Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.
Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.
Dan itu berarti…
Dia tidak sendirian!
Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.
Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.
“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.
Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sedang dalam pengaruh alkohol, tapi bukan berarti ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan.
“Kau yakin?” tanya Leonardo, suaranya rendah dan dalam.
Nadine mengangguk. Matanya menatap pria itu dengan penuh tekad. Ia tak butuh perasaan malam ini. Ia hanya butuh seseorang untuk membuatnya lupa akan pengkhianatan yang baru saja ia alami.
Tanpa menunggu jawaban, ia mencondongkan tubuhnya, jemarinya menelusuri rahang tajam pria di hadapannya. Hawa panas tubuhnya bertemu dengan kesejukan pria itu, menciptakan kontras yang semakin menggila di kepalanya.
Leonardo tetap diam, membiarkan wanita di hadapannya mengambil kendali. Sudut bibirnya terangkat samar. Ini menarik, sangat menarik.
Nadine mendorongnya ke sandaran sofa, mendekat hingga napas mereka hampir bertaut. “Aku tak mau sendiri malam ini,” desisnya.
Tatapan Leonardo semakin gelap. Ia bukan pria yang mudah tunduk pada rayuan, tapi wanita ini…
Dengan satu gerakan cepat, ia membalik keadaan. Kini Nadine yang terjebak di antara lengannya, punggungnya menyentuh sandaran sofa, dan Leonardo menatapnya dari atas.
“Kamu bermain dengan api, Sayang.”
Nadine menelan ludah. Untuk sesaat, kesadarannya berusaha menyelinap masuk, memperingatkannya bahwa pria ini bukan orang biasa. Ada sesuatu dalam tatapan dan sikapnya yang terasa… berbahaya.
Namun, apakah ia peduli?
Tidak. Mengingat bagaimana kejinya Adrian dan Evelyn mengkhianatinya, hati Nadine tak terima kalau dia terus-terusan terpuruk.
Malam ini, ia hanya ingin terbakar.
Leonardo menatap Nadine yang masih terjebak di bawah cengkeramannya. Ada ketegangan yang berputar di antara mereka, seperti perang dingin yang siap meledak kapan saja. Nadine merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, entah karena keberanian atau justru ketakutan yang samar.
“Terlalu cepat menyerah?” tanya Leonardo dengan nada mengejek.
Nadine mengangkat dagunya, menolak terlihat lemah di hadapan pria ini. "Siapa bilang aku menyerah?"
Leonardo tersenyum kecil, hampir seperti seringai. "Menarik."
Dalam sekejap, Leonardo melepaskan cengkeramannya, memberi Nadine ruang untuk bangkit. Namun, bukan Nadine namanya jika ia mundur setelah memulai sesuatu. Ia meraih kerah kemeja Leonardo, menarik pria itu mendekat, dan berbisik tepat di telinganya.
“Aku tidak pernah mundur.”
Leonardo menahan napas sejenak. Wanita ini benar-benar berani. Ada sedikit kekaguman yang menyelinap dalam pikirannya, tapi lebih dari itu, ada rasa penasaran yang makin membara.
“Kamu bahkan tidak tahu siapa aku,” kata Leonardo sambil memperhatikan ekspresi Nadine.
“Aku tidak peduli,” jawab Nadine tanpa ragu. "Aku hanya ingin melupakan semuanya."
Mata Leonardo menyipit. Wanita ini jelas hancur, dan mungkin jika ia adalah pria baik-baik, ia akan menjauh dan membiarkan Nadine pulang ke kamarnya sendiri. Tapi ia bukan pria baik-baik.
Ia tidak pernah menjadi pria baik.
“Kalau begitu, biarkan aku membantumu,” ucapnya, suaranya terdengar seperti racun yang manis.
~
Pagi harinya, sinar matahari menembus jendela kamar hotel yang luas. Nadine mengerang pelan, merasa kepalanya berat dan pikirannya kosong. Ia menggeliat, lalu merasakan sesuatu yang aneh.
Tempat tidur ini… terasa asing.
Matanya terbuka perlahan, dan saat kesadarannya pulih, napasnya tercekat. Ia tidak sendirian di ranjang ini.
Di sebelahnya, seorang pria berbaring dengan mata tertutup, napasnya teratur.
Nadine membeku. Ia melihat dirinya sendiri yang hanya terbungkus selimut, dan saat itulah kepanikan melandanya. Apa yang telah ia lakukan?
Memori semalam kembali dalam kilasan. Bar. Alkohol. Rasa sakit. Keputusan nekat. Dan pria ini…
“Ya Tuhan…” Nadine menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia ingin menghilang saat itu juga.
Napas Nadine memburu saat pikirannya berusaha mengingat setiap detail kejadian semalam. Ia menoleh perlahan ke samping, memastikan sesuatu yang membuat dadanya semakin sesak.
'Rasanya dia sangat familiar,' batin Nadine saat melihat sosok di sampingnya.
Pria itu masih tertidur, wajahnya terlihat begitu tenang dalam tidur, seolah malam sebelumnya bukan apa-apa baginya. Kontras dengan Nadine yang kini dicekam kepanikan.
"Aku harus pergi," gumamnya pelan.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak boleh berlama-lama di sini. Ia harus keluar sebelum pria itu terbangun dan segalanya menjadi lebih canggung. Dengan gerakan hati-hati, ia menarik selimut, memastikan dirinya tertutup sepenuhnya, lalu turun dari tempat tidur.
"Aduh! Sakit banget!" ringisnya menyadari kewanitaannya terasa nyeri. Matanya terasa memanas menahan rasa sakit yang tak terbanyangkan ini.
"Tahan, Nadine," ujarnya menyemangati diri sendiri.
Lantai dingin menyentuh telapak kakinya, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia buru-buru meraih pakaiannya yang tercecer di lantai. Dengan tangan gemetar, ia mengenakan gaunnya kembali, mengabaikan rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang masih kusut akibat tidur tak nyenyak.
Satu-satunya hal yang ada di kepalanya saat ini hanyalah pergi.
Mata Nadine melirik ke arah Leonardo. Masih tertidur. Ia menahan napas, lalu berjinjit menuju pintu, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Jemarinya dengan cepat meraih gagang pintu, dan membukanya selembut mungkin.
"Semoga dia masih tidur," bisiknya pada diri sendiri kala menutup pintu perlahan.
"Segini saja. Kalau aku menutupnya dengan rapat bisa-bisa dia terbangun."
Nadine berjalan cepat melewati lorong hotel, jantungnya berdegup kencang. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, seakan-akan kapan saja pria itu bisa muncul dari balik pintu dan menyeretnya kembali.
'Tidak boleh ketahuan…' batinnya panik.
Begitu keluar dari lift di lantai lobi, ia menundukkan kepala, berharap tidak menarik perhatian siapa pun. Namun, harapannya pupus ketika seorang staf hotel menyapanya dengan senyum ramah.
“Selamat pagi, Nona. Apakah Anda menikmati malam Anda?”
Langkah Nadine terhenti sejenak. Dadanya terasa sesak saat ia mencoba menyusun ekspresi tenang, meskipun dalam kepalanya, alarm berbunyi keras.
“A-aku…” Ia menelan ludah, lalu tersenyum tipis. “Iya, terima kasih.”
Staf itu mengangguk sopan, tapi Nadine bisa merasakan tatapan pria itu seolah menilainya. Ia buru-buru menunduk dan melangkah lebih cepat.
Sinar matahari semakin tinggi ketika Leonardo menggeliat pelan di tempat tidur. Tangan besarnya bergerak ke samping, meraba tempat yang seharusnya masih hangat oleh tubuh wanita yang bersamanya semalam.
Dingin.
Alisnya mengernyit. Perlahan, matanya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk dari jendela. Kosong. Tempat tidur di sampingnya sudah tak berpenghuni.
Leonardo bangkit dengan gerakan lambat, menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat tidur. Matanya menyapu kamar dengan tatapan tajam, mencari tanda-tanda keberadaan wanita itu. Namun, hanya sisa aroma samar parfumnya yang masih tertinggal di udara.
Nadine sudah pergi.
Sejenak, Leonardo terdiam, tetapi kemudian sudut bibirnya tertarik ke atas dalam seringai yang tak sepenuhnya ramah.
"Berani sekali," gumamnya, nada suaranya terdengar rendah dan berbahaya.
Ia tidak menyangka wanita itu akan pergi begitu saja. Biasanya, setelah malam seperti ini, wanita-wanita akan terbangun dengan penuh harapan, menunggu sentuhan keduanya, atau setidaknya mencoba menggoda lagi. Tapi Nadine? Wanita itu bahkan tidak meninggalkan jejak sedikit pun, seperti bayangan yang menghilang tanpa jejak.
Ketidaksabarannya mulai tumbuh. Leonardo bukan tipe pria yang suka ditinggalkan. Apalagi, oleh seorang wanita yang berhasil menarik perhatiannya hanya dalam satu malam.
Dengan gerakan kasar, ia menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur. Langkahnya lebar menuju meja kecil di dekat tempat tidur, meraih ponselnya. Jemarinya dengan cepat mengetik sesuatu sebelum menempelkan ponsel ke telinganya.
“Cari wanita yang bersamaku tadi malam,” perintahnya dingin.
Suara di seberang telepon terdengar sedikit terkejut, tetapi tidak berani menentangnya. "Siapa namanya?"
Leonardo menyeringai kecil, matanya menatap kosong ke luar jendela. "Sayangnya, aku belum sempat bertanya."
Diam sejenak, sebelum ia melanjutkan, suaranya terdengar semakin tajam.
"Cari informasi apapun tentang wanita itu. Dan aku ingin tahu sekarang!"
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama