"Elu tunggu di sini dulu. Jangan ke mana-mana sebelum gue samperin lu. Ngerti?" titah Kai setelah menggiring Safira masuk ke Bar, dan mengajaknya ke ruangan VIP. Pemuda itu hanya berdiri di depan pintu seraya bersedekap, menunggu Safira masuk ke dalam.
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Safira, masih berdiri di depan pintu sama seperti Kai. Dia kesal, tetapi tidak bisa protes. Untuk apa Kai jauh-jauh mengajaknya ke tempat ini, bila ujung-ujungnya harus menunggu sendirian.Kai menghela napas panjang, meraup kasar wajahnya sesaat, lantas menyahut, "Tadi 'kan gue udah bilang kalo ada urusan bentar. Nanti gue balik lagi ke sini. Elu tenang aja." Dia pun melihat jam tangannya sekilas dengan gusar. "Udah sana masuk. Tunggu di dalem. Kalo mau tidur, silakan.""Tap—" Belum juga menuntaskan kalimat protesnya, Kai lebih dulu mendorong lengan Safira supaya segera masuk, sebab dia sudah ditunggu oleh seseorang di rooftop tempat tersebut. "Ish! Kasar banget kamu!" Safira merengut sambil mengusap lengannya."Kalo sama gue gak usah manja, ngerti!" ketus Kai, yang kemudian segera berlalu dari hadapan Safira. Dari kejauhan telinganya pun masih bisa mendengar perempuan itu mengumpat dengan suara lantang.Kai tidak pernah menanggapi serius umpatan Safira yang terkadang terlalu berlebihan. Dia sengaja membuat calon kakak iparnya itu jengkel, dan paham akan posisinya. Jika bersamanya, Safira hanya boleh menurut dan menurut. Titik!_Kai melangkah keluar setelah pintu lift terbuka lebar, berjalan santai dengan posisi kedua tangan masuk ke saku celana panjang warna hitam. Lorong yang dilewati cukup sepi, karena di jam sekarang Bar tersebut belum terlalu ramai, dan akan beroperasi di jam malam. Di lorong kedua, ada sebuah pintu besi, dan Kai membukanya. Pintu itu menghubungkan ke sebuah rooftop.Dua orang pria berjas serba hitam terlihat sedang duduk dengan tiga orang perempuan berbaju sangat seksi. Di tengah-tengah ada meja kaca berbentuk bundar yang di atasnya ada dua botol minuman, empat gelas berkaki tinggi, serta beberapa macam snack. Satu diantara dari pria setengah baya itu sedang asyik bercumbu dengan dua perempuan yang berada di atas pangkuan."Eh, Kai? Sudah datang? Sini!" Pria paruh baya kisaran usia empat puluh tahun melambaikan tangan ke arah Kai yang berjalan menghampiri. Perempuan di sampingnya segera berdiri, untuk menyambut Kai."Halo, Kai." Sang perempuan berambut cokelat terang itu menggelayut mesra di lengan Kai, dan mendapat kecupan di pipi. "Tambah ganteng aja," pujinya sambil membelai sekilas rahang tegas milik Kai.Kai tidak pernah keberatan dengan sikap para gadis-gadis di sampingnya. Sebagian dari mereka bahkan pernah berbagi desah dengan pemuda itu."Sorry, nunggu lama," ujar Kai, yang langsung duduk berhadapan dengan kedua pria berjas hitam tersebut, lalu menarik pinggang wanitanya supaya duduk di pangkuannya. "Di sini aja, Nggun," pintanya sambil mengusap lengan telanjang Anggun.Perempuan bernama Anggun itu tentu tidak menolak. Lengannya dengan agresif mengalung di pundak Kai, posisinya miring ke samping, dan dengan leluasa memandang wajah tampan di hadapannya."Kamu gak lupa 'kan pesanan saya?" tanya pria yang sama, lalu menyesap minumannya."Tenang aja. Saya gak lupa," sahut Kai sambil merogoh kantong bagian dalam jaketnya._Nyatanya, Safira tidak menuruti perintah Kai yang memintanya menunggu di ruangan VIP tersebut. Kebosanan membuatnya memilih keluar dari sana, dan turun ke lantai bawah. Saat tiba di bawah, Safira bertemu dengan teman seprofesinya yang sedang bersiap-siap di ruangan khusus."Loh, Fir, kamu … Ngapain di sini? Bukannya jam kerja kamu masih lama?" Teman Safira yang tengah menyapukan kuas blush on di pipi sampai menghentikan pergerakan tangannya, terheran dengan keberadaan perempuan cantik itu.Safira duduk di samping temannya itu, lalu mengambil botol air mineral yang tersedia di meja, dan membukanya. Dia minum terlebih dahulu, setelah itu lalu menjawab, "Aku ke sini diajak Kai." Botol minum bekasnya dia letakkan lagi ke meja."Hah? Sama Kai? Kamu … masih jalan sama dia?" Perempuan berpakaian kurang bahan