Tetes demi tetes air mata mengalir begitu deras bagai aliran sungai yang tak tahu di mana ujungnya. Kerumunan orang berbaju hitam semakin menciptakan kegelapan dan kesenduan hati, terutama seorang pria yang sedang memeluk gadis kecil di sampingnya. Tak ingin ketinggalan, kumpulan awan kelabu yang menggumpal kini mulai menurunkan rinai hujan ke bumi. Rintiknya saling bersahutan dengan lantunan doa yang mengiringi kepergian seorang wanita yang kini terbaring damai di bawah gundukan tanah yang basah.
"Ibu ... jangan tinggalkan Binar." Tak peduli dengan tangannya yang kotor, gadis kecil itu terus mencengkram gundukan tanah bertabur bunga milik wanita yang ia panggil ibu.
Sekelebat bayangan kebersamaan antara gadis kecil bernama Binar bersama sang ibu kembali terngiang di kepalanya. Tak mudah memang melupakan sosok yang telah melahirkannya ke dunia ini dan menemaninya selama delapan tahun ini. Ia tidak rela ketika takdir dengan kejam dan tanpa permisi memisahkannya dengan sang ibu.
Hanya dalam semalam, Binar merasa dunia indahnya telah dijungkir balik kala seorang polisi mengabarkan bahwa mobil yang ditumpangi ibu dan kakaknya masuk jurang. Dalam kecelakaan tragis itu, sang kakak sampai sekarang dikabarkan hilang, sementara itu sang supir tewas di tempat, sedangkan ibunya kritis. Namun Subuh tadi, rupanya sang ibu telah lelah menahan rasa sakitnya hingga akhirnya harus menyerah dan meregang nyawa.
Kini, mau tidak mau Binar harus menelan kepahitan di mana ia tak bisa lagi mendapat dekapan hangat dan kasih sayang dari sang ibu. Meski begitu, sosok yang paling berjasa itu akan selalu melekat erat dalam jiwa dan raganya.
"Sebaiknya kita pulang, apalagi hujan semakin deras. Kasihan putrimu," ucap salah seorang pria yang turut datang dalam acara pemakaman itu seraya menepuk bahu pria yang berstatus sebagai ayah Binar. Dengan lemah, ayah gadis kecil itu mengangguk.
"Ayo, Sayang, kita pulang," ajak ayah Binar.
Binar menggeleng. Tubuh kecilnya menunduk dan memeluk gundukan tanah. "Binar tidak mau, Ayah. Binar mau menemani Ibu. Ibu pasti kedinginan."
Sontak, tolakan dari gadis kecil itu membuat siapa saja merasa nyeri di ulu hatinya---tak tega melihat tetes air mata Binar yang begitu menyayat.
Seorang wanita berjongkok seraya mengusap lembut surai hitam Binar. "Sayang, sebaiknya kita pulang. Nanti, Binar bisa kemari lagi."
"Tidak mau, Tante. Kalau Tante Indira, Ayah dan yang lain mau pulang, pulang saja. Binar mau di sini bersama Ibu," tolak Binar, masih dengan posisi memeluk gundukan tanah ibunya.
Wanita yang bernama Indira menghela napas kasar. "Jangan seperti ini, Nak. Kalau seperti ini, Binar sama saja membuat Ibu sedih. Apa Binar rela membuat Ibu menangis di alam sana?" Gadis kecil yang ditanya pun menggeleng lemah. "Kalau Binar sayang pada Ibu, Binar harus ikhlas. Ibu sudah bahagia bersama Tuhan. Sekarang, kita pulang, ya," bujuk wanita itu lagi.
Perlahan Binar menegakkan tubuh kecilnya. Kedua tangannya direntangkan meminta sang ayah menggendongnya. Dengan sigap, ayahnya menggendongnya.
Derai air mata masih mengalir meski upacara pemakaman telah selesai. Bagaimana tidak, Starla---ibu Binar---adalah sosok wanita yang lembut dan baik di mata masyarakat. Oleh karena itu, siapa pun masih tidak rela melepas kepergian wanita itu. Dengan langkah gontai satu per satu kerumunan orang itu, pun dengan Binar berpencar, memasuki kendaraan masing-masing meninggalkan padang persinggahan abadi.
Bersama bulir-bulir bening yang perlahan menghapus jejak coklat akibat tanah yang menempel di wajah cantiknya, dalam gendongan sang ayah, kedua manik coklat Binar terus tertuju pada pusara sang ibu sampai perlahan, batas kesadarannya terenggut.
