"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu.Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, ha
Entah apa yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Sampai-sampai menaruh kepercayaan kepada adik tirinya untuk menjaga tunangannya selagi dia pergi menemani sang papi berobat di Belanda. Hingga membuat Safira sempat terdiam sesaat. Seakan-akan perkataan Arkana adalah sebuah kabar yang sangat-sangat mencengangkan. 'Kamu gak tau, Mas. Adik kamu ini sangat licik melebihi iblis. Bagaimana bisa kamu memberinya kepercayaan untuk menjagaku? Selama tiga bulan ini hidupku sudah berada di dalam kendalinya. Itu semua juga gara-gara kebodohanku.' Batin Safira menyeru sekencang-kencangnya. Keinginannya untuk mengungkap sifat buruk Kai, nyatanya tidak bisa dia sampaikan secara terang-terangan."Gimana, Kai? Kamu ... Mau 'kan bantu aku jaga Safira?" Tatapan Safira semakin nyalang. Sambil menelan ludah dia mengalihkan pandangan pada Kai. 'Semoga Kai gak setuju. Semoga. Semoga.' Lagi-lagi dia hanya bisa menjerit dalam hati.Kai mengerjap, dan hanya melirik Safira. "Elu yakin mau nitipin calon istri
"Kamu tunggu di sini aja, gak usah ikut masuk." Safira melepas sabuk pengaman ketika mobil Kai terparkir sempurna di halaman rumahnya yang luasnya tak seberapa. Baru saja dia hendak membuka pintu mobil untuk keluar, perkataan Kai mampu menghentikan pergerakan tangannya. "Tapi gue pengen ikut masuk." Kai melepas sabuk pengamannya tanpa memedulikan decakan Safira. "Kamu—" Kalimat protes yang hendak dilontarkan terpaksa Safira telan kembali, karena Kai lebih dulu keluar dari mobil. "Dia emang manusia paling ngeselin!" umpatnya memandang Kai yang lebih dulu melangkah ke pintu masuk. Dengan berat hati serta rasa tidak ikhlas, Safira membuka lebar-lebar pintunya dan mempersilakan Kai masuk. "Tunggu di situ aja. Aku mau ke kamar dulu, mau ambil baju ganti." Dia menunjuk sofa sederhana yang sudah sekian lama berada di ruang tamu rumahnya."Cepetan! Gak pakek lama." Kai mendengkus, lalu duduk di sofa yang warnanya sudah memudar itu. Memandang punggung Safira yang membuka pintu, kemudian mas
Semenjak pertengkaran itu dan berakhir dengan ancaman. Safira semakin tidak bisa lepas dari genggaman seorang Kai. Dia sudah curiga jika semua akan berakhir seperti ini. Uang yang diminta ayahnya dari Kai, yang katanya untuk modal usaha, rupanya berujung menjadi utang. Jumlahnya pun tidak sedikit. Jika seperti ini, entah sampai kapan Safira bisa melunasinya.Safira sungguh tidak mengerti. Mengapa Kai sangat suka mempersulit keadaannya. Mengapa calon adik iparnya itu terobsesi untuk membuatnya menderita. Apakah di masa lalu Safira mempunyai kesalahan terhadap Kai, sehingga pemuda itu hobi sekali membuatnya sengsara?"Fir." Lolita masuk ke ruangan yang baru saja selesai dibooking oleh pelanggan. Menepuk pundak Safira yang dia perhatikan belakangan ini sering melamun. Terhenyak. Safira lantas menyahut, "Iya, Lit?" sambil melanjutkan pekerjaannya—menata botol-botol minuman yang sudah kosong di meja.Lolita memerhatikan Safira lalu berkata sambil membantu menata gelas-gelas bekas pakai pe
