Baru saja hendak mematikan lampu kamar, dering ponsel yang telah disetting khusus dengan nama si pemanggil bergema di ruangan tersebut. Atensi Safira seketika teralihkan pada benda pipih hadiah dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.
Senyum Safira sontak terukir begitu melihat nama pria yang mengisi hatinya sejak dua tahun terakhir. "Mas Arkana?"Menyambar ponselnya yang tak berhenti berdering, Safira segera menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Mas?" Dia menyapa dengan raut semringah seraya bersandar di kepala ranjang dan kaki dilipat."Halo, Fir? Udah tidur?" tanya Arkana."Baru mau tidur, Mas." Safira meraih guling dan memeluknya. "Mas, kok, belum tidur?"Hening sejenak, hanya helaan napas yang terdengar di telinga Safira. Sampai beberapa detik berlalu, Arkana menyahut, "Aku baru pulang dari apartemennya Kai.""Kai?" Punggung Safira sontak menegang, bahkan sampai reflek menegak. "Mas Arkana habis dari apartemennya Kai?" Seolah Safira ingin memastikan sekali lagi jika yang didengarnya tidak salah."Iya, Fir."Dari nada bicara Arkana, Safira bisa menebak apa yang dirasakan pria itu. "Mas baik-baik aja?" tanyanya, karena Arkana akan selalu merasa sedih jika sepulang menemui Kai di apartment-nya."Seperti biasa, Fir," sahut Arkana, disusul helaan berat.Jawaban yang sama dan selalu saja terulang. Safira sudah tidak kaget lagi. "Masalahnya kenapa lagi, Mas?""Dia gak mau pulang, Fir. Dan gak pernah mau ketemu Papi."Untuk masalah yang satu itu, Safira memang tidak banyak tahu. Yang pernah dia dengar jika Kai dan papinya memang tidak akur. "Udah coba dibujuk, Mas?""Kamu tau sendiri 'kan, keras kepalanya Kai kayak apa?"Dan untuk urusan 'Keras Kepala' Safira tentu hapal sekali. Bagaimana kerasnya Kai yang tidak pernah mau bersinggungan dengan papinya. Namun anehnya, Kai masih peduli dengan keluarganya meski hubungan mereka ada sedikit masalah. Buktinya, Kai tidak terima saat mengetahui fakta Safira, yang telah menutupi pekerjaan sampingannya dari keluarganya."Mungkin, lain waktu, Mas. Pelan-pelan Kai pasti mau pulang ke rumah," ucap Safira sekadar memberi sedikit semangat agar Arkana tidak terlalu putus asa."Mungkin." Tanggapan Arkana terdengar pasrah. "Maaf, udah ganggu kamu malem-malem. Dan makasih udah mau dengerin ceritaku.""Kayak sama siapa aja, Mas." Safira tertawa kecil, ketegangannya pun berangsur mereda. Dia pun merebahkan badan dengan posisi terlentang, menatap plafon kamar. "Mas kalo ada apa-apa cerita aja sama aku. Aku pasti siap dengerin."Karena Arkana adalah tipe pria yang sangat irit bicara, tetapi mempunyai kepekaan yang sangat tinggi. Hidupnya selama ini hanya tentang soal usaha keluarga yang diwariskan secara turun temurun. Anak pertama memikul beban yang cukup berat di pundak dibanding dengan anak kedua. Itu kata Arkana yang sedari kecil sudah didoktrin oleh papinya.Lain halnya dengan Kai. Pria itu sudah terbiasa bersikap cuek dengan masalah keluarganya. Dari yang pernah Safira dengar sendiri dari mulut pemuda itu, jika Kai tidak pernah tertarik untuk menjadi pewaris. Karena Kai sadar akan posisinya yang lahir dari istri kedua. Yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari papinya. Yang tidak pernah mendapatkan keadilan di dalam rumahnya sendiri."Maaf, tadi gak bisa jemput kamu," ucap Arkana setelah pembicaraannya terjeda beberapa saat."Gak pa-pa, Mas. Aku tadi numpang temen." Safira berbohong. Nyatanya dia tidak menggantikan posisi temannya yang bekerja di weekend seperti sekarang."Ya udah kamu istirahat. Besok dapet shift apa?""Hmm … besok aku masuk siang, Mas." Safira memiringkan posisinya, sambil memeluk guling, ponselnya dia taruh di atas telinga tanpa dipegang."Oke. Nanti kalo sempet aku jemput.""Iya, Mas. Sesempetnya aja." Karena selama ini Arkana jarang ada waktu untuk mengantar mau pun Safira. Bahkan tidak pernah sekali pun. Safira pun pasti selalu beralasan jika Arkana hendak menjemputnya.Obrolan keduanya pun berakhir dan sama-sama langsung tertidur.Keesokkannya, Safira yang mendapat jatah shift masuk siang selama beberapa hari ke depan, selalu menyempatkan waktu untuk pergi ke apartment Kai di pagi hari. Karena dia tidak akan sempat datang sepulang dari Bar, dan pastinya sudah merasa lelah.Seperti biasa, sesuai kesepakatannya dengan Kai. Safira akan membersihkan apartment pemuda itu setiap hari kecuali hari libur. Pekerjaan yang dilakukan secara cuma-cuma, dan tentunya dengan perasaan tidak rela. Kai benar-benar memanfaatkan Safira tanpa mengenal ampun. Ck!Begitu tiba, Safira cukup terkejut karena tidak seperti biasanya kondisi apartment itu bersih dan tidak bau. Kondisinya rapi sama persis seperti terakhir kali dia meninggalkan tempat tersebut.Decakan lolos dari mulut Safira ketika kejadian sialan itu terlintas di ingatan. Kepergok sedang berciuman sungguh membuatnya kehilangan muka di depan pacarnya Kai.Namun, ada untungnya juga menurut Safira, karena kalau Eve tidak datang pada saat itu, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin, kekhilafan itu akan menariknya semakin dalam ke jurang kenikmatan."Fokus, Fira. Fokus!" Safira menggeleng berkali-kali, mencoba untuk tetap fokus pada tujuannya datang ke tempat ini. "Selesai beres-beres mending kamu langsung pulang. Sukur-sukur gak ketemu si Kai," gumamnya sembari melangkah menuju dapur untuk mengambil alat pembersih debu.Terakhir ketemu pemuda itu kemarin sore. Eve yang mungkin marah dan tidak terima memergoki pacarnya berciuman dengan perempuan lain, langsung membawa Kai pergi. Dan Safira pun ikut pergi setelah membereskan unit itu.Memulai pekerjaannya dari area ruang tamu, lalu berlanjut di area dapur. Setelah selesai membersihkan debu, dan mengepel lantai, Safira kemudian lanjut mencuci pakaian di ruang laundry. Menunggu cuciannya beres, Safira menyambinya dengan menyetrika."Baju, kok, warnanya item semua. Gak ada warnanya ijo, pink, merah atau kuning, kek, minimal!"Sampai sekarang, Safira belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konyol yang selama ini menjejali kepalanya. Mengapa Kai sangat menyukai warna-warna gelap. Dari keseluruhan barang-barang yang dimiliki adik Arkana itu semuanya berwarna monoton. Membosankan."Gak kayak Mas Arkana yang suka warna-warna cerah," cicit Safira sambil menggantung baju lengan panjang milik Kai di lemari yang sudah selesai dia setrika.Waktu terus bergulir, jarum jam sudah menunjukkan di angka 9.30 pagi. Hampir siang. Tetapi, sang pemilik unit belum juga keluar dari kamar. Rasa penasaran mendera Safira, yang tengah duduk di kursi meja makan sambil menikmati susu dingin yang baru saja diambil dari kulkas.Kai tidak pernah mengizinkan Safira masuk ke kamar pemuda itu. Selain itu, Kai juga tidak pernah meminta Safira untuk membereskan kamarnya. Kamarnya Kai selalu terkunci rapat."Kamarnya isinya apa, sih? Sampe gak boleh ada orang yang masuk," gumam Safira, terus menatap pintu bercat abu tersebut. "Gak mungkin 'kan isinya bom?"Sifat Kai belum sepenuhnya bisa dibaca oleh Safira. Selama hampir 3 bulan ini, pemuda itu memang sangat menjengkelkan. Kai juga seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari semua orang. Gaya hidup Kai dan Arkana sungguh sangat berbeda jauh, padahal keduanya bersaudara.Jika Arkana memilih menjadi anak yang berbakti, lain halnya dengan Kai. Pemuda itu seakan-akan mempunyai kehidupannya sendiri. Tak ada yang menyangka jika Kai adalah keturunan dari Barack. Keluarga terpandang dan cukup memiliki nama besar di perindustrian Indonesia. Aneh, bukan?Suara pintu terbuka menyentak Safira dari lamunannya yang tidak jelas. Tatapannya sontak bertemu dengan mata Kai yang sedikit sayu. Diam-diam Safira pun memerhatikan. Jika dilihat, Kai sepertinya baru selesai mandi, tetapi sialnya kenapa pemuda bertato itu hanya memakai selembar handuk yang terlilit di pinggangnya?'Ck! Dia sengaja, apa, mau pamerin tatonya?' batin Safira menyeru kesal, seraya beranjak dari tempatnya, dan melangkah ke wastafel.Perempuan yang berpakaian santai itu mencuci gelas bekas pakainya dengan secepat mungkin, menghindar dari tatapan Kai yang sangat sulit dibaca. Sementara Kai menuju ruang laundry dan berganti baju di sana. Usai berganti baju, Kai melangkah ke dapur.Safira yang sudah selesai dengan urusannya, ingin segera cepat-cepat pergi. Keberadaan Kai malah membuatnya grogi. Sungguh menyebalkan! Ciuman itu memberikan efek yang tidak main-main bagi kewarasan Safira.Melihat tingkah aneh Safira, Kai sampai mengerutkan kening, menaikkan sepasang alisnya, lalu memicingkan matanya. "Fir," panggilnya.Safira yang berdiri memunggungi Kai karena sedang sibuk membuatkan kopi, menoleh menatap wajah Kai yang sudah berpakaian lengkap. "Apa?"Kai menyandarkan pantat di tepi meja makan dengan tangan bersedekap. Menimbang-nimbang perkataan yang akan dia lontarkan. "Elu udah pikirin 'kan, apa yang mau elu kasih ke gue buat jaminan?"Seketika itu juga seperti ada duri yang melekat di kerongkongan Safira. Rasanya sakit untuk sekadar menelan ludah. "I-itu ....?"Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan.Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus."Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel."Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!""Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo g
Jujur, Safira terkejut mendengar fakta yang terlontar dari mulut Arkana. Fakta yang kemungkinan akan dianggap sebagai aib oleh sebagian orang di luaran sana. Anak tidak sah? Anak haram? Anak hasil perselingkuhan? Entah apa lagi sebutannya. Safira tidak mau ambil pusing. Semua itu bukanlah urusannya. Semua aib atau masalah tersebut bukanlah hal yang pantas dibicarakan pada sembarang orang. Siapa Safira? Safira hanyalah calon istri Arkana yang kebetulan akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu. Jika tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui aib dari keluarga itu? Dari sinilah Safira mulai paham, mengapa kedua kakak beradik itu tidak pernah terlihat akrab. Kai selalu menjaga jarak dengan Arkana. Tak pernah sekali pun dia melihat dua bersaudara itu bersama atau sekadar mengobrol layaknya saudara. Safira ingat sekali ketika pertama kali dia bertemu Kai. Saat itu dia mengira jika Kai tinggal di luar negeri. Namun ternyata, pemikirannya salah. Arkana mengatakan kalau adik satu-s
Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan..."Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya.Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini."Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak
"Kamu beneran gak bisa bawa pulang Kai, Ar? Papi pengen ketemu sama dia sebelum berangkat ke Belanda." Papinya Arkana bertanya dengan raut penuh harap. Mata tuanya menyiratkan sebuah kerinduan berbalut penyesalan yang begitu mendalam. Tubuh yang dulu gagah dan tegap kini hanya bisa berbaring di ranjang pesakitan akibat sakit yang dideritanya. Semenjak divonis mengidap gagal jantung dan diabetes setahun belakangan, Barack tak lagi bisa bersikap semena-mena seperti dulu.Keangkuhannya terkikis oleh usia serta penyakit. Arkana selaku putra pertama hanya mampu menggeleng lemah. Sebagai seorang anak dia tentu ingin mewujudkan keinginan papinya. Walaupun, orangtua ini telah banyak melakukan kesalahan di masa lampau. "Arkana udah berusaha hubungi Kai, Pi. Tapi, hapenya gak aktif," ucap Arkana dengan berat hati. Dia genggam tangan Tuan Barack, lalu mengusapnya lembut. "Nanti sore biar Arkana coba samperin ke apartemennya lagi." Setidaknya, ha
Entah apa yang ada di dalam pikiran Arkana saat ini. Sampai-sampai menaruh kepercayaan kepada adik tirinya untuk menjaga tunangannya selagi dia pergi menemani sang papi berobat di Belanda. Hingga membuat Safira sempat terdiam sesaat. Seakan-akan perkataan Arkana adalah sebuah kabar yang sangat-sangat mencengangkan. 'Kamu gak tau, Mas. Adik kamu ini sangat licik melebihi iblis. Bagaimana bisa kamu memberinya kepercayaan untuk menjagaku? Selama tiga bulan ini hidupku sudah berada di dalam kendalinya. Itu semua juga gara-gara kebodohanku.' Batin Safira menyeru sekencang-kencangnya. Keinginannya untuk mengungkap sifat buruk Kai, nyatanya tidak bisa dia sampaikan secara terang-terangan."Gimana, Kai? Kamu ... Mau 'kan bantu aku jaga Safira?" Tatapan Safira semakin nyalang. Sambil menelan ludah dia mengalihkan pandangan pada Kai. 'Semoga Kai gak setuju. Semoga. Semoga.' Lagi-lagi dia hanya bisa menjerit dalam hati.Kai mengerjap, dan hanya melirik Safira. "Elu yakin mau nitipin calon istri
"Kamu tunggu di sini aja, gak usah ikut masuk." Safira melepas sabuk pengaman ketika mobil Kai terparkir sempurna di halaman rumahnya yang luasnya tak seberapa. Baru saja dia hendak membuka pintu mobil untuk keluar, perkataan Kai mampu menghentikan pergerakan tangannya. "Tapi gue pengen ikut masuk." Kai melepas sabuk pengamannya tanpa memedulikan decakan Safira. "Kamu—" Kalimat protes yang hendak dilontarkan terpaksa Safira telan kembali, karena Kai lebih dulu keluar dari mobil. "Dia emang manusia paling ngeselin!" umpatnya memandang Kai yang lebih dulu melangkah ke pintu masuk. Dengan berat hati serta rasa tidak ikhlas, Safira membuka lebar-lebar pintunya dan mempersilakan Kai masuk. "Tunggu di situ aja. Aku mau ke kamar dulu, mau ambil baju ganti." Dia menunjuk sofa sederhana yang sudah sekian lama berada di ruang tamu rumahnya."Cepetan! Gak pakek lama." Kai mendengkus, lalu duduk di sofa yang warnanya sudah memudar itu. Memandang punggung Safira yang membuka pintu, kemudian mas
Semenjak pertengkaran itu dan berakhir dengan ancaman. Safira semakin tidak bisa lepas dari genggaman seorang Kai. Dia sudah curiga jika semua akan berakhir seperti ini. Uang yang diminta ayahnya dari Kai, yang katanya untuk modal usaha, rupanya berujung menjadi utang. Jumlahnya pun tidak sedikit. Jika seperti ini, entah sampai kapan Safira bisa melunasinya.Safira sungguh tidak mengerti. Mengapa Kai sangat suka mempersulit keadaannya. Mengapa calon adik iparnya itu terobsesi untuk membuatnya menderita. Apakah di masa lalu Safira mempunyai kesalahan terhadap Kai, sehingga pemuda itu hobi sekali membuatnya sengsara?"Fir." Lolita masuk ke ruangan yang baru saja selesai dibooking oleh pelanggan. Menepuk pundak Safira yang dia perhatikan belakangan ini sering melamun. Terhenyak. Safira lantas menyahut, "Iya, Lit?" sambil melanjutkan pekerjaannya—menata botol-botol minuman yang sudah kosong di meja.Lolita memerhatikan Safira lalu berkata sambil membantu menata gelas-gelas bekas pakai pe
Semalam, tepat jam satu Kai tiba di apartemen bersama teman-temannya. Itu semua sebenarnya terpaksa. Eve pun datang tanpa diundang begitupun dengan ke lima temannya yang memaksa ingin ke tempat tinggal Kai, dengan alasan sudah sangat lama mereka tidak berpesta. Inginnya menolak, tetapi Kai merasa tidak enak. Niat ingin beristirahat pun harus ditunda dan menunggu sampai teman-temannya pulang. Kai juga sempat mendatangi kamar Safira, memastikan jika perempuan itu masih tinggal di apartemennya. Mendapati calon kakak iparnya sudah terlelap, Kai tak sampai hati membangunkannya.Lalu, ketika Safira mengintip dari celah pintu kamarnya, Kai pun sebenarnya menyadari. Namun, sengaja berpura-pura tidak tahu sebab dia sangat yakin jika Safira tidak menyukai keberadaan teman-temannya yang tukang rusuh. Saat semua teman-temannya dan Eve pergi, Kai-lah yang membereskan bekas kekacauan di ruang tamunya. Mengepel serta membersihkan sampah-sampah yang ada dengan tangannya sendiri. Hampir menjelang pa