Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu.
Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik.Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut.Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bisa mencicil sedikit demi sedikit utang senilai ratusan juta rupiah, dengan bekerja di Bar miliknya. Mengandalkan gaji SPG juga sangatlah tidak mungkin. Biaya hidup di jaman sekarang serba mahal dan apa-apa harus pakai uang.Ya ... Walaupun dia bekerja di pusat perbelanjaan milik keluarga calon suaminya. Hal tersebut tak serta merta turut memperbaiki keberlangsungan hidup Safira. Memilih menutup rapat-rapat perihal masalah hidup yang menderanya, Safira tidak mau Arkana mengasihaninya."Fira! Safira! Di mana kamu!" Januar berteriak memanggil Safira ketika baru saja masuk dalam keadaan setengah mabuk. "Fira!"Pria paruh baya yang keadaan bajunya berantakan itu duduk bersandar di sofa ruang tamu, dengan kepala menengadah.Merasa namanya dipanggil, Safira yang tengah membersihkan riasan di wajahnya lekas menyahut, "Iya, bentar!" Lalu, membuang kapas bekas ke tempat sampah yang ada di sisi meja rias.Safira pun bergegas keluar kamar untuk menemui ayahnya yang berada di ruang tamu. Ukuran rumah bercat putih gading itu tidaklah terlalu luas, hanya ada dua kamar, ruang tamu mini, dapur seadanya, serta kamar mandi satu yang terletak di samping kamar Safira. Seketika Safira mengernyitkan hidungnya karena bau alkohol yang menyengat.Januar menoleh sekilas, lalu berkata ketus,"Lelet banget kamu! Ngapain aja, sih?""Fira baru pulang kerja, Pak. Tadi baru beberes. Bapak butuh apa?" sahut Safira sopan. Meskipun Safira tidak menyukai sifat ayahnya yang sekarang, tetapi dia tidak menghilangkan rasa hormatnya pada lelaki paruh baya ini. Biar bagaimanapun, Januar dulu adalah sosok ayah yang sangat Safira kagumi."Buatin bapak mi rebus sama telornya dua! Terus jangan lupa dikasih cabe rawit lima biji sama sayuran kalo ada," titah Januar layaknya bos yang harus dilayani dengan penuh hormat. "Cepetan!""Iya, Pak." Safira mengangguk sekali, dan lekas melaksanakan perintah ayahnya. Berbalik, lalu segera menuju dapur untuk membuatkan mi rebus sesuai permintaan Januar. Lelahnya untuk sementara dia kesampingkan. "Hfft ..."Beberapa saat kemudian, mi rebus pun sudah matang. Safira membawanya ke meja makan kayu yang sebenarnya sudah tidak layak pakai. Setelah meletakkan mangkok berisi mi, Safira memanggil ayahnya yang menonton televisi."Mi rebusnya udah mateng, Pak." Safira memanggil Januar dengan nada pelan. Berdiri di sisi sofa tunggal dengan perasaan tidak enak, karena Januar menatapnya dengan tatapan tidak terbaca.Jika sudah seperti itu, maka Safira sudah bisa menebak, isi kepala Januar."Tadi bapak kalah judi lagi. Kamu bayarin utang itu," ucap Januar sambil beranjak dari sofa, kemudian melenggang santai di hadapan Safira menuju ke dapur.Mengikuti ayahnya ke dapur, Safira berkata,"Pak. Utang Bapak aja yang kemarin belum bisa aku bayar. Ini malah Bapak tambahin lagi jumlahnya. Kalo caranya begini kapan lunasnya? Fira capek, Pak. Capek ...."Apa selamanya akan seperti ini? Hidupnya hanya menjadi mesin pelunas utang ayahnya? Safira sudah lelah berurusan dengan utang sekaligus dengan Kai. Gara-gara uang, hidupnya jadi dikendalikan oleh dua orang yang tidak mempunyai perasaan."Kamu 'kan bisa tinggal minta ke Arkana. Dia duitnya banyak. Lagian, duit segitu, mah, gak ada apa-apanya buat dia," sahut Januar dengan enteng tanpa memikirkan perasaan anak yang dulu begitu mengaguminya.Januar menenggak air putih dari botol kaca yang diambilnya dari kulkas dengan berdiri. Setelah minum, dia duduk, meletakkan botol kaca ke meja dan mulai memakan mi rebusnya. Perutnya hanya diisi minuman sejak tadi sore, dan sekarang sangat merasa lapar.Enak saja minta Mas Arkana, pikir Safira sambil memejamkan mata sejenak, seraya mengatur emosi."Enggak bisa gitu, dong, Pak. Mas Arkana belum jadi suamiku. Aku gak ada hak minta duit sama dia. Lagi pula, dia juga belum berkewajiban nanggung biaya hidupku." Safira memberanikan diri untuk melontarkan protesnya. Biar Januar membuka mata dan pikirannya agar segera sadar akan kesalahannya.Brakk!Januar menggebrak meja tua itu cukup keras, sampai Safira berjengit kaget. Lalu botol minum yang terbuat dari