Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”
Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”
Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.
“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.
Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.
Dunia Nadine runtuh!
Evelyn selama ini berpura-pura tidak tahu tentang hubungannya dengan Adrian, padahal wanita itu diam-diam merebutnya. Dengan status dan kekayaannya, Evelyn menggantikan Nadine seakan keberadaannya tidak pernah ada.
“Jadi maksud Evelyn mengundangku makan malam adalah untuk memamerkan pengkhianatan pacarku? Hubungan perselingkuhan mereka?” batin Nadine. Ia segera mundur selangkah. Lalu dua langkah. Ia berbalik, menelan tangisnya, dan melangkah cepat keluar dari restoran mewah itu. Hatinya hancur. Dadanya sesak. Kakinya gemetar saat ia berlari meninggalkan tempat Adrian dan Evelyn merayakan kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya.
Evelyn yang menyadari keberadaan sahabatnya. Sontak membulatkan matanya, "Nadine!" pekiknya berusaha melepas pelukan Adrian, tetapi usahanya sia-sia.
"Apa maksudmu, Sayang?" tanya pria itu dengan mata menyipit. Ekspresinya menggelap.
"Kupikir ini hanya makan malam biasa dengan teman seangkatan, jadi aku mengundang Nadine. Aku tidak tau kalau-" Evelyn menundukkan kepala.
Adrian menelungkup wajah Evelyn dengan tangannya. Sepasang manik hitam menatap mata Evelyn seperti menghipnotis. "Sudah. Tidak perlu dipikirkan lagi. Begini lebih baik, jadi dia pasti tau alasan aku lebih memilihmu daripada dia."
Pria itu mendekap wajah tunangannya di depan dada. Mata Evelyn yang sebelumnya berair kini menyorot tajam ke arah pintu keluar, tempat Nadine sebelumnya berdiri. Senyum sarkastik menghiasi bibir Evelyn.
~dentikantika
Hujan mengguyur jalanan kota. Nadine tidak peduli. Rambutnya basah, wajahnya kedinginan, tetapi hatinya lebih beku daripada udara malam ini. Entah bagaimana, kakinya membawanya ke tempat yang bahkan tak pernah terpikirkan olehnya, sebuah bar elit di pusat kota.
Ini pertama kalinya ia masuk ke tempat seperti ini.
Lampu redup, suara musik bass yang menggetarkan dada, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Nadine berjalan ke bar dan tanpa pikir panjang berkata, “Satu gelas tequila.”
Minuman itu datang. Nadine meneguknya sekaligus. Tenggorokannya terbakar, perutnya panas, tetapi rasa sakit di hatinya lebih menyiksa. Ia menenggak lagi, dan lagi, hingga pikirannya mulai melayang.
Di sudut ruangan, seorang pria memperhatikannya.
"Mr, sedang memperhatikan siapa? Perlu saya ajak dia ke sini?" tanya rekannya yang duduk di depan.
Pria itu hanya mengibaskan tangan, menolah tawaran tersebut.
Ia duduk di sofa eksklusif dengan segelas whiskey di tangannya. Setelan hitam mahal membungkus tubuh tegapnya, jam tangan mewah melingkar di pergelangan tangannya. Rambut hitamnya disisir rapi, rahangnya tegas, dan matanya berkilat tajam seperti elang mengamati mangsanya. Ada aura kekuasaan yang mengintimidasi, dingin, dan berbahaya di sekelilingnya.
Leonardo Sinclair.
Pria itu telah lama menjadi sorotan dunia politik dan bisnis. Seorang politikus paling berpengaruh di negara ini. Ia dikenal sebagai pria yang tak tertandingi dalam permainan kekuasaan, tak tersentuh, licik, dan mematikan.
Namun, saat ini, matanya hanya tertuju pada satu sosok.
Nadine.
Wanita itu jelas bukan bagian dari dunia ini. Wajahnya merah karena alkohol, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya berbinar kosong. Seorang gadis lugu yang tersesat dalam kegelapan.
Leonardo tidak bergerak. Ia hanya mengamati dari jauh, membiarkan dirinya menikmati pemandangan yang tidak biasa ini. Ia bisa menebak, wanita itu sedang melarikan diri dari sesuatu.
Nadine menyandarkan kepalanya ke meja bar, menggumam pelan, “Lelaki itu… brengsek… sahabatku… pengkhianat… aku ingin… membunuh mereka…”
Air mata tak henti-hentinya luruh di wajahnya. "Bagaimana bisa mereka berselingkuh di belakangku? Padahal... Aku... kekasihnya selama lima tahun.." Isakan semakin keras darinya.
Leonardo mengangkat alisnya. "Menarik."
Namun, ia tidak mendekatinya.
Nadine mengerjapkan mata beberapa kali, tetapi tangisannya yang pilu tak bisa ditahan. "Aku sakit hati... Dia bilang akan menikahiku setelah menjadi CEO... Evelyn juga bilang akan mendukungku apapun yang terjadi. Tapi apa ini?! Justru mereka yang bertunangan! Bahkan dilakukan secara terang-terangan di depan publik."
Nadine mengangkat gelas terakhirnya, menatap sisa tequila yang berputar pelan dalam cahaya bar yang temaram. Cairan keemasan itu memantulkan kilatan samar, seolah mengejeknya. Dengan satu gerakan cepat, ia meneguknya hingga habis. Rasa panas segera menjalar di tenggorokannya, membakar perut yang sudah kosong sejak siang tadi.
Matanya berkilat merah, bukan hanya karena alkohol, tetapi juga karena amarah dan kekecewaan yang meluap-luap. Bibirnya yang berlapis lipstik pink tipis bergetar saat ia berbisik penuh kepedihan, “Padahal Adrian selalu menyembunyikan hubungan kami. Apa aku sememalukan itu sampai dia mengkhianatiku begini?”
Nafasnya tersengal. Tangannya yang gemetar meraih botol tequila yang telah kosong, lalu meletakkannya kembali dengan kasar di meja. Perlahan, tubuhnya melemas, kepalanya tertunduk, dan tangis yang semakin pecah.
Leonard, pria yang duduk tak jauh darinya, hanya menyeringai menyaksikan pemandangan itu. Ada kilatan hiburan di matanya, seolah melihat seorang pemeran utama dalam drama tragis yang sedang mencapai klimaksnya. Dengan gerakan santai, ia melambaikan tangan, memanggil salah satu bartender.
"Tip untukmu. Biarkan dia di sana sampai puas," katanya ringan, tanpa sedikit pun rasa iba.
Bartender itu melirik sekilas ke arah Nadine, yang kini terkapar di atas meja dengan rambut acak-acakan dan wajah basah oleh air mata. Ia mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
Leonard bangkit, merapikan jasnya yang sedikit kusut sebelum melangkah pergi. Saat melewati meja Nadine, ia menoleh sekilas. Bibirnya tertarik tipis dalam senyum samar yang sulit diartikan, antara ejekan, kepuasan, atau maksud tersembunyi lainnya.
Malam semakin larut. Musik jazz yang mengalun dari speaker di sudut ruangan terasa semakin pelan, sementara lampu-lampu mulai meredup. Para pengunjung satu per satu meninggalkan bar, menyisakan hanya beberapa orang yang masih terhanyut dalam minuman dan kesedihan masing-masing.
Beberapa jam berlalu sebelum akhirnya Nadine menggeliat pelan, kepalanya terasa berat, dan pikirannya mengambang dalam kabut alkohol. Ia mengusap wajahnya yang lengket oleh sisa air mata, lalu berusaha berdiri. Lututnya gemetar, membuatnya hampir terhuyung jatuh.
Dengan suara serak, ia bergumam, “Aku harus pulang. Di mana hotel?”
Namun, tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang peduli.
Tanpa menyadari betapa goyah langkahnya, Nadine melangkah keluar dari bar. Sepatu hak tingginya hampir membuatnya tersandung di trotoar, tapi ia tetap melanjutkan langkah dengan kepala tertunduk.
Ia berjalan ke arah hotel yang berdiri megah di sebelah bar itu. Cahaya keemasan dari lobi menyilaukan matanya yang setengah tertutup. Ia tidak tahu bagaimana kakinya bisa membawanya ke sana, tetapi tiba-tiba saja ia sudah berdiri di depan meja resepsionis.
Resepsionis menatap Nadine dengan ragu, sepertinya menyadari kondisi mabuknya. Namun, profesionalisme tetap membuatnya melanjutkan tugasnya.
Nadine menggerayangi tas kecilnya, mencari dompet. Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan kartu identitas dan kartu kredit. Resepsionis menerimanya dan memproses pemesanan.
“Ini kartu akses kamar Anda. Kamar 1007, lantai sepuluh,” kata resepsionis sambil menyerahkan kartu itu. “Silakan gunakan lift di sebelah kanan untuk menuju ke lantai Anda.”
Nadine menerima kartu itu dengan gerakan lemas. “Terima kasih,” gumamnya sebelum berbalik menuju lift.
Begitu pintu lift terbuka, ia masuk dengan langkah sempoyongan. Kepalanya terasa berat, pikirannya mengambang dalam kabut alkohol, dan matanya buram, seperti melihat dunia melalui kaca berembun. Lantai lift bergetar di bawah kakinya saat ia bersandar di dinding, mengandalkan insting untuk tetap tegak.
Entah bagaimana, lift berhenti di lantai sepuluh, dan ia melangkah keluar. Koridor hotel terasa panjang dan sunyi, hanya dihiasi lampu-lampu redup yang berpendar di sepanjang dinding. Nadine menyeret langkahnya menuju pintu terdekat yang menurutnya benar. Jemarinya yang gemetar meraba-raba tasnya, mencari kartu akses.
Dengan susah payah, ia menempelkan kartu pada sensor pintu. Pintu terbuka, Ia masuk tanpa ragu, bahkan tanpa memastikan nomor kamar yang benar.
Begitu berada di dalam, kegelapan langsung menyambutnya. Udara di dalam ruangan lebih dingin daripada yang ia bayangkan, tetapi ranjang besar di tengah kamar tampak begitu mengundang. Tanpa pikir panjang, ia melangkah, lalu tubuhnya terjatuh ke atas kasur yang empuk.
Matanya nyaris terpejam ketika suara berat tiba-tiba terdengar dari balik kegelapan.
"Sepertinya kamu salah masuk kamar, Nona."
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Seorang pria menapakkan kakinya di sebuah helipad. Ekspresinya yang sangar membuat siapapun segan mendekat. Namun, pria lain segera menghampirinya dengan wajah tertunduk. Dia sengaja mencari celah ditengah kebisingan baling-baling helikopter untuk melapor hasil pekerjaannya."Lapor. Subjek A belum ditemukan. Bahkan foto yang tertangkap dari cctv tidak terpindai di sistem manapun." Laporan itu disampaikan seformal mungkin.Langkah Leonard terhenti seketika. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam."Apa?" suaranya rendah dan berbahaya.Raymond menelan ludah. "Tim kami sudah menyisir beberapa lokasi yang diduga tempat persembunyiannya. Namun, jejaknya lenyap begitu saja, dia telah mengantisipasi setiap pergerakan kita."Leonard mengangkat dagu sedikit, jemarinya mengepal, menahan amarah yang siap meledak."Sampai sekarang kalian tidak bisa menemukan wanita itu?!" Raymond bergidik. "Kami sudah mengerahkan seluruh sumber daya, Pak. Tapi dia tidak terlacak sama se—""Tidak ada yang tida
Benar saja! Hari ini benar-benar berubah dan berbeda dari hari sebelumnya.Nadine dengan napas terengah-engah mengobrak-abrik kamarnya. Air wajahnya mengepul pucat. Jemarinya gemetar saat ia menarik keluar setiap laci, membongkar tumpukan buku, bahkan merobek kasur tipisnya.Tidak ada.Tidak ada!Matanya berkaca-kaca saat kepanikan mulai merambati tubuhnya. Uang dan emas yang selama ini ia simpan, hilang!"Enggak… ini enggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar hebat.Ia merogoh ke dalam lemari tua yang pintunya sudah miring, mencari dalam setiap sudut yang tersembunyi. Kotak kecil tempat ia menyimpan uang hasil royalti menulis novel dan emas kecil yang ia beli dengan susah payah, lenyap begitu saja.Dadanya mulai sesak. Ia merasa mual.Itu satu-satunya tabungan yang ia miliki! Hasil dari bertahun-tahun bekerja keras di balik layar, menulis cerita di waktu luangnya di sela pekerjaan di perpustakaan. Tidak ada yang tahu tentang uang itu selain dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyebut
Nadine turun dari taksi dengan langkah terburu-buru. Ia merapatkan cardigan tipisnya, berusaha menghalau udara pagi yang menusuk tulangnya. Kontrakan kecil dan kumuh di ujung gang sempit itu menyambutnya dengan keheningan. Langkahnya sedikit tersendat ketika ia mendapati pintu rumah masih tertutup rapat. ‘Bibi belum pulang?’ pikirnya, merasa sedikit lega sekaligus cemas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam. Udara di dalam rumah terasa pengap, aroma minyak goreng bekas bercampur dengan bau rokok khas Ny. Clara langsung menyerangnya. Nadine menutup hidungnya sejenak, lalu melangkah masuk ke kamar sempitnya. Ia melemparkan tubuhnya ke kasur tipis yang sudah mulai usang, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Malam tadi masih berputar di kepalanya—bar, alkohol, dan pria itu. ‘Leonardo…’ Nama itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan. Tidak! Ia tidak ingin mengingatnya. Saat berada di dalam taxi,
Mata Nadine langsung membelalak. Detak jantungnya melonjak.Dari sudut ruangan, Leonardo duduk di sofa dengan satu tangan menyangga kepalanya. Senyumnya penuh misteri, matanya gelap dan dalam.Dan itu berarti…Dia tidak sendirian!Nadine menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti efek alkohol. Pria itu duduk dengan santai di sofa kamar hotel, menatapnya dengan ekspresi datar, seolah menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Nadine tidak tahu siapa pria ini. Ia tak peduli. Yang ia tahu hanyalah ia ingin melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meski hanya untuk satu malam.Dengan langkah yang sedikit goyah, Nadine berjalan mendekati pria itu. Jemarinya menyentuh dasi hitam yang terikat rapi di lehernya, lalu dengan gerakan berani, ia menariknya perlahan.“Aku butuh pelampiasan,” bisiknya dengan suara serak.Leonardo mengangkat alisnya. Mata elangnya meneliti setiap ekspresi di wajah Nadine. Wanita ini jelas sed
Nadine berdiri kaku melihat sosok di depannya. Adrian, kekasih yang telah bersamanya selama lima tahun, sedang berlutut sembari berkata, “Menikahilah denganku, Evelyn.”Bukan Nadine, tapi Evelyn! Seisi restoran berseru kagum. Evelyn, sahabat kecil Nadine menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar bahagia, lalu mengangguk dengan penuh drama. “Ya! Aku mau!”Para tamu restoran yang menyaksikan adegan itu bersorak dan bertepuk tangan. Nadine merasa tenggelam di dasar laut. Nafasnya terhenti, dadanya sesak, dan dunia terasa berputar. “Ini tidak mungkin. Ini seharusnya tidak nyata,” batinnya. Ia segera mencubit lengannya, tetapi pemandangan di depannya tak kunjung sirna.“Adrian…” bisiknya pelan, seakan berharap semuanya hanya mimpi buruk.Namun, kenyataan menamparnya dengan kejam. Adrian berdiri dan menyematkan cincin di jari Evelyn, kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Bibirnya menempel di bibir Evelyn. Semua orang bersorak lebih keras.Dunia Nadine runtuh!Evelyn selama