Sambil bersedekap dan tatapan memicing, Safira bertanya, "Kenapa kamu lunasin semua utang-utangku ke Pak Danis?"
Saat mengetahui fakta tersebut, Safira tentu saja terkejut dan sempat tak percaya. Mengapa seorang Kai yang tidak ada urusannya sama sekali dengan utang-utang ayahnya Safira, mau berbaik hati mendonasikan sebagian uangnya untuk melunasi.Apa ini hanya akal-akalan Kai saja? Tetapi untuk apa? Untuk apa Kai sukarela mengeluarkan uang sebanyak itu, kalau tanpa ada niat terselubung di dalamnya?Bukannya menjawab, Kai justru tersenyum miring, lalu bersedekap. Padahal, dia belum berniat untuk memberitahu Safira jika telah melunasi semua utang-utang perempuan itu. Rencananya, Kai akan mengatakannya nanti setelah surat perjanjian diperbarui. Namun, tidak masalah. Safira tahu besok mau pun sekarang, itu sama saja. Tidak ada bedanya.Geram, sebab Kai tak kunjung menjawab pertanyaannya. Safira menarik napas panjang, seraya memejam sesaat. Feeling-nya tidak salah lagi. Pasti ada niat tersembunyi dari kebaikan hati si manusia menyebalkan ini. Seringai yang terukir di bibir Kai, sudah cukup membuktikan kalau kali ini dia ingin mempermainkan Safira."Oke. Kamu gak perlu jawab pertanyaanku tadi. Kalo diliat dari reaksimu, aku udah tau jawabannya," ucap Safira, yang lagi-lagi harus membuang kasar napasnya karena tatapan remeh Kai. Dia sangat-sangat membenci tatapan itu.Mencoba untuk masih bersabar dengan segala sikap Kai, Safira pun kembali bicara, "Jadi … Apa timbal baliknya? Kamu mau apalagi dari aku? Gak mungkin 'kan, kamu gelontorin duit dua ratus dua puluh lima juta cuma-cuma?""Pinter!" Kai menjetikkan jari ke depan muka Safira yang sontak berubah pucat.Lantas, Kai sedikit membungkuk dengan posisi tangan masih bersedekap. Menatap lekat sepasang manik Safira yang berwarna kecokelatan, dengan bulu lentik alami. Hidung kecil, bibir ranum, dan paras yang cukup menggoda, membuat rasa penasaran Kai semakin membumbung. Sudah hampir 3 bulan, Kai belum bisa mendapatkan apa yang dia mau. Yakni meniduri Safira.Perempuan di hadapannya ini begitu keras kepala dan tidak pernah goyah sedikit pun. Meskipun Kai telah menggunakan berbagai macam cara. Jika seperti itu terus, rencananya hanya akan berjalan di tempat dan tidak akan ada perkembangan. Keinginannya melihat Arkana terluka pun tidak akan pernah terwujud.Melunasi utang Safira pada Danis adalah satu-satunya cara yang terlintas dalam pikiran Kai. Dia akan membalik keadaan, serta akan membuat Safira semakin tunduk padanya. Ya, tunduk!"Elu udah tau jawabannya, Fir. Apa yang gue mau dari lu," ucap Kai, dengan tatapan berbeda, dan sialnya Safira berdebar menatap wajah tampan tanpa cela itu.Safira menelan ludah, berusaha tetap tenang, serta tidak tergoda dengan tatapan sayu dari sepasang manik Kai yang kelam. Arkana saja tidak sememesona ini. Ah, tidak-tidak! Arkana dan Kai memang dua sosok yang berbeda sangat jauh meski mereka bersaudara. Arkana lebih ke pendiam, dan tidak agresif, sedangkan Kai?Membayangkannya saja, darah Safira berdesir panas. Ck!Menyadari jika perempuan di hadapannya ini tak bergeming, Kai justru mengambil kesempatan tersebut. Tanpa permisi, dia mengecup singkat bibir sedikit terbuka itu hingga sang empunya terperanjat kaget, dan hampir limbung. Lengan Kai dengan sigap menangkap pinggang Safira yang nyaris jatuh ke belakang.Kegugupan menyerbu Safira detik itu juga. Jarak yang begitu dekat membuat embusan napas Kai terasa menyapu permukaan kulit wajahnya. Posisinya sangat-sangat intim, dan Safira tak berkutik ketika dengan perlahan Kai membantunya menegakkan badan."Gak pernah dicium sama Abang gue?" celetuk Kai dengan nada mengejek, dan seketika itu juga raut Safira berubah merah seperti udang rebus."Awas!" Safira menyingkirkan tangan Kai yang masih membelit pinggangnya, sambil hatinya mengumpat sejadi-jadinya karena apa yang dikatakan Kai benar adanya.'Sial! Kenapa Kai bisa tepat gitu nebaknya? Apa mukaku keliatan banget, ya, kalo salah tingkah gara-gara dicium sama dia barusan, ck! Malu-maluin, Fir!'Safira merasa sangat bodoh kali ini, karena Kai pandai memprovokasi dirinya.Sudut bibir Kai tertarik ke samping, tingkah Safira sudah sangat jelas menggambarkan apa yang ada di pikiran perempuan itu. Dia berkata, "Berhubung elu udah tau semuanya, mending gue gak perlu basa-basi lagi." Sementara Safira mengerjap gugup.Kai memasukkan satu tangannya ke saku celana, kemudian lanjut berkata, "Utang lu di Danis udah gue lunasin. Dan sekarang, elu yang utang sama gue. Jadi …gue harap elu sadar diri karena mulai sekarang elu udah jadi milik gue. Sampai elu bisa ngelunasin utang-utang lu ke gue. Ngerti?"Kepala Kai yang maju tiba-tiba membuat Safira sontak memundurkan kepalanya juga. Tubuhnya tidak bisa ikut beringsut karena masih dalam rengkuhan lengan Kai."Kamu emang licik!" ketus Safira, tatapannya nampak sangat marah. "Kamu gak bisa manfaatin aku kayak gini! Kamu udah curang!" Napas Safira memburu akibat kemarahannya yang memuncak. Kelicikan Kai sungguh membuatnya semakin terikat."Emang itu yang gue mau, Fir." Kai menyeringai puas. "Karena elu udah nipu keluarga gue juga Abang gue. Ini hukuman buat penipu kayak lu!""Tapi ini udah keterlaluan!""Suka-suka gue!""Kamu gak bisa seenaknya sama aku!""Itu hak gue!""Enggak bisa! Aku gak mau!" Safira berteriak sangat nyaring. Tekanan dari Kai membuatnya emosi. Telapak tangannya sudah mengepal kuat, hendak meninju wajah itu. Biar saja wajah tampan Kai babak belur. Safira tidak peduli!"Elu punya utang sama gue, Fir! Dua ratus dua puluh lima juta. Sama … utang budi! Karena selama ini gue udah baik hati gak bongkar rahasia lu ke Abang gue," ucap Kai sekadar mengingatkan perempuan keras kepala ini."Breng— mmm—"Bibir Kai lebih dulu membungkam mulut Safira yang hendak mengumpat. Memberinya pagutan sangat lembut dan isapan melenakan. Sampai-sampai Safira pun tidak kuasa menolak ciuman itu. Kai menyeringai disela-sela pagutan, mendapati Safira yang mulai larut dalam permainan lidahnya.Tak ingin melewatkan kesempatan, Kai mengeratkan rengkuhannya di pinggang sang calon kakak iparnya itu. Telapak tangannya yang lain merayap di punggung Safira dengan perlahan, naik hingga menuju ke tengkuk. Untuk beberapa saat keduanya hanyut dalam pagutan yang lambat laun memanas.Logika Safira sudah kalah dengan pesona calon adik iparnya yang begitu menggoda ini. Otaknya tak bisa digunakan untuk berpikir jernih. Bahkan, bayangan wajah Arkana yang biasa terlintas nyaris tidak ada di ingatan Safira di saat-saat seperti sekarang.Sial!Akan tetapi, waktu seakan belum berpihak pada Kai, sebab tiba-tiba …"Kai!"Panggilan itu sontak saja menghentikan pagutan yang bisa saja tak terkendali. Kai menelengkan kepalanya ke sumber suara yang tidak asing di telinga.Kaki Safira pun reflek mundur satu langkah, ketika belitan lengan Kai di pinggang terlepas. Susah payah dia mengatur napas yang terengah, serta ritme jantung yang berdebar tak karuan. Sorot tajam sosok di depan pintu itu seolah menyadarkan Safira atas kesalahan yang baru saja dia lakukan. Kepergok seperti ini sungguh memalukan rasanya!Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu. Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik. Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut. Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bi
Baru saja hendak mematikan lampu kamar, dering ponsel yang telah disetting khusus dengan nama si pemanggil bergema di ruangan tersebut. Atensi Safira seketika teralihkan pada benda pipih hadiah dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.Senyum Safira sontak terukir begitu melihat nama pria yang mengisi hatinya sejak dua tahun terakhir. "Mas Arkana?"Menyambar ponselnya yang tak berhenti berdering, Safira segera menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Mas?" Dia menyapa dengan raut semringah seraya bersandar di kepala ranjang dan kaki dilipat."Halo, Fir? Udah tidur?" tanya Arkana."Baru mau tidur, Mas." Safira meraih guling dan memeluknya. "Mas, kok, belum tidur?"Hening sejenak, hanya helaan napas yang terdengar di telinga Safira. Sampai beberapa detik berlalu, Arkana menyahut, "Aku baru pulang dari apartemennya Kai.""Kai?" Punggung Safira sontak menegang, bahkan sampai reflek menegak. "Mas Arkana habis dari apartemennya Kai?" Seolah Safira ingin me
Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan.Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus."Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel."Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!""Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo g
Jujur, Safira terkejut mendengar fakta yang terlontar dari mulut Arkana. Fakta yang kemungkinan akan dianggap sebagai aib oleh sebagian orang di luaran sana. Anak tidak sah? Anak haram? Anak hasil perselingkuhan? Entah apa lagi sebutannya. Safira tidak mau ambil pusing. Semua itu bukanlah urusannya. Semua aib atau masalah tersebut bukanlah hal yang pantas dibicarakan pada sembarang orang. Siapa Safira? Safira hanyalah calon istri Arkana yang kebetulan akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu. Jika tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui aib dari keluarga itu? Dari sinilah Safira mulai paham, mengapa kedua kakak beradik itu tidak pernah terlihat akrab. Kai selalu menjaga jarak dengan Arkana. Tak pernah sekali pun dia melihat dua bersaudara itu bersama atau sekadar mengobrol layaknya saudara. Safira ingat sekali ketika pertama kali dia bertemu Kai. Saat itu dia mengira jika Kai tinggal di luar negeri. Namun ternyata, pemikirannya salah. Arkana mengatakan kalau adik satu-s
Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan..."Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya.Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini."Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak
"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu.Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, ha
Entah apa yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Sampai-sampai menaruh kepercayaan kepada adik tirinya untuk menjaga tunangannya selagi dia pergi menemani sang papi berobat di Belanda. Hingga membuat Safira sempat terdiam sesaat. Seakan-akan perkataan Arkana adalah sebuah kabar yang sangat-sangat mencengangkan. 'Kamu gak tau, Mas. Adik kamu ini sangat licik melebihi iblis. Bagaimana bisa kamu memberinya kepercayaan untuk menjagaku? Selama tiga bulan ini hidupku sudah berada di dalam kendalinya. Itu semua juga gara-gara kebodohanku.' Batin Safira menyeru sekencang-kencangnya. Keinginannya untuk mengungkap sifat buruk Kai, nyatanya tidak bisa dia sampaikan secara terang-terangan."Gimana, Kai? Kamu ... Mau 'kan bantu aku jaga Safira?" Tatapan Safira semakin nyalang. Sambil menelan ludah dia mengalihkan pandangan pada Kai. 'Semoga Kai gak setuju. Semoga. Semoga.' Lagi-lagi dia hanya bisa menjerit dalam hati.Kai mengerjap, dan hanya melirik Safira. "Elu yakin mau nitipin calon istri
"Kamu tunggu di sini aja, gak usah ikut masuk." Safira melepas sabuk pengaman ketika mobil Kai terparkir sempurna di halaman rumahnya yang luasnya tak seberapa. Baru saja dia hendak membuka pintu mobil untuk keluar, perkataan Kai mampu menghentikan pergerakan tangannya. "Tapi gue pengen ikut masuk." Kai melepas sabuk pengamannya tanpa memedulikan decakan Safira. "Kamu—" Kalimat protes yang hendak dilontarkan terpaksa Safira telan kembali, karena Kai lebih dulu keluar dari mobil. "Dia emang manusia paling ngeselin!" umpatnya memandang Kai yang lebih dulu melangkah ke pintu masuk. Dengan berat hati serta rasa tidak ikhlas, Safira membuka lebar-lebar pintunya dan mempersilakan Kai masuk. "Tunggu di situ aja. Aku mau ke kamar dulu, mau ambil baju ganti." Dia menunjuk sofa sederhana yang sudah sekian lama berada di ruang tamu rumahnya."Cepetan! Gak pakek lama." Kai mendengkus, lalu duduk di sofa yang warnanya sudah memudar itu. Memandang punggung Safira yang membuka pintu, kemudian mas