Semalam, tepat jam satu Kai tiba di apartemen bersama teman-temannya. Itu semua sebenarnya terpaksa. Eve pun datang tanpa diundang begitupun dengan ke lima temannya yang memaksa ingin ke tempat tinggal Kai, dengan alasan sudah sangat lama mereka tidak berpesta. Inginnya menolak, tetapi Kai merasa tidak enak. Niat ingin beristirahat pun harus ditunda dan menunggu sampai teman-temannya pulang. Kai juga sempat mendatangi kamar Safira, memastikan jika perempuan itu masih tinggal di apartemennya. Mendapati calon kakak iparnya sudah terlelap, Kai tak sampai hati membangunkannya.Lalu, ketika Safira mengintip dari celah pintu kamarnya, Kai pun sebenarnya menyadari. Namun, sengaja berpura-pura tidak tahu sebab dia sangat yakin jika Safira tidak menyukai keberadaan teman-temannya yang tukang rusuh. Saat semua teman-temannya dan Eve pergi, Kai-lah yang membereskan bekas kekacauan di ruang tamunya. Mengepel serta membersihkan sampah-sampah yang ada dengan tangannya sendiri. Hampir menjelang pa
"Maksud kamu?" Safira sontak memicing, meminta penjelasan atas apa yang diucapkan Kai barusan. 'Sial! Gue malah kelepasan ngomong!' Kai merutuki kecerobohannya dalam hati. Kini, dia harus berpikir keras untuk mencari alasan. Jika tidak, Safira pasti akan tahu semua rencana yang sudah dia susun selama ini."Kai," tegur Safira."Apa, sih?" Kai berdecak, lalu berpura-pura mengangkat cangkir kopinya, dan menyesapnya.Safira masih belum mau pergi. "Aku itu tanya. Tadi maksud omongan kamu itu apa? Kamu tadi bilang—" "Gue laper! Bisa bikinin gue sarapan sekarang?" Kai menyela perkataan Safira, sebelum perempuan itu makin mendesak meminta penjelasan. Dia beranjak dari tempatnya. "Cepetan! Gue mau tiduran dulu di kamar. Kalo udah siap, elu ketok aja pintu kamar gue." Tak berminat berlama-lama berada di dapur sekaligus ingin menghindar. Kai lantas pergi dari ruangan itu, dan masuk ke kamar. Sementara Safira berdiri sambil mena
Pulang ke rumah bukannya disambut dengan sapaan ramah atau paling tidak mendapat senyuman. Safira malah mendapati Januar tertidur di sofa dengan kondisi baju yang berantakan dan bau alkohol yang sangat menyengat. Kondisi rumah sudah mirip kapal pecah. Botol-botol minuman berserakan di sembarang tempat. Piring dan gelas kotor juga berserakan di mana-mana."Ya ampun ...." Safira membuang napas lelah. Meraup wajahnya dengan telapak tangan, lalu meringis jijik. "Bapak pasti abis minum-minum lagi sama temen-temennya." Mau marah. Mau kesal. Mau mengomel. Safira tidak memiliki cukup tenaga untuk hal sia-sia semacam itu. Dia sudah cukup merasa lelah selama tinggal di apartemen Kai. Dan kini Safira harus melihat kekacauan ini."Kapan ini semua berakhir ...?" gumam Safira lirih, menyorot sendu pada ayahnya yang tidur di sofa. Tidak mungkin juga 'kan Safira membiarkan saja kekacauan ini, meski tubuhnya terasa sangat lelah. Rumah itu harus terlihat rapi dan bersih walau pun tidak mewah. Agar se
Roda empat milik Kai melaju cukup kencang, membelah jalanan aspal basah ibukota yang tengah padat-padatnya, akibat rintikan gerimis. Dia menepati perkataannya jika akan menjemput Safira di rumahnya. Niat itu tercetus begitu saja di otaknya. Sama sekali Kai tidak merencanakannya.Cukup aneh, bukan? Tiba-tiba seorang Kai peduli terhadap Safira—perempuan yang notabene dia jadikan target sasaran untuk menyakiti Arkana.Kai juga tidak mengerti dengan isi kepalanya saat mengatakan itu semua kepada Safira tadi siang. Rela jauh-jauh datang ke rumah perempuan itu, lalu tak sengaja mendengar semuanya. Dia datang disaat yang tidak tepat, pikir Kai ketika hendak mengetuk pintu rumah Safira yang tidak tertutup sepenuhnya. Suara bentakan keras yang dia duga adalah suara Januar, lalu suara tangisan yang sudah bisa ditebak suara Safira, membuat rasa penasarannya makin memuncak. Kai tidak terlalu terkejut dengan apa yang didengar dari mulut Januar perihal uang,
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
"Kenapa kamu gak mau ngajuin banding, Kai? Kenapa?" Ruth bertanya serak, mengguncang pundak Kai dengan sisa-sisa tangisan. Setelah mendengar putusan yang dijatuhkan Hakim untuk Kai, Ruth jatuh pingsan, dan baru tersadar dua puluh menit kemudian. Dari ruangan sidang, Arkana membawa sang ibu tiri ke poliklinik yang tersedia di Kejaksaan Negeri tersebut. Barack terlihat duduk di salah satu kursi yang tersedia di kamar rawat Ruth. Dia juga sempat syok mendengar keputusan pengadilan untuk sang anak. Raut tuanya tak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam. Sudut matanya terus meneteskan cairan hangat. Kenapa nasib anak laki-laki yang terlambat dia akui keberadaannya sangat mengenaskan, pikir Barack. "Iya, Kai. Harusnya kamu ajuin banding, karena itu sudah menjadi hak setiap terdakwa. Pengacara kita bisa mengurusnya untukmu." Danish turut mengeluarkan pendapat, dan merasa kecewa dengan keputusan Kai yang tidak mau mengajukan banding. Arkana tak mau ketinggalan. "Kamu gak mikirin
Setelah tiga bulan lebih sepuluh hari, Kai berada di penjara. Hari ini, keluarganya pergi menjenguknya. Jika hari-hari lalu, hanya pengacara dan Danish yang datang ke tempat tersebut. Kini seluruh keluarga datang, termasuk bayi yang sedang lucu-lucunya itu. Di sebuah ruangan khusus, mereka semua berkumpul. Kaisar yang baru bangun tidur tengah berada di gendongan Ruth. Barack yang kesehatannya makin membaik, duduk di samping istrinya sambil bercanda-canda kecil dengan cucunya. Tepat di seberang meja, Safira dan Arkana memandangi Kaisar yang tertawa-tawa kecil."Kaisar gak rewel," ujar Arkana, yang mengira keponakannya akan rewel dan tidak betah berada di sana. Bayi tiga bulan lebih itu nampak biasa-biasa saja, dan justru terlihat sangat nyaman. Safira pun setuju dengan ucapan Arkana. " Kaisar mungkin udah tau, Mas, kalo mau ketemu papanya." Senyum haru tersungging di bibir Safira. Untuk pertama kalinya, Kaisar akan bertemu langsung dengan papanya. Biasanya, hanya lewat sambungan tele
Di ruang tamu saat ini ada empat orang saling duduk berhadapan, tetapi tak ada satu dari mereka yang memulai pembicaraan. Safira duduk bersebelahan dengan Arkana, sementara Januar, duduk berdampingan dengan Danish. Awalnya, Safira enggan menemui sang ayah, yang hampir setahun sama sekali tak ada kabar. Baginya, untuk apa menemui pria yang tidak bertanggung jawab seperti ayahnya itu. Rasa kecewa Safira begitu membekas hingga sekarang. Berkat bujukan Arkana-lah, keengganan itu berubah menjadi keingintahuan yang besar, ketika Danish turut bertamu ke rumah itu. Semenjak duduk dan bersitatap dengan putri satu-satunya, Januar tak memiliki keberanian untuk memulainya. Dia sadar jika apa yang sudah dilakukannya tidak pantas untuk dimaafkan. Safira berhak marah. Safira berhak membencinya. Januar sendiri sudah mendapatkan karmanya. Istri barunya menipunya dan membawa kabur uangnya. "Fir, maaf sebelumnya. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya mendampingi Pak Januar ketemu sama kamu." Danish
Seorang perempuan yang baru sebulan melahirkan itu nampak tak memiliki gairah hidup sama sekali. Hari-harinya kini hanya diisi dengan lamunan dan tangisan. Bayangan kebahagiaan yang dulu dia impikan nyatanya sekadar khayalan semata. Seakan Tuhan tengah menghukumnya habis-habisan sampai ke titik terendah. Menyesali pun dirasa percuma, karena pada akhirnya dirinyalah yang menjadi penyebab semua kemalangan ini. Hukum karma sepertinya memang ada, dan berlaku untuk orang-orang yang tidak pernah bersyukur. Dan kini Safira merasakannya sendiri. Pengkhianatannya pada sang kekasih telah mendapatkan balasan setimpal. Hamil di luar nikah, lantas melahirkan tanpa seorang pendamping di sisinya. Lelaki yang dia kira akan memberikan kebahagiaan serta membersamainya dalam mengurus sang buah hati kini mendekam di penjara, atas kesalahannya. "Oek ... oek ...." Suara tangisan bayi laki-laki yang terbangun menggema di kamar itu. Safira yang sedang tenggelam dalam rasa penyesalan sampai tak mendengar
Beberapa saat yang lalu, dua perawat baru saja selesai membantu Safira. Dari mulai metode skin to skin dengan bayinya, hingga mendampingi menyusui untuk yang pertama kali. Safira begitu bahagia, sebab bayi laki-lakinya yang sangat mirip dengan Kai itu sudah pintar menyusu. Dia lega serta bangga pada dirinya sendiri. "Bu, dedeknya kami bawa ke ruang bayi dulu. Nanti kalau waktunya menyusui kami akan bawa kemari." Salah satu perawat berkata sambil menidurkan bayi laki-laki Safira ke box bayi. "Dedeknya ganteng, mirip ayahnya," celetuk sang perawat. Telinga Safira yang mendengar celetukan itu sontak tersenyum. Dia hampir lupa kalau Kai belum kembali lagi setelah pamit ke kamar mandi. "Oh, iya, Sus. Laki-laki yang tadi dampingin saya belum masuk lagi, ya? Kira-kira ke mana, ya? Suster tau gak?" Safira bertanya sambil menatap dua suster yang seketika saling pandang. Salah satu dari mereka mendekati ranjang Safira. Berdiri di samping, dan bertanya, "Maaf, apa tadi ibu gak denger, waktu a
Kebahagiaan kini tengah menyelimuti Ruth dan Arkana yang baru saja mendengar tangisan bayi, yang melengking nyaring dari dalam sana. Raut keduanya penuh rasa haru serta tak berhenti mengucap syukur. Cucu laki-laki pertama telah lahir di keluarga besar Barack. "Ar, kamu telepon Papimu. Bilang, kalo cucunya udah lahir," titah Ruth dengan mata berkaca-kaca. "Soalnya tadi Papimu khawatir banget." Ruth menyeka sudut mata dengan tisu."Iya, Mom." Arkana bergegas menghubungi Barack yang tidak bisa ikut menemani di sini. Dia melangkah beberapa meter dari Ruth yang berdiri di depan pintu ruangan. Danish mendekati Ruth. "Selamat, Tante. Cucunya udah lahir," ucapnya seraya mengulurkan tangan di depan Ruth. Ruth tersenyum dan membalas jabatan Danish. "Makasih, ya. Semua juga berkat kamu yang selama ini udah mau bantuin Kai." Jabatan tangan mereka terburai. Danish tersenyum canggung. "Sama-sama, Tante. Kai itu sahabat saya. Sebagai orang yang deket sama dia, saya cuma ngasih dukungan," ujarnya