Tak lama setelah Nathaniel menolak panggilan itu, nyatanya beberapa saat kemudian ponselnya kembali berdering. Nathaniel terdiam, dadanya berdenyut cepat menyadari jika kemungkinan besar seseorang yang menghubunginya adalah Elena. Isabella yang masih berdiri di hadapan Nathaniel melihat kegelisahan di wajah pemuda itu.“Kenapa kau tidak mengangkatnya? Siapa tahu penting,” saran Isabella pada akhirnya. Meski pemuda itu sempat menolak panggilan itu, entah kenapa Isabella merasa jika sebenarnya Nathaniel sangat ingin menjawabnya.“Tidak penting,” sahut Nathaniel cepat, namun suaranya tidak yakin.Setelah ponselnya berhenti berdering, Nathaniel memutuskan pergi meninggalkan Isabella. Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, ponselnya berdering lagi. Ini membuatnya berhenti, ekspresinya terlihat ragu, seolah ingin mengangkat panggilan itu.“Angkatlah, Nate. Aku tahu kau ingin melakukannya,” ucap Isabella, membaca kebimban
Mobil berhenti di depan parkiran rumah sakit. Nathaniel dan Isabella segera turun dari mobil. Nathaniel yang cemas dengan keadaan Camilia, melangkah terburu-buru menuju pintu masuk rumah sakit. Dalam kecepatannya, dia tidak menyadari seorang pengunjung rumah sakit yang berjalan di hadapannya. Tubuh mereka bertabrakan dengan keras, menyebabkan barang-barang pengunjung itu berserakan di lantai. Nathaniel kaget melihat itu.“Apa kau tidak memakai matamu saat berjalan? Kau membuat barang-barangku berantakan!” bentak pria paruh baya di hadapan Nathaniel dengan wajah murka.“Maafkan aku,” ucapnya dengan cepat, berusaha membantu mengumpulkan barang-barang yang berserakan di lantai.Pria di hadapannya masih mencurahkan kekesalan meski Nathaniel sudah minta maaf. “Kau adalah pria dewasa, kenapa kau tidak paham sopan santun saat berada di tempat umum?”Isabella yang menyaksikan kejadian itu, jadi kesal dengan sikap pengunjung rum
Elena keluar dari ruang rawat Camilia dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat basah oleh airmata. Berusaha untuk menenangkan diri, Elena bersandar di dinding lorong rumah sakit sembari mengusap jejak airmata di pipinya. Bahunya sedikit bergetar, dan airmatanya tak berhenti meleleh di wajahnya. Gabriel menyusul keluar dari ruang rawat, melihat Elena dengan wajah iba. Ia mendekati Elena, lalu menghebuskan napas berat. “Elena,” panggil Gabriel. Elena tak menanggapi panggilan itu, namun Gabriel cukup tahu jika Elena mendengarkannya. “Bukankah kau merindukan putramu? Kenapa kau malah keluar?” Elena terdiam sejenak, sibuk mengeringkan sisa airmata di wajahnya. Setelah memastikan wajahnya bersih dari airmata, Elena mengangkat pandangannya ke arah Gabriel, berusaha terlihat tegar di depan ayahnya. “Aku hanya tidak ingin merusak suasana,” jawab Elena. Gabriel mengusap lembut bahu Elena sebagai bentuk dukungan. “Sudah lima belas tahun, Elena. Hubunganmu dan Nate
Elena dan Isabella masih duduk bersisian di ruang tunggu rumah sakit, dibayangi oleh keheningan yang menggelayuti ruangan itu. Elena menunduk menatap lantai keramik rumah sakit dengan tatapan kosong, sementara Isabella duduk di sampingnya dengan ekspresi bingung. “Lima belas tahun ini, aku jarang bisa bertemu dengan Nate. Dia selalu menghindariku,” ucap Elena dengan suara lirih, memecah keheningan. Isabella terdiam, ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Isabella bisa merasakan kesedihan Elena, tapi ia juga memahami luka dan kekecewaan yang dirasakan Nathaniel. “Jika kau memang dekat dengan Nate, kemungkinan besar kau sudah tahu hubunganku dengan Nate,” tebak Elena yang dijawab dengan anggukan oleh Isabella. “Aku mengetahuinya secara tidak sengaja,” jawab Isabella. Masih terbayang jelas dalam ingatan Isabella, saat ia dan Nathaniel tanpa sengaja bertemu dengan Harry— seorang wartawan dari salah satu media infotaiment, wartawan yang membe
