"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi.
"Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya.
"Aku mau mandi," ungkap Binar.
"Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas.
"Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
"Aku takkan membiarkanmu pergi ke kamar mandi sendiri lagi. Kalau tiba-tiba kau terpeleset bagaimana?" tanya Rigel retoris. Sementara itu, geraman tertahan keluar dari bibir Binar.
"Apa Kakak tidak paham? Aku bilang, aku mau mandi. Itu berarti Kakak tidak usah membantuku!" Intonasi Binar meninggi. Jelas saja, memangnya ia mau mandi dibantu oleh Rigel? Tentu saja tidak.
"Jelas aku harus membantumu." Rigel menghela napas sejenak, membuka pintu kamar mandi dengan sikunya, menendang pintu agar terbuka lebar, kemudian masuk. Di pangkuannya, Binar meronta meminta turun. Namun, sama sekali tak diindahkan sedikit pun olehnya. "Diamlah, Binar. Kau seperti kucing yang takut dimandikan. Lagi pula aku ini suamimu, tidak ada salahnya seorang suami membantu istrinya mandi."
"Tapi kita bukan suami-istri sungguhan. Apa Kakak sudah pikun?" protes Binar.
Bukan suami-istri sungguhan, selalu itu saja yang Binar katakan, membuat Rigel muak dan entah mengapa ada sudut hatinya yang merasa tidak terima. Rigel mendudukkan tubuh Binar di atas meja kabinet wastafel yang atasnya terbuat dari keramik, lalu menutup pintu kamar mandi. Setelah itu, ia mengatur shower dengan takaran suhu yang pas. Saat ini, istrinya tidak mungkin mandi dalam bathtub. Di rasa sudah cukup, pandangannya berputar ke arah istrinya yang sedari tadi menunggu dengan kesal.
"Mau aku bantu bukakan baju atau kau sendiri?" Tak dikira, pertanyaan Rigel dibalas lemparan botol sabun oleh Binar.
"Keluar!!!" Napas Binar terlihat terengah setelahnya. Wanita itu kemudian meraih botol sampo dan hendak dilemparkan ke arah suaminya. Secepat kilat, Rigel menahan pergelangannya. Dengan tatapan nyalang, wanita itu berkata, "K-e-l-u-a-r. Keluar. Apa Kakak mengerti?"
Rigel melepaskan cekalannya. "Ayolah, Binar. Memangnya kenapa kalau aku membantumu? Sebelumnya aku sudah sering melihatmu tanpa sehelai busana apa pun, 'kan?" Jelas, ucapan Rigel membuat pipi Binar memerah. Bukan karena ia merona, tapi menahan amarah yang membuncah, memikirkan bagaimana bisa suaminya berkata dengan sesantai itu.
"Itu saat aku balita," ralat Binar geram. Perlu berapa kali ia ingatkan? Namun, Rigel malah merespon dengan mencubit gemas hidungnya seraya terkekeh.
Dalam hati Binar merutuki kejadian di mana ia dan Rigel memang sudah pernah melihat tubuh mereka masing-masing. Salahkan kedua orangtua mereka yang sudah bersahabat sejak belum punya anak. Dulu, ia pun sering mendengar kalau sewaktu ia di dalam kandungan, Rigel seringkali menyapanya dan mengelus perut ibunya. Ibunya bilang, pria itu sangat bahagia saat mengetahui kalau janin yang dikandung ibunya adalah perempuan, karena pria itu sangat menginginkan adik perempuan sementara ibu pria itu tidak bisa lagi memiliki anak, karena rahimnya bermasalah. Ia yang notabene anak perempuan yang terjebak di antara Aldebaran---kakaknya yang sampai detik ini belum ditemukan jasadnya---dan Rigel, mau tak mau hanya bisa ikut-ikutan jika kedua anak lelaki itu main, tidur, bahkan mandi bersama.
Tanpa persetujuan dari empunya, tangan Rigel mulai nakal menyentuh ujung baju Binar untuk dilepas. Hal itu tentu saja membuat Binar refleks menendang inti tubuh Rigel dengan kaki kirinya yang masih bisa berfungsi.
