Julian berdiri di samping ranjang putih di ruang emergency, tempat Nathaniel terbaring. Tatapan cemas melintas di matanya saat melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lemas dan menahan sakit sejak tadi.
Dokter yang baru selesai memasang infus berbicara pada Julian, “Kami akan melakukan observasi, karena sepertinya Nathaniel mengalami radang lambung cukup parah.”
“Apakah dia perlu rawat inap?” tanya Julian.
“Tidak,” sahut Nathaniel. Julian langsung menoleh dengan tatapan kesal pada pemuda itu. “Aku tidak bertanya padamu.”
Julian kembali menatap pada dokter di hadapannya— yang tengah tertawa kecil setelah melihat interaksi Julian dan Nathaniel.
“Perlu atau tidaknya, akan kita putuskan setelah masa observasi,” jawab dokter tersebut, lalu menoleh pada Nathaniel. “Istirahatlah dulu sambil menunggu infusnya habis. Kami akan melakukan pengecekan ulang nanti,” lanjutnya
Emilia baru saja selesai memasak saat terdengar suara bel pintu. Ia segera melepas celemek di tubuhnya, lalu mengelap tangannya yang berlumuran tepung pada kain dapur dan berjalan menuju pintu.Setelah membuka pintu, Emilia terkejut melihat Henrik berdiri di depannya. “Bibi,” sapanya dengan senyum yang tipis.“Henrik, ada urusan apa kau datang ke sini?” tanya Emilia, suaranya sedikit dingin karena masih teringat akan kebohongan Henrik sebelumnya, yang membuat Emilia harus menyinggung Nathaniel.“Aku datang karena ingin bertemu dengan Isabella, dan juga kau, Bi,” jawab Henrik tanpa rasa bersalah, tatapannya tetap tenang saat dia menyampaikan maksud kedatangannya. Emilia hanya diam, tidak menanggapi ucapan basa-basi Henrik, juga tidak mempersilakan pria itu masuk ke dalam rumah.“Bibi, apa kau tidak memintaku masuk?” tanyanya Henrik yang melihat Emilia hanya diam dan menatapnya.“Tidak,” jaw
Isabella sudah sampai jalanan dekat rumahnya, dia bisa melihat mobil Henrik yang terparkir di tepi jalan depan rumahnya. Hatinya berdegup kencang, berbagai emosi menyelimuti pikirannya. Ia mempercepat laju mobilnya, lalu berbelok dengan kasar masuk ke halaman rumah.Setelah mematikan mesin mobil, Isabella melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Isabella lalu membanting pintu mobil dengan keras, memperlihatkan betapa marahnya dia. Langkah-langkah Isabella menghantarnya mendekati Henrik yang masih berdiri di teras.“Mau apa lagi kau?” tanya Isabella dengan nada tajam.Henrik menatap Isabella dengan tatapan memohon, “Isabella...” panggilnya.“Aaargh!” Isabella menutup kupingnya dengan kasar. “Aku jijik mendengar kau menyebut namaku.”Henrik terdiam, ekspresinya tampak kecewa. “Haruskah kau bersikap seperti itu di depanku, Bella? Kenapa kau sebegitu bencinya padaku?”“Aku mem
Isabella duduk di sofa ruang tengah rumahnya, memandang hampa ke arah jendela yang kabur oleh pikirannya yang kacau. Emilia mendekat dengan gelas air putih di tangan, menghampiri dengan kekhawatiran yang terpancar jelas di matanya.“Kau sudah merasa lebih tenang?” tanya Emilia, sambil menawarkan gelas air kepada Isabella.Isabella menerima air tersebut dengan gemetar dan meminumnya perlahan, berusaha keras untuk menenangkan diri. “Sudah lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum, meski ia berusaha memaksa senyum itu agar ibunya tidak terlalu khawatir.Emilia bisa melihat getar di tangan Isabella yang memegang gelas yang baru saja ia berikan, melihat itu membuat Emilia yakin jika Isabella masih terkejut akibat pertengkaran hebat dengan Henrik sebelumnya. “Kau masih terlihat ketakutan,” ucapnya Emilia.Isabella merasa jika ia memang tidak bisa menutupi apa pun dari Ibunya. “Ancaman Henrik tadi memang sangat mengga
Isabella masih berdiri di depan rumah dan memerhatikan Nathaniel yang menyandarkan bahunya di ambang pintu dengan wajah kesal. Pemuda itu bahkan tidak mempersilakan ia masuk. Isabella tak mengerti, kesalahan apalagi yang ia buat hingga membuat Nate bad mood kali ini. Atau justru, pria muda itu kesal karena sikap ibunya sebelumnya?Tak tahan dengan kecanggungan itu, Isabella akhirnya memutuskan untuk bertanya. “Nate, aku tahu kau selalu kesal sepanjang hari, tapi hari ini apa suasana hatimu lebih buruk dari biasanya? Mukamu kusut sekali seperti cucian basah,” ujarnya dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana.“Kenapa kau ke sini membawa kari?” tanya Nathaniel, jutek.“Salahku membawa kari?” Isabella heran.“Nate belum boleh makan kari, Bella.” Tiba-tiba suara Julian terdengar di udara. Tak lama kemudian Julian muncul dari arah belakang Nathaniel. Isabella menoleh pada Julian yang berjalan mendeka
Nathaniel masih diam sambil memerhatikan layar ponsel dengan ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan. Di layar itu, terpampang jelas sebuah foto dirinya yang tertidur pulas di sofa kantor. Ia ingat beberapa hari lalu memang tidur di sofa baru yang dibeli oleh Andreas, tapi ia tidak tahu kapan Isabella mengambil fotonya saat sedang tidur itu, menurutnya itu sangat memalukan.Isabella yang melihat reaksi Nathaniel, segera menyadari apa yang terjadi. Wajahnya memerah, tersadar bahwa ia belum mengubah wallpaper ponselnya.“Aku tidak ada niat apa pun, Nate. Aku hanya merasa fotomu sangat cocok dijadikan wallpaper,” ucap Isabella sambil mengambil kembali ponselnya dari tangan Nathaniel.Pemuda itu masih terdiam, ia sendiri juga bingung kenapa perasaannya jadi campur aduk begini. Di satu sisi ia kesal karena Isabella selalu usil bahkan diam-diam memotretnya saat sedang tidur, di sisi lain— tindakan Isabella menjadikan fotonya sebagai
Musim dingin tiba. Salju mulai menari-nari dari langit, menutupi tanah dengan lapisan putihnya yang mempesona. Nathaniel baru saja selesai berganti baju, lalu berjalan keluar kamar sambil menggosok kedua tangannya dengan keras— mencoba menghangatkan diri di pagi yang terasa beku. Napas yang keluar dari mulutnya seperti asap putih, menandakan betapa dinginnya suhu ruang tanpa pemanas ini.Dengan langkah agak gemetar karena kedinginan, Nathaniel menuju ruang tengah, di mana mantel cokelat kesayangannya tergantung di kursi. Ia meraih mantel itu dan segera membungkus tubuhnya dengan rapat.“Paman, aku akan berangkat ke kantor sekarang,” serunya sambil mencari-cari Julian di sekeliling rumah. Untuk beberapa saat, tak ada sahutan dari Julian. Heran, Nathaniel mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang terasa sepi. “Sepi sekali?” tanya Nathaniel pada diri sendiri. “Paman?” teriaknya lagi, mencoba memastikan jika Julian sedang tida
Isabella duduk di balik kemudi dengan tatapan tajam yang mengarah ke depan. Tangannya berpegang pada kemudi, mencengkeramnya dengan erat seolah ingin menghancurkannya. Suara klakson dari mobil di belakangnya yang berani menyalip tanpa izin membuatnya semakin marah. Setelahnya, Isabella menginjak gas mobilnya, dan mempercepat laju mobilnya hingga tiap berbelok di tikungan membuat Nathaniel yang duduk di sampingnya agak terhempas. Nathaniel memperhatikan Isabella dengan heran, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tak biasanya perempuan itu bersikap seperti ini. Wajah cantik dan kedua mata cokelat yang biasanya berekspresi jahil itu, kini hanya menyisakan gurat kemarahan. “Isabella, sebenarnya ada apa?” tanya Nathaniel. Isabella tak menyahut, napasnya masih memburu naik turun. Sejak tadi ia sibuk menenangkan diri, namun kemarahannya setelah melihat Henrik mendekati Nathaniel membuatnya naik pitam. Isabella tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh mantan kekasihnya itu,
Di ruang kerjanya yang nyaman karena hanya ditempati berdua dengan Isabella, Nathaniel duduk di depan laptop. Terdiam dalam konsentrasinya membaca outline yang baru saja diselesaikan oleh Isabella. Mata biru Nathaniel menelusuri baris demi baris dengan teliti, tenggelam dalam detail dan alur cerita yang disusun dengan baik oleh Isabella. Hingga beberapa saat, tak ada yang bisa membuyarkan fokusnya pada layar, Nathaniel bahkan tidak sadar jika kedua mata cokelat Isabella menatapnya dengan kesal.“Nate!” panggil Isabella dengan nada tinggi.“Hm...” sahut Nathaniel, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.“Kau tahu ini sudah jam berapa?” tanya Isabella sambil menyodorkan jam meja pada Nathaniel.Nathaniel menoleh sejenak, melihat jarum jam itu. “Jam satu siang, kan?” tanyanya.“Kau tahu jika itu sudah masuk jam istirahat kan?” tegas Isabella.“Oh, kau benar. Ka