kaca terjatuh, dan menggelinding ke bawah hingga pecah. Isinya pun tumpah membasahi lantai keramik."Makanya cepetan minta dinikahin! Jadi perempuan itu yang pinter dikit, napa? Gini-gini bapak juga udah gak sabar pengen besanan sama orang kaya. Percuma punya muka cantik kalo gak dimanfaatin, ck! Bodoh!" Umpatan Januar terdengar sangat tajam. Dia bahkan tak segan bicara kasar kepada Safira.Hati anak mana yang tidak terluka apabila mendengar kalimat tidak pantas dari mulut ayah kandungnya. Safira sungguh tidak mengenal sosok yang tengah makan di meja sana. Ke mana perginya sang ayah yang dulu begitu sangat penyayang?"Maksud Bapak apa? Bapak kenapa selalu desak Fira? Nikah itu juga butuh uang, Pak? Butuh modal. Sementara aku belum ada uang untuk biaya nikah. Keluarga Mas Arkana bukan dari keluarga sembarangan.""Kan, Arkana pernah bilang sama bapak. Dia yang bakal biayain semuanya. Kenapa kamu yang bingung? Tinggal nikah. Udah beres. Gitu aja dibikin pusing!" Januar berdecak seraya meletakkan sendok bekas makan dengan kasar ke mangkok yang sudah kosong.Januar terdiam sejenak, otaknya tengah berpikir keras. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang banyak untuk melunasi utang-utangnya di Bar. Sementara Safira tidak mau meminta bantuan pada Arkana.Seringai licik terbit di sudut bibir Januar. Lantas, dengan entengnya dia berkata, "Apa perlu bapak yang ngomong ke Arkana? Bapak minta duit ke dia buat lunasin utang-utang bapak. Gimana?"Bola mata Safira membulat mendengar hal itu. Menggeleng, lalu Safira memohon, "Enggak! Bapak gak boleh minta uang ke Mas Arkana. Fira mohon ...."Mau ditaruh di mana mukanya? Arkana sudah sangat baik padanya selama ini. Safira tidak mau merepotkan calon suaminya itu.Tak tersentuh dengan kalimat permohonan Safira, Januar malah tertawa. "Kamu itu memang bodoh, Fir. Punya pacar kaya gak pernah dimintain duit. Kerja siang malem tapi gak bisa lunasin utang-utang. Gak berguna banget kamu jadi anak," ketus Januar, yang lantas berdiri, lalu beranjak. Perut sudah terisi, kini waktunya dia tidur.Saat melintas di hadapan Safira, Januar mendengkus tak acuh. Tak memedulikan tatapan nanar putrinya yang hampir menangis. Pria paruh baya yang rambutnya sebagian beruban itu segera masuk ke kamar, lalu membanting pintunya."Kalo Fira gak berguna, buat apa Fira capek-capek kerja siang malem, Pak? Apa selama ini usaha Fira gak pernah berarti di mata Bapak?" Lelehan bening nan hangat menetes di pipi Safira, tetapi lekas-lekas dia menghapusnya agar tak berjejak. "Sabar, Fir ... Sabar ...." Safira mengelus dada.Sebelum masuk ke kamar, Safira membereskan meja makan dan pecahan botol di lantai. Mengepelnya, lalu mencuci mangkok di bak cuci piring. Tubuhnya sudah merasa sangat lelah, dan ingin cepat-cepat menyelesaikan kekacauan ini. Istirahat di kasur, kemudian tidur. Dengan begitu kesialan yang datang bertubi-tubi hari ini bisa segera dia hapus dari ingatan.Baru saja hendak mematikan lampu kamar, dering ponsel yang telah disetting khusus dengan nama si pemanggil bergema di ruangan tersebut. Atensi Safira seketika teralihkan pada benda pipih hadiah dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.Senyum Safira sontak terukir begitu melihat nama pria yang mengisi hatinya sejak dua tahun terakhir. "Mas Arkana?"Menyambar ponselnya yang tak berhenti berdering, Safira segera menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Mas?" Dia menyapa dengan raut semringah seraya bersandar di kepala ranjang dan kaki dilipat."Halo, Fir? Udah tidur?" tanya Arkana."Baru mau tidur, Mas." Safira meraih guling dan memeluknya. "Mas, kok, belum tidur?"Hening sejenak, hanya helaan napas yang terdengar di telinga Safira. Sampai beberapa detik berlalu, Arkana menyahut, "Aku baru pulang dari apartemennya Kai.""Kai?" Punggung Safira sontak menegang, bahkan sampai reflek menegak. "Mas Arkana habis dari apartemennya Kai?" Seolah Safira ingin me
Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan.Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus."Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel."Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!""Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo g
