Isabella menjelaskan situasinya, “Nate mabuk, paman Julian. Aku sudah mencoba membangunkannya, tapi dia tidak bangun-bangun.”
Julian tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, “Mabuk? Bagaimana bisa? Nate tidak pernah minum,” katanya dengan nada yang tak percaya.
Isabella menjelaskan dengan singkat hal yang terjadi di tempat karaoke hingga membuat Nathaniel sampai mabuk dan jadi tak berdaya seperti ini. Julian menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
“Tolong bantu aku membawanya masuk, Paman. Dia butuh istirahat.”
Julian mengangguk lalu mendekati mobil. Ia menatap Nathaniel yang masih terlelap dengan penuh keprihatinan. “Nate? Ayo bangun,” ucapnya sambil mengguncang bahu pemuda itu dengan lembut, berusaha membangunkannya.
Nathaniel menggeliat perlahan, wajahnya terlihat ngantuk ketika akhirnya berhasil membuka matanya. Dia menatap ke sekeliling dengan pandangan yang masih samar, mencoba memahami sit
Nathaniel kemudian mengatakan dengan nada pahit, “Jika saja dulu aku tidak terlahir prematur, mungkinkah aku bisa lebih tinggi?”Isabella menggeleng, menegaskan, “Aku tidak peduli dengan itu. Aku menyukaimu yang seperti ini.”Nathaniel masih menggeleng. “Tidak. Tidak ada yang menyukaiku. Bahkan ibuku dulu ingin membunuhku saat aku masih dalam kandungan.” Suaranya terdengar rapuh, mengungkapkan luka yang mendalam.Isabella terkejut mendengar pernyataan Nathaniel. Dia menatap kedua mata Nathaniel yang berkaca-kaca, dan hatinya seperti diremas melihat ekspresi pria itu.“Kau pasti salah paham, Nate,” ucap Isabella dengan lembut, “mana mungkin ada ibu yang ingin membunuh anaknya sendiri?”Nathaniel hanya menggeleng sedih. “Aku bukan anak Elena Alexander,” bisiknya, suaranya terputus-putus. “Aku hanya kesalahan yang diciptakan oleh perempuan itu saat masih duduk di sekolah men
Isabella merasa semakin lelah dengan perdebatan ini. “Kau tidak akan mendapatkan apa yang pernah kau sia-siakan, Henrik.”Ketika Isabella hendak berbalik dan masuk ke dalam rumah, tiba-tiba Henrik memeluknya dari belakang. Isabella merasa kesal dan tanpa berpikir panjang, dia menyikut perut Henrik dengan keras hingga pria itu melepaskan pelukannya.Isabella berbalik menghadap Henrik lagi, tatapan matanya penuh dengan kemarahan. Tanpa ragu dia menampar wajah pria itu dengan keras. “Jangan kurang ajar!” bentaknya dengan suara gemetar karena emosi yang meluap.Henrik tercekat, terdiam sejenak akibat kejutan dari tamparan itu.“Pergi dari sini!” tegas Isabella.Henrik tidak bergeming. Dia maju dan dengan tiba-tiba memeluk Isabella dengan erat. Isabella berusaha meronta dengan sekuat tenaga, tetapi pelukan Henrik begitu kuat sehingga dia kesulitan untuk melepaskan diri. “Lepaskan aku, Henrik!” teriaknya de
“Isabella, aku bisa melakukannya sendiri,” kata Nathaniel dengan nada agak kaku.“Aku tahu kau pasti bisa melakukannya sendiri, tapi aku bisa melakukannya lebih baik darimu,” tegas Isabella. Dengan tangannya yang lembut, ia terus merapikan dasi Nathaniel, memperbaikinya dengan cermat. Nathaniel meskipun enggan, akhirnya pasrah pada bantuannya.Julian yang masih menyaksikan adegan itu, tersenyum lebar. “Kalian seperti suami istri yang saling menyayangi,” ujarnya, mencoba menghangatkan suasana.Isabella tersenyum manis mendengarnya, “Apakah begitu menurutmu, Paman?”Namun Nathaniel segera menolak, “Tidak mungkin.”Nathaniel meraih tas kerjanya yang ada di kursi, kemudian buru-buru pamit pada Julian. “Aku berangkat, Paman.”Julian tak ingin Nathaniel pergi dengan perut kosong, menegur lagi, “Kau harus makan sesuatu dulu, Nate. Jangan sampai lambungmu bermasalah lagi.&
Isabella yang masih berdiri di samping Nathaniel dengan senyum nakal di bibirnya, tiba-tiba bertanya, “Ada kursi untukku?” dia melihat sekeliling ruangan, mencari kursi yang bisa dia tempati. Ekspresinya penuh dengan kepolosan yang membuatnya terlihat seperti gadis kecil yang mencari tempat duduk di sekolah baru.Nathaniel menatap Isabella dengan wajah lelah. “Tidak ada. Kau tahu sendiri jika kantor BelleVue Books sangat miskin? Kami hanya punya kursi untuk karyawan,” ucapnya.Isabella tanpa rasa malu, membalas dengan candaan, “Kalau begitu, boleh aku duduk di pangkuanmu?”Kata-kata Isabella membuat Nathaniel tersedak ludahnya sendiri. Ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi kaku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Ruangan tiba-tiba riuh oleh sorakan rekan-rekan Nathaniel yang mendengar ucapan Isabella. Beberapa dari mereka tertawa terbahak-bahak, sedangkan yang lain hanya menunjukkan ekspres
Nathaniel melihat bunga-bunga itu dengan ekspresi agak bosan, “Berhenti membawakanku bunga.”Isabella menangkap getaran kesal dalam kata-kata Nathaniel, “Kenapa? Kau mau dibawakan yang lain? Baiklah, sebutkan saja apa yang kau inginkan?”Sorakan kembali terdengar dari rekan-rekan Nathaniel, membuat suasana di ruangan semakin riuh. Nathaniel menoleh pada teman-temannya dengan ekspresi marah, yang membuat mereka seketika diam.Nathaniel lalu menoleh pada Isabella dengan muka kesal. “Bisa berhenti membuatku kesal?”Isabella menggeleng sambil terus memegang tangkai bunga dengan penuh semangat. “Kenapa semua hal membuatmu kesal? Padahal aku melakukan ini agar kau senang.” Dia bahkan berlutut seperti seorang pangeran sambil menyodorkan bunga-bunga itu.Rekan-rekan Nathaniel menahan tawa, dan Nathaniel pun merasa terjebak dalam situasi yang memalukan. “Seandainya kau bukan perempuan, aku tidak akan seg
Pelayan wanita datang mengantarkan makanan di meja Nathaniel dan Isabella. “Terima kasih,” ucap Nathaniel sopan pada pelayan wanita tersebut.“Sama-sama,” kata pelayan sebelum pergi dengan senyuman ramahnya. Isabella memerhatikan Nathaniel yang ramah pada orang lain.“Kenapa kau ramah begitu? Tapi padaku kau jutek sekali,” tanya Isabella.“Kau pikir kenapa?” balas Nathaniel sambil memotong steaknya dengan hati-hati.“Kenapa?” tanya Isabella, ingin mendapatkan jawaban pasti.“Karena aku tidak bisa ramah pada perempuan menyebalkan seperti dirimu,” jawab Nathaniel dengan jujur sambil tetap fokus pada hidangannya.“Ku kutuk kau jatuh cinta padaku,” ucap Isabella, mencoba menggoda Nathaniel.“Mimpi saja kau,” balas Nathaniel sambil mengunyah makanannya dengan cepat— karena sebelumnya tidak sarapan, kali ini Nathaniel merasa lapar sekali. I
Isabella tersenyum tipis, tetapi masih terlihat sedikit cemas. “Aku akan langsung ke kantor BelleVue Books setelah menyelesaikan urusan dengan Evergreen Publishing,” tambahnya.Nathaniel mengangguk, menenangkan Isabella, “Baiklah, aku menunggumu.”Isabella merasa lega mendengar jawaban Nathaniel yang tidak sedingin biasanya. Isabella berharap jika permintaan maaf tulus darinya benar-benar membuat pria itu luluh, dan memaafkannya.“Terima kasih, Nate. Aku pergi dulu,” ucapnya dengan senyum tulus sebelum meninggalkan Nathaniel dalam keheningan ruangan.Setelah kepergian Isabella, Nathaniel terdiam, membiarkan pikirannya melayang pada ingatan-ingatan yang baru saja terbentuk selama percakapan dengan Isabella. Setiap kata yang diucapkannya masih tergantung di udara. Hingga sebuah suara memecah keheningan, “Nathaniel Alexander?” panggil seseorang.Nathaniel menoleh perlahan, melihat sosok Henrik Mueller ya
Nathaniel yang kini sudah merebahkan tubuhnya di atas sofa berbicara pada teman-temannya. “Kalian sibuklah dulu, aku akan tidur sebentar.” Matanya perlahan-lahan terpejam, dan napasnya menjadi lebih tenang.“Baik, tidurlah Yang Mulia,” sindir Luciana. Namun tak ada sahutan dari Nathaniel, membuat Luciana menoleh ke arah sofa yang ditempati oleh Nathaniel. Pemuda itu sudah mendapatkan posisi nyaman untuk tidur.“Sindiranku tidak terdengar, ya?” tanya Luciana sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya mengedit naskah.Beberapa saat kemudian, napas Nathaniel menjadi lebih dalam dan teratur. Dia benar-benar tertidur lelap di sofa, dan mengabaikan semua kegiatan di sekitarnya.Tiba-tiba, pintu kantor terbuka dan Isabella kembali. Matanya langsung tertuju pada Nathaniel yang tertidur di sofa. Dia terkejut melihat pemandangan itu, tapi cepat menyadari bahwa dia tidak boleh mengganggu.“Isabella, darimana saja...&rd