Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.
Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suaramu." Ada tatapan kesal saat ia mengucapkannya dan kekesalan itu semakin bertambah saat Binar menggeleng, berbalik meraih ponsel di atas nakas, mengetikkan sesuatu, kemudian diperlihatkan isinya kepadanya.
Aku tidak mau mengambil risiko. Itulah isi dari pesan yang diketik Binar.
"Risiko apa, Binar?!" Suara Rigel bergetar menahan amarah.
Binar kembali mengetikkan sesuatu dan Rigel membiarkannya. Kembali, Binar memperlihatkan isinya. Kakak bilang aku harus berhenti bicara, kalau tidak Kakak akan menciumku kembali, bahkan melakukan hal lebih dari itu. Aku tidak mau.
Rigel mengusap wajah kasar, lalu menyugar rambutnya. Ia merasa greget sendiri atas kelakuan istrinya. Binar adalah salah satu lulusan terbaik di Oxford University, tapi mengapa wanita itu malah salah tangkap maksudnya? Tak hanya enggan berbicara dengannya, istrinya itu juga seakan menjaga jarak dengannya. Ini seperti kebalikkan saat sebulan pertama mereka menikah. Dulu, ia yang menjaga jarak bahkan terkesan menjauhi Binar, tapi sekarang wanita itu yang balik menjaga jarak dan menjauhinya. Apa karena wanita itu takut ia mencuri kecupan atau melakukan hal lebih? Bukannya Binar adalah wanita yang halal untuknya? Kenapa wanita itu tidak mau memberikan haknya sebagai suami? Ah, ia lupa. Kata bukan suami-istri sungguhanlah yang menjadi pemicunya.
Keterdiaman Binar semakin bertambah saat pemeriksaan dua minggu yang lalu di mana dokter mengatakan hasil rontgen tidak menunjukkan perubahan signifikan pada perkembangan kaki Binar. Wanita itu memang bisa bernapas lega, karena mati rasa yang dialaminya hanya terjadi beberapa hari setelah ia siuman. Perlahan mati rasa itu berubah menjadi rasa sakit yang wajar dirasakan pada kakinya. Itu berarti, tak ada cedera neovaskular atau kerusakan pada arteri dan sarafnya yang bisa menyebabkan mati rasa bahkan lumpuh. Namun, kakinya diduga mengalami Delayed Union atau penyambungan tertunda. Gips yang terpasang di kakinya pun baru kemarin bisa dilepas.
Dokter tetap menyemangati Binar dan berharap proses pembentukan kalus di kedua ujung tulang yang patah sebagai cikal bakal yang menjembatani penyambungan tulang, baik dari kalus halus ke kalus kasar yang terjadi hingga bulan keempat setelah cedera yang di dalamnya terdapat sel yang disebut osteoblast berjalan baik. Osteoblast sendiri yaitu sel yang berperan dalam membentuk tulang dengan mengisi rongga-rongga yang masih kosong dan mengambil mineral untuk dimasukkan ke dalam jaringan tubuh agar tulang akan semakin padat dan kuat. Pada tahap ini, Binar tidak boleh melakukan banyak gerakan aktif, karena bisa merusak pertumbuhan kalus.
"Binar," panggil Rigel lirih. Ia duduk di ayunan panjang sebelah Binar. Dilihatnya wanita itu sedang membaca sebuah novel ditemani semilir angin di sore hari. Itulah kebiasaan wanita itu akhir-akhir ini. Soal mandi, pada akhirnya ia memerintahkan Mbok Jum untuk menemani istrinya mandi. Lagi pula, berada di dekat Binar tidak baik untuk adik kecilnya dan juga hatinya, karena wanita itu seperti memiliki aliran listrik yang menggetarkan hatinya dan melumpuhkan logikanya.
Binar menyeka jejak basah di matanya, lalu berdeham tanpa melihat Rigel, pandangannya fokus pada novel yang ia baca. Sebuah kisah Siti Khadijah yang membuatnya menangis berkali-kali akan perjuangan wanita itu bersama Rasulullah.
Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, beliau berkata kepada Rasululllah SAW, "Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu."
"Jauh dari itu, Ya Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya,” jawab Rasulullah."
Dikisahkan pula dalam Sirah Nabawiyah, suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah meminta Khadijah agar tetap di tempatnya.
Saat itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fathimah RA.
Kemudian Rasulullah mengambil Fathimah dari gendongan istrinya, lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.
Rasulullah SAW tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Nabi SAW dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.
"Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?" tanya Rasulullah dengan lembut. "Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?" lanjutnya tak kuasa melihat istrinya menangis.
"Wahai suamiku, wahai Nabi Allah, bukan itu yang kutangiskan," jawab Khadijah. Wanita itu berkata lagi, "Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya, Wahai Rasulullah.
"Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah, sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai, namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan.
"Maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu. Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam wahai Rasulullah."
Mendengar ucapan Khadijah tersebut, Rasulullah pun semakin terpukul dan wafatnya Khadijah begitu menusuk hati Rasulullah.
Binar tak habis pikir mengapa Khadijah RA berkata bahwa ia belum menjadi istri berkakti, padahal semasa hidupnya wanita mulia itu menyerahkan seluruh harta, jiwa, dan raganya untuk membantu suaminya berdakwah dalam Islam, bahkan wanita mulia itu rela menawarkan tulang belulangnya untuk menjadi jembatan bagi suaminya berdakwah. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Ia sadar jauh dari kata berbakti. Sampai detik ini ia pun belum menyerahkan hak suaminya. Tapi, ini bukan kemauannya. Rigel-lah yang membuat pernikahan mereka menjadi sebuah permainan yang berbatas waktu. Seandainya saja pria itu mau membuka hati untuknya, tentulah ia dengan senang hati menyerahkan hak pria itu.
"Besok aku akan ke Italia. Emm ... kau tidak apa-apa 'kan aku tinggal?" tanya Rigel dengan perasaan sedikit tidak enak. Bohong jika ia tidak khawatir akan keadaan istrinya.
Binar mengangguk kecil. Mendengar kata Italia, ia paham betul apa yang dikatakan suaminya. Apa lagi kalau bukan menemui Naresha? Rigel sebelumnya sudah bercerita padanya kalau suaminya itu menyetujui perjanjian di mana takkan berhubungan dengan Naresha atau wanita mana pun sampai perceraian dengannya. Tapi, kemarahan dan kepergian Naresha ke Italia cukup mengusik pikiran Rigel. Tadinya, setelah pemeriksaan pada kakinya selesai, Rigel akan terbang untuk meredam amarah Naresha, tapi berhubung gipsnya baru dilepas kemarin, suaminya itu mengundurkan niatnya dan rupanya baru bisa terlaksana besok.
Binar mendesah, ingin sekali ia melarang Rigel. Bohong jika ia tidak memendam rasa pada suaminya. Sejak dulu atau bisa dikatakan sejak kecil hatinya sudah berlabuh pada suaminya. Tapi, percuma saja jika ia harus mengungkapkan rasa itu pada suaminya. Sakit hatinya saat dulu suaminya datang ke Inggris bukan untuk melepas rindu, tapi meminta saran untuk menjalin hubungan dengan Naresha. Suaminya teramat mencintai wanita itu dan membunuh cintanya adalah jalan yang terbaik agar rasa sakit di hatinya tidak semakin melebar. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hatinya selain dirinya. Sekarang, bagaimana ia bisa seberbakti Khadijah RA, sedangkan Rigel bukanlah suami yang patut ia perjuangkan?
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Binar hanya ingin membersihkan tubuhnya yang berselimut keringat agar ia bisa tidur nyenyak. Namun, suasana hatinya yang merasa terpatahkan membuat otaknya mendadak buntu dengan lupa membawa pakaian ganti. Tadi ia sudah akan mengambil pakaian kalau saja Rigel tidak menghentikan langkahnya dengan kalimat yang membuatnya merasa dipermainkan. Rasa ingin pergi dari hadapan Rigel lebih kuat mendominasi, daripada pikiran jernihnya, membuat ia urung keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian ganti. Dirinya tak siap untuk bertemu suaminya. Mungkin, dengan menyembunyikan diri selama beberapa waktu di dalam kamar mandi bisa sedikitnya mengalihkan apa yang dirasakannya saat ini.
Derit pintu terdengar, diikuti derap langkah Rigel di tengah kegelapan yang menyelimuti kamarnya dan istrinya. Pelan-pelan ia melangkah mendekati saklar yang menempel di dinding dekat nakas, kemudian menekannya hingga lampu tidur yang temaram menyala. Manik matanya beredar ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul setengah satu malam.Pandangan Rigel beralih pada istrinya yang sudah menjelajah ke alam mimpi dalam posisi miring menghadap nakas. Dia duduk di lantai dekat sisi ranjang, sebelah tangan kanannya terulur mengusap lembut surai hitam istrinya, lalu turun dan berhenti di wajah istrinya. Hatinya bergetar saat melihat mata sembab dan jejak basah di pipi istrinya, mungkin wanita itu tertidur setelah lelah menangis. Refleks jari telunjuknya menyeka jejak basah yang mulai mengering, kemudian mengecup kedua mata istrinya. Dirasakannya Binar sedikit menggeliat tidak nyaman dengan mata yang masih terpejam. Syukurlah, wanita itu tidak terba
"Maaf Non, ada paket," ucap Mbok Jum pada Binar yang sedang membaca dalam kamar.Binar mengernyit selama beberapa detik. Ia tidak merasa memesan sesuatu. Ah, bisa saja itu pesanan suaminya. Akhirnya ia pun melangkah menuju pintu utama. Sesampainya di sana, ia melihat seorang pria tegap yang tingginya hampir sepantar suaminya sedang berdiri membelakanginya.Binar berdeham lalu berkata, "Maaf, ada apa, Pak?"Pria tegap itu tidak menjawab, tapi langsung membalikkan tubuhnya. Dapat Binar lihat dus berbentuk persegi panjang yang dibawa pria itu menutupi wajahnya. Ketika ia ingin protes, pria itu menurunkan dus hingga wajahnya tampannya terlihat. Ya, pria tegap itu begitu tampan dengan manik coklat keabuan dan kulit putih kemerahaan. 
"Kalau memang Kakak mencintaiku, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Kak Naresha pergi? Apa itu namanya kalau bukan pelarian?!"Kalimat-kalimat itu terus terngiang di pikiran Rigel, membuatnya tidak sadar sudah berapa lama ia membeku, bahkan ia tak sadar kalau Binar sudah tak ada lagi di hadapannya. Otaknya terus mencoba menjawab segala pertanyaan yang begitu menohoknya. Binar benar, jika ia memang mencintai wanita itu, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Naresha pergi? Seketika ia ragu atas perasaannya sendiri. Benarkah ia telah jatuh cinta kepada istrinya? Bagaimana bisa secepat itu? Bukankah hatinya adalah milik Naresha? Ia bahkan baru beberapa hari putus dari wanita pujaannya.Rigel menghela napas panjang. Bukannya mendapat jawaban, ia malah menambah rentetan pertanyaan yang membuat pikiran
Menit demi menit berlalu, tetapi selama itu mulut Rigel tetap terkunci. Lidahnya terlalu kelu dan otaknya seakan tumpul. Di depan pria itu, Binar masih menatapnya---menunggu jawaban dari dirinya. Namun, pria itu masih menunjukkan reaksi yang sama---bergeming---hingga akhirnya seulas senyum kecil terlihat di bibir ranum istrinya bersama helaan napas kasar.Binar mengangguk dengan bibir yang masih memperlihatkan seulas senyum, meski sebenarnya jauh di lubuk hatinya ada rasa sakit yang menjalar akibat disayat sebilah pedang tajam. "Aku mengerti." Setelah mengucapkannya, ia meraih kruk dan beranjak. Namun, baru saja ia beranjak, pergelangan tangannya ditarik Rigel hingga membuatnya terduduk kembali.Selama beberapa detik kedua mata Rigel dan Binar saling beradu. Selama beberapa detik itu pula hanya hening yang menemani keduanya. Sampai akhirnya pria itu meraih tangan kiri istrinya, menggenggamnya erat tanpa melepaskan tatapannya yang mengunci.
Rigel berdiri seraya memandangi langit biru yang mulai bercampur jingga dan gedung-gedung pencakar langit dari dinding-dinding kaca ruang kerjanya. Menatap ke bawah, ia bisa melihat bagaimana kendaraan roda dua dan roda empat memadati jalanan ibu kota---merayap bagai pasukan semut. Sesekali pria itu menyesap secangkir teh hangat yang dipegangnya. Kebiasaan ini biasa dilakukan kala ia mulai lelah dengan setumpuk berkas yang harus ia tangani. Namun mau bagaimana lagi? Itu sudah menjadi risikonya sebagai petinggi di perusahaan. Ribuan karyawan bergantung nasib padanya, bukan hanya itu, statusnya sebagai satu-satunya pewaris perusahaan ayahnya dan seorang kepala keluarga menuntutnya untuk bekerja keras.Di tengah kesibukannya menikmati pemandangan Kota Jakarta, tiba-tiba ia dikejutkan dengan bunyi nyaring yang berasal dari saku celananya. Mengalihkan gelas ke tangan kiri, tangan kanannya sibuk merogoh saku celana---menemukan benda pipih yang masih mengeluarkan