Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan..."Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya.Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini."Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak
"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu.Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, ha
Entah apa yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Sampai-sampai menaruh kepercayaan kepada adik tirinya untuk menjaga tunangannya selagi dia pergi menemani sang papi berobat di Belanda. Hingga membuat Safira sempat terdiam sesaat. Seakan-akan perkataan Arkana adalah sebuah kabar yang sangat-sangat mencengangkan. 'Kamu gak tau, Mas. Adik kamu ini sangat licik melebihi iblis. Bagaimana bisa kamu memberinya kepercayaan untuk menjagaku? Selama tiga bulan ini hidupku sudah berada di dalam kendalinya. Itu semua juga gara-gara kebodohanku.' Batin Safira menyeru sekencang-kencangnya. Keinginannya untuk mengungkap sifat buruk Kai, nyatanya tidak bisa dia sampaikan secara terang-terangan."Gimana, Kai? Kamu ... Mau 'kan bantu aku jaga Safira?" Tatapan Safira semakin nyalang. Sambil menelan ludah dia mengalihkan pandangan pada Kai. 'Semoga Kai gak setuju. Semoga. Semoga.' Lagi-lagi dia hanya bisa menjerit dalam hati.Kai mengerjap, dan hanya melirik Safira. "Elu yakin mau nitipin calon istri
"Kamu tunggu di sini aja, gak usah ikut masuk." Safira melepas sabuk pengaman ketika mobil Kai terparkir sempurna di halaman rumahnya yang luasnya tak seberapa. Baru saja dia hendak membuka pintu mobil untuk keluar, perkataan Kai mampu menghentikan pergerakan tangannya. "Tapi gue pengen ikut masuk." Kai melepas sabuk pengamannya tanpa memedulikan decakan Safira. "Kamu—" Kalimat protes yang hendak dilontarkan terpaksa Safira telan kembali, karena Kai lebih dulu keluar dari mobil. "Dia emang manusia paling ngeselin!" umpatnya memandang Kai yang lebih dulu melangkah ke pintu masuk. Dengan berat hati serta rasa tidak ikhlas, Safira membuka lebar-lebar pintunya dan mempersilakan Kai masuk. "Tunggu di situ aja. Aku mau ke kamar dulu, mau ambil baju ganti." Dia menunjuk sofa sederhana yang sudah sekian lama berada di ruang tamu rumahnya."Cepetan! Gak pakek lama." Kai mendengkus, lalu duduk di sofa yang warnanya sudah memudar itu. Memandang punggung Safira yang membuka pintu, kemudian mas
Semenjak pertengkaran itu dan berakhir dengan ancaman. Safira semakin tidak bisa lepas dari genggaman seorang Kai. Dia sudah curiga jika semua akan berakhir seperti ini. Uang yang diminta ayahnya dari Kai, yang katanya untuk modal usaha, rupanya berujung menjadi utang. Jumlahnya pun tidak sedikit. Jika seperti ini, entah sampai kapan Safira bisa melunasinya.Safira sungguh tidak mengerti. Mengapa Kai sangat suka mempersulit keadaannya. Mengapa calon adik iparnya itu terobsesi untuk membuatnya menderita. Apakah di masa lalu Safira mempunyai kesalahan terhadap Kai, sehingga pemuda itu hobi sekali membuatnya sengsara?"Fir." Lolita masuk ke ruangan yang baru saja selesai dibooking oleh pelanggan. Menepuk pundak Safira yang dia perhatikan belakangan ini sering melamun. Terhenyak. Safira lantas menyahut, "Iya, Lit?" sambil melanjutkan pekerjaannya—menata botol-botol minuman yang sudah kosong di meja.Lolita memerhatikan Safira lalu berkata sambil membantu menata gelas-gelas bekas pakai pe
Semalam, tepat jam satu Kai tiba di apartemen bersama teman-temannya. Itu semua sebenarnya terpaksa. Eve pun datang tanpa diundang begitupun dengan ke lima temannya yang memaksa ingin ke tempat tinggal Kai, dengan alasan sudah sangat lama mereka tidak berpesta. Inginnya menolak, tetapi Kai merasa tidak enak. Niat ingin beristirahat pun harus ditunda dan menunggu sampai teman-temannya pulang. Kai juga sempat mendatangi kamar Safira, memastikan jika perempuan itu masih tinggal di apartemennya. Mendapati calon kakak iparnya sudah terlelap, Kai tak sampai hati membangunkannya.Lalu, ketika Safira mengintip dari celah pintu kamarnya, Kai pun sebenarnya menyadari. Namun, sengaja berpura-pura tidak tahu sebab dia sangat yakin jika Safira tidak menyukai keberadaan teman-temannya yang tukang rusuh. Saat semua teman-temannya dan Eve pergi, Kai-lah yang membereskan bekas kekacauan di ruang tamunya. Mengepel serta membersihkan sampah-sampah yang ada dengan tangannya sendiri. Hampir menjelang pa
"Maksud kamu?" Safira sontak memicing, meminta penjelasan atas apa yang diucapkan Kai barusan. 'Sial! Gue malah kelepasan ngomong!' Kai merutuki kecerobohannya dalam hati. Kini, dia harus berpikir keras untuk mencari alasan. Jika tidak, Safira pasti akan tahu semua rencana yang sudah dia susun selama ini."Kai," tegur Safira."Apa, sih?" Kai berdecak, lalu berpura-pura mengangkat cangkir kopinya, dan menyesapnya.Safira masih belum mau pergi. "Aku itu tanya. Tadi maksud omongan kamu itu apa? Kamu tadi bilang—" "Gue laper! Bisa bikinin gue sarapan sekarang?" Kai menyela perkataan Safira, sebelum perempuan itu makin mendesak meminta penjelasan. Dia beranjak dari tempatnya. "Cepetan! Gue mau tiduran dulu di kamar. Kalo udah siap, elu ketok aja pintu kamar gue." Tak berminat berlama-lama berada di dapur sekaligus ingin menghindar. Kai lantas pergi dari ruangan itu, dan masuk ke kamar. Sementara Safira berdiri sambil mena
Pulang ke rumah bukannya disambut dengan sapaan ramah atau paling tidak mendapat senyuman. Safira malah mendapati Januar tertidur di sofa dengan kondisi baju yang berantakan dan bau alkohol yang sangat menyengat. Kondisi rumah sudah mirip kapal pecah. Botol-botol minuman berserakan di sembarang tempat. Piring dan gelas kotor juga berserakan di mana-mana."Ya ampun ...." Safira membuang napas lelah. Meraup wajahnya dengan telapak tangan, lalu meringis jijik. "Bapak pasti abis minum-minum lagi sama temen-temennya." Mau marah. Mau kesal. Mau mengomel. Safira tidak memiliki cukup tenaga untuk hal sia-sia semacam itu. Dia sudah cukup merasa lelah selama tinggal di apartemen Kai. Dan kini Safira harus melihat kekacauan ini."Kapan ini semua berakhir ...?" gumam Safira lirih, menyorot sendu pada ayahnya yang tidur di sofa. Tidak mungkin juga 'kan Safira membiarkan saja kekacauan ini, meski tubuhnya terasa sangat lelah. Rumah itu harus terlihat rapi dan bersih walau pun tidak mewah. Agar se