yang sibuk memoles bibir dengan lipstik seketika kaget."Kai yang temennya bos kita itu 'kan?" timpal salah satu dari mereka yang sama-sama berbaju kurang bahan dan riasan menor.Safira hanya menanggapi malas pertanyaan dari mereka. Kenapa semua temannya terutama perempuan pasti langsung heboh kalau sudah membahas Kai.'Ck, apa sih istimewanya dia? Menang ganteng doang, tapi akhlaknya zonk!' Safira mencibir Kai dalam hati sambil mengambil ponselnya dari tas selempang yang dia bawa. Berharap ada pesan masuk dari Arkana."Kayaknya Mas Arkana beneran sibuk," gumamnya dengan wajah sendu, kemudian meletakkan asal ponselnya di atas meja."Kamu gak takut ketauan tunanganmu, Fir? Kalian bentar lagi nikah, tapi kamu masih jalan sama adiknya. Gila kamu!" Satu dari mereka bertanya perihal hubungan antara Safira dan Arkana sekaligus Kai."Ya … Aku juga gak ada pilihan lain, tau! Tuh anak maksa banget! Dia ngancem bakal kasih tau Mas Arkana. Bisa gak jadi nikah aku sama dia," cicit Safira, mengurut pangkal hidung karena kepalanya terasa sangat pusing bila sudah membahas mengenai Kai.Kedua teman Safira mengangguk paham dengan masalah yang menimpanya. Antara mereka tidak ada rahasia apa pun. Bisa dikatakan ketiga orang itu adalah teman dekat serta seperjuangan."Utang bokap lu, gimana?" tanya teman Safira bernama Anya. Dari mereka, cuma Anya yang berani mengambil job di luar pekerjaannya."Jangan nanya utang, deh! Pusing aku! Sampe ubanan, tuh, utang gak bakal lunas," sahut Safira yang sudah benar-benar merasa pusing dan lelah.Tiba-tiba teman Safira bernama Lolita menyeru, "Eh, denger-denger dari bos, kalo utang bapak kamu udah lunas, Fir.""Apa?" Safira sampai melotot dengan mulut ternganga lebar. "Kamu kalo ngomong yang bener, Lit. Utang Bapakku jumlahnya gede. Mana setiap hari dia kalah judi terus di sini. Pak Bos salah omong kali?"Jumlah utang ayahnya Safira itu mencapai 250 juta, itu pun baru di bayar seperempat dari jumlah total sebenarnya. Belum lagi ada bunga yang hampir setiap hari bertambah jumlahnya. Gaji pokok SPG Safira hanya cukup untuk membayar bunganya saja. ck!Lolita menggeleng. "Aku beneran denger sendiri, kok. Waktu itu Pak Bos ngomong sama si Farhan," ungkapnya dengan raut meyakinkan. Farhan itu kaki tangan bos pemilik Bar tersebut."Wah, masa kamu gak tau, Fir? Emang Pak Bos gak ngomong sama kamu?" Anya menimpali.Yang lainnya ikut menimpali. "Iya, Fir. Harusnya kamu dikasih tau."Otak Safira yang kecil tengah bekerja dengan cepat untuk berpikir serta mengingat-ingat. Seingatnya, terakhir kali dia mencicil itu Minggu lalu. "Pak Bos gak bilang apa-apa kemarin waktu aku ke ruangannya seminggu yang lalu," ucapnya sambil menggaruk alis."Mungkin lunasnya baru kemaren kali.""Iya, juga, sih ….""Eh, tapi kira-kira siapa yang ngelunasin, Fir? Kalo Mas tunanganmu gak mungkin." Anya yang cukup cerdas mulai berasumsi."Ya, gak mungkinlah!" Safira bahkan tidak kepikiran sampai ke sana. "Mendingan aku tanya aja, deh, sama Bos." Tak mau capek-capek mikir, Safira pun memutuskan untuk bertanya langsung pada Bosnya."Iya, bener. Mending tanya aja sama Bos," kata Lolita, dan yang lain ikut mendukung.Safira mengangguk, memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu berdiri. "Ya udah. Aku ke ruangannya sekarang aja."_Safira langsung masuk setelah mendapat izin dari Danis—pemilik Bar tempatnya bekerja sampingan, sekaligus sahabatnya Kai. Berdiri sungkan di balik pintu yang baru saja ditutup, Safira belum berani duduk, masih memandang Bosnya yang bermata sipit dan berlesung pipit. Danis adalah keturunan marga Tionghoa campuran Jawa, tetapi dia tidak pelit seperti kebanyakan para orang Cina pada umumnya.Berkat kebaikan hatinyalah, Safira diperbolehkan mencicil utang ayahnya yang kerap berjudi di tempat itu. Setiap satu Minggu sekali gajinya akan dipotong sesuai kesepakatan diawal, yakni 50persen. Sisanya akan diberikan kepada Safira untuk biaya hidup."Kamu jam segini udah ada di sini? Sama Kai?" Danis lebih dulu bertanya pada Safira karena pekerjanya itu tak kunjung membuka suara. Pandangannya tetap tertuju pada layar ponsel di tangan.Safira cukup terkejut karena bosnya itu tahu jika dia datang ke tempat ini bersama Kai. "Kok, Pak Danis tau kalo saya ke sini sama dia?" tanyanya masih berdiri di te
