Safira langsung masuk setelah mendapat izin dari Danis—pemilik Bar tempatnya bekerja sampingan, sekaligus sahabatnya Kai. Berdiri sungkan di balik pintu yang baru saja ditutup, Safira belum berani duduk, masih memandang Bosnya yang bermata sipit dan berlesung pipit. Danis adalah keturunan marga Tionghoa campuran Jawa, tetapi dia tidak pelit seperti kebanyakan para orang Cina pada umumnya.
Berkat kebaikan hatinyalah, Safira diperbolehkan mencicil utang ayahnya yang kerap berjudi di tempat itu. Setiap satu Minggu sekali gajinya akan dipotong sesuai kesepakatan diawal, yakni 50persen. Sisanya akan diberikan kepada Safira untuk biaya hidup."Kamu jam segini udah ada di sini? Sama Kai?" Danis lebih dulu bertanya pada Safira karena pekerjanya itu tak kunjung membuka suara. Pandangannya tetap tertuju pada layar ponsel di tangan.Safira cukup terkejut karena bosnya itu tahu jika dia datang ke tempat ini bersama Kai. "Kok, Pak Danis tau kalo saya ke sini sama dia?" tanyanya masih berdiri di tempat yang sama.Tatapan Danis sontak teralihkan, minatnya pun berpindah pada Safira yang dia kenal sejak setahun yang lalu. "Kamu lupa kalo kami itu temenan?" singgungnya, lalu meletakkan ponselnya di meja.Danis terlihat menghela napas, kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi dengan tangan berada di setiap sisi kursi. Dia lantas menyuruh Safira agar duduk. "Duduk dulu, Fir. Ada hal penting yang mau saya sampaikan."Titah Danis lekas dilakukan oleh Safira, yang maju tiga langkah untuk mencapai kursi yang berseberangan dengan meja kerja bosnya. Ruangan beraroma maskulin itu sangat sejuk, dan Safira selalu betah berlama-lama di sana. Ditambah dengan adanya beberapa bingkai lukisan berukuran besar bergambar naga emas yang berpadu dengan warna merah, menggantung di dinding putih. Menambah kesan estetik pada ruangan tersebut.Dalam hatinya, Safira menduga-duga jika Danis pasti akan membahas perihal utang ayahnya. Lalu, sebelum Danis memulai, Safira memilih untuk bertanya lebih dulu. "Hmm … Maaf, Pak Danis. Saya ke sini mau tanya soal utang Bapak saya. Apa bener, kalo utang Bapak saya udah lunas?"Raut Danis yang tidak bisa ditebak membuat Safira makin segan dan sungkan. Kabar yang dikatakan Lolita tidak sepenuhnya dia telan mentah-mentah. Meskipun di dalam hatinya sangat berharap jika semua itu benar adanya. Tetapi … siapa kira-kira orang yang sudah berbaik hati berdonasi untuk melunasi utang-utang Safira?"Oh, kamu udah dengar rupanya?" Danis tersenyum dengan kalimat yang dirasa Safira sangat ambigu.Lantas, agar tidak semakin berbelit-belit, Safira langsung menebaknya, "Jadi … Itu beneran, Pak? Utang Bapak saya udah lunas? Tapi …."Danis lekas memotong perkataan Safira, "Itu benar, Fir. Utang bapak kamu udah lunas dua hari yang lalu." Senyumnya terukir. Namun, entah kenapa senyum itu bermakna penuh arti."Pak Danis serius?" Sepasang manik Safira membola nyaris lompat dari rongganya. "Pak Danis gak lagi bercanda 'kan? Utang Bapak saya jumlahnya itu gak sedikit, loh? Mana ada orang yang dengan sukarela donasiin duitnya buat bayar utang saya ke Pak Danis? Gak mungkin!" Safira tertawa hambar sambil mengibaskan tangan."Buktinya ada, kok!" Danis mengeluarkan selembar cek dari dalam laci, lalu menyodorkan ke Safira. "Ini cek dari orang yang sudah melunasi utang kamu ke saya. Ada namanya juga di bawah tanda tangan bagian kanan. Kamu bisa tanyakan sama orangnya langsung."Yang bisa dilakukan Safira ialah hanya mengerjapkan kedua kelopak matanya dengan mulut ternganga, ketika dia mengeja nama si pelunas utang._Kai langsung menuju ruang VIP setelah menyelesaikan urusannya di rooftop. Orang pertama yang dia cari adalah Safira. Namun, pada saat tiba di tempat itu, perempuan yang dia suruh menunggu tidak berada di tempatnya. Ke mana Safira, pikir Kai yang cukup kesal karena perintahnya tidak dipatuhi oleh mainannya itu.Dengan raut yang sudah berubah geram, Kai hendak keluar dari tempat itu untuk mencari Safira. Namun, di saat yang bersamaan Safira muncul dari pintu.Tanpa menunggu Safira masuk, Kai lebih dulu menariknya, lalu menghardiknya, "Dari mana lu? Kan, gue udah bilang tunggu gue di sini, dan jangan ke manapun sampe gue balik. Tapi kenapa lu gak dengerin gue, hah?""Sorry, tadi aku cuma cari angin aja di luar," ucap Safira dengan wajah datar tanpa ekspresi sama sekali, dan itu tentunya mengundang pertanyaan di benak Kai. Tidak biasanya Safira setenang ini. "Kamu … udah selesai?"Kai berdecak, "Udah." Kekesalannya pun menguap, berganti dengan rasa penasaran dengan perubahan sikap Safira. "Kita ke apartemen gue!""Oke."Kening Kai seketika mengerut, ketika lagi-lagi mendapati raut Safira tanpa ekspresi. "Elu kenapa?" Akhirnya, pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Kai sambil bersedekap dan menatap lekat-lekat wajah Safira."Aku gak pa-pa," geleng Safira, meremas tali tas selempang yang menjuntai di dadanya. "Ayo." Dia lebih dulu keluar, sementara Kai menyusulnya di belakang.Kai benar-benar mengajak Safira ke apartment yang sudah hampir empat tahun dia tempati seorang diri. Sedangkan Safira sendiri sudah lebih dari lima kali ke tempat tersebut semenjak dia terlibat dalam permainan adik Arkana itu. Dan, hal yang paling membuat Safira muak adalah kondisi yang sama yang selalu dia dapati ketika datang ke hunian Kai.Unit yang selalu berantakan dan bau alkohol bercampur rokok, benar-benar membuat perut Safira bergejolak ingin muntah. Apalagi ada beberapa pasangan muda mudi yang hobi berpesta miras serta bercumbu."Bisa, gak, kamu suruh temen-temen kamu itu pergi? Aku mual liat mereka," keluh Safira yang memilih berdiri di sisi pintu masuk, sambil menatap kekacauan unit tersebut.Bagaimana mungkin ada orang yang bisa dengan mudahnya memberikan izin orang-orang asing masuk ke ranah pribadi. Apalagi dengan semua hal yang sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang tamu."Elu tunggu di kamar biasanya aja. Gue yang akan urus mereka." Kai menunjuk pada pintu kamar yang tertutup rapat, tepat di sebelah kamar pribadinya yang selalu terkunci.Karena sudah tidak tahan dengan bau rokok dan minuman, Safira segera melenggang ke kamar yang dimaksud Kai tanpa sudi menatap empat orang laki-laki dan dua orang perempuan berpakaian seksi yang berada di ruang tengah."Astaga!" Safira memekik nyaring ketika membuka pintu kamar. "Kalo mau mesum jangan di sini! Ini tempatku, ngerti!" omelnya pada sepasang muda mudi yang tengah bercumbu di atas tempat tidur, dan hampir melucuti pakaiannya.Kai menyusul Safira karena mendengar teriakan, dan tahu-tahu sudah berada di balik punggung perempuan itu. "Kenapa?"Dengan wajah masam dan bibir mencebik, Safira menyahut, "Liat, tuh! Mereka mau mesum di sini! Di kamar ini! Suruh mereka keluar, Kai.""Gue kira ada apaan?" Kai hanya menanggapi santai, kemudian segera menyuruh laki-laki dan perempuan yang ada di kamar tersebut untuk segera pergi.Setelah beres, Safira berdecak seraya berkacak pinggang. "Mereka gak ada kerjaan apa, tiap hari bikin berantakan rumah orang!" sungutnya yang lantas masuk dan langsung membuka korden serta jendela, supaya aroma-aroma tidak sedap untuk dicium segera lenyap dari ruangan itu.Safira juga langsung membuka lemari, dan mengambil sprei baru, lalu mengganti seprai bekas pasangan tidak tahu malu itu dengan cekatan. "Nih! Bau!" Dia melempar seprai yang sudah ternoda ke depan muka Kai."Sialan!" umpat Kai, menendang seprai tersebut yang sempat mengenai wajahnya. "Elu cerewet, tau, gak! Mereka itu udah biasa di sini." Kai memperhatikan Safira yang sedang menyemprotkan pengharum serta menurunkan suhu pendingin ruangan, setelah selesai dengan urusan seprai."Jangan dibiasain!" cicit Safira menoleh sekilas ke arah Kai yang masih berdiri dengan tangan bersedekap. "Kalo kayak gitu itu artinya kamu ngumbar privasi ke orang lain, ck! Sama juga bohong, kalo kamu aja gak izinin orang lain masuk ke kamar kamu. Tapi, kamu kasih izin mereka berbuat seenaknya di sini.""Suka-suka gue!" Kai tidak pernah suka bila ada yang ikut campur dalam urusannya.Bola mata Safira berputar malas. "Iya-iya terserah kamu! Aku itu cuma ngingetin. Kalo gak suka, ya, gak masalah!" Bahu Safira mengedik tak acuh. Kemudian lanjut membereskan kotak pengaman yang belum terpakai isinya, dan membuangnya ke tempat sampah yang tersedia di sudut lemari.Safira melangkah mendekati Kai yang masih berdiri di tempatnya. Ini saatnya dia meminta jawaban atas apa yang diperbuat pemuda itu.Sambil bersedekap dan tatapan memicing, Safira bertanya, "Kenapa kamu lunasin semua utang-utangku ke Pak Danis?"Sambil bersedekap dan tatapan memicing, Safira bertanya, "Kenapa kamu lunasin semua utang-utangku ke Pak Danis?"Saat mengetahui fakta tersebut, Safira tentu saja terkejut dan sempat tak percaya. Mengapa seorang Kai yang tidak ada urusannya sama sekali dengan utang-utang ayahnya Safira, mau berbaik hati mendonasikan sebagian uangnya untuk melunasi.Apa ini hanya akal-akalan Kai saja? Tetapi untuk apa? Untuk apa Kai sukarela mengeluarkan uang sebanyak itu, kalau tanpa ada niat terselubung di dalamnya?Bukannya menjawab, Kai justru tersenyum miring, lalu bersedekap. Padahal, dia belum berniat untuk memberitahu Safira jika telah melunasi semua utang-utang perempuan itu. Rencananya, Kai akan mengatakannya nanti setelah surat perjanjian diperbarui. Namun, tidak masalah. Safira tahu besok mau pun sekarang, itu sama saja. Tidak ada bedanya.Geram, sebab Kai tak kunjung menjawab pertanyaannya. Safira menarik napas panjang, seraya memejam sesaat. Feeling-nya tidak salah lagi. Pasti ada niat te
Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu. Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik. Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut. Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bi
Baru saja hendak mematikan lampu kamar, dering ponsel yang telah disetting khusus dengan nama si pemanggil bergema di ruangan tersebut. Atensi Safira seketika teralihkan pada benda pipih hadiah dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.Senyum Safira sontak terukir begitu melihat nama pria yang mengisi hatinya sejak dua tahun terakhir. "Mas Arkana?"Menyambar ponselnya yang tak berhenti berdering, Safira segera menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Mas?" Dia menyapa dengan raut semringah seraya bersandar di kepala ranjang dan kaki dilipat."Halo, Fir? Udah tidur?" tanya Arkana."Baru mau tidur, Mas." Safira meraih guling dan memeluknya. "Mas, kok, belum tidur?"Hening sejenak, hanya helaan napas yang terdengar di telinga Safira. Sampai beberapa detik berlalu, Arkana menyahut, "Aku baru pulang dari apartemennya Kai.""Kai?" Punggung Safira sontak menegang, bahkan sampai reflek menegak. "Mas Arkana habis dari apartemennya Kai?" Seolah Safira ingin me
Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan.Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus."Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel."Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!""Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo g
Jujur, Safira terkejut mendengar fakta yang terlontar dari mulut Arkana. Fakta yang kemungkinan akan dianggap sebagai aib oleh sebagian orang di luaran sana. Anak tidak sah? Anak haram? Anak hasil perselingkuhan? Entah apa lagi sebutannya. Safira tidak mau ambil pusing. Semua itu bukanlah urusannya. Semua aib atau masalah tersebut bukanlah hal yang pantas dibicarakan pada sembarang orang. Siapa Safira? Safira hanyalah calon istri Arkana yang kebetulan akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu. Jika tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui aib dari keluarga itu? Dari sinilah Safira mulai paham, mengapa kedua kakak beradik itu tidak pernah terlihat akrab. Kai selalu menjaga jarak dengan Arkana. Tak pernah sekali pun dia melihat dua bersaudara itu bersama atau sekadar mengobrol layaknya saudara. Safira ingat sekali ketika pertama kali dia bertemu Kai. Saat itu dia mengira jika Kai tinggal di luar negeri. Namun ternyata, pemikirannya salah. Arkana mengatakan kalau adik satu-s
Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan..."Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya.Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini."Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak
"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu.Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, ha
Entah apa yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Sampai-sampai menaruh kepercayaan kepada adik tirinya untuk menjaga tunangannya selagi dia pergi menemani sang papi berobat di Belanda. Hingga membuat Safira sempat terdiam sesaat. Seakan-akan perkataan Arkana adalah sebuah kabar yang sangat-sangat mencengangkan. 'Kamu gak tau, Mas. Adik kamu ini sangat licik melebihi iblis. Bagaimana bisa kamu memberinya kepercayaan untuk menjagaku? Selama tiga bulan ini hidupku sudah berada di dalam kendalinya. Itu semua juga gara-gara kebodohanku.' Batin Safira menyeru sekencang-kencangnya. Keinginannya untuk mengungkap sifat buruk Kai, nyatanya tidak bisa dia sampaikan secara terang-terangan."Gimana, Kai? Kamu ... Mau 'kan bantu aku jaga Safira?" Tatapan Safira semakin nyalang. Sambil menelan ludah dia mengalihkan pandangan pada Kai. 'Semoga Kai gak setuju. Semoga. Semoga.' Lagi-lagi dia hanya bisa menjerit dalam hati.Kai mengerjap, dan hanya melirik Safira. "Elu yakin mau nitipin calon istri