Share

BAB 3

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-03-18 16:41:27

Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat.  

‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas.  

Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya.  

Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu.  

‘Leonardo…’  

Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya.  

Saat berada di dalam taxi, ia tersadar saat melihat baliho yang ada di pinggir jalan. Di sana ada wajah pria yang menghabiskan malam bersamanya. Nadine bahkan tanpa sadar memaki keras.

"Cewek Murahan!" makinya pada diri sendiri saat berada di dalam taxi. Supir taxi meliriknya dengan takut. Bibir pria itu bahkan terkatup rapat, apalagi penampilan Nadine yang berantakan membuat sang supir menganggapnya sebagai orang gila!

Sadar masih mengenakan gaun dari semalam, Nadine bangkit dan meraih pakaian bersih dari lemari kecil di sudut kamar. Ia melangkah ke kamar mandi sempit, mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang membuatnya sedikit lebih segar. Begitu selesai, ia mengenakan pakaian kerjanya. Kemeja putih sederhana dan rok panjang berwarna cokelat. Rambut panjangnya hanya ia ikat asal tanpa banyak usaha.  

Di depan cermin retak yang menggantung di dinding, ia menatap pantulan dirinya sendiri. Wajahnya pucat, kantung matanya sedikit membengkak.  

“Tidak ada yang peduli dengan penampilanku,” gumamnya pelan sebelum akhirnya bergegas keluar kamar.  

Sebelum berangkat, ia melirik ke ruang tengah, mencari keberadaan Ny. Clara. Namun, perempuan itu tidak ada. Biasanya di pagi hari, wanita paruh baya itu akan duduk di depan TV sambil merokok dan menyesap kopi murahnya.  

‘Mungkin dia pergi ke rumah temannya untuk bergosip atau mencari pinjaman lagi,’ pikir Nadine dengan getir.  

Ia menghela napas dan mengabaikan kekhawatirannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sedikit. Jika ia tidak segera berangkat, ia bisa terlambat.  

Tanpa sarapan, ia menyambar tas dan berjalan keluar, meninggalkan kontrakan kumuh yang sudah lama tidak terasa seperti rumah baginya.  

Pekerjaannya di perpustakaan universitas adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa sedikit lebih tenang. Di antara buku-buku, ketenangan, dan dunia yang jauh dari kebisingan hidupnya. 

Siang itu, Nadine sibuk menyusun katalog buku baru yang baru saja datang dari penerbit. Perpustakaan tempatnya bekerja selalu sunyi di jam-jam ini, hanya diisi oleh segelintir mahasiswa yang fokus pada buku mereka.

Ia duduk di balik meja pustakawan, jari-jarinya dengan cekatan mengetik data buku ke dalam sistem. Tak ada yang mengganggunya, tak ada yang berbicara padanya. Semuanya seperti biasa. Tenang.

Namun, ketenangan itu hanya bertahan sampai suara berat dan tajam menggema di ruangan.

“NADINE!”

Jari-jari Nadine langsung berhenti mengetik. Suara itu...

Ia mendongak dan mendapati sosok pria tinggi dengan jas mahal berdiri di ambang pintu perpustakaan. Mata elang itu membakar dengan kemarahan yang jelas. Rahang pria itu mengatup kuat, ekspresi dinginnya cukup untuk membuat orang-orang di sekitar mereka menundukkan kepala, enggan ikut campur.

Adrian Hartanto.

Nadine merasakan tubuhnya menegang. Hatinya mencelos melihat ekspresi penuh amarah di wajah pria yang dulu ia cintai dengan segenap hati.

Tanpa memperdulikan tatapan mahasiswa yang kini berbisik-bisik, Adrian melangkah cepat ke arahnya. Tangannya menghantam meja pustakawan dengan keras, membuat beberapa buku di atasnya bergetar.

“Apa-apaan kamu, Nadine?! Apa yang sudah kamu lakukan?!” bentaknya, suaranya terdengar dingin namun mengandung bara kemarahan.

Nadine mengerjapkan mata, masih terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Ia bahkan tidak bisa mengerti apa maksud ucapan pria itu.

“Aku… aku tidak mengerti, Adrian.”

“Jangan pura-pura bodoh!” suara Adrian makin tinggi. “Aku sudah cukup bersabar denganmu, Nadine! Apa kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu semalam?!”

Mata Nadine melebar. Seketika, napasnya tercekat.

Adrian tahu? Tapi… bagaimana?

“Kamu bahkan tidak punya rasa malu setelah yang kamu lakukan, hah?” lanjut Adrian, nadanya merendahkan. “Setelah selama ini aku bersabar menunggumu, menjaga kesucianmu seperti yang kau inginkan, kamu malah tidur dengan pria lain begitu saja?! Dengan siapa kamu menghabiskan malam itu, Nadine?!”

Sekali lagi, perpustakaan jatuh dalam keheningan. Beberapa mahasiswa yang sedang membaca kini mencuri pandang dengan ekspresi terkejut.

Darah Nadine berdesir. Hatinya mencelos begitu dalam.

Ia ingin berbicara, ingin membela diri, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Apakah Adrian benar-benar berpikir bahwa ia wanita murahan yang bisa tidur dengan siapa saja?

Matanya memanas. Ia mengatupkan jemarinya erat-erat di atas meja, berusaha mengendalikan emosinya.

“Jadi, selama ini kamu memperlakukanku seperti boneka, tapi saat aku membuat satu kesalahan, kamu mendatangiku dan memaki seperti ini?” suara Nadine bergetar, tapi matanya tajam.

Adrian mendengus, ekspresinya penuh penghinaan. “Aku tidak peduli apa alasanmu. Aku hanya tidak menyangka kamu akan sehina ini.”

Kalimat itu bagaikan pisau yang menusuk dada Nadine.

Tangannya mengepal di bawah meja. Ia ingin menangis, tapi tidak di hadapan pria ini. Tidak di hadapan Adrian Hartanto yang hanya memanfaatkan perasaannya selama tiga tahun terakhir.

Dengan sisa keberanian yang ia miliki, ia menatap lurus ke mata Adrian. "Terus, apa pedulimu? Bukannya kamu sudah memilih Evelyn?"

Kali ini, ekspresi Adrian berubah sejenak. Ada sesuatu yang melintas di matanya, entah itu keterkejutan atau kemarahan. Namun, detik berikutnya, ia kembali menatapnya dengan dingin.

"Jangan samakan Evelyn dengan dirimu."

Itu adalah pukulan terakhir.

Dada Nadine terasa sesak. Ia menahan air matanya dengan sekuat tenaga, tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria ini lagi.

“Kalau begitu, tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Keluar dari perpustakaan ini, Adrian.” ucapnya lirih, tapi tegas.

Adrian masih menatapnya, seolah ingin mengulangi kata-katanya, tapi akhirnya ia hanya mendengkus dan berbalik. Tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan Nadine yang kini berdiri kaku di tempatnya.

Begitu pintu perpustakaan tertutup, Nadine merosot di kursinya. Tangan gemetar, hati hancur, tapi ia tetap menegakkan kepala.

Ia tidak akan menangis.

Tidak untuk Adrian. Tidak lagi!

Kedatangan mantan Adrian seperti melemparkan tai ke wajahnya. Nadine memutuskan untuk menutup perpustakaan tepat waktu. Biasanya wanita itu akan menambah jam buka agar beberapa mahasiswa menyelesaikan keperluan mereka. Namun, hari ini tidak. Dia sudah dibuat malu, dan jelas gosip langsung menyebar di antara penghuni kampus.

Nadine berjalan menyusuri gang sempit yang remang-remang. Lampu jalan yang berkedip-kedip seakan mencerminkan hatinya yang rapuh. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus dipenuhi kejadian di perpustakaan tadi siang. Kata-kata Adrian masih menggema di telinganya, menikam harga dirinya tanpa ampun.

Saat tiba di depan pintu kontrakan, Nadine menghela napas panjang. Ia merogoh tasnya, mencari kunci, lalu membukanya dengan lelah. Pintu kayu tua itu berderit pelan saat ia mendorongnya masuk.

Keadaan di dalam gelap dan sunyi.

Bibi Clara masih belum pulang.

Nadine memijat keningnya, lalu meraba sakelar di dinding. Lampu redup menerangi ruangan kecil yang ia sebut ‘rumah’. Dapur mungil di pojok kanan masih sama berantakannya seperti pagi tadi. Piring kotor di wastafel menumpuk, sisa makanan yang tidak disentuh dibiarkan begitu saja di atas meja makan reyot.

Hatinya sedikit mengeras. Ia sudah terbiasa.

Sejak kecil, Bibi Clara tak pernah benar-benar mengurusnya dengan penuh kasih sayang. Wanita itu lebih sering menghilang, entah sibuk di luar atau malah menghabiskan uang untuk kesenangan pribadinya. Bibi Clara memang memberinya tempat tinggal, tapi tidak lebih dari itu.

Nadine melepaskan sepatu dan meletakkan tasnya di atas meja kayu tua di sudut ruangan. Dengan langkah lelah, ia berjalan ke kamar sempitnya. Kasur tipis dengan seprai lusuh menyambutnya.

Begitu tubuhnya jatuh ke atas kasur, ia menatap langit-langit dengan mata kosong.

“Kenapa semuanya jadi seperti ini?” gumamnya pelan.

Ia ingin menangis, tapi air matanya seakan sudah habis.

Lima tahun. Lima tahun ia menunggu Adrian, percaya pada semua janji-janji yang akhirnya hanya omong kosong. Ia menyerahkan seluruh hatinya, tapi pria itu justru melamar wanita lain di hadapannya. Dan sekarang, setelah satu malam yang bahkan tidak bisa ia ingat dengan jelas, Adrian datang untuk menghakiminya seolah ia yang telah menghancurkan segalanya.

“Sial…” Nadine mengusap wajahnya dengan kasar.

Tubuhnya lelah, pikirannya kalut. Namun, di balik semua kelelahan itu, ada kemarahan yang perlahan tumbuh di hatinya.

Mungkin sudah waktunya berhenti berharap.

Berhenti menjadi Nadine yang dulu.

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Nadine bangkit dari kasur, berjalan ke kamar mandi, dan mencuci wajahnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita dengan mata sembab dan wajah pucat itu bukanlah Nadine Prameswari yang ia kenal.

“Mulai besok, semuanya akan berubah.” bisiknya pada diri sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 4

    Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut

    Last Updated : 2025-03-18
  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 5

    Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida

    Last Updated : 2025-04-08
  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 1

    Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama

    Last Updated : 2025-03-18
  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 2

    Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed

    Last Updated : 2025-03-18

Latest chapter

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 5

    Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 4

    Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 3

    Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 2

    Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 1

    Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status