Nadine berlarian keluar dari gang sempit di belakang kontrakannya. gaun navy ia cincing menghindar kubangan air.
Ia menghentikan ojek online dan naik tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan, “Grand Aurelia Hotel, secepatnya, Mas.” Sepanjang perjalanan, Nadine diam. Tangan kanannya memeluk tas kecil yang berisi kotak kalung, hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Hati wanita itu kacau. Sekujur tubuhnya berkeringat, entah karena gugup, hangover, atau udara yang memang panas pengap. Baru lima belas menit perjalanan, motor yang ia tumpangi berhenti mendadak. “Waduh, Maaf, Kak. Kayaknya bannya kempes,” ujar sang driver sambil menoleh khawatir. Nadine mendongak cepat, panik. “Tapi aku harus sampai sekarang juga! Ada pernikahan…” “Saya ganti ban dulu, paling cepat setengah jam. Atau Mbak mau ganti kendaraan?” Nadine memutar kepala, mencari kendaraan lain. Tapi jalanan macet dan padat. Tak satu pun taksi lewat. Ojek online lain juga sulit ditemukan karena sinyal di gang tersebut lemah. Ia mencoba membuka aplikasinya, tapi ponselnya lag—baterai 8%, dan cuaca membuat jaringan semakin parah. Waktu seolah melawan. Matanya berkaca-kaca. “Astaga jangan sekarang,” bisiknya. Ia memutuskan turun dan berjalan kaki ke jalan besar. Tumit sepatunya, satu-satunya yang masih tampak “pantas”, terus terperosok ke trotoar berlubang. Gaun lusuhnya tersibak oleh angin, dan membuat orang-orang melirik aneh. Belum sampai lima langkah, BRUK! Tubuh Nadine terhuyung. Seorang pengendara sepeda listrik yang melaju terlalu cepat menabraknya dari samping. Tubuhnya jatuh ke aspal panas. Tangannya tergores, lututnya berdarah. “Maaf, Mbak! Nggak sengaja!” ucap pengendara panik, lalu pergi begitu saja, tanpa membantu. Nadine terduduk di pinggir trotoar. Gaun lusuh itu kini robek sedikit di bagian bawah. Debu dan noda jalanan menempel. Tangannya gemetar saat mengambil kembali kotak kalung yang nyaris terlempar. Orang-orang lewat begitu saja. Tak satu pun berhenti. Air matanya mengalir. Ia ingin menyerah. Namun, hatinya menolak. “Aku harus datang. Sekalipun hanya untuk menyerahkan ini…” Dengan tertatih, Nadine kembali berdiri. Ia menghentikan taksi tua yang lewat. Supirnya menatapnya ragu-ragu melihat tampilan Nadine yang acak-acakan. Tapi Nadine membuka dompet kecilnya dan mengulurkan selembar uang terakhir yang ia punya. “Ke Grand Aurelia, Pak. Tolong…” Supir itu akhirnya mengangguk. Mobil taksi tua itu berhenti di pelataran megah Grand Aurelia Hotel. Lantai marmer mengilap, air mancur menari di tengah taman bundar, dan deretan mobil mewah terparkir rapi, memantulkan kemilau langit senja yang mulai merona. Nadine turun perlahan. Langkahnya tertatih. Tumit sepatunya nyaris patah. Ujung gaunnya kotor oleh tanah dan sobek di satu sisi. Luka di lututnya sudah mengering tapi masih perih saat digerakkan. Tangan kanannya menggenggam erat kotak kecil berisi kalung dan undangan. Sementara rambutnya yang tadinya dikuncir rapi, kini berantakan, terurai ditiup angin. Ia menatap hotel megah itu dengan napas berat. “Ya Tuhan. Kuatkan aku,” gumamnya lirih. Begitu masuk ke lobi, hawa dingin AC menyambut tubuhnya yang masih hangat oleh peluh dan luka. Musik klasik mengalun lembut dari grand piano di sudut ruangan. Para tamu dalam balutan gaun rancangan desainer ternama dan setelan jas mahal mondar-mandir di depan matanya. Mereka semua terlihat sempurna. Dan Nadine… terlihat seperti noda di atas kain putih. Beberapa tamu melirik heran. Seorang wanita muda bahkan menahan napas dan berbisik pada temannya, “Dia siapa? Kenapa kayak gitu?” Nadine pura-pura tidak mendengar. Ia melangkah mantap menuju meja informasi. “Permisi…” suaranya lirih. “Ballroom Evelyn & Adrian?” Resepsionis wanita itu sempat memandang Nadine dari atas ke bawah, lalu tersenyum tipis. “Lantai 3, Ballroom Aurelia. Tapi… ehm, acara inti sudah selesai sejak siang, Bu.” Wajah Nadine menegang. “Sudah… selesai?” “Iya. Sekarang sesi makan malam dan dansa. Tapi... kalau Ibu masih ingin naik, silakan. Lift di sebelah kanan.” Nadine tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan dan berjalan ke arah lift. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah setiap detik adalah pengingat bahwa ia sudah terlambat… seperti biasa. Di dalam lift, ia berdiri sendiri. Lampu emas menyinari wajahnya dari atas, memantulkan bayangan luka dan air mata yang ia tahan mati-matian. Saat pintu lift terbuka di lantai 3, suara tawa, musik jazz, dan denting gelas menyambut telinganya. Ballroom megah itu penuh cahaya dan kemewahan. Langit-langit dihiasi kristal. Taplak-taplak putih tertata sempurna di meja bundar. Para tamu tertawa, berdansa, mencicipi canape eksklusif dan sampanye impor. Di tengah ruangan, Evelyn dan Adrian berdiri berdampingan. Evelyn terlihat memukau dalam gaun pengantin putih gading yang mewah, sementara Adrian tampak gagah dalam tuksedo hitam dengan dasi kupu-kupu perak. Mereka adalah pasangan sempurna. Sebuah lukisan hidup. Sampai... Nadine melangkah masuk. Langkahnya pelan. Tapi cukup mencuri perhatian. Semua mata menoleh ke arahnya. Terdiam. Ada yang terkejut. Ada yang mencibir. Ada yang tertawa sinis menutup mulut. Seorang tamu pria bahkan berbisik, “Siapa itu? Gelandangan nyasar?” Nadine tak memedulikan sorot mata tajam yang menyayat. Ia melangkah mantap meski lututnya gemetar. Pandangannya cepat menyapu ruangan, mencari sudut yang paling jauh dari pusat perhatian—dan ia menemukannya. Sebuah meja kecil di pojok ruangan, nyaris tersembunyi di balik pilar marmer dan pot besar berisi bunga lili putih. Tempat itu tidak terang, bahkan agak temaram karena lampu gantung tidak menjangkau sepenuhnya ke sana. Hanya ada satu kursi yang kosong. Dan itulah tempat yang Nadine pilih. "Syukurlah ada tempat yang layak untukku," syukur wanita itu. Ia berjalan ke arah sana, perlahan, seolah menyusuri mimpi buruk yang tak kunjung usai. Gaunnya menyeret lantai, menimbulkan suara gesekan halus. Ia menarik kursi dengan hati-hati, lalu duduk. Napasnya terengah. Pundaknya lelah. Dari sudut itu, ia bisa melihat semua. Evelyn yang tertawa sambil menggenggam tangan Adrian. Para tamu yang bercanda sambil mengangkat gelas anggur. Musik lembut yang kembali mengalun, seolah tak pernah ada gangguan. Pelayan yang berdiri di dekat buffet sempat meliriknya ragu. Tapi ketika Nadine hanya diam, menunduk, dan tidak membuat keributan, pelayan itu akhirnya menghampiri dengan piring kosong. “Mau saya ambilkan makanan, Bu?” tanyanya sopan, meski sorot matanya menyiratkan kebingungan. Nadine mengangguk pelan. “Apa saja… asal halal.” Tak lama kemudian, satu piring berisi potongan salmon panggang, mashed potato, salad segar, dan seiris kecil quiche diletakkan di hadapannya. Gelas berisi air mineral dingin menyusul. "Astaga. Makanan di sini sangat mewah. Bahkan dua hari ini aku harus mengais sampah untuk mengganjal perut." Nadine menatap makanan itu dengan hampa. Perutnya lapar, tapi hatinya terlalu perih. Lalu perlahan dengan tangan gemetar, ia menyendokkan sedikit mashed potato. "Bagaimana rasa makanan mahal ini?" batinnya terenyuh. Aroma sudah menggelitik hidungnya. Indera penciuman sudah menstimulus kalau makanan itu enak. Suapan pertama bahkan belum sempat sampai ke mulut Nadine, ketika suara hak sepatu stiletto bergema menembus musik dan riuh rendah ballroom. Langkah cepat dan penuh determinasi itu datang mendekat, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan meja Nadine. "Aku nggak percaya…" suara itu dingin, datar, tapi cukup keras untuk membuat meja-meja terdekat mulai terdiam dan melirik. "Nadine?" Nadine mendongak. Matanya melebar, menatap orang tersebut. Evelyn berdiri di sana. Anggun dan tak bercela dalam gaun pengantin dengan ekor renda yang menjuntai, rambut disanggul elegan, riasan sempurna. Namun, mata Evelyn menatapnya seperti melihat sesuatu yang menjijikkan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut Evelyn dengan nada yang lebih tajam. “Kamu nggak diundang.”Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Adrian calon pengantin pria sedang berdiri membelakangi pintu. Dia berada di kamar suite hotel Gran Aurelia. Kamar yang berada di lantai atas memamerkan gemerlapnya kota Jakarta. Di tengah keheningan itu, ponselnya menyala.Tak lama, suara pelan terdengar dari earpiece-nya.“Kami sudah menyelidiki rekaman CCTV hotel. Semua wajah terdata, tapi ada pria yang tidak terdeteksi wajahnya. Entah karena angle kamera atau seseorang menghapusnya dari sistem.”Rahang Adrian mengencang. “Jadi, sampai sekarang kalian belum tahu siapa bajingan itu?”“Maaf, Pak. Dia seperti orang penting. Kami duga dia sudah profesional.”Adrian mengumpat pelan. Tangannya mengepal hampir meremukkan ponsel.“Aku ingin tahu dia siapa. Terus habisi siapapun dia! Aku tidak mau ada yang mengotori milikku.” Urat pelipis Adrian menegang, ia teringah dengan laporan Nadine- kekasihnya menghabiskan malam dengan pria lain. Hatinya tidak rela! “Siap, Pak. Kami akan telusuri lagi malam ini.”Belum sempat ia menutup panggilan, s
Nadine berlarian keluar dari gang sempit di belakang kontrakannya. gaun navy ia cincing menghindar kubangan air.Ia menghentikan ojek online dan naik tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan, “Grand Aurelia Hotel, secepatnya, Mas.”Sepanjang perjalanan, Nadine diam. Tangan kanannya memeluk tas kecil yang berisi kotak kalung, hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Hati wanita itu kacau. Sekujur tubuhnya berkeringat, entah karena gugup, hangover, atau udara yang memang panas pengap.Baru lima belas menit perjalanan, motor yang ia tumpangi berhenti mendadak.“Waduh, Maaf, Kak. Kayaknya bannya kempes,” ujar sang driver sambil menoleh khawatir.Nadine mendongak cepat, panik. “Tapi aku harus sampai sekarang juga! Ada pernikahan…”“Saya ganti ban dulu, paling cepat setengah jam. Atau Mbak mau ganti kendaraan?”Nadine memutar kepala, mencari kendaraan lain. Tapi jalanan macet dan padat. Tak satu pun taksi lewat. Ojek online lain juga sulit ditemukan karena sinyal di gang tersebut lemah. Ia me
Adrian calon pengantin pria sedang berdiri membelakangi pintu. Dia berada di kamar suite hotel Gran Aurelia. Kamar yang berada di lantai atas memamerkan gemerlapnya kota Jakarta. Di tengah keheningan itu, ponselnya menyala.Tak lama, suara pelan terdengar dari earpiece-nya.“Kami sudah menyelidiki rekaman CCTV hotel. Semua wajah terdata, tapi ada pria yang tidak terdeteksi wajahnya. Entah karena angle kamera atau seseorang menghapusnya dari sistem.”Rahang Adrian mengencang. “Jadi, sampai sekarang kalian belum tahu siapa bajingan itu?”“Maaf, Pak. Dia seperti orang penting. Kami duga dia sudah profesional.”Adrian mengumpat pelan. Tangannya mengepal hampir meremukkan ponsel.“Aku ingin tahu dia siapa. Terus habisi siapapun dia! Aku tidak mau ada yang mengotori milikku.” Urat pelipis Adrian menegang, ia teringah dengan laporan Nadine- kekasihnya menghabiskan malam dengan pria lain. Hatinya tidak rela! “Siap, Pak. Kami akan telusuri lagi malam ini.”Belum sempat ia menutup panggilan, s
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama