happy reading:")
***Siang itu seorang gadis cantik berpenampilan sederhana terlihat sedang berbincang dengan seorang lelaki yang penampilannya berbanding terbalik. Tubuh proporsional dibalut dengan setelan jas warna hitam, wajah sangat tampan, dan senyuman yang menawan membuat para perempuan di sekitar curi-curi pandang.Keduanya terlibat obrolan ringan sambil menikmati menu yang tersaji di meja Restoran, yang cukup terkenal. Di weekend seperti sekarang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pasangan serasi itu. Bertemu dua kali dalam seminggu merupakan salah satu cara agar hubungan mereka tetap terjaga.Dan di setiap pertemuan, mereka akan membahas mengenai apa saja tak terkecuali masalah pekerjaan. Sang wanita terus tersenyum, kadang tersipu apabila mendapat perhatian kecil dari pujaannya. Namun senyuman itu seketika pudar ketika bunyi pesan masuk terdengar.Wanita yang memakai jumpsuit dress warna maroon sebatas lutut itu melirik pada ponselnya, lalu mengejanya dalam hati.Kai : [Ke sini sekarang! Gue tunggu! Gue duduk di deket pintu keluar restoran ini.]Safira berdecak setelah membaca notifikasi pesan yang masuk lewat pop up layar ponselnya. Dia membiarkannya, tak berminat untuk membukanya. "Dia gak tau apa, kalo aku lagi sama Arkana?" cicitnya lirih yang hanya dapat didengar dirinya sendiri.Kai selalu saja mengganggu di mana pun Safira berada. Bahkan tak segan untuk menerornya. Menyebalkan!Pesan dari Kai, Safira abaikan, dan dia memutuskan kembali berbincang dengan Arkana. Namun, belum ada satu menit, bunyi notifikasi pesan masuk kembali berdenting. Manik Safira memejam sesaat, seraya mengontrol emosi agar tidak meledak, dan bisa membuat Arkana curiga.Akan tetapi, Arkana tidak tuli, dan dia cukup peka."Siapa, Fir? Kayaknya dari tadi ada yang kirim chat? tanyanya, melirik ponsel Safira yang tergeletak di meja. Layarnya perlahan meredup sehingga Arkana belum sempat melihat notif pesan yang masuk.Safira membeku seketika, otaknya mendadak blank, dan tidak bisa digunakan untuk berpikir cepat.Pertanyaan Arkana jelas memaksa perempuan itu untuk menjawabnya, dan mengarang satu kebohongan lagi."Ah, eng … gak, kok, Mas. Bukan siapa-siapa." Safira menampik dengan senyum terkesan kaku, dan sudut matanya terus melirik pada ponselnya. Beruntung Arkana mengangguk percaya pada jawaban yang diberikan Safira.'Bener-bener si Kai!' umpatan itu terlontar dalam hati Safira.Mau tidak mau, Safira harus menemui Kai, supaya dia berhenti mendapat teror dari lelaki itu. Ya, harus!Berdeham singkat, sambil mengatur napas, dan degup jantung yang seperti habis dikejar-kejar setan, Safira pun beranjak dari duduknya dan berpamitan, "Mas, aku ke toilet bentar, ya?"Arkana mengangguk tanpa menaruh curiga sedikit pun pada kekasihnya itu. "Iya, Fir. Jangan lama-lama. Habis dari sini kita harus ke butik buat fitting baju.""Iya, Mas." Mendapat izin dari Arkana, Safira tak membuang-buang waktu lagi. Dia melenggang dengan cepat, sedikit berlari sambil menggerutu kesal. "Gara-gara si Kai, aku jadi bohong terus sama Arkana."Sambil berjalan, Safira menghubungi Kai yang katanya berada di Restoran yang sama. Gadis itu memelankan langkah, ketika mengenali sosok berbaju lengan panjang hijau army melambai ke arahnya. Niat menghubungi pun dia tunda."Kai?" desis Safira dengan perasaan dongkol setengah hidup, meremas benda pipih di tangan, kemudian berjalan menghampiri Kai yang duduk agak jauh dari tempatnya berdiri.Rupanya, Kai tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Buktinya, lelaki bertato dan bertindik di telinga itu benar-benar menyusulnya ke tempat ini.Sial!Hidup Safira selalu dirundung kesialan selama mengenal dan berurusan dengan makhluk bernama Arthur Barack Kai.-"Duduk!" Kai memerintah seenak jidat begitu gadis yang dia tunggu tiba di depan mata."Gak mau! Aku nyamperin kamu cuma bentar doang. Tadi aku alesan sama Mas Arkana cuma ke toilet," tolak Safira menyahut ketus, wajahnya masam sambil bersedekap dan mata memicing tajam ke arah Kai yang terlihat santai.Benar-benar menyebalkan!"Dia masih di sini?" Lelaki yang siang ini memakai topi hitam itu mendengkus, mendengar Safira menyebut nama Arkana dengan panggilan 'MAS'. Berbeda sekali dengan cara Safira memanggilnya.Safira memutar bola matanya, "Masihlah! Habis dari sini aku sama dia mau ke butik."Sepasang alis Kai terangkat tinggi, "Mau ngapain?" tanyanya, seraya melarikan pandangan ke arah Arkana yang duduk agak jauh memunggungi posisi keduanya. Agak jauh dan tentu saja Arkana tidak tahu jika tunangannya menghampiri pria lain di satu tempat yang sama. "Suruh dia pulang, Fir! Gue mau ngajak lu pergi.""Eh?" Safira mengerjap heran mendengar Kai lagi-lagi memerintah. Menghela napasnya kasar, Safira tidak mengacuhkan pertanyaan Kai sebelumnya, dia justru melayangkan protes, "Ya … Gak bisa, dong! Sekarang 'kan memang waktunya aku pergi sama dia. Ini weekend, Kai. Kamu gak bisa perintah aku seenaknya."Perjanjian awal tidak seperti ini. Setiap weekend atau saat Safira off. Dia dan Arkana hanya sempat bertemu di hari tertentu. Sedangkan urusan Kai, kapan pun lelaki itu mau, Safira akan menuruti perintahnya. Dan hari ini Kai sudah melanggar perjanjian dengan datang diam-diam mengikuti Safira dan Arkana.Apa-apaan, coba?Satu sudut bibir Kai naik, lalu menanggapi protes Safira, "Gue tau ini weekend. Tapi gue maunya pergi sekarang sama lu, Fir.""Kai, please …." Raut Safira memelas, tatapannya terlihat memohon pada seorang Kai. "Kamu 'kan bisa pergi sama pacar kamu. Lagian, aku sama Mas Arkana cuma dua kali, loh, ketemuannya." Safira tidak berhenti mengingatkan si kepala batu di hadapannya ini."Gue gak peduli, Fir! Itu urusan lu sama dia! Yang jelas, gue mau perginya sama elu bukan sama Eve." Kai mengangkat bahu sekilas, menolak mentah-mentah rengekan Safira, dan berkata tidak sedang ingin pergi dengan pacarnya. "Cari alesan apa aja. Gue tunggu sepuluh menit di parkiran. Cepetan!" Pemuda itu lantas bangkit dan melenggang dari hadapan Safira tanpa menoleh lagi.Safira menelan ludah, lalu berteriak memanggil pemuda sinting yang tidak mengacuhkannya. "Kai! Kai! Kai! Arrghh …! Kai ngeselin!" Kakinya menghentak-hentak kesal di lantai, dan otomatis orang-orang di sekitar langsung memusatkan perhatian pada Safira.Perempuan itu tidak peduli dengan tatapan nyalang orang-orang yang tidak tahu menahu masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Mungkin, sebagian besar dari mereka menganggap Safira wanita aneh."Hfft … Aku mesti alesan apa, coba, sama Mas Arkana?" Kepala Safira terantuk lesu, seraya memutar tungkai untuk kembali ke tempat Arkana berada. Otaknya yang kecil sedang dipaksa berpikir, mencari alasan. "Kai sialan! Sialan!"-"Kenapa mendadak?" Arkana bertanya dengan nada bicara terdengar kecewa setelah Safira mengatakan hendak menggantikan salah satu temannya yang tidak bisa berangkat bekerja karena anaknya tiba-tiba jatuh sakit."Iya, Mas. Maaf …." Yang hanya bisa dilakukan Safira adalah menundukkan kepala, menyembunyikan matanya dari tatapan Arkana yang bisa saja membaca kebohongannya. Kedua tangannya saling meremas di atas paha dengan perasaan bersalah.Arkana bisa apa, selain mengizinkan. "Ya udah. Enggak apa-apa, Fir. Kita ke butiknya Minggu depan," ucapnya, lalu menghela besar. "Sebenernya aku masih kangen sama kamu. Kita ketemu cuma seminggu dua kali. Ini aja belum ada sehari kita barengan, tapi kamu—""Makasih, Mas. Sekali lagi maafin, ya …?" Safira menyela perkataan Arkana, mengangkat pandangannya, dan melihat sorot kekecewaan dari mata kekasihnya. Dia sungguh tidak bisa berbuat banyak."Iya." Dan, Arkanalah yang pada akhirnya mengalah.-Dalam diam, Safira dan Arkana berjalan menuju parkiran. Tak ada obrolan diantara mereka. Meskipun begitu, Arkana tetap menggenggam tangan Safira sampai tiba di mobilnya. Namun, kesialan sepertinya tak berhenti menghampiri Safira, sebab tiba-tiba saja Kai muncul di hadapannya."Kai?" Bukan Safira yang menyebut nama itu, melainkan Arkana. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya dengan alis menaut. Arkana hanya heran bertemu dengan Kai di tempat ini.Manik Kai menatap sekilas wajah Safira yang memucat. Dia tahu pasti jika perempuan itu takut ketahuan oleh sang pacar. "Suka-suka guelah, mau ada di mana? Gue ada urusan di deket sini," jawabnya ketus."Ohh …" Arkana percaya. "Ya udah silakan lanjutkan. Aku sama Fira pergi dulu. Ayo, Fir.""Mas." Safira menahan tangan Arkana yang hendak membawanya masuk ke mobil."Ya?" Arkana berbalik menatap Safira.Safira menelan ludah, berdeham singkat, lalu bicara, "Aku … berangkat naik taksi aja. Mas gak perlu anterin."Kening Arkana mengerut. "Kenapa? Kan, sekalian aku anter. Nanti pulangnya aku jemput."Perkataan Arkana jelas membuat Safira serba salah. Tidak mungkin dia berangkat bekerja, sedangkan pada kenyataannya itu cuma alasannya agar bisa menuruti kemauan Kai."Hmm … Aku gak pa-pa, kok, Mas, berangkat sendiri. Lagian, aku mau pulang ke rumah dulu, mau ambil seragam. Pasti itu bakalan ngerepotin kamu, kalo mesti bolak-balik." Safira melirik sekilas ke arah Kai yang tidak berniat beranjak dari tempatnya. Dan, sepertinya memang sengaja melakukan hal tersebut."Tapi, Fir—" Ponsel Arkana berdering. "Sebentar." Dia melepas tangan Safira, lalu mengambil ponsel dari saku celana. "Aku jawab ini dulu. Kamu tunggu di sini," pinta Arkana yang langsung dianggukki Safira, dia pun pergi menuju belakang mobil untuk menjawab panggilan telepon.Merasa memiliki kesempatan, Safira lantas menegur Kai dengan raut geram. "Kamu apa-apaan, sih, Kai? Kamu sengaja, iya?" Suaranya pelan tetapi terdengar tegas."Menurut lu?" Kai malah bersedekap, kemudian mempersempit jarak dengan Safira. "Gue tunggu di mobil!" Setelah itu dia pergi dari hadapan Safira dengan seringai puas.Tangan Safira sontak mengepal kuat di sisi tubuh, dia bergumam dengan rahang mengatup rapat "Sialan kamu, Kai.""Fir." Arkana menghampiri setelah menyelesaikan percakapan di telepon."Iya, Mas." Raut Safira kembali normal. Lembut dan memasang senyum manis.Arkana mencari keberadaan Kai. "Kai udah pergi?""Udah, Mas.""Oh …" Angguk Arkana tak banyak bertanya mengenai Kai. "Kayaknya, aku memang gak bisa anter kamu. Aku harus segera pergi. Di gudang ada barang datang, tapi agak bermasalah, dan aku diminta segera ke sana untuk ngecek."Dalam hati, Safira bernapas lega. "Iya, Mas. Kan, tadi aku juga udah bilang. Aku bisa berangkat sendiri. Mas kalo mau pergi, pergi aja." Dia mengelus lengan Arkana seraya tersenyum lembut."Aku pergi dulu. Maaf, gak bisa cariin kamu taksi." Sebelum benar-benar pergi, Arkana memberi kecupan mesra di kening Safira serta usapan lembut di pipi kekasihnya.Safira tak banyak protes, karena dia sendiri yang menjadi penyebab awal kencan mereka berantakan. Setelah memastikan mobil yang dikemudikan Arkana menghilang dari pandangan, Safira kemudian membuang napas kasar. Kaki jenjangnya terasa berat ketika melangkah menghampiri mobil warna hitam milik Kai.Kesal.Itulah yang dirasakan Safira detik ini. Tidak bisa berbuat apa-apa mau pun menolak keinginan konyol dari pemuda di sampingnya yang tengah fokus menyetir. Kebohongan demi kebohongan seakan menjadi teman baik dalam kehidupan Safira selama hampir tiga bulan terakhir ini. Walaupun itu bukanlah maunya. Akan tetapi, Safira juga terlalu pengecut untuk berkata jujur kepada Arkana—pria baik yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.'Hfft …'Helaan frustrasi tak pernah berhenti berembus dari hidung dan mulut Safira. Rasa bersalahnya seolah-olah membuat dadanya terasa sangat sesak. Arkana sangat mempercayai serta mencintai Safira. Tak pandang bulu meski status sosial mereka amatlah berbeda jauh. Cinta Arkanalah yang membuat Safira menjadi tidak percaya diri, memilih memendam masalahnya sendiri sekaligus menutupi fakta lain mengenai pekerjaan sambilan yang dilakoninya selama ini.Namun, rahasia yang coba dia tutupi dari Arkana lantaran malu, malah justru diketahui tanpa sengaja oleh Kai. S
"Elu tunggu di sini dulu. Jangan ke mana-mana sebelum gue samperin lu. Ngerti?" titah Kai setelah menggiring Safira masuk ke Bar, dan mengajaknya ke ruangan VIP. Pemuda itu hanya berdiri di depan pintu seraya bersedekap, menunggu Safira masuk ke dalam."Kamu mau ke mana lagi?" tanya Safira, masih berdiri di depan pintu sama seperti Kai. Dia kesal, tetapi tidak bisa protes. Untuk apa Kai jauh-jauh mengajaknya ke tempat ini, bila ujung-ujungnya harus menunggu sendirian.Kai menghela napas panjang, meraup kasar wajahnya sesaat, lantas menyahut, "Tadi 'kan gue udah bilang kalo ada urusan bentar. Nanti gue balik lagi ke sini. Elu tenang aja." Dia pun melihat jam tangannya sekilas dengan gusar. "Udah sana masuk. Tunggu di dalem. Kalo mau tidur, silakan.""Tap—" Belum juga menuntaskan kalimat protesnya, Kai lebih dulu mendorong lengan Safira supaya segera masuk, sebab dia sudah ditunggu oleh seseorang di rooftop tempat tersebut. "Ish! Kasar banget kamu!" Safira merengut sambil mengusap lenga
Safira langsung masuk setelah mendapat izin dari Danis—pemilik Bar tempatnya bekerja sampingan, sekaligus sahabatnya Kai. Berdiri sungkan di balik pintu yang baru saja ditutup, Safira belum berani duduk, masih memandang Bosnya yang bermata sipit dan berlesung pipit. Danis adalah keturunan marga Tionghoa campuran Jawa, tetapi dia tidak pelit seperti kebanyakan para orang Cina pada umumnya.Berkat kebaikan hatinyalah, Safira diperbolehkan mencicil utang ayahnya yang kerap berjudi di tempat itu. Setiap satu Minggu sekali gajinya akan dipotong sesuai kesepakatan diawal, yakni 50persen. Sisanya akan diberikan kepada Safira untuk biaya hidup."Kamu jam segini udah ada di sini? Sama Kai?" Danis lebih dulu bertanya pada Safira karena pekerjanya itu tak kunjung membuka suara. Pandangannya tetap tertuju pada layar ponsel di tangan.Safira cukup terkejut karena bosnya itu tahu jika dia datang ke tempat ini bersama Kai. "Kok, Pak Danis tau kalo saya ke sini sama dia?" tanyanya masih berdiri di te
Sambil bersedekap dan tatapan memicing, Safira bertanya, "Kenapa kamu lunasin semua utang-utangku ke Pak Danis?"Saat mengetahui fakta tersebut, Safira tentu saja terkejut dan sempat tak percaya. Mengapa seorang Kai yang tidak ada urusannya sama sekali dengan utang-utang ayahnya Safira, mau berbaik hati mendonasikan sebagian uangnya untuk melunasi.Apa ini hanya akal-akalan Kai saja? Tetapi untuk apa? Untuk apa Kai sukarela mengeluarkan uang sebanyak itu, kalau tanpa ada niat terselubung di dalamnya?Bukannya menjawab, Kai justru tersenyum miring, lalu bersedekap. Padahal, dia belum berniat untuk memberitahu Safira jika telah melunasi semua utang-utang perempuan itu. Rencananya, Kai akan mengatakannya nanti setelah surat perjanjian diperbarui. Namun, tidak masalah. Safira tahu besok mau pun sekarang, itu sama saja. Tidak ada bedanya.Geram, sebab Kai tak kunjung menjawab pertanyaannya. Safira menarik napas panjang, seraya memejam sesaat. Feeling-nya tidak salah lagi. Pasti ada niat te
Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu. Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik. Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut. Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bi
Baru saja hendak mematikan lampu kamar, dering ponsel yang telah disetting khusus dengan nama si pemanggil bergema di ruangan tersebut. Atensi Safira seketika teralihkan pada benda pipih hadiah dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.Senyum Safira sontak terukir begitu melihat nama pria yang mengisi hatinya sejak dua tahun terakhir. "Mas Arkana?"Menyambar ponselnya yang tak berhenti berdering, Safira segera menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Mas?" Dia menyapa dengan raut semringah seraya bersandar di kepala ranjang dan kaki dilipat."Halo, Fir? Udah tidur?" tanya Arkana."Baru mau tidur, Mas." Safira meraih guling dan memeluknya. "Mas, kok, belum tidur?"Hening sejenak, hanya helaan napas yang terdengar di telinga Safira. Sampai beberapa detik berlalu, Arkana menyahut, "Aku baru pulang dari apartemennya Kai.""Kai?" Punggung Safira sontak menegang, bahkan sampai reflek menegak. "Mas Arkana habis dari apartemennya Kai?" Seolah Safira ingin me
Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan.Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus."Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel."Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!""Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo g
Jujur, Safira terkejut mendengar fakta yang terlontar dari mulut Arkana. Fakta yang kemungkinan akan dianggap sebagai aib oleh sebagian orang di luaran sana. Anak tidak sah? Anak haram? Anak hasil perselingkuhan? Entah apa lagi sebutannya. Safira tidak mau ambil pusing. Semua itu bukanlah urusannya. Semua aib atau masalah tersebut bukanlah hal yang pantas dibicarakan pada sembarang orang. Siapa Safira? Safira hanyalah calon istri Arkana yang kebetulan akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu. Jika tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui aib dari keluarga itu? Dari sinilah Safira mulai paham, mengapa kedua kakak beradik itu tidak pernah terlihat akrab. Kai selalu menjaga jarak dengan Arkana. Tak pernah sekali pun dia melihat dua bersaudara itu bersama atau sekadar mengobrol layaknya saudara. Safira ingat sekali ketika pertama kali dia bertemu Kai. Saat itu dia mengira jika Kai tinggal di luar negeri. Namun ternyata, pemikirannya salah. Arkana mengatakan kalau adik satu-s