Sambil bersedekap dan tatapan memicing, Safira bertanya, "Kenapa kamu lunasin semua utang-utangku ke Pak Danis?"Saat mengetahui fakta tersebut, Safira tentu saja terkejut dan sempat tak percaya. Mengapa seorang Kai yang tidak ada urusannya sama sekali dengan utang-utang ayahnya Safira, mau berbaik hati mendonasikan sebagian uangnya untuk melunasi.Apa ini hanya akal-akalan Kai saja? Tetapi untuk apa? Untuk apa Kai sukarela mengeluarkan uang sebanyak itu, kalau tanpa ada niat terselubung di dalamnya?Bukannya menjawab, Kai justru tersenyum miring, lalu bersedekap. Padahal, dia belum berniat untuk memberitahu Safira jika telah melunasi semua utang-utang perempuan itu. Rencananya, Kai akan mengatakannya nanti setelah surat perjanjian diperbarui. Namun, tidak masalah. Safira tahu besok mau pun sekarang, itu sama saja. Tidak ada bedanya.Geram, sebab Kai tak kunjung menjawab pertanyaannya. Safira menarik napas panjang, seraya memejam sesaat. Feeling-nya tidak salah lagi. Pasti ada niat te
Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu. Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik. Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut. Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bi
Baru saja hendak mematikan lampu kamar, dering ponsel yang telah disetting khusus dengan nama si pemanggil bergema di ruangan tersebut. Atensi Safira seketika teralihkan pada benda pipih hadiah dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.Senyum Safira sontak terukir begitu melihat nama pria yang mengisi hatinya sejak dua tahun terakhir. "Mas Arkana?"Menyambar ponselnya yang tak berhenti berdering, Safira segera menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Mas?" Dia menyapa dengan raut semringah seraya bersandar di kepala ranjang dan kaki dilipat."Halo, Fir? Udah tidur?" tanya Arkana."Baru mau tidur, Mas." Safira meraih guling dan memeluknya. "Mas, kok, belum tidur?"Hening sejenak, hanya helaan napas yang terdengar di telinga Safira. Sampai beberapa detik berlalu, Arkana menyahut, "Aku baru pulang dari apartemennya Kai.""Kai?" Punggung Safira sontak menegang, bahkan sampai reflek menegak. "Mas Arkana habis dari apartemennya Kai?" Seolah Safira ingin me
Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan.Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus."Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel."Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!""Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo g
Jujur, Safira terkejut mendengar fakta yang terlontar dari mulut Arkana. Fakta yang kemungkinan akan dianggap sebagai aib oleh sebagian orang di luaran sana. Anak tidak sah? Anak haram? Anak hasil perselingkuhan? Entah apa lagi sebutannya. Safira tidak mau ambil pusing. Semua itu bukanlah urusannya. Semua aib atau masalah tersebut bukanlah hal yang pantas dibicarakan pada sembarang orang. Siapa Safira? Safira hanyalah calon istri Arkana yang kebetulan akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu. Jika tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui aib dari keluarga itu? Dari sinilah Safira mulai paham, mengapa kedua kakak beradik itu tidak pernah terlihat akrab. Kai selalu menjaga jarak dengan Arkana. Tak pernah sekali pun dia melihat dua bersaudara itu bersama atau sekadar mengobrol layaknya saudara. Safira ingat sekali ketika pertama kali dia bertemu Kai. Saat itu dia mengira jika Kai tinggal di luar negeri. Namun ternyata, pemikirannya salah. Arkana mengatakan kalau adik satu-s
Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan..."Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya.Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini."Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak
"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu.Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, ha
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
"Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya