Rigel berdiri seraya memandangi langit biru yang mulai bercampur jingga dan gedung-gedung pencakar langit dari dinding-dinding kaca ruang kerjanya. Menatap ke bawah, ia bisa melihat bagaimana kendaraan roda dua dan roda empat memadati jalanan ibu kota---merayap bagai pasukan semut. Sesekali pria itu menyesap secangkir teh hangat yang dipegangnya. Kebiasaan ini biasa dilakukan kala ia mulai lelah dengan setumpuk berkas yang harus ia tangani. Namun mau bagaimana lagi? Itu sudah menjadi risikonya sebagai petinggi di perusahaan. Ribuan karyawan bergantung nasib padanya, bukan hanya itu, statusnya sebagai satu-satunya pewaris perusahaan ayahnya dan seorang kepala keluarga menuntutnya untuk bekerja keras.
Di tengah kesibukannya menikmati pemandangan Kota Jakarta, tiba-tiba ia dikejutkan dengan bunyi nyaring yang berasal dari saku celananya. Mengalihkan gelas ke tangan kiri, tangan kanannya sibuk merogoh saku celana---menemukan benda pipih yang masih mengeluarkan
Vote dulu yuk!"Ada yang salah?" tanya Rigel kala melihat wajah istrinya yang terlihat pucat.Binar menggeleng. "Aku takut kehadiranku membuat Kakak malu. Aku ... cacat.""Hei ... siapa yang berani mengatakan hal sebodoh itu? Kau pasti bisa sembuh. Dokter mengatakan kalau kau hanya butuh terapi lebih sering, lagi pula kakimu sudah memperlihatkan banyak kemajuan." Rigel menggenggam tangan Binar seraya mengusap punggung tangan wanita itu seolah menyalurkan kekuatan. "Whatever will be, I will accept you for who you are and I will always love you."Binar mengangguk kecil seraya menghela napas panjang. Melepaskan genggaman, lantas Rigel membuka pintu mobil untuk turun. Pria itu memutari bagian depan mobil, berhenti tepat di sebelah pintu Binar. Tangan kanannya membuka pintu, sedangkan tangan kirinya dilipat ke belakang. Menunduk hormat, Rigel mengulurkan tangannya untuk Binar. Dengan ragu Binar menyambut uluran tangan suaminya, turun dari mobil hati-hati dengan satu tangan yang membawa kruk
Wajah Binar kian memucat, karena sedari tadi tiada henti mengeluarkan cairan bening yang membuat perutnya bergejolak, pun beberapa manik bening yang menghiasi dahinya. Sementara itu, di belakangnya ada Rigel yang senantiasa mengurut tengkuk dan punggungnya.Binar menyalakan keran, lantas membasuh mulutnya. Menghela napas dengan tubuh lemas bagai jelly, kedua tangannya bertumpu di pinggir wastafel. "Pergilah. Ini sangat menjijikkan," lirihnya seraya menunduk.Rigel menggeleng dan terus memberi usapan penuh penekanan di bagian punggung istrinya. "Maaf. Ini semua karenaku."Binar mendongak, menatap Rigel dari cermin di depannya, lalu menggeleng. "Tidak ada yang harus disalahkan di sini, lagi pula ini adalah bentuk kasih sayang Tuhan."Rasa sesak menyusup relung dada Rigel, terutama saat Binar kembali memuntahkan cairan bening itu. Ah, seandainya saja ia bisa mengendalikan nafsunya.Nafsu? Mun
Waktu terus bergulir, mentari berganti rembulan, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Setelah malam di mana fakta menyakitkan kalau Rigel selalu mengigaukan Naresha terbongkar, Rigel tak pernah putus asa untuk meyakinkan Binar, kendati wanita itu hingga detik ini masih diselimuti keraguan. Bagaimana tidak ragu? Bagi Binar, cinta Rigel terkesan begitu mendadak di saat ia tahu kalau cinta suaminya pada Naresha sangatlah besar. Buktinya, dulu mantan sepasang kekasih itu masih menjalin hubungan di belakangnya. Tiap kali disindir perihal Naresha pun manik mata pria itu masih menyimpan cinta dan kerinduan yang teramat besar, terlebih igauan pria itu.Bukankah omongan orang tidur merupakan sebuah kejujuran? Di saat seseorang memimpikan seseorang, bukankah itu berarti orang itu sedang merindukan atau memikirkan terlalu dalam orang tersebut hingga mempengaruhi pusat alam bawah sadarnya?Binar tak menampik bahwa memang takkan mudah melupa
