya?Tak tahan dengan kecanggungan itu, Isabella akhirnya memutuskan untuk bertanya. “Nate, aku tahu kau selalu kesal sepanjang hari, tapi hari ini apa suasana hatimu lebih buruk dari biasanya? Mukamu kusut sekali seperti cucian basah,” ujarnya dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana.“Kenapa kau ke sini membawa kari?” tanya Nathaniel, jutek.“Salahku membawa kari?” Isabella heran.“Nate belum boleh makan kari, Bella.” Tiba-tiba suara Julian terdengar di udara. Tak lama kemudian Julian muncul dari arah belakang Nathaniel. Isabella menoleh pada Julian yang berjalan mendeka
Nathaniel masih diam sambil memerhatikan layar ponsel dengan ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan. Di layar itu, terpampang jelas sebuah foto dirinya yang tertidur pulas di sofa kantor. Ia ingat beberapa hari lalu memang tidur di sofa baru yang dibeli oleh Andreas, tapi ia tidak tahu kapan Isabella mengambil fotonya saat sedang tidur itu, menurutnya itu sangat memalukan.Isabella yang melihat reaksi Nathaniel, segera menyadari apa yang terjadi. Wajahnya memerah, tersadar bahwa ia belum mengubah wallpaper ponselnya.“Aku tidak ada niat apa pun, Nate. Aku hanya merasa fotomu sangat cocok dijadikan wallpaper,” ucap Isabella sambil mengambil kembali ponselnya dari tangan Nathaniel.Pemuda itu masih terdiam, ia sendiri juga bingung kenapa perasaannya jadi campur aduk begini. Di satu sisi ia kesal karena Isabella selalu usil bahkan diam-diam memotretnya saat sedang tidur, di sisi lain— tindakan Isabella menjadikan fotonya sebagai
Musim dingin tiba. Salju mulai menari-nari dari langit, menutupi tanah dengan lapisan putihnya yang mempesona. Nathaniel baru saja selesai berganti baju, lalu berjalan keluar kamar sambil menggosok kedua tangannya dengan keras— mencoba menghangatkan diri di pagi yang terasa beku. Napas yang keluar dari mulutnya seperti asap putih, menandakan betapa dinginnya suhu ruang tanpa pemanas ini.Dengan langkah agak gemetar karena kedinginan, Nathaniel menuju ruang tengah, di mana mantel cokelat kesayangannya tergantung di kursi. Ia meraih mantel itu dan segera membungkus tubuhnya dengan rapat.“Paman, aku akan berangkat ke kantor sekarang,” serunya sambil mencari-cari Julian di sekeliling rumah. Untuk beberapa saat, tak ada sahutan dari Julian. Heran, Nathaniel mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang terasa sepi. “Sepi sekali?” tanya Nathaniel pada diri sendiri. “Paman?” teriaknya lagi, mencoba memastikan jika Julian sedang tida
Isabella duduk di balik kemudi dengan tatapan tajam yang mengarah ke depan. Tangannya berpegang pada kemudi, mencengkeramnya dengan erat seolah ingin menghancurkannya. Suara klakson dari mobil di belakangnya yang berani menyalip tanpa izin membuatnya semakin marah. Setelahnya, Isabella menginjak gas mobilnya, dan mempercepat laju mobilnya hingga tiap berbelok di tikungan membuat Nathaniel yang duduk di sampingnya agak terhempas. Nathaniel memperhatikan Isabella dengan heran, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tak biasanya perempuan itu bersikap seperti ini. Wajah cantik dan kedua mata cokelat yang biasanya berekspresi jahil itu, kini hanya menyisakan gurat kemarahan. “Isabella, sebenarnya ada apa?” tanya Nathaniel. Isabella tak menyahut, napasnya masih memburu naik turun. Sejak tadi ia sibuk menenangkan diri, namun kemarahannya setelah melihat Henrik mendekati Nathaniel membuatnya naik pitam. Isabella tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh mantan kekasihnya itu,
Di ruang kerjanya yang nyaman karena hanya ditempati berdua dengan Isabella, Nathaniel duduk di depan laptop. Terdiam dalam konsentrasinya membaca outline yang baru saja diselesaikan oleh Isabella. Mata biru Nathaniel menelusuri baris demi baris dengan teliti, tenggelam dalam detail dan alur cerita yang disusun dengan baik oleh Isabella. Hingga beberapa saat, tak ada yang bisa membuyarkan fokusnya pada layar, Nathaniel bahkan tidak sadar jika kedua mata cokelat Isabella menatapnya dengan kesal.“Nate!” panggil Isabella dengan nada tinggi.“Hm...” sahut Nathaniel, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.“Kau tahu ini sudah jam berapa?” tanya Isabella sambil menyodorkan jam meja pada Nathaniel.Nathaniel menoleh sejenak, melihat jarum jam itu. “Jam satu siang, kan?” tanyanya.“Kau tahu jika itu sudah masuk jam istirahat kan?” tegas Isabella.“Oh, kau benar. Ka
Sementara Isabella berlari mencari bantuan, Nathaniel berbalik ke ruangan yang terbakar. Ia segera mengambil alat pemadam api yang terpasang di dinding koridor, kemudian membawanya ke dalam ruangannya. Dengan cepat, Nathaniel menggunakan APAR untuk menjinakkan kobaran api yang semakin membesar.Ketika api akhirnya berhasil padam, Nathaniel terengah-engah. Tubuhnya merosot terduduk di lantai dengan perasaan lega, setidaknya api sudah berhasil dipadamkan dan tidak mengancam ruangan lain. Nathaniel menyandarkan tubuhnya di dinding, berusaha mencerna hal menegangkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Saat sedang disibukkan dengan pikirannya, Nathaniel merasa ada rasa sakit yang menusuk di lengannya. Ia menoleh memerhatikan tangan kanannya, melihat darah segar mengucur dari sana hingga kemeja putih yang ia kenakan berlumuran warna merah pekat. Nathaniel baru menyadari jika ia terkena cukup banyak pecahan beling.“Ishh…” desis Nathaniel merasaka
“Kenapa kau ke sini?” tanya Isabella.“Aku... khawatir,” jawab Nathaniel dengan suara pelan.“Aku kan sudah bilang, aku baik-baik saja, Nate,” ucap Isabella dengan mencoba memaksakan senyum di bibirnya.“Sepertinya tidak.” Nathaniel memerhatikan wajah Isabella yang masih dipenuhi tekanan meski perempuan itu berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Isabella.Nathaniel menggeleng, lalu dengan tenang menjawab, “Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal padamu.”“Apa?” Isabella mengernyitkan dahi.“Apa kau pernah mengalami teror semacam ini sebelumnya?” tanya Nathaniel.Isabella menggeleng pelan. “Tidak.”Nathaniel menyadari keadaan Isabella yang terlihat linglung sejak tadi, membuatnya berpikir keras. “Aku melihatmu sangat terguncang sejak tadi, aku jadi berpikir jika kau punya
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela