Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.
Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.
Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Binar hanya ingin membersihkan tubuhnya yang berselimut keringat agar ia bisa tidur nyenyak. Namun, suasana hatinya yang merasa terpatahkan membuat otaknya mendadak buntu dengan lupa membawa pakaian ganti. Tadi ia sudah akan mengambil pakaian kalau saja Rigel tidak menghentikan langkahnya dengan kalimat yang membuatnya merasa dipermainkan. Rasa ingin pergi dari hadapan Rigel lebih kuat mendominasi, daripada pikiran jernihnya, membuat ia urung keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian ganti. Dirinya tak siap untuk bertemu suaminya. Mungkin, dengan menyembunyikan diri selama beberapa waktu di dalam kamar mandi bisa sedikitnya mengalihkan apa yang dirasakannya saat ini.
Derit pintu terdengar, diikuti derap langkah Rigel di tengah kegelapan yang menyelimuti kamarnya dan istrinya. Pelan-pelan ia melangkah mendekati saklar yang menempel di dinding dekat nakas, kemudian menekannya hingga lampu tidur yang temaram menyala. Manik matanya beredar ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul setengah satu malam.Pandangan Rigel beralih pada istrinya yang sudah menjelajah ke alam mimpi dalam posisi miring menghadap nakas. Dia duduk di lantai dekat sisi ranjang, sebelah tangan kanannya terulur mengusap lembut surai hitam istrinya, lalu turun dan berhenti di wajah istrinya. Hatinya bergetar saat melihat mata sembab dan jejak basah di pipi istrinya, mungkin wanita itu tertidur setelah lelah menangis. Refleks jari telunjuknya menyeka jejak basah yang mulai mengering, kemudian mengecup kedua mata istrinya. Dirasakannya Binar sedikit menggeliat tidak nyaman dengan mata yang masih terpejam. Syukurlah, wanita itu tidak terba
"Maaf Non, ada paket," ucap Mbok Jum pada Binar yang sedang membaca dalam kamar.Binar mengernyit selama beberapa detik. Ia tidak merasa memesan sesuatu. Ah, bisa saja itu pesanan suaminya. Akhirnya ia pun melangkah menuju pintu utama. Sesampainya di sana, ia melihat seorang pria tegap yang tingginya hampir sepantar suaminya sedang berdiri membelakanginya.Binar berdeham lalu berkata, "Maaf, ada apa, Pak?"Pria tegap itu tidak menjawab, tapi langsung membalikkan tubuhnya. Dapat Binar lihat dus berbentuk persegi panjang yang dibawa pria itu menutupi wajahnya. Ketika ia ingin protes, pria itu menurunkan dus hingga wajahnya tampannya terlihat. Ya, pria tegap itu begitu tampan dengan manik coklat keabuan dan kulit putih kemerahaan. 
"Kalau memang Kakak mencintaiku, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Kak Naresha pergi? Apa itu namanya kalau bukan pelarian?!"Kalimat-kalimat itu terus terngiang di pikiran Rigel, membuatnya tidak sadar sudah berapa lama ia membeku, bahkan ia tak sadar kalau Binar sudah tak ada lagi di hadapannya. Otaknya terus mencoba menjawab segala pertanyaan yang begitu menohoknya. Binar benar, jika ia memang mencintai wanita itu, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Naresha pergi? Seketika ia ragu atas perasaannya sendiri. Benarkah ia telah jatuh cinta kepada istrinya? Bagaimana bisa secepat itu? Bukankah hatinya adalah milik Naresha? Ia bahkan baru beberapa hari putus dari wanita pujaannya.Rigel menghela napas panjang. Bukannya mendapat jawaban, ia malah menambah rentetan pertanyaan yang membuat pikiran
Menit demi menit berlalu, tetapi selama itu mulut Rigel tetap terkunci. Lidahnya terlalu kelu dan otaknya seakan tumpul. Di depan pria itu, Binar masih menatapnya---menunggu jawaban dari dirinya. Namun, pria itu masih menunjukkan reaksi yang sama---bergeming---hingga akhirnya seulas senyum kecil terlihat di bibir ranum istrinya bersama helaan napas kasar.Binar mengangguk dengan bibir yang masih memperlihatkan seulas senyum, meski sebenarnya jauh di lubuk hatinya ada rasa sakit yang menjalar akibat disayat sebilah pedang tajam. "Aku mengerti." Setelah mengucapkannya, ia meraih kruk dan beranjak. Namun, baru saja ia beranjak, pergelangan tangannya ditarik Rigel hingga membuatnya terduduk kembali.Selama beberapa detik kedua mata Rigel dan Binar saling beradu. Selama beberapa detik itu pula hanya hening yang menemani keduanya. Sampai akhirnya pria itu meraih tangan kiri istrinya, menggenggamnya erat tanpa melepaskan tatapannya yang mengunci.
Rigel berdiri seraya memandangi langit biru yang mulai bercampur jingga dan gedung-gedung pencakar langit dari dinding-dinding kaca ruang kerjanya. Menatap ke bawah, ia bisa melihat bagaimana kendaraan roda dua dan roda empat memadati jalanan ibu kota---merayap bagai pasukan semut. Sesekali pria itu menyesap secangkir teh hangat yang dipegangnya. Kebiasaan ini biasa dilakukan kala ia mulai lelah dengan setumpuk berkas yang harus ia tangani. Namun mau bagaimana lagi? Itu sudah menjadi risikonya sebagai petinggi di perusahaan. Ribuan karyawan bergantung nasib padanya, bukan hanya itu, statusnya sebagai satu-satunya pewaris perusahaan ayahnya dan seorang kepala keluarga menuntutnya untuk bekerja keras.Di tengah kesibukannya menikmati pemandangan Kota Jakarta, tiba-tiba ia dikejutkan dengan bunyi nyaring yang berasal dari saku celananya. Mengalihkan gelas ke tangan kiri, tangan kanannya sibuk merogoh saku celana---menemukan benda pipih yang masih mengeluarkan
Vote dulu yuk!"Ada yang salah?" tanya Rigel kala melihat wajah istrinya yang terlihat pucat.Binar menggeleng. "Aku takut kehadiranku membuat Kakak malu. Aku ... cacat.""Hei ... siapa yang berani mengatakan hal sebodoh itu? Kau pasti bisa sembuh. Dokter mengatakan kalau kau hanya butuh terapi lebih sering, lagi pula kakimu sudah memperlihatkan banyak kemajuan." Rigel menggenggam tangan Binar seraya mengusap punggung tangan wanita itu seolah menyalurkan kekuatan. "Whatever will be, I will accept you for who you are and I will always love you."Binar mengangguk kecil seraya menghela napas panjang. Melepaskan genggaman, lantas Rigel membuka pintu mobil untuk turun. Pria itu memutari bagian depan mobil, berhenti tepat di sebelah pintu Binar. Tangan kanannya membuka pintu, sedangkan tangan kirinya dilipat ke belakang. Menunduk hormat, Rigel mengulurkan tangannya untuk Binar. Dengan ragu Binar menyambut uluran tangan suaminya, turun dari mobil hati-hati dengan satu tangan yang membawa kruk