Rigel melepaskan seatbelt yang melindungi tubuhnya. Setelah itu, ia memiringkan tubuhnya menghadap wajah cantik Binar yang sedang terlelap. Dielusnya puncak kepala istrinya itu dengan sayang seraya menampilkan senyum yang membingkai indah wajah tampannya."Sayang ... bangunlah. Kita sudah sampai," ucap Rigel. Elusannya lantas berhenti, berganti dengan menatap lekat kedua manik istrinya yang masih terpejam dengan nyenyaknya.Tubuh Binar menggeliat pelan, kedua netranya berkali-kali mengerjap, dan tak lama kemudian manik coklat mudanya membelalak sempurna saat ia merasa dirinya berada di sebuah tempat asing. Entahlah, ia tak tahu di mana, yang jelas ia merasa terjebak di antara ratusan pohon pinus dan pohon besar lainnya yang menjulang tinggi di sebuah hutan.Binar secepat kilat memalingkan kepalanya ke arah Rigel. "Kita di mana?" tany
Semakin malam rupanya angin semakin giat membelai tubuh dengan suhu yang begitu rendah. Namun, berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan kedua sejoli yang masih bergelung saling memberikan kehangatan kala tubuh mereka saling memeluk di bawah selimut tebal.Sayup-sayup adzan Subuh berkumandang, membangunkan setiap insan di dunia untuk segera menunaikan kewajibannya. Sebelum seruan itu berakhir, Rigel lebih dulu membuka mata dibanding sang istri. Hal yang dilakukannya setelah mengucap doa bangun tidur adalah menatap lama wajah Binar sementara jemari nakalnya mulai menyentuh setiap pahatan sempurna yang terlihat begitu cantik.Binar melenguh pelan, bahkan menepis jemari Rigel saat merasakan kesan geli di wajahnya. Namun bukannya berhenti, Rigel semakin gencar memainkan jemarinya. Tak hanya area wajah, jemari nakal itu mulai turun menelusuri leher, punggung, dan berakhir dengan gelitikan di pinggang Binar.Decakan kesal ke
Pagi itu hening. Baik Binar maupun Rigel, keduanya kompak mengunci mulut untuk tidak bicara. Hanya denting garpu dan pisau yang saling beradu di atas piring yang terdengar. Hingga pancake isi selai coklat yang di bagian puncaknya diberi toping madu dan ceri di masing-masing piring tak bersisa, kedua sejoli itu masih setia tak saling sapa.Binar beranjak dari posisi duduk, kedua tangannya piawai membereskan piring dan gelas bekas sarapan. Namun, ketika ia hendak membawa barang mudah pecah itu ke dapur, karena pekerja rumah tangga di villanya belum datang, dengan secepat kilat Rigel menahan tangannya."Biar aku saja yang cuci," ucap Rigel. Sorot matanya memancarkan kilat dan wajah dingin dengan rahang tegasnya mencerminkan tak mau dibantah. Pada akhirnya, Binar menurut dan kembali menghempaskan bokongnya di atas kursi makan.Perasaan Binar tak menentu, batinnya tersayat, dan liquid di mata yang sedari tadi ditahanny
Malam ini kembali Rigel mengajak bermalam di villa dan saat ini Binar tengah mematut wajah di depan cermin. Rencananya Rigel akan mengajaknya makan malam di luar, maka dari itu selepas sholat Isya mereka bersiap-siap. Namun, di saat keduanya tengah berjalan menuju pintu utama, suara-suara yang mengusik indra pendengaran membuat mereka menghentikan langkah.Tangan kiri Rigel menghalau tubuh Binar, sedangkan jari telunjuk tangan kirinya disimpan di depan bibir sambil mengeluarkan desisan kecil. "Apa kau dengar?" tanyanya disusul sebuah anggukan dari Binar dan bunyi nyaring seperti benda jatuh, membuat Binar segera melingkarkan tangan di lengannya."Sebaiknya kau tunggu di sini, aku akan memeriksa dulu," ucap Rigel seraya melepas tangan Binar yang melingkar di lengannya.Binar menggeleng---enggan ditinggal Rigel. Ia pun kembali melingkarkan tangan di lengan Rigel. Kali ini semakin erat. "Aku ikut."Alis Rigel
Lenguhan terdengar dari bibir Binar saat merasakan sakit di sekujur tubuh ketika mencoba menggerakkan tubuhnya. Sepersekian detik selanjutnya, matanya perlahan mengerjap saat kilau mentari yang menyusup dari celah gorden menusuk indra penglihatannya. Lantas, tangan kirinya memegang kepala yang berdenyut seperti habis dihantam ribuan ton batu. Tak hanya itu, ia pun merasakan sebuah beban berat di pinggangnya.Beringsut pelan melepaskan lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya sambil merasakan tubuh yang remuk redam, Binar merasa hawa dingin AC tengah membelai kulit telanjangnya bagian atas saat selimutnya sedikit melorot. Wait, telanjang?Tersentak kaget, Binar lantas memalingkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya sang suami masih terbuai dalam mimpi. Namun, bukan itu fokusnya, melainkan tubuh atletis pria itu yang tidak ditutupi sehelai benang pun---hanya tertutup selimut sebatas pinggang. Tak jauh berbeda dengan dirinya. Melihat