Satu menit, dua menit, tiga puluh menit, atau ... ah mungkin kata jam lebih tepat mewakilkan berapa lama gadis kecil itu terpejam hingga akhirnya, manik coklat itu terbuka sempurna bersama pekikan memanggil sang ibu.
Napas Binar terengah seperti habis maraton. Gadis kecil itu menatap pakaiannya. Ia mendesah lega kala yang dikenakannya bukan pakaian hitam. Ah, apa tadi ia baru saja mimpi buruk? Sudut bibirnya pun seketika tertarik ke atas seraya mendesah lega. Namun, tak lama kemudian sudut bibirnya justru berubah melengkung ke bawah kala pintu kamarnya menampilkan Indira yang datang dengan gaun hitam seperti dalam mimpinya.
"Sayang, kau sudah bangun?" tanya Indira seraya membawa secangkir coklat panas.
Kedua mata Binar memanas dan perlahan bulir-bulir bening meluncur kembali mengenai pipinya. Di saat Indira duduk di sampingnya untuk menyerahkan coklat panas, dengan amarah yang membuncah ia mengambil coklat panas itu lalu melemparkannya ke sembarang arah hingga mengeluarkan bunyi nyaring antara gelas panas yang bertemu dengan dinginnya lantai.
Seorang remaja berusia tiga belas tahun yang berniat mengunjungi Binar terperanjat kala mendengar pecahan gelas yang dilempar gadis kecil itu. Dengan cepat, remaja itu membuka pintu kamar gadis kecil itu secara kasar. Dilihatnya, Binar sedang terisak dalam pelukan Indira.
"Ma, apa yang terjadi?" tanya remaja itu.
"It's okay. Kemarilah, Rigel," titah Indira pada putra semata wayangnya. Dengan patuh, remaja itu menarik kaki dengan hati-hati agar tidak terkena serpihan kaca, kemudian duduk di samping Binar.
Dalam dekapan Indira, Binar terus terisak seraya meracaukan ibunya. Gadis kecil itu rasanya masih belum percaya. Ingin rasanya ia terus terlelap dalam mimpi, jika tahu terbangun hanya membuat hatinya sakit.
"Sabarlah, Sayang. Kau tidak sendiri. Masih ada ayahmu, Om Aksa, Tante, Rigel, dan masih banyak lagi yang menyayangimu," tutur Indira lembut.
"Tapi Binar mau Ibu, Tante. Sekarang Binar tidak punya Ibu yang akan selalu menyayangi Binar," sahut Binar seraya mendongak menatap Indira dengan tatapan sendu. Tak ada sinar terang di wajah gadis kecil itu. Auristela Binar Anarghya, sang bintang emas itu telah kehilangan kerlip terang dan senyum cerianya. Cahaya bintang emas itu harus redup di usianya yang sungguh teramat kecil.
Jemari lentik Indira menyeka jejak basah di pipi Binar, bibirnya menyecup kedua mata gadis kecil itu, lalu membelai puncak kepalanya. Seulas senyum yang terlihat dipaksakan terbit di wajahnya. Batinnya tersayat, tak kuasa menatap manik coklat gadis kecil di depannya yang berkaca-kaca.
"Siapa bilang Binar tidak punya ibu? Mulai sekarang, Binar adalah anak Tante, sama seperti Kak Rigel," ucap Indira. Ia genggam kedua tangan Binar, lalu mengecupnya. "Ayo, panggil Tante Mama!" titahnya penuh harap.
Binar menoleh ke arah Rigel. Mendapat anggukan dari remaja tampan itu, ia segera berhambur ke pelukan Indira. "Mama," lirihnya seraya menumpahkan kembali sungai air mata.
Rigel tersenyum kecil seraya mengusap punggung bergerat Binar. "Jangan pernah merasa sendiri. Ada kami yang akan selalu menyayangimu. Aku berjanji akan selalu menjagamu dan takkan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu. Sudah, jangan menangis. Tangismu terlalu berharga untuk dijatuhkan."
Binar mengurai pelukannya, ia menatap Rigel seraya mengangguk kecil. Kedua tangan kecilnya dengan kasar menyeka air mata di pipinya, meski dalam hati ia masih ingin menangis. Jari kelingking kanannya terulur di depan remaja itu. "Janji akan selalu menyayangiku?" tanyanya sesegukan.
Senyum Rigel ditarik semakin lebar. "Janji," balasnya. Melihat seulas senyum kecil di wajah Binar, ia dengan gemas mengacak-acak puncak kepala gadis kecil itu. "Nah, seperti itu. Tersenyum membuatmu semakin cantik," pujinya yang tanpa sadar membuat pipi gadis kecil itu merona.
***
"Ayo masuk!" Tak seperti biasanya, suara Rigel terdengar begitu dingin, membuat Binar tersentak dari lamunan masa kecilnya.
Tak terasa tiga belas tahun berlalu. Selama itu, Rigel benar-benar membuktikan ucapannya---menjadi sang pelindung yang selalu dapat Binar andalkan. Tapi, apakah setelah apa yang terjadi, akankah remaja yang kini sudah menjelma menjadi pria tampan yang banyak digilai kaum hawa masih bisa memperlakukannya seperti dulu, tepatnya sebelum pernikahan mereka terjadi?
Ah, ya, Achazia Rigel Kalandra kini telah resmi berstatus sebagai suami dari Binar setelah tadi pagi pria itu mengucap akad nikah di depan sang ayah dan penghulu, bahkan beberapa menit yang lalu mereka sudah melakukan resepsi yang terbilang megah di hotel yang kini mereka tempati. Sekarang, Binar telah resmi menjadi keluarga dan menantu dalam keluarga Kalandra.
"I---iya, Kak," sahut Binar. Dengan pelan wanita itu mengekori suaminya.
Kedua netra Binar membola sempurna saat melihat ruang tamu kamar hotel yang disewanya dipenuhi berbagai kelopak bunga mawar dan lilin-lilin yang berjejer rapi di lantai dan meja hias. Masuk ke dalam kamar, keadaannya tak jauh berbeda. Aroma terapi yang begitu menenangkan pun menyeruak, membuat suasana semakin romantis terlebih lagi lampu yang temaram.
"Siapa yang mau mandi terlebih dahulu?" tanya Rigel, menyadarkan Binar dari keterpakuannya.
"A---aku dulu," jawab Binar dengan terbata.
Dengan secepat kilat Binar berlari ke kamar mandi. Di dalam sana wanita itu nampak terengah seraya menatap wajahnya di depan cermin. Menikah di usia 21 tahun tak ada dalam bayangannya. Dua bulan yang lalu ia bahkan baru lulus kuliah.
Binar menutup mata sejenak kemudian membukanya perlahan. Di saat ia hendak membuka gaun pernikahannya, ia mendesah karena tak kunjung juga bisa melepaskan retsletingnya. Dengan terpaksa dan menyembunyikan pipinya yang semerah tomat, ia membuka pintu kamar mandi, lalu menyembulkan sedikit kepalanya.
"Kak," panggil Binar ragu. Rigel yang sedang rebahan di sofa menoleh ke arahnya.
"Kau sudah selesai?" tanya Rigel. Namun, bukan sebuah jawaban yang ia dapat melainkan Binar yang perlahan mendekatinya.
"Bisa tolong bukakan retsletingku? Ini susah sekali," pinta Binar seraya membalikkan tubuhnya membelakangi suaminya.
Rigel dengan wajah datarnya menurut. Jemari besarnya segera membuka retsleting istrinya. Jangan harap pria itu membuka dengan adegan pelan, lalu melayangkan sapuan lembut nan menggoda atau kecupan di punggung polos istrinya yang kini sudah terekspos.
"Sudah," ucap Rigel kaku, membuat Binar segera berlari kecil dengan satu tangan yang mendekap erat gaunnya agar tidak melorot sementara satu tangan yang lainnya menarik koper miliknya ke kamar mandi. Wanita itu merutuki diri sendiri, karena tadi sempat lupa membawa pakaian ganti ke kamar mandi. Memangnya, ia sanggup ganti baju di dalam kamar di depan suaminya? Ah, tentu saja tidak.
Satu jam berlalu dan Binar sudah selesai dari ritual mandinya sejak tiga per empat jam yang lalu. Ya, tiga per empat jam yang lalu. Lalu, kalau begitu apa yang dilakukan wanita itu tiga per empat jam kemudian di dalam kamar mandi? Yang dilakukan wanita itu adalah menatap tubuhnya yang kini ditutupi bathrobe di depan cermin. Bukan karena ia lupa membawa pakaian ganti alias kopernya kosong, melainkan ia bingung karena seluruh pakaian yang sudah dipersiapkannya dari rumah kini telah berganti dengan lingerie sexy yang kini sudah membalut tubuh polosnya.
"Binar, apa kau baik-baik saja?" tanya Rigel dari luar seraya mengetuk pintu kamar mandi.
"Ya, sebentar lagi," balas Binar dari dalam. Ia mengembuskan napas kasar. Dengan terpaksa ia membuka pintu kamar mandi. "Silakan jika Kakak ingin ke dalam. Maaf, karena aku lama," ucapnya dengan wajah yang ditekuk.
Tanpa membalas, Rigel melenggang memasuki kamar mandi. Sementara itu, Binar memilih duduk di sisi ranjang bertabur kelopak bunga, memikirkan bagaimana ia nanti tidur hanya dengan mengenakan lingerie. Berbicara soal tidur, tiba-tiba semburat merah muncul di kedua pipi putihnya. Kilasan teman-teman dan ibu mertuanya yang menggoda dirinya akan malam pertama membuatnya ingin menenggelamkan diri ke dasar laut. Ah, bodoh, ia baru sadar, pasti ibu mertuanya yang sudah mengganti isi kopernya.
Berbeda dari diri Binar yang lama, selang sepuluh menit kemudian Rigel keluar dengan nampak segar hanya mengenakan celana pendek yang menutup bagian pinggang sampai lutut, sementara tubuh bagian atasnya dibiarkan telanjang. Refleks, Binar memalingkan wajahnya.
"Aku rasa kedua orangtua kita mengerjai kita," keluh Rigel, membuat Binar mengangguk malu. Dengan malas, pria itu pun merebahkan tubuhnya yang letih di atas ranjang. "Ayo tidur," ajaknya.
"Hah?" Binar mengerjap nampak bodoh.
"Tidurlah, ini sudah malam," ucap Rigel dingin seraya memiringkan tubuhnya membelakangi Binar. "Aku tahu pasti tidak akan nyaman tidur dengan mengenakan bathrobe. Bukalah, aku janji tidak akan macam-macam," lanjutnya tanpa mau menatap istrinya.
Binar bergeming, setetes kristal bening lolos begitu saja, dengan cepat ia seka. Kata tidak akan macam-macam yang dilontarkan suaminya begitu menyentil egonya. Ia ditolak. Tentu saja. Dengan bodohnya ia memikirkan apa yang akan dilakukan suami-istri pada umumnya. Harusnya ia sadar bahwa tak ada kata cinta di dalam hati pria itu untuknya. Ia pun melepas bathrobe-nya, merebahkan diri di sisi kanan ranjang hingga posisinya dan sang suami saling membelakangi, kemudian menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya.
"Maaf." Satu kata itu lolos dari bibir Binar bersama denyut nyeri yang menjalar di hatinya. Ia sadar apa yang sudah ia perbuat pasti telah menyakiti hati suaminya. "Meski Kakak lelah, berjanjilah untuk selalu berada di sampingku dan memegang janji Kakak dulu," lirihnya dengan suara bergetar.
"Entahlah, aku tidak yakin," balas Rigel dingin dengan mata yang terpejam. Pria itu tahu, ini bukan murni kesalahan Binar, wanita yang sejak dulu disayanginya. Tapi, apa yang telah terjadi benar-benar membuat sebagian jiwanya terenggut dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperlakukan istrinya sama seperti dulu.
Tak terasa satu bulan sudah Binar dan Rigel menjadi suami istri. Selama itu, jangan harap hubungan mereka harmonis apalagi romantis layaknya pasangan baru lainnya. Setelah kepulangan mereka dari hotel, sikap Rigel tetaplah sama---dingin tak tersentuh, bahkan terkesan menjaga jarak. Tak ada acara honeymoon, padahal Indira sudah mempersiapkan tiket berlibur untuk mereka. Saat itu Rigel dengan tegas mengatakan ada pekerjaan yang harus ia tangani dan tidak bisa diwakilkan.Layaknya seorang istri yang berbakti pada umumnya, Binar senantiasa menyiapkan segala keperluan untuk suaminya. Kendati memiliki seorang pekerja rumah tangga, wanita itu dengan senang mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi saat ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah. Meski pada awalnya maksud dia kuliah adalah untuk mengejar cita-citanya sekaligus membantu ayahnya mengurusi perusahaan. Namun, ayahnya tetap tak mau dibantu dirinya.Lalu, bagaimana dengan Rigel? Pria itu
"Apa?!" Air muka Rigel mendadak pucat saat resepsionis menelepon untuk mengabarkan kalau baru saja terjadi kecelakaan. Bukan hanya itu, batinnya mendadak nyeri saat mengetahui siapa korbannya.Tanpa memeduli Naresha yang hampir terjungkir dari pangkuan Rigel, karena pria itu beranjak cepat, pria itu bergegas keluar dari ruang kerjanya, menekan tombol lift yang terasa lama terbuka.Hati Rigel terus berdoa---berharap kalau apa yang didengarnya beberapa menit lalu adalah suatu kebohongan. Ia sendiri masih tak percaya akan kehadiran Binar di perusahaannya. Ada perlu apa wanita itu kemari? Pikirannya bertanya-tanya. Namun, kerumunan yang dilihatnya saat ia sudah sampai di lokasi kejadian begitu menarik hatinya.Rigel mengurai, mendesak masuk di antara kerumunan itu. Sejurus kemudian, kedua netranya terbelalak tatkala melihat wanita yang menjadi istrinya selama sebulan ini sedang terbujur tak berdaya di atas pangkuan N
Detik demi detik terlewati, hingga tak terasa, dua minggu sudah Binar terbaring koma setelah kecelakaan yang menimpanya. Di sebelah wanita cantik itu, Rigel senantiasa menemani---menantinya membuka mata---kadang ditemani kedua orangtua pria itu. Sampai kemudian, jemari lentik wanita itu bergerak, begitu pun kedua netranya yang perlahan mengerjap dan terbuka."Binar, akhirnya kau sadar juga." Air muka Rigel begitu terang saat melihat istrinya siuman. Namun, tak ada balasan sama sekali dari istrinya. Binar hanya diam dengan wajah sendu. "Kau haus?" tanyanya yang pada kemudian dijawab sebuah anggukan lemah.Rigel memosisikan tubuh Binar menjadi duduk, membantunya minum sedikit demi sedikit. Setelah itu, ia segera memencet tombol yang berada di dinding di atas brankar agar dokter segera hadir. Tak lama kemudian, sang dokter pun hadir untuk memeriksa perkembangan Binar dan melepas elektoda di tubuh wanita itu."Kenapa kaki kanan saya ter
Rigel menatap wajah cantik Naresha yang sedang memakan es krim. Memang tak secantik Binar yang berwajah kebulean seperti ibunya yang memiliki darah Eropa, tapi hanya Naresha-lah yang ia cinta. Mungkin karena selama ini ia hanya menganggap Binar sebagai adik, tidak lebih, meski tak bisa dipungkiri jauh sebelum Naresha hadir, ada desiran aneh yang menggelitik saat bersama Binar. Sebuah desir yang ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Naresha dulu.Naresha adalah seorang anak yatim piatu. Di usianya yang kesembilan tahun, ayahnya meninggal karena tertimpa steger saat memandori proyek perumahaan. Selang setahun kemudian, ibunya menyusul kepergian ayahnya menuju Sang Khalik karena sakit-sakitan. Sepeninggal kedua orangtuanya, ia harus tinggal dengan bibinya---dari pihak sang ibu---yang kejam, dalam arti suka memukul, mencaci, menjadikan pembantu, dan menjadikan sumber uang bagi bibi dan sepupu laki-lakinya alias anak sang bibi, sedangkan suami sang bibi te
"Ke mana itu anak?" gumam Indira berang, karena putra semata wayangnya tidak ada di kamar inap menantunya, padahal ini waktunya Binar diperbolehkan pulang. Wanita paruh baya itu kemudian menatap wajah ayu menantunya dengan tatapan bersalah. "Maafkan Mama, karena Mama lalai mendidik anak. Mama harap, kau bisa memaafkan Rigel."Binar tersenyum tipis. "Mama adalah ibu terbaik. Mama bahkan menyayangiku seperti ibu kandung. Bagiku, Mama telah berhasil mendidik anak. Soal Kak Rigel, tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tidak bersalah. Aku mengerti kalau pernikahan ini sulit bagi Kak Rigel."Mata Indira berkaca-kaca sampai setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya. Dengan cepat ia seka, kemudian menghela napas panjang. "Semoga kau mau bersabar. Mama yakin, kelak Rigel akan mencintaimu dan melupakan wanita itu."Binar hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya. Sementara itu, di balik pintu kamar i
Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar."Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya."Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak."Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk."Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa si
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara