Kedua telapak tangan Rigel terkepal erat hingga menampilkan urat-urat yang membiru dan buku-buku jari yang memutih. Rahangnya tampak tegas. Aura dingin kentara menyelimuti paras pria yang baru saja resmi menjadi seorang ayah. Pun, iris coklat gelapnya seakan mematik api amarah pada wanita yang berhasil selamat dari maut beberapa waktu yang lalu.
Selepas dari ruang NICU Akhtar, Rigel bergegas pergi ke ruang dokter yang memanggilkan. Hanya satu yang di pikirannya, yaitu kondisi sang putra. Masih tampak jelas di ingatannya bagaimana tubuh Binar terguling melewati setiap undakan anak tangga, sehingga menyebabkan ceceran d
Tetes demi tetes air mata mengalir begitu deras bagai aliran sungai yang tak tahu di mana ujungnya. Kerumunan orang berbaju hitam semakin menciptakan kegelapan dan kesenduan hati, terutama seorang pria yang sedang memeluk gadis kecil di sampingnya. Tak ingin ketinggalan, kumpulan awan kelabu yang menggumpal kini mulai menurunkan rinai hujan ke bumi. Rintiknya saling bersahutan dengan lantunan doa yang mengiringi kepergian seorang wanita yang kini terbaring damai di bawah gundukan tanah yang basah."Ibu ... jangan tinggalkan Binar." Tak peduli dengan tangannya yang kotor, gadis kecil itu terus mencengkram gundukan tanah bertabur bunga milik wanita yang ia panggil ibu.Sekelebat bayangan kebersamaan antara gadis kecil bernama Binar bersama sang ibu kembali terngiang di kepalanya. Tak mudah memang melupakan sosok yang telah melahirkannya ke dunia ini dan menemaninya selama delapan tahun ini. Ia tidak rela ketika takdir dengan kejam dan tanpa
Tak terasa satu bulan sudah Binar dan Rigel menjadi suami istri. Selama itu, jangan harap hubungan mereka harmonis apalagi romantis layaknya pasangan baru lainnya. Setelah kepulangan mereka dari hotel, sikap Rigel tetaplah sama---dingin tak tersentuh, bahkan terkesan menjaga jarak. Tak ada acara honeymoon, padahal Indira sudah mempersiapkan tiket berlibur untuk mereka. Saat itu Rigel dengan tegas mengatakan ada pekerjaan yang harus ia tangani dan tidak bisa diwakilkan.Layaknya seorang istri yang berbakti pada umumnya, Binar senantiasa menyiapkan segala keperluan untuk suaminya. Kendati memiliki seorang pekerja rumah tangga, wanita itu dengan senang mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi saat ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah. Meski pada awalnya maksud dia kuliah adalah untuk mengejar cita-citanya sekaligus membantu ayahnya mengurusi perusahaan. Namun, ayahnya tetap tak mau dibantu dirinya.Lalu, bagaimana dengan Rigel? Pria itu
"Apa?!" Air muka Rigel mendadak pucat saat resepsionis menelepon untuk mengabarkan kalau baru saja terjadi kecelakaan. Bukan hanya itu, batinnya mendadak nyeri saat mengetahui siapa korbannya.Tanpa memeduli Naresha yang hampir terjungkir dari pangkuan Rigel, karena pria itu beranjak cepat, pria itu bergegas keluar dari ruang kerjanya, menekan tombol lift yang terasa lama terbuka.Hati Rigel terus berdoa---berharap kalau apa yang didengarnya beberapa menit lalu adalah suatu kebohongan. Ia sendiri masih tak percaya akan kehadiran Binar di perusahaannya. Ada perlu apa wanita itu kemari? Pikirannya bertanya-tanya. Namun, kerumunan yang dilihatnya saat ia sudah sampai di lokasi kejadian begitu menarik hatinya.Rigel mengurai, mendesak masuk di antara kerumunan itu. Sejurus kemudian, kedua netranya terbelalak tatkala melihat wanita yang menjadi istrinya selama sebulan ini sedang terbujur tak berdaya di atas pangkuan N
Detik demi detik terlewati, hingga tak terasa, dua minggu sudah Binar terbaring koma setelah kecelakaan yang menimpanya. Di sebelah wanita cantik itu, Rigel senantiasa menemani---menantinya membuka mata---kadang ditemani kedua orangtua pria itu. Sampai kemudian, jemari lentik wanita itu bergerak, begitu pun kedua netranya yang perlahan mengerjap dan terbuka."Binar, akhirnya kau sadar juga." Air muka Rigel begitu terang saat melihat istrinya siuman. Namun, tak ada balasan sama sekali dari istrinya. Binar hanya diam dengan wajah sendu. "Kau haus?" tanyanya yang pada kemudian dijawab sebuah anggukan lemah.Rigel memosisikan tubuh Binar menjadi duduk, membantunya minum sedikit demi sedikit. Setelah itu, ia segera memencet tombol yang berada di dinding di atas brankar agar dokter segera hadir. Tak lama kemudian, sang dokter pun hadir untuk memeriksa perkembangan Binar dan melepas elektoda di tubuh wanita itu."Kenapa kaki kanan saya ter
Rigel menatap wajah cantik Naresha yang sedang memakan es krim. Memang tak secantik Binar yang berwajah kebulean seperti ibunya yang memiliki darah Eropa, tapi hanya Naresha-lah yang ia cinta. Mungkin karena selama ini ia hanya menganggap Binar sebagai adik, tidak lebih, meski tak bisa dipungkiri jauh sebelum Naresha hadir, ada desiran aneh yang menggelitik saat bersama Binar. Sebuah desir yang ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Naresha dulu.Naresha adalah seorang anak yatim piatu. Di usianya yang kesembilan tahun, ayahnya meninggal karena tertimpa steger saat memandori proyek perumahaan. Selang setahun kemudian, ibunya menyusul kepergian ayahnya menuju Sang Khalik karena sakit-sakitan. Sepeninggal kedua orangtuanya, ia harus tinggal dengan bibinya---dari pihak sang ibu---yang kejam, dalam arti suka memukul, mencaci, menjadikan pembantu, dan menjadikan sumber uang bagi bibi dan sepupu laki-lakinya alias anak sang bibi, sedangkan suami sang bibi te
"Ke mana itu anak?" gumam Indira berang, karena putra semata wayangnya tidak ada di kamar inap menantunya, padahal ini waktunya Binar diperbolehkan pulang. Wanita paruh baya itu kemudian menatap wajah ayu menantunya dengan tatapan bersalah. "Maafkan Mama, karena Mama lalai mendidik anak. Mama harap, kau bisa memaafkan Rigel."Binar tersenyum tipis. "Mama adalah ibu terbaik. Mama bahkan menyayangiku seperti ibu kandung. Bagiku, Mama telah berhasil mendidik anak. Soal Kak Rigel, tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tidak bersalah. Aku mengerti kalau pernikahan ini sulit bagi Kak Rigel."Mata Indira berkaca-kaca sampai setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya. Dengan cepat ia seka, kemudian menghela napas panjang. "Semoga kau mau bersabar. Mama yakin, kelak Rigel akan mencintaimu dan melupakan wanita itu."Binar hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya. Sementara itu, di balik pintu kamar i
Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar."Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya."Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak."Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk."Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa si
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.