Isabella berjalan melintasi lorong rumah sakit dengan hati yang lega, bibirnya menyungging senyum membayangkan Nathaniel dan Elena mungkin saja bisa berbaikan dalam waktu dekat. Meski terlihat dingin dan jutek di luar, namun Isabella tahu jika Nathaniel memiliki hati yang lembut seperti gula kapas— dan ia yakin jika pemuda itu akan segera memaafkan Elena jika perempuan itu menunjukkan ketulusannya.Jika Nathaniel dan Elena memang berhasil berbaikan, itu berarti Isabella akan jadi orang yang paling berjasa, dan sudah pasti akan menguntungkan posisinya, karena secara tidak langsung ia sudah menjadi dekat dengan calon ibu mertuanya. Isabella tersenyum geli saat membayangkan memiliki ibu mertua yang semuda dan secantik Elena, membayangkan hal itu saja cukup membuat Isabella merasa insecure.Saat melangkah menuju ke lobby rumah sakit, tanpa sengaja Isabella melihat seorang wanita yang sedang menangis di depan meja administrasi. Dia memutuskan untuk mendekati
Untuk beberapa saat, suasana di ruangan rawat tersebut terasa hening. Isabella dan Elise terjebak dalam kecanggungan yang menggantung di udara. Baik Elise dan Isabella tak tahu lagi harus membahas hal apa untuk mencairkan suasana.Keheningan itu terputus ketika terdengar suara rengekan putra Elise. Isabella langsung menoleh pada balita berambut pirang yang baru saja terbangun tidurnya sambil menangis, seolah masih merasa tidak nyaman dengan keadaannya.“Mommy...” gumam Oliver di antara isakannya.Elise segera mendekat pada putranya, mengusap puncak kepalanya lalu mengecupnya. “Mommy di sini, Sayang. Kau merasa tidak nyaman?” tanya Elise dengan suara lembut.“Kepalaku pusing,” jawab Oliver setengah menangis.Elise mengusap usap kepalanya dengan lembut. “Pergilah, pusing. Jangan ganggu anak mommy.”Isabella melihat bagaimana Elise memperlakukan putranya dengan penuh kasih sayang. Meskipun dia ada
Nathaniel tidak menjawab dengan kata-kata. Namun ekspresinya penuh dengan ketulusan, seolah menjadi jawaban yang lebih kuat daripada kata-kata.Airmata mulai mengalir dari mata Elena, namun kali ini bukan lagi karena kesedihan, melainkan karena haru yang menyelip di dalamnya.“Terima kasih, Nate. Terima kasih, sayang...,” bisik Elena sambil memeluk Nathaniel dengan erat, air mata masih mengalir di pipinya.Nathaniel merasa hangat di dalam pelukan Elena, meskipun kecanggungan masih menyelimuti suasana di antara mereka. “Asal kau tahu, tak ada yang lebih membahagiakan daripada momen ini, Nate,” tambah Elena.Elena kemudian mengecup pipi Nathaniel penuh kasih, sebelum kembali merengkuhnya erat seolah tak ingin melepaskannya. Namun, kehangatan momen itu terganggu oleh komentar Nathaniel. “Sudah cukup, Bibi,” tegurnya. Ia hanya khawatir jika ada seseorang yang sengaja mengabadikan momen tersebut dan menyebarkan itu di media
Isabella dan Nathaniel sudah berada di mobil, Isabella menyetir mobil sementara Nathaniel duduk di sampingnya. “Kau pasti tidak menyangka jika Oliver itu anak Elise Dubois dan Henrik,” tebak Isabella. Nathaniel hanya mengangguk kecil. “Tapi aku lebih tidak menyangka kau bersedia membantu Elise— jika aku yang berada di posisimu, sudah pasti aku tidak akan peduli pada perempuan itu,” gumam Nathaniel, ada nada kesal yang terselip pada suaranya meski samar. Isabella tersenyum, ia bisa mengerti kenapa Nathaniel bisa sekesal itu. Lima tahun lalu, secara tidak langsung Nathaniel juga dipecat dari pekerjaannya karena hal busuk yang dilakukan Elise. “Aku memang sangat marah dengan apa yang dilakukan Elise di masa lalu, tapi di sisi lain aku bersyukur,” jawab Isabella. “Bersyukur?” tanya Nathaniel, alisnya terangkat. “Ya, tentu saja. Jika Elise tidak mengajukan naskahku, tidak mungkin kau membelaku mati-matian saat itu. Bisa dibilang apa yang dilakukan