Jujur, Safira terkejut mendengar fakta yang terlontar dari mulut Arkana. Fakta yang kemungkinan akan dianggap sebagai aib oleh sebagian orang di luaran sana. Anak tidak sah? Anak haram? Anak hasil perselingkuhan? Entah apa lagi sebutannya. Safira tidak mau ambil pusing. Semua itu bukanlah urusannya. Semua aib atau masalah tersebut bukanlah hal yang pantas dibicarakan pada sembarang orang. Siapa Safira? Safira hanyalah calon istri Arkana yang kebetulan akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu. Jika tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui aib dari keluarga itu? Dari sinilah Safira mulai paham, mengapa kedua kakak beradik itu tidak pernah terlihat akrab. Kai selalu menjaga jarak dengan Arkana. Tak pernah sekali pun dia melihat dua bersaudara itu bersama atau sekadar mengobrol layaknya saudara. Safira ingat sekali ketika pertama kali dia bertemu Kai. Saat itu dia mengira jika Kai tinggal di luar negeri. Namun ternyata, pemikirannya salah. Arkana mengatakan kalau adik satu-s
Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan..."Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya.Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini."Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak
"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu.Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, ha
Entah apa yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Sampai-sampai menaruh kepercayaan kepada adik tirinya untuk menjaga tunangannya selagi dia pergi menemani sang papi berobat di Belanda. Hingga membuat Safira sempat terdiam sesaat. Seakan-akan perkataan Arkana adalah sebuah kabar yang sangat-sangat mencengangkan. 'Kamu gak tau, Mas. Adik kamu ini sangat licik melebihi iblis. Bagaimana bisa kamu memberinya kepercayaan untuk menjagaku? Selama tiga bulan ini hidupku sudah berada di dalam kendalinya. Itu semua juga gara-gara kebodohanku.' Batin Safira menyeru sekencang-kencangnya. Keinginannya untuk mengungkap sifat buruk Kai, nyatanya tidak bisa dia sampaikan secara terang-terangan."Gimana, Kai? Kamu ... Mau 'kan bantu aku jaga Safira?" Tatapan Safira semakin nyalang. Sambil menelan ludah dia mengalihkan pandangan pada Kai. 'Semoga Kai gak setuju. Semoga. Semoga.' Lagi-lagi dia hanya bisa menjerit dalam hati.Kai mengerjap, dan hanya melirik Safira. "Elu yakin mau nitipin calon istri
"Kamu tunggu di sini aja, gak usah ikut masuk." Safira melepas sabuk pengaman ketika mobil Kai terparkir sempurna di halaman rumahnya yang luasnya tak seberapa. Baru saja dia hendak membuka pintu mobil untuk keluar, perkataan Kai mampu menghentikan pergerakan tangannya. "Tapi gue pengen ikut masuk." Kai melepas sabuk pengamannya tanpa memedulikan decakan Safira. "Kamu—" Kalimat protes yang hendak dilontarkan terpaksa Safira telan kembali, karena Kai lebih dulu keluar dari mobil. "Dia emang manusia paling ngeselin!" umpatnya memandang Kai yang lebih dulu melangkah ke pintu masuk. Dengan berat hati serta rasa tidak ikhlas, Safira membuka lebar-lebar pintunya dan mempersilakan Kai masuk. "Tunggu di situ aja. Aku mau ke kamar dulu, mau ambil baju ganti." Dia menunjuk sofa sederhana yang sudah sekian lama berada di ruang tamu rumahnya."Cepetan! Gak pakek lama." Kai mendengkus, lalu duduk di sofa yang warnanya sudah memudar itu. Memandang punggung Safira yang membuka pintu, kemudian mas
Semenjak pertengkaran itu dan berakhir dengan ancaman. Safira semakin tidak bisa lepas dari genggaman seorang Kai. Dia sudah curiga jika semua akan berakhir seperti ini. Uang yang diminta ayahnya dari Kai, yang katanya untuk modal usaha, rupanya berujung menjadi utang. Jumlahnya pun tidak sedikit. Jika seperti ini, entah sampai kapan Safira bisa melunasinya.Safira sungguh tidak mengerti. Mengapa Kai sangat suka mempersulit keadaannya. Mengapa calon adik iparnya itu terobsesi untuk membuatnya menderita. Apakah di masa lalu Safira mempunyai kesalahan terhadap Kai, sehingga pemuda itu hobi sekali membuatnya sengsara?"Fir." Lolita masuk ke ruangan yang baru saja selesai dibooking oleh pelanggan. Menepuk pundak Safira yang dia perhatikan belakangan ini sering melamun. Terhenyak. Safira lantas menyahut, "Iya, Lit?" sambil melanjutkan pekerjaannya—menata botol-botol minuman yang sudah kosong di meja.Lolita memerhatikan Safira lalu berkata sambil membantu menata gelas-gelas bekas pakai pe