Kesal.
Itulah yang dirasakan Safira detik ini. Tidak bisa berbuat apa-apa mau pun menolak keinginan konyol dari pemuda di sampingnya yang tengah fokus menyetir. Kebohongan demi kebohongan seakan menjadi teman baik dalam kehidupan Safira selama hampir tiga bulan terakhir ini. Walaupun itu bukanlah maunya. Akan tetapi, Safira juga terlalu pengecut untuk berkata jujur kepada Arkana—pria baik yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.'Hfft …'Helaan frustrasi tak pernah berhenti berembus dari hidung dan mulut Safira. Rasa bersalahnya seolah-olah membuat dadanya terasa sangat sesak. Arkana sangat mempercayai serta mencintai Safira. Tak pandang bulu meski status sosial mereka amatlah berbeda jauh. Cinta Arkanalah yang membuat Safira menjadi tidak percaya diri, memilih memendam masalahnya sendiri sekaligus menutupi fakta lain mengenai pekerjaan sambilan yang dilakoninya selama ini.Namun, rahasia yang coba dia tutupi dari Arkana lantaran malu, malah justru diketahui tanpa sengaja oleh Kai. Safira tak pernah berhenti merutuk kejadian hari itu—ketika Kai memergokinya. Dan, karena kejadian itulah, kini dia harus berurusan dengan Kai. Pemuda yang tidak lain dan tidak bukan calon adik iparnya."Gue gak nyangka aja, kalo calon istri sekaligus calon menantu dari keluarga Barack ternyata jadi pemandu karaoke di Bar. Ck, malu-maluin!"Malam itu Kai tidak segan berbicara ketus dan memandang remeh Safira, ketika mereka tak sengaja bertemu di Bar yang ternyata adalah milik temannya Kai.Kepergok bukanlah kemauan Safira. Apalagi, yang memergoki merupakan calon adik iparnya. Mengelak pun tak ada gunanya. Jika fakta yang ada di depan mata telah memberikan bukti yang nyata. Sebelumnya, hubungan Safira dengan Kai memang tidak terlalu dekat. Bisa dikatakan keduanya jarang sekali bertemu.Namun, dengan adanya kejadian sialan itu, mau tidak mau Safira harus berurusan dengan pemuda itu, karena Kai telah mengambil keuntungan dari nasib miris yang dialami oleh Safira. Alasan Safira bekerja sambilan pun hanya ditanggapi enteng oleh pewaris kedua dari keluarga terpandang di Jakarta tersebut."Kerja jadi SPG itu gajinya kecil. Kalo cuma ngandelin itu aja, mana bisa aku bayar utang bapakku yang jumlahnya hampir ratusan juta itu. Makanya, aku ambil kerjaan sambilan ini demi bayar utang bapakku. Ngerti kamu!" kata Safira pada malam di mana Kai memergokinya dan menuduhnya yang tidak-tidak.Reaksi Kai di luar dugaan. Safira pikir, pemuda yang hobi bertato itu merasa bersalah karena sudah menganggapnya sebagai perempuan murahan. Akan tetapi, tanggapan Kai sungguh membuat Safira semakin muak."Alesan! Bilang aja kalo emang lu nikmatin kerjaan lu ini." Kai berdecih di depan Safira yang geram."Ngomong sama kamu emang gak ada gunanya, ya! Kamu itu cuma anak manja yang gak pernah kenal apa itu namanya hidup susah! Kamu sama Mas Arkana memang beda jauh!"Kai tersenyum miring mendengar ocehan Safira sambil mengorek telinga kirinya dengan kelingking. Tak acuh dengan cibiran Safira yang membandingkannya dengan Arkana, sebab dia dan Arkana memang tidak bisa disamakan. Kai hanyalah orang asing bagi keluarganya sendiri, sementara Arkana adalah orang yang selalu dibangga-banggakan.Hidup ini memang penuh dengan orang-orang munafik, pikir Kai."Abang gue ternyata bego! Gampang banget ketipu sama muka polos lu!" celetuk Kai, lalu meneliti penampilan Safira yang sangat jauh berbeda bila saat bekerja menjadi Sales Promosion Girl di sebuah pusat perbelanjaan.Dia bersedekap, dan berkata lagi, "Gue penasaran, kira-kira Abang gue masih mau, gak, ya, nikahin elu? Atau kalo perlu gue bantu sampein ke dia aja, ya?" Pemuda itu bersiap hendak menghubungi Arkana dengan mengutak-atik ponsel di tangan."Jangan!" Safira seketika panik, membuat Kai mengurungkan niatnya untuk menelepon Arkana."Kenapa? Elu takut?" sindir Kai sambil memainkan lidah di dalam rongga dinding pipi kanan, dan memasukkan ponselnya ke saku celana bagian kiri. Tubuhnya yang menjulang bersandar pada bingkai pintu ruang VIP di bar tersebut.Raut panik Safira membuat Kai ingin tertawa. Bagaimana mungkin dia menghubungi Arkana jika nomornya saja dia tidak punya. ckckck...Perempuan di depannya ini sungguh sangat naif, pikir Kai.Safira menelan ludah atas dugaan yang dilayangkan Kai padanya. Takut?Mungkin bisa dikatakan Safira lebih merasa malu dibandingkan takut. "Aku …" Dia menggigit bibir bawah bagian dalam, sambil berpikir keras supaya Kai tidak membongkarnya pada Arkana.Tak pernah sedikit pun dia berniat membohongi calon suaminya yang baik hati itu. "Pokoknya Mas Arkana gak boleh sampe tau kalo aku kerja di bar ini," pintanya dengan nada bicara memohon dan raut memelas, tetapi lagi-lagi tanggapan Kai membuat Safira mengepalkan tangannya kuat-kuat.Kalau tidak ingat Kai itu siapa, mungkin sedari tadi heels yang dipakai Safira sudah melayang ke kepala pemuda bertindik di telinga itu. Ck!"Kenapa?" Sebelah alis Kai yang terdapat tindikan naik sangat tinggi, tangannya bersedekap di dada, dan semakin melayangkan tatapan remeh."Ya ... pokoknya aku gak mau! Aku belum siap!" sahut Safira, mulai merendahkan suaranya agar Kai mau berbaik hati padanya. "Alasan utamanya tentu kamu udah tau," lanjutnya sambil melangkah mendekati Kai. "Aku mohon ...."Bila perlu Safira akan berlutut di depan pemuda itu. Tak masalah jika dia harus menurunkan sedikit harga dirinya. Tetapi, kalimat selanjutnya yang terlontar dari mulut Kai membuat Safira tidak jadi melakukan niatnya."Oke. Gue gak akan kasih tau Abang gue," ucap Kai mengedikkan bahunya sekilas seakan-akan dia tidak peduli dengan pekerjaan sampingan Safira."Yang bener? Kamu ... beneran gak akan ngomong 'kan sama Mas Arkana?" cicit Safira sumringah. "Ma—" Baru saja dia ingin mengucapkan terima kasih, Kai lebih dulu memotong perkataannya."Ets! Elu jangan seneng dulu! Karena ini semua harus lu bayar dengan mahal, Nona Safira." Kai menyeringai penuh arti, hingga mampu membuat Safira bergidik dengan sorot mata itu."Ba-bayar? Kamu mau aku bayar kamu berapa?" Lenyap sudah harapan Safira, pemikiran mengenai Kai yang tidak punya hati pun makin menjadi-jadi. "Uangmu udah banyak, Kai. Kamu masih minta uang sama perempuan miskin ini? Apa gak salah? Kalo kamu mau, aku bisa kasih apa pun asal kamu jangan pernah kasih tau Mas Arkana soal kerjaan sampingan aku ini. Selain uang tentunya."Kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Safira memelan seiring kepalanya yang menunduk. Uang? Untuk bayar utang saja Safira masih harus banting tulang siang malam. Apalagi jika Kai sungguh-sungguh memintanya untuk membayar uang tutup mulut. Uang dari mana, coba?"Gue gak butuh duit lu, Fir."Eh?Fir? Barusan Kai manggil aku, Fir? batin Safira yang harus menahan kesal karena Kai tidak menghargainya sebagai calon istri dari kakaknya.'Tenang Fira. Tenang.' Safira bermonolog dalam hati sambil memejamkan mata dan mengatur napas.Kira-kira apa yang diinginkan Kai jika bukan uang?Kai menegakkan tubuh, meluruskan tangan, kemudian memangkas jaraknya dengan Safira. Tinggi Safira yang hanya sebatas dada, memudahkan pemuda penyuka warna hitam itu menjangkau keseluruhan penampilan calon kakak iparnya.'Lumayan.' Serunya dalam hati sembari mengusap-usap dagu.Kali pertama Kai sedekat ini dengan Safira semenjak pertunangan sang Abang dan perempuan ini diresmikan satu tahun yang lalu. Kai tidak pernah melihat Safira dengan jarak sedekat ini. Terlebih selama ini dia memilih tinggal sendiri di apartment dan tidak serumah dengan Arkana."Elu bisa bayar gue dengan cara lain, Fir," ucap Kai yang seketika membuat Safira mendongak, lalu tercengang.Reflek, kaki Safira mundur satu langkah, menjaga jarak aman sekaligus demi kebaikan cara kerja jantungnya yang mulai tidak terkontrol. Bisa-bisanya darah Safira berdesir hanya dengan menatap sepasang manik Kai."A-apa? Cara lain apa?" Kerongkongan Safira mendadak kering, karena Kai tak berhenti menatapnya. Tatapannya seolah-olah ingin menerkam Safira hidup-hidup."Tubuh lu. Bayar pakek tubuh lu."Detik itu juga Safira tidak ragu untuk melayangkan satu tamparan keras di pipi Kai. "Berengsek kamu!" umpat Safira, dengan segala amarah yang ingin dia luapkan secara bersamaan. Telapak tangan bekas menampar pipi Kai memanas. "Kamu pikir aku cewek apaan, hah!"Murka sudah. Safira mencengkeram erat jaket kulit warna hitam yang membalut tubuh Kai. Tak hanya marah dengan perkataan Kai, Safira juga merasa terluka karena terinjak-injak harga dirinya. Bola matanya sudah memanas dan mungkin sebentar lagi akan menangis."Gue cuma ngasih ide lain buat lu. Gak ada salahnya 'kan?" Kai menanggapi kemarahan Safira dengan santai. Tamparan yang baru saja dia dapatkan tak berpengaruh sama sekali. "Terserah. Gue juga gak maksa lu." Dia singkirkan tangan Safira dari jaketnya."Kamu emang berengsek!" Rahang Safira mengetat, dengan tangan yang tertahan di udara karena Kai lebih dulu memegangnya. Niat ingin menampar Kai lagi seketika urung."Kalo lu kayak gini, gue gak segan-segan bakal ngasih tau Papi gue. Ngerti!" Kai menyentak tangan Safira dengan sangat kasar, serta sorot mata mengancam. "Impian lu nikah sama orang kaya bakalan ancur!""Kamu!" Telunjuk Safira mengacung di ujung hidung Kai. Napasnya memburu akibat kemarahan yang tidak sepenuhnya bisa disalurkan. Kai ini memang tidak bisa diremehkan, pikir Safira."Jadi kamu mau ambil kesempatan dalam kesempitan? Ck, gak gentleman!" Safira berdecih, menurunkan telunjuknya, kemudian bersedekap, tetapi Kai malah tertawa."Bukannya ada hal yang harus kita bayar mahal dalam kehidupan ini? Lu tentu tau itu, Fir! Apalagi bagi orang-orang kelas rendah kayak lu," cibir Kai mulai bersikap semena-mena. Perkataannya jelas menyinggung Safira.Tawa miris lolos dari mulut Safira, serta satu titik cairan bening menetes di pipi perempuan yang mengenakan pakaian seksi tersebut. "Aku mungkin memang miskin, tapi aku gak serendah yang kamu pikirkan. Apa salah, aku kerja sampingan seperti ini? Enggak 'kan? Aku juga gak merugikan orang! Apalagi kamu!" Telunjuknya mendorong dada Kai, tetapi itu tidak berpengaruh sedikitpun."Tapi lu udah nipu keluarga gue sekaligus Abang gue!"tok! tok!Suara ketukan di kaca jendela mobil memecah lamunan Safira pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Menoleh ke samping, dan tidak mendapati Kai di balik kemudi."Fir!" Kai mengetuk kaca jendela lagi, dan Safira sontak menoleh, lalu berdecak. "Turun!" titah Kai."Iya, bentar!" Safira menghela sesaat sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Kenapa kita ke sini? Jam kerjaku masih lima jam lagi," tanyanya, sambil membenarkan tali tas selempang yang dia bawa.Kenapa Kai membawanya ke Bar tempatnya bekerja sambilan, pikir Safira."Gue ada urusan bentar sama orang," sahut Kai, tidak memedulikan raut cemberut Safira. "Ayo." Setelah menekan tombol otomatis pada kontak mobil di tangan, Kai melangkah lebih dulu, meninggalkan Safira yang bersungut-sungut di balik punggungnya."Ngeselin banget ini orang!" Mau tak mau Safira menyusul Kai masuk ke Bar itu."Elu tunggu di sini dulu. Jangan ke mana-mana sebelum gue samperin lu. Ngerti?" titah Kai setelah menggiring Safira masuk ke Bar, dan mengajaknya ke ruangan VIP. Pemuda itu hanya berdiri di depan pintu seraya bersedekap, menunggu Safira masuk ke dalam."Kamu mau ke mana lagi?" tanya Safira, masih berdiri di depan pintu sama seperti Kai. Dia kesal, tetapi tidak bisa protes. Untuk apa Kai jauh-jauh mengajaknya ke tempat ini, bila ujung-ujungnya harus menunggu sendirian.Kai menghela napas panjang, meraup kasar wajahnya sesaat, lantas menyahut, "Tadi 'kan gue udah bilang kalo ada urusan bentar. Nanti gue balik lagi ke sini. Elu tenang aja." Dia pun melihat jam tangannya sekilas dengan gusar. "Udah sana masuk. Tunggu di dalem. Kalo mau tidur, silakan.""Tap—" Belum juga menuntaskan kalimat protesnya, Kai lebih dulu mendorong lengan Safira supaya segera masuk, sebab dia sudah ditunggu oleh seseorang di rooftop tempat tersebut. "Ish! Kasar banget kamu!" Safira merengut sambil mengusap lenga
Safira langsung masuk setelah mendapat izin dari Danis—pemilik Bar tempatnya bekerja sampingan, sekaligus sahabatnya Kai. Berdiri sungkan di balik pintu yang baru saja ditutup, Safira belum berani duduk, masih memandang Bosnya yang bermata sipit dan berlesung pipit. Danis adalah keturunan marga Tionghoa campuran Jawa, tetapi dia tidak pelit seperti kebanyakan para orang Cina pada umumnya.Berkat kebaikan hatinyalah, Safira diperbolehkan mencicil utang ayahnya yang kerap berjudi di tempat itu. Setiap satu Minggu sekali gajinya akan dipotong sesuai kesepakatan diawal, yakni 50persen. Sisanya akan diberikan kepada Safira untuk biaya hidup."Kamu jam segini udah ada di sini? Sama Kai?" Danis lebih dulu bertanya pada Safira karena pekerjanya itu tak kunjung membuka suara. Pandangannya tetap tertuju pada layar ponsel di tangan.Safira cukup terkejut karena bosnya itu tahu jika dia datang ke tempat ini bersama Kai. "Kok, Pak Danis tau kalo saya ke sini sama dia?" tanyanya masih berdiri di te
Sambil bersedekap dan tatapan memicing, Safira bertanya, "Kenapa kamu lunasin semua utang-utangku ke Pak Danis?"Saat mengetahui fakta tersebut, Safira tentu saja terkejut dan sempat tak percaya. Mengapa seorang Kai yang tidak ada urusannya sama sekali dengan utang-utang ayahnya Safira, mau berbaik hati mendonasikan sebagian uangnya untuk melunasi.Apa ini hanya akal-akalan Kai saja? Tetapi untuk apa? Untuk apa Kai sukarela mengeluarkan uang sebanyak itu, kalau tanpa ada niat terselubung di dalamnya?Bukannya menjawab, Kai justru tersenyum miring, lalu bersedekap. Padahal, dia belum berniat untuk memberitahu Safira jika telah melunasi semua utang-utang perempuan itu. Rencananya, Kai akan mengatakannya nanti setelah surat perjanjian diperbarui. Namun, tidak masalah. Safira tahu besok mau pun sekarang, itu sama saja. Tidak ada bedanya.Geram, sebab Kai tak kunjung menjawab pertanyaannya. Safira menarik napas panjang, seraya memejam sesaat. Feeling-nya tidak salah lagi. Pasti ada niat te
Tengah malam Safira baru saja tiba di rumah setelah bekerja sambilan di Bar. Di Weekend seperti sekarang harusnya dia bisa santai. Namun pada nyatanya hal tersebut tidak berlaku di kehidupan perempuan berusia dua puluh lima tahun itu. Dia langsung menuju ke kamar sederhana yang menjadi saksi bisu selama hampir dua puluh lima tahun terakhir. Semenjak sang ibu pergi lima tahun yang lalu, Safira hanya hidup bersama sang ayah di rumah itu. Dan semenjak kepergian ibunya, Safira pun harus kehilangan sosok ayahnya yang baik. Ayah Safira berubah menjadi sosok yang berbeda setelah ditinggal pergi istri tercinta. Yang mulanya rajin bekerja menjadi pemalas serta sering marah-marah tidak jelas kalau sedang tidak punya uang. Menjengkelkannya lagi, ayahnya Safira juga menjadi seorang penjudi dan hobi mabuk. Itulah kenapa, Safira bisa mempunyai utang yang jumlahnya begitu besar tanpa dia pernah merasakan memakai uang tersebut. Keadaan yang telah memaksanya mengambil tawaran Danis kala itu agar bi
Baru saja hendak mematikan lampu kamar, dering ponsel yang telah disetting khusus dengan nama si pemanggil bergema di ruangan tersebut. Atensi Safira seketika teralihkan pada benda pipih hadiah dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.Senyum Safira sontak terukir begitu melihat nama pria yang mengisi hatinya sejak dua tahun terakhir. "Mas Arkana?"Menyambar ponselnya yang tak berhenti berdering, Safira segera menggeser tombol hijau ke atas, lalu menempelkannya ke telinga. "Halo, Mas?" Dia menyapa dengan raut semringah seraya bersandar di kepala ranjang dan kaki dilipat."Halo, Fir? Udah tidur?" tanya Arkana."Baru mau tidur, Mas." Safira meraih guling dan memeluknya. "Mas, kok, belum tidur?"Hening sejenak, hanya helaan napas yang terdengar di telinga Safira. Sampai beberapa detik berlalu, Arkana menyahut, "Aku baru pulang dari apartemennya Kai.""Kai?" Punggung Safira sontak menegang, bahkan sampai reflek menegak. "Mas Arkana habis dari apartemennya Kai?" Seolah Safira ingin me
Tentang jaminan itu, Safira sungguh tak pernah ingin memberikan apa pun untuk dijadikan sebagai jaminan, seperti yang dimaksud oleh Kai. Bukan dia yang meminta Kai untuk melunasi utang-utangnya pada Danis melainkan pemuda itu sendirilah yang dengan sukarela memberikan bantuan.Safira pikir, Kai akan melupakan masalah tersebut, dan tidak akan pernah lagi mengungkitnya. Kalau Kai meminta Safira untuk mencicilnya itu tidak masalah, sebab biar bagaimana pun utang tersebut adalah tanggung jawabnya. Jumlahnya yang terlampau besar menyebabkan Safira tidak bisa membayarnya sekaligus."Fir." Kai menegur perempuan yang belum ada niatan untuk membuka mulutnya. "Kenapa diem? Padahal, elu tinggal jawab. Simpel."Manik Safira melotot tak percaya. "Simpel? Kamu bilang simpel?" Dia meletakkan sendok bekas mengaduk kopi dengan kasar, lalu menghampiri Kai. "Yang kamu minta sebagai jaminan itu tubuh aku, Kai. Dan kamu bilang itu simpel? Ck, gak waras kamu!""Gue emang udah gak waras," sahut Kai. "Kalo g
Jujur, Safira terkejut mendengar fakta yang terlontar dari mulut Arkana. Fakta yang kemungkinan akan dianggap sebagai aib oleh sebagian orang di luaran sana. Anak tidak sah? Anak haram? Anak hasil perselingkuhan? Entah apa lagi sebutannya. Safira tidak mau ambil pusing. Semua itu bukanlah urusannya. Semua aib atau masalah tersebut bukanlah hal yang pantas dibicarakan pada sembarang orang. Siapa Safira? Safira hanyalah calon istri Arkana yang kebetulan akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu. Jika tidak, mana mungkin dia bisa mengetahui aib dari keluarga itu? Dari sinilah Safira mulai paham, mengapa kedua kakak beradik itu tidak pernah terlihat akrab. Kai selalu menjaga jarak dengan Arkana. Tak pernah sekali pun dia melihat dua bersaudara itu bersama atau sekadar mengobrol layaknya saudara. Safira ingat sekali ketika pertama kali dia bertemu Kai. Saat itu dia mengira jika Kai tinggal di luar negeri. Namun ternyata, pemikirannya salah. Arkana mengatakan kalau adik satu-s
Terbangun karena terpaan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar yang tidak pernah tertutup. Safira tersentak kaget sebab dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan..."Ini ...?" Dia usap kasar wajahnya yang terlihat kesal sekaligus menyesal. "Bisa-bisanya aku ketiduran di sini, ck!" Kecerobohan itu tak mungkin terjadi jika saja Safira tidak menuruti nalurinya sebagai sesama manusia. Semalam, dia pikir Kai akan bertindak sama seperti yang sudah-sudah. Dia kira Kai akan kembali melecehkannya.Namun, semua pikiran buruk tersebut musnah ketika tiba-tiba Kai jatuh pingsan tepat berada di pelukannya. Safira tentu panik sebab rupa-rupanya, calon adik iparnya itu demam tinggi. Alhasil, setelah menimbang-nimbang keputusan cukup lama, Safira memilih mengesampingkan gengsi serta kekesalannya untuk sementara, demi menyelamatkan nyawa seseorang yang telah membuatnya susah selama tiga bulan terakhir ini."Ck, aku harus buru-buru pulang. Mana hapeku? Jam berapa sekarang?" Safira beranjak