Pagi itu hening. Baik Binar maupun Rigel, keduanya kompak mengunci mulut untuk tidak bicara. Hanya denting garpu dan pisau yang saling beradu di atas piring yang terdengar. Hingga pancake isi selai coklat yang di bagian puncaknya diberi toping madu dan ceri di masing-masing piring tak bersisa, kedua sejoli itu masih setia tak saling sapa.
Binar beranjak dari posisi duduk, kedua tangannya piawai membereskan piring dan gelas bekas sarapan. Namun, ketika ia hendak membawa barang mudah pecah itu ke dapur, karena pekerja rumah tangga di villanya belum datang, dengan secepat kilat Rigel menahan tangannya.
"Biar aku saja yang cuci," ucap Rigel. Sorot matanya memancarkan kilat dan wajah dingin dengan rahang tegasnya mencerminkan tak mau dibantah. Pada akhirnya, Binar menurut dan kembali menghempaskan bokongnya di atas kursi makan.
Perasaan Binar tak menentu, batinnya tersayat, dan liquid di mata yang sedari tadi ditahanny
Malam ini kembali Rigel mengajak bermalam di villa dan saat ini Binar tengah mematut wajah di depan cermin. Rencananya Rigel akan mengajaknya makan malam di luar, maka dari itu selepas sholat Isya mereka bersiap-siap. Namun, di saat keduanya tengah berjalan menuju pintu utama, suara-suara yang mengusik indra pendengaran membuat mereka menghentikan langkah.Tangan kiri Rigel menghalau tubuh Binar, sedangkan jari telunjuk tangan kirinya disimpan di depan bibir sambil mengeluarkan desisan kecil. "Apa kau dengar?" tanyanya disusul sebuah anggukan dari Binar dan bunyi nyaring seperti benda jatuh, membuat Binar segera melingkarkan tangan di lengannya."Sebaiknya kau tunggu di sini, aku akan memeriksa dulu," ucap Rigel seraya melepas tangan Binar yang melingkar di lengannya.Binar menggeleng---enggan ditinggal Rigel. Ia pun kembali melingkarkan tangan di lengan Rigel. Kali ini semakin erat. "Aku ikut."Alis Rigel
Lenguhan terdengar dari bibir Binar saat merasakan sakit di sekujur tubuh ketika mencoba menggerakkan tubuhnya. Sepersekian detik selanjutnya, matanya perlahan mengerjap saat kilau mentari yang menyusup dari celah gorden menusuk indra penglihatannya. Lantas, tangan kirinya memegang kepala yang berdenyut seperti habis dihantam ribuan ton batu. Tak hanya itu, ia pun merasakan sebuah beban berat di pinggangnya.Beringsut pelan melepaskan lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya sambil merasakan tubuh yang remuk redam, Binar merasa hawa dingin AC tengah membelai kulit telanjangnya bagian atas saat selimutnya sedikit melorot. Wait, telanjang?Tersentak kaget, Binar lantas memalingkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya sang suami masih terbuai dalam mimpi. Namun, bukan itu fokusnya, melainkan tubuh atletis pria itu yang tidak ditutupi sehelai benang pun---hanya tertutup selimut sebatas pinggang. Tak jauh berbeda dengan dirinya. Melihat
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, terhitung satu bulan sudah setelah malam di mana Rigel dan Binar memutuskan untuk menjadi suami-istri sungguhan. Kini tak ada lagi benteng es yang menjulang kokoh membatasi keduanya. Musim salju telah berganti menjadi musim semi yang menebarkan kehangatan. Selama sebulan ini pula, Rigel benar-benar berubah. Perhatian, kasih sayang, dan tatapan memuja terlihat dari sikapnya. Pria itu juga senantiasa memanjakan sang istri dan memperlakukan bagai seorang ratu. Namun, jangan lupakan sikap posesif pria itu. Tingkat keposesifannya kini naik berkali-kali lipat. Terkadang hal itu membuat Binar muak. Untunglah, Xavier tak terlihat batang hidungnya. Pria itu benar-benar menjaga jarak. Ah ... ralat, menjaga hati juga.Dalam keheningan malam Binar menggulirkan tubuhnya ke sana-sini, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tak kunjung juga berhasil. Seperti malam-malam sebelumnya, tengah malam begini perutnya selalu memanggil dan meminta diisi. Demi Tuhan, ia t
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Binar terbangun karena menginginkan sesuatu. Jadi, ini yang dinamakan ngidam. Dulu, ia tidak percaya atas hal itu. Menurutnya, itu hanya keinginan sang ibu hamil, tetapi mengingat apa yang tengah dirasakannya, kini ia yakin kalau itu bawaan sang janin.Seulas senyum terbit di wajah Binar. Dengan pandangan yang menatap perutnya yang belum membuncit, dengan hati-hati ia mengelus perutnya. Di sana, ada buah cintanya yang sedang berjuang untuk tumbuh hingga bisa terlahir ke dunia."Jadi, kau pelaku yang membuat Ibu bangun tengah malam, hmm? Baiklah, tidak apa-apa. Dengan begitu sehabis memenuhi permintaanmu, Ibu bisa sholat malam," monolog Binar pada janinnya. Sejenak ia melihat sang suami yang tertidur dengan lengan kiri yang menutup matanya, kentara sekali lelah di wajah tampan suaminya itu.Oh Tuhan ... Binar tak bisa mendeskripsikan betapa buncahan bahagia dirasakan saat ia menyebu
Setelah pertemuannya dengan Mr. Lee, di sinilah Rigel, di S.E.A Aquarium Singapore. Beberapa tempat sudah ia kunjungi dan beberapa spesies ikan dari sekitar seratus ribu biota laut sudah ia lihat. Sekarang, matanya sedang dimanjakan oleh ikan-ikan yang sedang asyik bermain di kapal karam yang terdapat dalam ruang akuarium yang ia sewa agar tak ada pengunjung yang bisa masuk."Aku tahu kau juga merindukanku," ucap seorang wanita tiba-tiba.Degup jantung Rigel seketika tak berdetak, pun dengan aliran darah yang seketika terhenti saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Sejenak ia menutup mata, merasakan kerinduan yang dengan tidak sopannya memasuki relung jiwa. Suara itu ... suara pujaan hatinya, wanita yang telah mewarnai hidupnya. Ingin sekali ia berbalik, lalu membalas dekapan hangat itu. Namun, dengan cepat ia tepis. Bagaimanapun semuanya hanya masa lalu. Statusnya sudah tak sama lagi. Wanita itu bukan lagi miliknya.
Waktu terus bergulir, tak terasa kini usia kandungan Binar sudah memasuki minggu ke-25. Banyak hal yang dialami wanita hamil itu. Bukan hanya berat badannya yang bertambah, seiring perutnya yang membuncit, tetapi semakin ke sini ia merasa kondisi tubuhnya menjadi lemah. Meski ngidamnya telah lenyap akhir trimester pertama, mual dan muntah yang dialaminya hingga kini masih melanda. Belum lagi sesekali ia merasa sakit di bagian atas perutnya, bahkan beberapa minggu ini pandangannya seringkali mengabur.Bunyi antara gelas jatuh dan lantai yang beradu memekik ruangan. Rigel yang berniat ingin menghampiri sang istri untuk meminta dipasangkan dasi terlonjak kaget dan bergegas menuju dapur."Berhenti!" titah Rigel kala matanya menangkap sang istri yang hendak berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan.
Di saat matahari berada di antara waktu Dzuhur dan Maghrib---Ashar---di mana panjang bayang-bayang melebihi panjang benda itu sendiri, lantunan ayat suci Al-Quran yang keluar dari bibir Binar sayup-sayup terdengar. Tak seperti biasanya, kali ini wanita berbadan dua itu tak ber-tilawah, pun tidak tartil. Getar dan isak menyusup dalam setiap bacaannya. Sesekali wanita itu berhenti sambil menajamkan indra penglihatannya. Kabur. Kabut itu seakan menebal hingga mengikis jarak pandangnya, membuat rintik hujan air mata tak sengaja jatuh mengenai kitab suci yang dipegangnya."Hal jazā'ul-iḥsāni illal-iḥsān ...." Bersama berakhirnya Ar-Rahman ayat 60 yang artinya, "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." rintik hujan air mata Binar semakin deras. Kepala wanita itu semakin menunduk dan bahu ringkihnya bergetar hebat mendapat serangan hebat yang menikam jantungnya. Rasanya, kenapa begitu perih?Tanpa wanit
Suara ketukan pintu terdengar. Setelah dipersilakan masuk, maka Rigel---si pengetuk---pun membuka pintu, masuk, kemudian duduk di tempat yang dipersilakan. Ada semburat tanda tanya di wajahnya, bahkan semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh, ia sudah tidak sabar mendapat jawaban dari sang dokter yang kini duduk di seberangnya. Rigel berdeham dengan wajah dinginnya. "Bisa kita langsung saja?"Dokter Fatih mengangguk. "Dari gejala-gejala yang terlihat, saya menduga kalau ayah Anda terkena racun risin yang terpapar melalui jalur udara. Entah itu yang di-extract menjadi bubuk, maupun semprot."Dahi Rigel tampak mengerut. "Diduga? Jadi, maksud Dokter itu belum pasti?"Dokter Fatih