"Maksud kamu?" Safira sontak memicing, meminta penjelasan atas apa yang diucapkan Kai barusan.
'Sial! Gue malah kelepasan ngomong!'Kai merutuki kecerobohannya dalam hati. Kini, dia harus berpikir keras untuk mencari alasan. Jika tidak, Safira pasti akan tahu semua rencana yang sudah dia susun selama ini."Kai," tegur Safira."Apa, sih?" Kai berdecak, lalu berpura-pura mengangkat cangkir kopinya, dan menyesapnya.Safira masih belum mau pergi. "Aku itu tanya. Tadi maksud omongan kamu itu apa? Kamu tadi bilang—""Gue laper! Bisa bikinin gue sarapan sekarang?" Kai menyela perkataan Safira, sebelum perempuan itu makin mendesak meminta penjelasan. Dia beranjak dari tempatnya. "Cepetan! Gue mau tiduran dulu di kamar. Kalo udah siap, elu ketok aja pintu kamar gue."Tak berminat berlama-lama berada di dapur sekaligus ingin menghindar. Kai lantas pergi dari ruangan itu, dan masuk ke kamar. Sementara Safira berdiri sambil menaPulang ke rumah bukannya disambut dengan sapaan ramah atau paling tidak mendapat senyuman. Safira malah mendapati Januar tertidur di sofa dengan kondisi baju yang berantakan dan bau alkohol yang sangat menyengat. Kondisi rumah sudah mirip kapal pecah. Botol-botol minuman berserakan di sembarang tempat. Piring dan gelas kotor juga berserakan di mana-mana."Ya ampun ...." Safira membuang napas lelah. Meraup wajahnya dengan telapak tangan, lalu meringis jijik. "Bapak pasti abis minum-minum lagi sama temen-temennya." Mau marah. Mau kesal. Mau mengomel. Safira tidak memiliki cukup tenaga untuk hal sia-sia semacam itu. Dia sudah cukup merasa lelah selama tinggal di apartemen Kai. Dan kini Safira harus melihat kekacauan ini."Kapan ini semua berakhir ...?" gumam Safira lirih, menyorot sendu pada ayahnya yang tidur di sofa. Tidak mungkin juga 'kan Safira membiarkan saja kekacauan ini, meski tubuhnya terasa sangat lelah. Rumah itu harus terlihat rapi dan bersih walau pun tidak mewah. Agar se
Roda empat milik Kai melaju cukup kencang, membelah jalanan aspal basah ibukota yang tengah padat-padatnya, akibat rintikan gerimis. Dia menepati perkataannya jika akan menjemput Safira di rumahnya. Niat itu tercetus begitu saja di otaknya. Sama sekali Kai tidak merencanakannya.Cukup aneh, bukan? Tiba-tiba seorang Kai peduli terhadap Safira—perempuan yang notabene dia jadikan target sasaran untuk menyakiti Arkana.Kai juga tidak mengerti dengan isi kepalanya saat mengatakan itu semua kepada Safira tadi siang. Rela jauh-jauh datang ke rumah perempuan itu, lalu tak sengaja mendengar semuanya. Dia datang disaat yang tidak tepat, pikir Kai ketika hendak mengetuk pintu rumah Safira yang tidak tertutup sepenuhnya. Suara bentakan keras yang dia duga adalah suara Januar, lalu suara tangisan yang sudah bisa ditebak suara Safira, membuat rasa penasarannya makin memuncak. Kai tidak terlalu terkejut dengan apa yang didengar dari mulut Januar perihal uang,
"Elu gak usah kerja di bar lagi." Kai mengulang ucapannya dengan satu alis terangkat tinggi, dan membuat Safira semakin ternganga."Kenapa? Kenapa aku ga boleh kerja di sana lagi? Kalo, aku gak kerja sambilan di sana, utangku gak akan lunas-lunas," ucap Safira, tak mengerti dengan permintaan tak masuk akal Kai.Bekerja sambilan saja dia belum tentu bisa melunasi utang-utang itu dengan cepat. Apalagi tidak bekerja sambilan? pikir Safira."Elu tinggal nurut aja, apa susahnya, sih? Udah gue minta baik-baik tapi elunya gak mau." Kai membuang napas kasar. Lalu lanjut bicara, "Harusnya elu seneng, karena gak perlu capek-capek kerja malem lagi. Ini malah nolak. Sok, banget, sih, lu!" "Ini bukan masalah aku nolak atau sok," sahut Safira tak terima dicibir. "Aku 'kan tadi bilang, kalo aku gak kerja sambilan, utangku gak akan lunas. Kalo aku andelin gaji SPG gak akan cukup. Kamu paham, gak, sih, aku ngomong?" "Ya udah, cari kerjaan lain aja. Susah banget!" Kai berdecak, lalu bersedekap. "Kerj
"Halo?"Kai yang berdiri di balik jendela kamar, menoleh ke arah belakang, memastikan Safira tidak terganggu dengan suaranya yang sedang menelepon Danis. Dia berniat memberitahu temannya itu jika Safira tidak bisa berangkat bekerja karena sakit."Ya, Kai? Tumbenan lu telepon?" sindir Danis, membuat Kai sontak mendengkus."Gue cuma mau bilang, kalo si Safira gak berangkat kerja dulu malem ini," ucap Kai menatap lurus ke depan lagi, sambil meresapi semilir angin yang berembus. Di luar sana rupanya masih gerimis. Danis terdengar tertawa dari seberang sana. "Perhatian banget, lu sama calon istrinya Arkana. Pakek diizinin segala lagi." Kai berdecak tak suka mendapat sindiran semacam itu. Dia lantas segera menjelaskan. "Bukannya apa-apa. Tuh, orang lagi sakit. Jadi gak bisa berangkat kerja dulu." "Iya-iya. Gue paham." Danis terdiam sejenak. Kemudian dia bertanya, "Safira masih di apartemen lu?" "Masih." "Gila, lu, Men! Calon istri abang lu jangan lu embat juga." Danis memperingatkan.
Sore ini Kai berencana pergi ke suatu tempat untuk menemui seseorang yang sudah beberapa kali menghubungi dirinya. Karena sibuk mengurus beberapa usaha kecil-kecilan yang dia jalani selama ini, Kai hampir tak memiliki waktu untuk menepati janjinya pada orang tersebut. Ditambah dengan sakitnya Safira selama tiga hari ini, membuat kesibukan Kai menjadi dua kali lipat. Entah kenapa, semenjak Arkana memberinya tanggung jawab untuk menjaga Safira, Kai menjadi benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang adik yang baik. Menjaga serta memastikan keadaan Safira yang ditinggal sang calon suami ke luar negeri. "Kayaknya gue udah berlebihan. Gue harusnya gak pakek perasaan ke Safira. Inget tujuan lu, Kai. Elu harus hancurin hati Arkana lewat Safira. Dengan begitu, semua yang elu alamin selama ini jadi impas. Buat apa coba, lu capek-capek ngerawat dia yang lagi sakit? Ck!" Kai baru menyadari jika selama beberapa hari ini semua tak berjalan sesuai dengan rencananya.Setelah memastikan penamp
Meski kondisinya sudah agak membaik, Safira belum sepenuhnya pulih. Terkadang rasa pusing masih mendera kepalanya ketika bangkit dari duduk. Pandangannya pun terkadang mengabur tiba-tiba dan tengkuknya terasa sedikit berat. Kemarin, Kai juga sempat membawanya periksa ke dokter, karena demamnya yang tak kunjung turun. Dokter mengatakan jika tekanan darah Safira rendah dan tidak boleh terlalu lelah. Pemicu utamanya adalah stress. Pertengkaran dengan ayahnya beberapa waktu lalu kemungkinan menjadi penyebab Safira jadi banyak pikiran. Banyak hal yang dia tak mengerti hingga detik ini, perihal perubahan drastis ayahnya yang dulu terkenal sebagai ayah yang ideal. Januar begitu tega menyakiti batin Safira tanpa memikirkan perasaan putrinya itu. Melimpahkan tumpukan utang-utang yang jumlahnya begitu besar."Fir." Lolita mendekati Safira yang baru saja selesai meminum obatnya di ruangan khusus pekerja perempuan. Dia berdiri di samping Safira yang sedang duduk di
Sudah lebih dari tiga puluh menit Kai berada di ruangan yang sama dengan Safira. Jarak duduk yang hanya beberapa jengkal saja, memudahkan Kai untuk mengawasi Safira yang sedang menemani Juan bernyanyi dan minum. Riuhnya musik tak serta merta membuat tenang pikiran Kai yang tengah dilanda kekesalan.Kai kesal? Kenapa? Kenapa dirinya mati-matian menahan kesal saat melihat Juan dengan santainya memegang-megang bagian tubuh Safira. Temannya itu sungguh tak bisa mengondisikan tangannya. Setiap ada kesempatan, maka Juan tak menyia-nyiakannya.Seperti sekarang ini. Juan bernyanyi sambil mengerling nakal kepada Safira yang duduk di sampingnya. Malah dengan sengaja melingkarkan lengannya di pinggul Safira, lalu merapatkan kakinya di tungkai perempuan yang malam ini sungguh terlihat berbeda. Kai tidak menyangka, jika Safira seberani itu dalam berpakaian. Baju tanpa lengan yang dikenakan memamerkan lekukan tubuh Safira sangat nyata. Apalagi di bagian dada. Pria mana yang tidak tergiur melihat i
"Eugh ..." gumam Safira sambil menggeliat. Kedua kelopak matanya berkedip-kedip, lalu perlahan-lahan terbuka. Namun, seketika Safira menyipitkan mata karena sorot cahaya lampu yang terlalu terang. "Kepalaku sakit," keluhnya sembari memegang kepala.Rasa pusing di kepala rupanya belum mereda. Seingat Safira terakhir kali dia berada di ruangan VIP tempatnya bekerja. Tetapi, saat ini sepertinya dia sudah berada di kamar. Kamar yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ini."Aku udah di sini," gumam Safira, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Ternyata dia tertidur cukup lama. Bukan! Bukan tidur, tetapi pingsan. "Elu udah sadar?" Kai tiba-tiba masuk dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Lelaki itu sudah terlihat rapi dan segar. Safira menoleh lalu mengangguk kecil, memerhatikan Kai yang meletakkan nampan ke atas nakas. Kemudian, Kai berjalan ke arah jendela dan menyingkap tirai-tirainya ke sisi lain sebelum membukanya. Cahaya matahari pa