Adrian calon pengantin pria sedang berdiri membelakangi pintu. Dia berada di kamar suite hotel Gran Aurelia. Kamar yang berada di lantai atas memamerkan gemerlapnya kota Jakarta. Di tengah keheningan itu, ponselnya menyala.
Tak lama, suara pelan terdengar dari earpiece-nya.
“Kami sudah menyelidiki rekaman CCTV hotel. Semua wajah terdata, tapi ada pria yang tidak terdeteksi wajahnya. Entah karena angle kamera atau seseorang menghapusnya dari sistem.”
Rahang Adrian mengencang. “Jadi, sampai sekarang kalian belum tahu siapa bajingan itu?”
“Maaf, Pak. Dia seperti orang penting. Kami duga dia sudah profesional.”
Adrian mengumpat pelan. Tangannya mengepal hampir meremukkan ponsel.
“Aku ingin tahu dia siapa. Terus habisi siapapun dia! Aku tidak mau ada yang mengotori milikku.” Urat pelipis Adrian menegang, ia teringah dengan laporan Nadine- kekasihnya menghabiskan malam dengan pria lain. Hatinya tidak rela!
“Siap, Pak. Kami akan telusuri lagi malam ini.”
Belum sempat ia menutup panggilan, suara centil terdengar dari balik pintu balkon.
“Sayang?”
Evelyn melangkah keluar memakai gaun tidur satin tipis berwarna merah marun. Kakinya telanjang, langkahnya ringan mendekati Adrian dari belakang.
Dengan manja, ia menyentuhkan jemarinya ke bahu pria itu.“Kamu tegang sekali. Bukankah besok pagi kita menikah?” bisiknya menggoda. “Kamu seharusnya bersantai, bukan malah sembunyi-sembunyi menelpon di balkon.”
Adrian langsung menyimpan ponsel ke saku celana, memasang wajah datar.“Hanya urusan kantor.”
Evelyn mencibir, lalu berdiri di hadapannya. Matanya menyipit nakal.“Hmm... kantor atau mantan pacarmu yang kutu buku itu?”
Tatapan Adrian menusuk, tapi ia tak menjawab.
Evelyn mendekat, mengusap dadanya perlahan.“Kamu tahu, tidak ada pria yang ingin istrinya uring-uringan di hari pernikahan. Jadi mulai besok, lupakan semua drama masa lalu, ya?”
Ia mengecup bibir Adrian singkat lalu tersenyum. “Aku ingin kamu fokus hanya padaku.” Tangan wanita itu membelai lembut dada suaminya.
Evelyn berbalik dan melangkah masuk, meninggalkan aroma mawar.
Adrian menatap punggungnya sekilas, lalu kembali memandang ke arah kota.
Wajahnya gelap. Penuh amarah.
Dalam hatinya berkata, 'Nadine hanya milikku seorang. Siapapun yang menyentuhnya, aku akan menghabisinya! Siapa pun pria itu... akan kubuat menyesal pernah menyentuh Nadine."Nadine yang ada di kontrakan kumuh meringkuk lega setelah menerima bingkisan dari Evelyn. Dalam bingkisan undangan itu ada sekotak coklat La Madeline au Truffe, wine, lilin aroma teraphy, biskuit parfum dan make up doir . Rasa syukur langsung terucap dari mulutnya.
"Mewah banget," ujarnya takjub.
Ia menatap undangan beraksen rosegold dengan nanar. Jemarinya menyentuh setiap lekukan emboss nama “Evelyn & Adrian” yang tercetak anggun dengan tinta emas mengilat. Di pojok kanan bawah, terpampang tanggal dan lokasi pernikahan: Grand Aurelia Ballroom, 10.00 WIB.
Wajah Nadine memucat.
"Adrian…"
Hati kecilnya bergemuruh. Ada sembilu yang tertancap pelan-pelan, makin dalam, makin perih. Di balik rasa syukur menerima bingkisan mewah itu, dadanya terasa sesak. Ia menggenggam undangan itu erat, seolah ingin menghancurkannya, tapi tak kuasa.
“Kenapa kamu undang aku ke hari bahagiamu, Evelyn…” bisiknya lirih.
“Kalau kamu tahu siapa aku... mungkin kamu akan membakarku hidup-hidup.”Matanya menatap kotak coklat eksklusif La Madeline au Truffe yang bahkan ia tahu harganya bisa membayar kontrakannya tiga bulan. Bibirnya gemetar saat ia mencoba menyentuh lipstik Dior yang masih tersegel. Aroma lilin terapi menguar lembut dari balik kotaknya, mengaburkan bau lembab kamar kontrakan kecilnya.
Tangis Nadine pecah tanpa suara.
Ia bangkit perlahan, mengambil cermin kecil yang tergantung di dinding kusam. Menatap wajahnya yang pucat, kurus, dan tak terurus. “Apa aku pantas datang?” gumamnya.
“Apa aku terlihat seperti Starlight Beat atau-”
Tiba-tiba, ponselnya menyala. Sebuah notifikasi DM dari Evelyn masuk.
Evelyn 🥂
“Halo Starlight Beat! Ini Evelyn lagi. Sudah terima bingkisannya? Aku sengaja kirim yang spesial buat penulis favoritku 🥰. Jangan lupa kirim alamat ya, biar aku kirim yang lainnya juga setelah pernikahan. I want you to always feel appreciated ❤️”
Nadine menggigit bibir. Hatinya semakin carut marut. Dunia Evelyn terlalu mewah, terlalu bersinar. Dunia yang dulunya juga sedikit ia kecap saat masih bersama Adrian.
Ia memandangi pesan itu lama, lalu membalas dengan tangan gemetar:
Starlight Beat:
“Terima kasih banyak, Evelyn. Bingkisannya sangat indah dan bermakna buat saya. Saya senang bisa menerima undangan ini, walau saya belum tahu bisa hadir atau tidak. Tapi doa terbaik saya untuk pernikahan kalian ❤️.”
Setelah mengirim pesan itu, Nadine meletakkan ponsel di dada.
Air matanya mengalir pelan. Ia memejamkan mata, mencoba menguatkan diri. Tidak ada tempat untuk dendam. Hanya luka yang harus ia peluk dalam diam.Sementara itu…
Di kamar suite yang sama, Adrian duduk di ranjang sambil membuka kembali laporan digital yang dikirim anak buahnya. Wajah pria yang buram itu masih menjadi misteri. Tapi bukan itu yang mengganggu Adrian malam ini.
Ia menatap Evelyn yang tertidur lelap di ranjang, masih mengenakan gaun satin merah tipis itu.“Kamu tidak tahu apa pun, Evelyn,” bisiknya penuh bara.
Adrian mengepalkan tangan.
Besok dia akan menikah. Tapi pikirannya tidak fokus pada pernikahan, melainkan Nadine.~
Sinar matahari menembus celah gorden tipis kamar kontrakan. Menyapu wajah Nadine yang masih terlelap di atas kasur tipis tanpa seprai. Aromanya campur aduk, sisa wine murah yang semalam ia minum dari bingkisan Evelyn, dan bau apek kamar yang lembab.
Nadine mengerang pelan, menggeliat di balik selimut kumal.
"Agh kepalaku…"
Ia membuka mata dengan susah payah. Dunia terasa berputar. Mulutnya kering, matanya sembab. Ia menatap jam ponsel di sampingnya.
15.03 WIB.
Panik langsung menyeruak.
“Astaga! Pernikahannya jam sepuluh! Dan sekarang udah mau sore?!”
Nadine sontak bangkit dari kasurnya, hampir tersandung botol wine yang semalam ia habiskan sendiri. Kepalanya nyut-nyutan, tapi ia tetap menyeret tubuhnya ke depan cermin kecil.
Wajahnya terlihat kacau. Rambutnya awut-awutan. Matanya sembab. Tapi sorot matanya keras, menolak menyerah.
“Aku harus datang… setidaknya… melihat mereka satu kali,” bisiknya lirih.
Ia langsung membuka lemari kayu lapuknya, jantungnya berdebar. Jemarinya menyibak tumpukan pakaian usang, berharap menemukan keajaiban.
Dan di sanalah terselip di antara sweater lusuh dan kemeja bekas lipatan buruk, gaun itu!
Gaun warna navy panjang sederhana , tetapi dulu sangat elegan. Hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Ia ingat betul momen Adrian menyerahkannya, dengan senyum tipis dan ucapan pelan, "Kamu pantas terlihat seperti bintang malam, Nadine."
Kini gaun itu kusut dan lusuh. Warna navy-nya mulai pudar, renda bagian pinggangnya mulai terlepas di ujung. Tapi tidak ada pilihan lain.
Dengan napas berat, Nadine mengambil gaun itu. Ia memeluknya sesaat, lalu mulai berganti pakaian dengan tergesa. Sambil berdiri di depan cermin, ia mengoleskan sedikit bedak sisa di kotak make up gratis dari bingkisan Evelyn. Memoles lipstik Dior pelan-pelan, takut menghabiskan.
Rambutnya ia sisir seadanya, lalu menguncir rendah. Ia menyemprotkan sedikit parfum berlabel “J-adore” ke nadi lehernya.
Cermin itu memantulkan sosok wanita yang berusaha mati-matian terlihat layak di tengah keterbatasan. Matanya menatap refleksi itu lama.
“Kamu akan berdiri di hadapan mereka. Berdiri di antara tawa, cinta, dan pengkhianat…” ucapnya pelan pada dirinya sendiri.
Ia mulai melepaskan kalung yang selalu tersemat di lehernya. Kemudian ia mengambil kotak yang menjadi bingkisan kalung itu. Perlahan ia membungkusnya serapi mungkin. "Aku akan mengembalikan ini. Lagipula aku tidak punya hadiah yang pantas untuk pernikahan mereka. Jadi, hanya kalung ini yang bisa kuberika."
Nadine menggeleng, "Tidak. Tapi aku kembalikan pada orang yang memberikannya."
Dengan langkah perlahan dan dada bergemuruh, ia mengambil undangan mewah beraksen rose gold itu, memasukkannya ke dalam tas kecil, lalu keluar dari kamar kontrakan mungil yang menjadi saksi keterpurukannya.
Hari ini, ia akan datang ke pesta pernikahan pria yang pernah ia cintai sepenuh hati… sahabat yang paling ia sayangi dan wanita yang mengaguminya sebagai Starlight Beat.
Bersambung~
Nadine berlarian keluar dari gang sempit di belakang kontrakannya. gaun navy ia cincing menghindar kubangan air.Ia menghentikan ojek online dan naik tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan, “Grand Aurelia Hotel, secepatnya, Mas.”Sepanjang perjalanan, Nadine diam. Tangan kanannya memeluk tas kecil yang berisi kotak kalung, hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Hati wanita itu kacau. Sekujur tubuhnya berkeringat, entah karena gugup, hangover, atau udara yang memang panas pengap.Baru lima belas menit perjalanan, motor yang ia tumpangi berhenti mendadak.“Waduh, Maaf, Kak. Kayaknya bannya kempes,” ujar sang driver sambil menoleh khawatir.Nadine mendongak cepat, panik. “Tapi aku harus sampai sekarang juga! Ada pernikahan…”“Saya ganti ban dulu, paling cepat setengah jam. Atau Mbak mau ganti kendaraan?”Nadine memutar kepala, mencari kendaraan lain. Tapi jalanan macet dan padat. Tak satu pun taksi lewat. Ojek online lain juga sulit ditemukan karena sinyal di gang tersebut lemah. Ia me
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Nadine berlarian keluar dari gang sempit di belakang kontrakannya. gaun navy ia cincing menghindar kubangan air.Ia menghentikan ojek online dan naik tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan, “Grand Aurelia Hotel, secepatnya, Mas.”Sepanjang perjalanan, Nadine diam. Tangan kanannya memeluk tas kecil yang berisi kotak kalung, hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Hati wanita itu kacau. Sekujur tubuhnya berkeringat, entah karena gugup, hangover, atau udara yang memang panas pengap.Baru lima belas menit perjalanan, motor yang ia tumpangi berhenti mendadak.“Waduh, Maaf, Kak. Kayaknya bannya kempes,” ujar sang driver sambil menoleh khawatir.Nadine mendongak cepat, panik. “Tapi aku harus sampai sekarang juga! Ada pernikahan…”“Saya ganti ban dulu, paling cepat setengah jam. Atau Mbak mau ganti kendaraan?”Nadine memutar kepala, mencari kendaraan lain. Tapi jalanan macet dan padat. Tak satu pun taksi lewat. Ojek online lain juga sulit ditemukan karena sinyal di gang tersebut lemah. Ia me
Adrian calon pengantin pria sedang berdiri membelakangi pintu. Dia berada di kamar suite hotel Gran Aurelia. Kamar yang berada di lantai atas memamerkan gemerlapnya kota Jakarta. Di tengah keheningan itu, ponselnya menyala.Tak lama, suara pelan terdengar dari earpiece-nya.“Kami sudah menyelidiki rekaman CCTV hotel. Semua wajah terdata, tapi ada pria yang tidak terdeteksi wajahnya. Entah karena angle kamera atau seseorang menghapusnya dari sistem.”Rahang Adrian mengencang. “Jadi, sampai sekarang kalian belum tahu siapa bajingan itu?”“Maaf, Pak. Dia seperti orang penting. Kami duga dia sudah profesional.”Adrian mengumpat pelan. Tangannya mengepal hampir meremukkan ponsel.“Aku ingin tahu dia siapa. Terus habisi siapapun dia! Aku tidak mau ada yang mengotori milikku.” Urat pelipis Adrian menegang, ia teringah dengan laporan Nadine- kekasihnya menghabiskan malam dengan pria lain. Hatinya tidak rela! “Siap, Pak. Kami akan telusuri lagi malam ini.”Belum sempat ia menutup panggilan, s
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama