Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.
Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.
Tidak ada.
Tidak ada!
Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!
"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.
Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.
Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.
Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebutkannya kepada siapa pun, bahkan kepada Bibi Clara.
Tapi sekarang, semuanya hilang!
Sebuah firasat buruk menyelinap dalam benaknya. Nadine menelan ludah, berusaha menyangkal pikirannya sendiri. Namun, secepat kilat ia mengingat kejadian-kejadian kecil yang akhir-akhir ini ia abaikan.
Bibi Clara!
Beberapa hari yang lalu, wanita itu tiba-tiba lebih sering masuk ke kamarnya tanpa izin. Awalnya, Nadine mengabaikannya, mengira bahwa wanita itu hanya sedang mencari sesuatu. Namun, semakin lama, kebiasaan itu terasa janggal.
Suatu sore, sepulang kerja, ia menemukan laci meja riasnya sedikit terbuka.
Padahal, ia yakin betul sudah menutupnya rapat sebelum berangkat.
Dahinya berkerut. Dengan sedikit rasa waspada, ia berjalan mendekat dan menarik laci itu lebih lebar. Isinya masih sama, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda.
Perasaan itu semakin menguat saat ia mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa di luar kamar. Ketika ia menoleh, ia melihat Bibi Clara berdiri di ambang pintu, ekspresinya sedikit tegang.
"Kamu udah pulang?" suara Bibi Clara terdengar sedikit terkejut, tetapi hanya dalam hitungan detik, ekspresi wajahnya berubah santai. "Kenapa bengong?"
Nadine menyipitkan mata, mencoba membaca ekspresi bibinya.
"Kenapa Bibi ada di sini?" tanyanya, nada suaranya datar tapi penuh kecurigaan.
Bibi Clara mendecakkan lidahnya dan melipat tangan di depan dada. "Rumah ini punyaku! Aku bisa masuk ke mana saja yang aku mau!" suaranya terdengar ketus. "Kamu pikir aku ngapain? Nyolong barang rongsokanmu?!"
Nadine menggigit bibir, tidak ingin terprovokasi.
"Bibi cari apa?" ia bertanya lagi, kali ini lebih hati-hati.
Bibi Clara memutar bola matanya. "Ya ampun, Nadine! Aku cuma nyari korek! Punya tamu tadi, mau nyalain rokok, tapi korekku gatau ke mana! Lagian, kamu ini kenapa sih? Sok kaya banget kayak ada barang berharga aja di sini."
Nadine terdiam.
Ia tidak ingin berdebat.
Lalu, saat makan malam beberapa hari kemudian, Bibi Clara mulai bicara soal uang.
"Nadine," suara Bibi Clara terdengar lebih lembut dari biasanya, sesuatu yang jarang terjadi. Wanita itu menyendokkan nasi ke piringnya sendiri sambil melirik Nadine sekilas. "Kamu ada simpanan uang, kan?"
Nadine yang sedang menyuap makanan langsung menghentikan gerakannya. Ia menatap bibinya dengan kening berkerut.
"Kenapa, Bi?"
"Aku butuh uang untuk hal yang penting."
Jantung Nadine berdetak lebih cepat. Ia menaruh sendoknya perlahan dan menatap bibinya lebih serius.
"Berapa?" tanyanya dengan suara hati-hati.
Bibi Clara mendengus. "Banyak tanya banget sih, dasar anak nggak tahu diri! Aku udah ngurusin kamu dari kecil, masa nanya begitu?"
Nadine mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia sudah terlalu sering mendengar kalimat semacam itu.
"Bibi mau pakai buat apa?" tanyanya lagi, tetap dengan suara datar.
"Urusan orang dewasa!" bentak Bibi Clara. "Bukan urusanmu!"
Nadine menarik napas panjang, menahan emosinya. Ia tahu percuma berdebat dengan bibinya. Wanita itu tidak akan pernah memberi penjelasan yang masuk akal.
"Bibi mau pinjam atau…" Nadine menggantungkan kalimatnya.
Bibi Clara menyeringai kecil. "Pinjam? Heh! Nadine, kamu pikir uang yang kamu punya itu milikmu? Sejak kapan kamu jadi orang kaya? Semua uang yang kamu punya, kamu kumpulkan di rumah ini, ya itu hakku juga! Aku yang ngurusin kamu sejak kecil. Kalau saja orang tuamu gak mati gitu aja gak mungkin hidup aku sengsara kayak gini! Udah ninggalin beban, gaada warisan, manusia gak becus! jadi kalau aku butuh, kamu harusnya ngasih tanpa nanya! Tau!"
Bibi Clara melemparkan nasi ke wajah ponakannya dengan kasar.
Nadine merasakan tenggorokannya tercekat saat almarhum orang tuanya dimaki. Ia tahu bibinya mata duitan, tetapi mendengar wanita itu mengatakan hal seperti ini dengan enteng tetap saja membuatnya sakit hati.
"Bibi nggak berhak ambil uangku tanpa izin," katanya pelan, berusaha mengendalikan emosinya.
Bibi Clara menatapnya tajam, lalu tertawa sinis. "Oh, jadi lo sekarang ngajarin aku soal hak, ya? Dengar ya, Nadine. Lo itu numpang di rumah ini. Kalau gue mau, gue bisa usir lo kapan saja! Jadi kalau gue ambil uangmu, anggap aja itu biaya hidup yang selama ini lo pakai di sini!"
Darah Nadine berdesir.
"Lo harus inget! Gue ngurus lo dari umur 20 tahun. Gara-gara elo, sampe sekarang gua kagak nikah!"
"Gue dianggap janda anak satu gara-gara elo b4ngs4t!" suara Bibi Clara makin menggelengar di kontrakan kumuh ini. "Sekarang lo itung, dari lo umur 5 tahun sampai sekarang 27 tahun. Berapa banyak hal yang gua korbanin buat manusia gak guna macam lo!"
Nadine makin mengeratkan bibirnya yang ingin membalas perkataan bibinya.
"Baru juga disuruh ngasih uang sedikit, dah lagak lo jadi orang sok kaya! Mikir nih otak lo, mikir!" Bibi Clara menyodorkan nasi ke mata Nadine dengan kasar.
Ia ingin membantah, ingin membela diri, tapi apa daya? Secara hukum, rumah ini memang milik bibinya. Dan meskipun ia sudah mandiri, gaji pustakawan yang pas-pasan tidak cukup untuk hidup sendiri di kota besar.
Ia hanya bisa menggigit bibir dan menghindari tatapan bibinya.
"Nggak ada yang gratis di dunia ini, Nadine," lanjut Bibi Clara, nadanya penuh ejekan. "Jadi jangan sok-sokan mau punya uang sendiri kalau lo masih hidup di bawah atap gue!"
Saat itu, Nadine tidak menanggapi lagi. Ia hanya menyelesaikan makan malamnya dengan perasaan hampa.
Tapi malam ini, setelah menemukan uang dan emasnya benar-benar hilang…
Semua potongan kejadian itu kembali ke kepalanya.
Dan Nadine pun sadar.
Bibi Clara telah mencurinya.
'Tidak! Bibi tidak mungkin…'
Tapi tak ada tanda-tanda perampokan. Tidak ada jendela yang terbuka, tidak ada pintu yang rusak. Seseorang pasti mengambilnya dengan kunci.
Tubuh Nadine melemas. Ia terduduk di lantai kayu yang dingin, menatap kamarnya yang kini berantakan.
Jika benar Bibi Clara yang mengambilnya… lalu bagaimana nasibnya?
Itu adalah satu-satunya harta yang ia punya. Satu-satunya harapan untuk keluar dari hidup sengsara ini. Ia telah menyisihkan setiap lembar uang dengan penuh perjuangan, berharap suatu hari bisa pindah dari tempat ini dan hidup lebih baik.
Namun sekarang, semuanya lenyap dalam hitungan detik.
Di dompetnya tinggal selembar uang untuk bertahan hidup 3 minggu ke depan. Belum lagi harus bayar kontrakan.
Matanya perih, tapi air mata enggan jatuh. Ia hanya bisa duduk di sana, dengan kepala penuh kebingungan dan hati yang terasa kosong.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama