Isabella berjalan menuju rumah dengan langkah gontai, matanya memerhatikan sekelilingnya— melihat barang-barang yang biasanya tersusun rapi di dalam rumah, kini sudah tergeletak berantakan di halaman.
Emilia duduk di ambang pintu dengan tatapan kosong dan pipi yang basah oleh air mata. Isabella membeku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa mereka tidak memiliki tempat berlindung lagi.
“Ibu, apa kita memang harus pindah hari ini juga?” tanya Isabella, langkah-langkahnya mendekati ibunya yang tampak seperti raga tanpa nyawa.
Emilia hanya bisa menangis, mencoba menjawab dengan kata-kata yang tersedak oleh tangisannya. “Kau lihat sendiri, mereka bahkan sudah mengeluarkan barang-barang kita.”
Isabella mencoba menenangkan ibunya, meski saat ini dirinya sendiri juga kebingungan. “Ibu, tenanglah. Kita akan menyelesaikan ini. Kita akan mencari tempat tinggal.”
Isabella kemudian meraih ponselnya, memutuskan untuk menghubungi Henrik Mueller—pacarnya. Berharap pria bisa memberikan bantuan atau tempat tinggal sementara untuk mereka berdua. Namun, ketika nomor Henrik dipanggil, hanya hening yang terdengar. Ponsel Henrik tidak aktif, membuat Isabella semakin terpuruk dalam keputusasaan.
“Kau di mana saat aku sangat membutuhkanmu, Henrik?” gumam Isabella sambil menatap layar gelap ponselnya. Merasa tidak bisa mengandalkan kekasihnya, ia mulai mencari solusi lain. Isabella menghubungi layanan pengangkut barang untuk membawa barang-barang mereka.
Dalam kegelapan yang semakin menyelubungi hari, Isabella merasakan kehampaan di dalam dirinya. Tangisan Emilia yang masih bergema di udara. Isabella menghela napas panjang dan duduk di samping ibunya. “Sudahlah, Ibu. Jangan menangis.”
“Apa yang harus kita lakukan, Bella? Kita bahkan tidak memiliki cukup uang untuk menyewa rumah lain,” ucap Emilia di sela-sela isakannya. Isabella hanya termenung tak mampu memberikan jawaban yang pasti. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara deru mesin mobil pengangkut yang berhenti di depan rumah.
Isabella yang mendengar suara itu buru-buru berjalan ke depan diikuti oleh Emilia. Isabella segera menghampiri petugas pengangkut barang yang baru saja turun dari mobil. Mereka menaikkan barang-barang mereka dengan perasaan campur aduk; sedih, kehilangan dan kebingungan. Di kota yang asing ini, mereka tidak memiliki sanak saudara, mereka tak memiliki tujuan.
Isabella menoleh pada Emilia. “Ibu, aku akan mencari info rumah sewa terlebih dahulu.”
Emilia mengangguk, setelahnya Isabella segera melangkah agak menjauh sembari meraih ponselnya. Isabella kemudian duduk di ambang pintu rumah, lalu melakukan pencarian di internet. Memang cukup mudah mencari infomasi tentang rumah yang disewakan di kota ini, namun harga sewa yang tinggi membuat Isabella tak berdaya.
Petugas dari mobil pengangkut menutup mobil box-nya, lalu menghampiri Isabella. “Permisi, Nona. Barangnya mau diantar ke mana?”
Isabella ragu sejenak, kemudian menyebutkan alamat Henrik Mueller. Ia tidak tahu lagi harus berharap pada siapa saat ini.
***
Mobil pengangkut akhirnya berhenti di depan rumah Henrik yang memiliki halaman yang luas. Rumah tersebut terlihat sunyi dengan beberapa pohon besar yang membuatnya terlihat asri. Isabella, petugas pengangkut barang, dan Emilia segera turun dari mobil. Wajah Emilia tampak gelisah. “Apakah Henrik tidak keberatan kita menumpang di sini?” gumam Emilia, mencoba menekan kekhawatirannya.
Isabella merasa tidak enak, “Aku juga merasa tidak enak, Ibu. Tapi kita tidak punya pilihan.”
Emilia mengangguk meski terlihat ragu. Isabella mengusap bahu Emilia, berusaha menenangkan wanita tersebut. Isabella memerhatikan rumah Henrik yang masih terlihat sepi, halaman rumah Henrik memang terlalu luas hingga mungkin suara deru mobil tidak terdengar dari dalam.
“Ibu, aku akan mencari Henrik dulu,” ucap Isabella. Dia melangkahkan kaki melewati halaman yang luas, sampai di depan pintu utama. Dengan hati yang berdebar, Isabella memasukkan nomor password kunci rumah Henrik. Pintu terbuka, dan keheningan rumah segera menyambutnya.
Rumah Henrik tampak sunyi, dan Isabella mulai bertanya-tanya kenapa Henrik sulit dihubungi sejak tadi. Berjalan menyusuri koridor, Isabella terkejut melihat sepatu wanita yang bukan miliknya ditaruh di dekat pintu. Langkahnya semakin lambat, kecemasan merayap di dalam dirinya.
“Henrik?” panggil Isabella pelan, berharap dapat menjawab rasa penasarannya. Namun, jawaban yang didapatnya membuatnya membeku.
Ketika Isabella membuka pintu kamar, ia disambut pemandangan yang merobek hatinya. Henrik dan Elise, sahabat yang baru saja mengkhianatinya, terbaring di ranjang tanpa sehelai benang. Mata Isabella membelalak, dan dunianya berputar sebelum dia bisa meresapi pemandangan yang baru saja ia temui. Harapan untuk mendapatkan kepastian di rumah Henrik hancur seketika oleh pemandangan yang tak terbayangkan.
Isabella tidak bisa menahan rasa marah dan kekecewaannya. “Elise, lagi-lagi kau?!”
Elise dan Henrik panik, segera berusaha mengenakan pakaian mereka dengan buru-buru. Isabella memerhatikan mereka dengan perasaan campur aduk, dia marah, tak habis pikir dan kecewa. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Kenapa dia harus mengalami banyak hal menyakitkan dalam waktu bersamaan?
Hendrik yang sudah mengenakan baju segera mendekati Isabella. “Kenapa kau tiba-tiba datang, Isabella?”
Isabella tanpa menahan emosi, menanggapi dengan sinis, “Kenapa tidak boleh? Apa kau merasa terganggu karena aku di sini? Atau kau masih ingin melanjutkan aktivitas romantismu dengan wanita itu?”
Henrik hanya terdiam tertunduk, merasa bersalah. Elise yang selesai berpakaian, hanya bisa duduk tertunduk di tepi ranjang. Isabella mendekatinya dengan penuh kemarahan, memandangnya tajam. “Kenapa, Elise? Mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau merampas segalanya dariku?”
Elise merespons dengan suara lirih, “Apa salahku mencintai Henrik? Apa hanya kau yang berhak mencintai?”
“Kau berhak mencintai siapa pun, Elise. Siapa pun yang bukan milik orang lain. Apa kau binatang yang bahkan tidak mengerti soal itu?” tanya Isabella tanpa bisa mengendalikan amarahnya. Detik itu terasa begitu lama seolah waktu berhenti berputar.
Elise tersenyum dengan angkuh, merasa yakin bahwa tindakannya benar. “Isabella, aku sudah lama mencintai Henrik. Hubungan kami sangat dekat sebelum kau muncul dalam kehidupan kami,” ujar Elise dengan nada yang dingin.
Isabella masih mencerna kata-kata itu, kemudian berkata, “Aku selalu mengira kau sahabatku, Elise. Aku masih tak mengerti kenapa kau selalu melakukan hal jahat padaku.”
Elise merespon dengan sinis, “Kau yang lebih dulu menyakiti perasaanku, Elise. Bukankah kau yang selalu berusaha menggoda dan menarik perhatian Henrik tanpa peduli perasaanku? Kau memang tak pernah peduli perasaanku terluka saat kau mesra dengan pria yang aku cintai,” ucap Elise. Isabella terdiam, tercekat.
“Aku hanya mengambil apa yang menjadi milikku,” lanjut Elise tanpa merasa bersalah.
Isabella berbalik, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Pandangannya beralih ke arah Henrik, yang sejak awal percakapan terus terdiam. Dengan mata penuh kecewa, Isabella bertanya, “Henrik, apakah ini benar? Sebenarnya kau juga sudah lama menyukai Elise?”
Henrik hanya mengangguk lemah, tanpa sepatah kata pun. Raut wajahnya terlihat bersalah. Isabella tidak dapat mempercayai bahwa sahabatnya dan kekasihnya telah bersekongkol melawan dirinya. Rasanya seperti kehidupannya runtuh dalam sekejap. Dia mencoba menahan air mata yang ingin keluar, tetapi rasa kecewanya tidak dapat disembunyikan.
“Kalian berdua... aku tak habis pikir,” ucap Isabella dengan suara serak. Air mata akhirnya mengalir tanpa bisa dia kendalikan. “Aku tidak pernah menyangka sahabat baikku dan pacarku akan melakukan ini padaku.”
Elise hanya tersenyum sinis sambil berkata, “Kau bisa saja berpura-pura tidak tahu, Isabella. Kami hanya memutuskan untuk tidak berbohong lagi.”
Isabella berusaha menahan air matanya, dia tidak ingin terlihat rapuh di depan Elise dan Henrik— dua orang yang telah mengkhianatinya. Isabella tak mengerti, mengapa orang terdekatnya justru bisa melakukan hal sekejam ini.
“Satu hal lagi yang ingin aku tanyakan padamu, Elise. Kenapa kau mengajukan naskahku atas namamu?”
Elise dengan tenang menjawab, “Hanya pelajaran untukmu, Isabella. Kau selalu mendapat apa yang kau inginkan, dan aku muak melihatnya.”
Wajah Isabella berubah menjadi geram, “Pelajaran? Kau menghancurkan mimpiku sebagai pelajaran? Apa yang membuatmu sekejam ini?”
Elise mengejek, “Mungkin sekarang kau bisa merasakan sedikit dari apa yang aku rasakan selama ini. Kau selalu menjadi pusat perhatian. Aku lelah jadi bayanganmu.”
Isabella yang merasa hancur oleh pengkhianatan sahabatnya, tidak dapat mengendalikan emosinya lagi. “Kau tak tahu seberapa sulit aku bekerja untuk mencapai ini, dan kau tega menghancurkannya! Bagaimana kau bisa, Elise?”
Elise hanya tersenyum sinis, “Kau tidak mengerti. Kau hanya peduli dengan dirimu sendiri. Aku lelah berada di bayang-bayangmu, Isabella. Sekarang, aku punya sesuatu yang benar-benar milikku.”
Isabella tak dapat menahan kemarahan, dan segera menampar wajah Elise dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, menciptakan momen hening yang tegang. Henrik yang melihat itu shock.
Elise menyentuh pipinya yang terkena tamparan, lalu menatap Isabella dengan dingin. “Sekarang, kau bisa melupakan semua yang pernah kita bagikan. Kita bukan sahabat lagi.”
“Sejak awal kau bukan sahabatku! Kau hanya serigala berbulu domba, berlagak baik hanya untuk menghancurkanku!” tegas Isabella
Isabella masih dikuasai oleh amarah, tanpa ampun menampar wajah Elise lagi. Tamparan itu begitu keras, membuat Elise tersungkur di lantai. Henrik makin bingung dengan situasi ini, ia segera menghampiri Elise dan berdiri di depannya. Ia menatap Isabella dengan tegas, menghadangnya yang hendak memukul Elise lagi. “Isabella, sudah cukup. Ini tidak akan menyelesaikan apa pun.”“Kau juga brengsek, Henrik. Berani sekali kalian berdua mempermainkanku,” umpat Isabella.Henrik mencoba menenangkan Isabella dengan memegangi lengannya. “Isabella, aku tahu aku bersalah. Aku juga terlibat dalam semua ini.”Isabella melepaskan diri dari cengkraman Henrik, “Jika kau memang suka pada Elise sejak dulu, harusnya kau berpacaran dengannya. Jangan melibatkan diriku dalam kebohongan kalian.”Henrik mengerti bahwa situasinya semakin rumit, mencoba menarik Isabella ke tempat yang lebih tenang. “Kita perlu bicara berdua.”Isabella meskipun masih penuh amarah, akhirnya mengikuti Henrik ke tempat lain. Meninggal
Isabella tiba di rumah sakit dan bergegas berlari menuju ruang emergency. Ketika pintu terbuka, ia melihat ibunya terbaring di tempat tidur dengan selang infus yang tersambung di tangannya.“Ibu!” Panggil Isabella dengan suara cemas, ia melihat Emilia sudah siuman meski masih terlihat sangat lemah. Seorang dokter berada di samping brankar, sedang memantau kondisi Emilia.Isabella panik dan buru-buru mendekati ibunya, “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa sampai pingsan?” Belum sempat Emilia menjawab, Isabella lebih dulu menoleh pada dokter laki-laki yang baru saja memeriksa ibunya. “Apa yang terjadi pada ibu saya?”Dokter itu tersenyum ramah, “Jangan khawatir, ibumu hanya terlalu lelah dan stres. Dia hanya butuh istirahat.”Isabella merasa lega mendengar jawaban dari dokter, meski hatinya tetap gelisah. Pasti masalah kehilangan rumah sewa membuat ibunya merasa tertekan. Isabella mencoba menenangkan Emilia, “Ibu, apa benar kau memang terlalu stres memikirkan masalah rumah sewa?”Emil
Lima tahun telah berlalu, dan Isabella berhasil bangkit dari keterpurukan. Dengan gigih dan tekad yang kuat, ia menjadi penulis terkenal dengan nama pena 'Dark Aurora'. Karya-karyanya bukan hanya sukses, tetapi juga selalu merajai tangga penjualan, menjadi best seller setiap kali diluncurkan. Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat menjadi film yang sukses di pasaran. Keberhasilan Isabella membuatnya menjadi pusat perhatian industri penerbitan. Kini, Isabella tidak pernah lagi mengajukan naskahnya ke penerbit. Sebaliknya, penerbit-penerbit besar yang selalu mengejar-ngejar Isabella agar bisa menerbitkan karyanya. Tawaran kontrak dan kerjasama dengan penerbit-penerbit ternama selalu menghampirinya. Isabella telah membuktikan bahwa meski pernah terpuruk dan dihantui masalah, keberhasilan adalah hasil dari ketekunan dan tekad yang kuat. Kini, namanya bersinar di dunia tulis-menulis, dan setiap karyanya dinanti-nantikan oleh para pembaca setianya. Isabella dan penerbitnya, bersama-sama
Ruangan itu dipenuhi ketegangan ketika Elena duduk di hadapan Gabriel dan Camilia, ayah dan ibunya. Suasana hening memenuhi ruangan sebelum Elena dengan berat hati menyampaikan niatnya. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada kalian berdua.”Gabriel dan Camilia saling bertukar pandang, merasakan bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah. Elena memandang kedua orangtuanya, memasang ekspresi serius.“Aku ingin pergi ke Jepang,” ucap Elena. Gabriel dan Camilia seolah tersentak mendengar pengakuan tersebut. Wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan.“Ke Jepang? Kenapa, Elena?” tanya Gabriel.“Aku ingin menemui Matsumoto, mantan kekasihku. Ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengannya.”Camilia dengan tegas menggelengkan kepalanya, “Jadi kau masih terus memikirkan pria itu? Kau sudah tahu betapa buruknya dia.”Gabriel menghela nafas panjang, kesal dengan keputusan putrinya. “Elena, dia pria berengsek yang telah menyakitimu. Mengapa kau masih ingin bertemu dengannya?”Kedua mata E
Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julia
Nathaniel yang sebenarnya merasa pusing akibat demamnya, jadi tidak begitu fokus dengan rapat kali ini. Pandangannya sayu, dan fokusnya terpecah antara suara-suara yang berbicara di ruangan itu.Andreas yang peka terhadap bawahannya, memperhatikan Nathaniel dengan wajah cemas. “Nate,” panggil Andreas, Nathaniel sontak menoleh pada atasannya. “Ya, Pak?”“Kau terlihat tidak sehat.”Nathaniel mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat dipaksakan. “Saya baik-baik saja, Pak.”Andreas tetap cemas. “Kau yakin? Kau terlihat pucat?”Nathaniel mengangguk dan berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam situasi genting seperti ini, Nathaniel lebih mencemaskan kondisi penerbit daripada kesehatannya sendiri.Bersamaan dengan itu, Clara Jansen memasuki ruang rapat dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak tegang, seolah memberi kode bahwa ia membawa kabar buruk. Dia duduk di samping Nathaniel, meliriknya sejenak sebelum memberikan laporan pada Andreas. “Saya minta maaf, Pak,” ucap Clara dengan nada l
“Aku bisa merasakan suhu tubuhmu sangat panas.” Isabella berniat menyentuh kening Nathaniel, tapi pria itu segera menepis tangan Isabella. “Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”“Baiklah, baiklah!” Isabella memutuskan untuk tidak berdebat. “Kalau begitu masuklah dulu, kita butuh waktu lebih banyak untuk bicara,” lanjutnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Jika itu soal masalah pribadi, sebaiknya aku pergi.” Nathaniel segera balik badan dan berjalan pergi. Isabella berusaha mengejar langkah cepat Nathaniel. “Nate, tunggu sebentar!”Nathaniel tidak menghiraukannya, tetap melangkah cepat. Isabella terus berusaha menyusul, mencoba menyalip agar bisa berada di depannya dan membuat langkah pemuda itu terhenti.“Selama ini kau sengaja menghindariku??” desis Isabella setelah berhasil menghadang Nathaniel.“Kau terlalu percaya diri. Kau pikir kau siapa, sampai aku repot-rep
“Pak, di sini ada banyak editor— kau bisa minta salah satu dari mereka untuk membantu Isabella. Jangan saya,” tegas Nathaniel keras kepala. Andreas kesal dengan sikap Nathaniel. “Nate, kau menantangku?” Isabella tidak ingin keadaan menjadi semakin rumit. Isabella yang takut jika Nathaniel sampai kehilangan pekerjaannya sekali lagi, buru-buru mencairkan suasana. “Mungkin kita bisa membahas masalah kerjasama nanti saja. Nate, ayo temani aku makan siang dulu. Aku lapar sekali.” Nathaniel tetap dengan sikap tegasnya, menolak, “Tidak, terima kasih.” Isabella tampak kecewa, tetapi Andreas yang tidak ingin batal kerjasama dengan Isabella segera menarik Nathaniel, memaksanya menuruti kemauan Isabella. “Nate, ini perintah! Cepat kau makan siang terlebih dalu bersama Isabella.” Nathaniel menatap Andreas dengan wajah lelah. “Pak—” “Aku tidak ingin mendengar apa pun, cepat temani Isabella makan siang.” Andreas mendorong Nathaniel mendekat pada Isabella. Isabella tersenyum penuh kemenangan, l