Dengan panik Indira memasuki kamar mandi dengan bantingan pintu hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Ia mendekati Binar, kedua netranya meneliti tubuh menantunya---takut terjadi sesuatu yang menakutkan.
"Katakan, mana yang sakit, Sayang? Mana? Mana yang sakit?" tanya Indira panik.
"A---aku, Ma." Bukan Binar yang menjawab, tapi Rigel yang sedang meringis seraya menyentuh area selangkangannya.
Indira memutar tubuhnya, kemudian menatap sang anak dengan sebuah kernyitan. "Kau kenapa?"
"Menantu Mama sangat kasar sekali. Di---dia ingin menghancurkan masa depanku," jawab Rigel seraya sesekali meringis. Sementara itu, di depannya Binar sedang menggigit bibir, antara bersalah sekaligus malu.
"Dengar, Rigel! Jangan pernah kau ucapkan kalau Binar merusak masa depanmu! Mama yakin, justru dialah wanita yang akan membuat masa depanmu cerah," sungut Indira tanpa melihat putranya yang terus meringis.
"Ma ...," rajuk Rigel. Dengan pelan, ia menunjuk inti tubuhnya. "Binar menendang masa depanku, Ma." Fokus pada yang ditunjuknya, Indira refleks menutup mulut.
"A---aku tidak sengaja, Ma. Kak Rigel dengan lancang ingin membuka pakaianku dan memandikanku," bela Binar pada dirinya sendiri.
Indira mendesah gemas. Wanita paruh baya itu kira ada hal menakutkan yang terjadi. Tapi apa? Putra dan menantunya malah membuat ia merasa geli sendiri.
Indira memutar tubuhnya sekitar sembilan puluh derajat agar bisa melihat anak dan menantunya sekaligus. "Memangnya kenapa kalau Rigel membuka pakaianmu dan memandikanmu? Kalian ini sudah sah menjadi suami-istri. Kalian juga sudah melakukan yang lebih jauh dari ini yang bisa jadi telah menumbuhkan benih yang bersarang di rahimmu."
Otak cerdas Binar terus mencerna ucapan ibu mertuanya sampai kemudian ia terbelalak. Astaga, ibu mertuanya terlampau jauh salah paham. Bagaimana bisa ada benih yang tumbuh di rahimnya, sedangkan benih itu tak pernah ditabur?
"Itu juga yang aku katakan, Ma, tapi Binar terus keras kepala. Aku hanya berusaha melindunginya agar tidak terpeleset." Sontak saja ucapan Rigel yang seolah membenarkan ucapan ibunya, membuat Binar ingin mencabik-cabik wajah tampan pria itu.
"Tapi, Ma." Binar tidak mau memperlihatkan tubuh polosnya pada Rigel. Biarlah dulu suaminya bebas melihatnya, tapi sekarang tidak lagi. Namun Indira yang menggelengkan kepala membuatnya berdecak, apalagi saat matanya menangkap Rigel yang tersenyum mengejek kepadanya. Jelas itu adalah sebuah keuntungan bagi suaminya, tapi petaka bagi dirinya. Aish, awas saja kau! Setelah kakiku sembuh, aku akan menendangmu lebih kencang lagi, ucap dewi batinnya.
"Sudah, Mama mau ke luar. Setelah mandi, cepat kalian ke ruang makan." Indira mengibaskan tangannya. "Kau ini ada-ada saja, padahal mandi bersama bisa jadi ladang ibadah untukmu. Tapi ingat, jangan membuat cucu untukku di sini. Kamar mandi bukanlah tempat yang pantas untuk bercinta," ucapnya pada Binar seraya berlalu begitu saja, meninggalkan Binar dan Rigel yang saling tatap bagai seorang musuh.
"Jadi, bagaimana? Aku atau kau yang bukakan baju? Hmm ... atau biar adil, bagaimana jika aku yang membukakan bajumu dan kau yang membukakan bajuku? Kebetulan aku juga belum mandi. Aku rasa mandi bersama bukan ide yang buruk." Rigel menaik-turunkan alisnya dengan bibir yang menyeringai.
Binar melempar botol sampo. Kali ini tepat sasar. "Rigel bajingan! Turunkan aku! Aku tidak jadi mandi."
Rigel tertawa puas, karena berhasil membangkitkan amarah singa betina di depannya. Menggoda Binar benar-benar membuatnya senang sampai berhasil membuatnya lupa sejenak akan kepergian Naresha. Istrinya bahkan sampai tak menyebutnya dengan embel-embel "Kak".
"Turun sendiri. Kau bilang, kau tidak membutuhkanku, 'kan?" goda Rigel dengan kedua tangan melipat di depan dada. Untuk beberapa saat dilihatnya Binar sedang berpikir keras seraya mengigit bibirnya---hal yang ternyata suatu kebiasaan wanita itu. Entah mengapa, kebiasaan itu seakan membangkitkan gairah dalam jiwa terdalamnya sebagai lelaki. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengecup bibir seksi nan merah alami yang menggoda iman. Di tengah khayalannya mengecap bibir ranum istrinya, jantungnya tiba-tiba seakan meloncat saat istrinya memutuskan untuk turun dari meja kabinet wastafel yang cukup tinggi. Untung saja ia sigap dan berhasil meraih tubuh istrinya. Kalau tidak, bisa dipastikan istrinya terjatuh. "Binar! Apa yang kau lakukan, huh?!"
"Bukankah Kakak yang menyuruhku turun sendiri? Itulah yang aku lakukan." Astaga, perubahan Binar benar-benar menguji kesabaran Rigel.
"Aku tidak serius saat mengatakannya," ucap Rigel dengan jantung yang masih berpacu hebat.
"Jadi laki-laki itu harus serius, kalau tidak pasti wanita yang sedang menjalin hubungan dengannya akan menyerah dan pergi." Entah ke mana arah perkataan Binar, yang jelas itu mengingatkan Rigel pada Naresha yang memutuskan pergi dari hidupnya, menimbulkan rasa kehilangan yang mendalam dalam hatinya. Semoga saja itu hanya gertakan wanita itu yang sedang marah. "Katanya mau bertanggung jawab, tapi apa? Dasar pembual." Setelah mengakhiri ucapannya, mata Binar kembali mengerjap lucu dengan bibir yang mengatup sempurna saat Rigel kembali mengecupnya.
"Jika kau terus berbicara, aku tidak akan segan-segan melakukan hal lebih tak peduli dengan atau tanpa seizinmu. Mengerti?" Binar mengangguk lucu, seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya, membuat seulas senyum manis membingkai wajah tampan Rigel.
Katakan Rigel adalah pria brengsek. Belum ada lima menit pikirannya terpusat pada Naresha, tapi gairah melenyapkan logikanya untuk mengecap kembali manisnya bibir Binar yang kini menjadi candunya. Ini gila. Benar-benar gila. Tapi, ia tak ingin keluar dari kegilaan itu. Binar adalah istrinya, ia berhak atas wanita itu. Damn! Sihir apa yang sudah Binar berikan untuknya? Ia harus hati-hati dalam mengendalikan dirinya.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Binar hanya ingin membersihkan tubuhnya yang berselimut keringat agar ia bisa tidur nyenyak. Namun, suasana hatinya yang merasa terpatahkan membuat otaknya mendadak buntu dengan lupa membawa pakaian ganti. Tadi ia sudah akan mengambil pakaian kalau saja Rigel tidak menghentikan langkahnya dengan kalimat yang membuatnya merasa dipermainkan. Rasa ingin pergi dari hadapan Rigel lebih kuat mendominasi, daripada pikiran jernihnya, membuat ia urung keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian ganti. Dirinya tak siap untuk bertemu suaminya. Mungkin, dengan menyembunyikan diri selama beberapa waktu di dalam kamar mandi bisa sedikitnya mengalihkan apa yang dirasakannya saat ini.
Derit pintu terdengar, diikuti derap langkah Rigel di tengah kegelapan yang menyelimuti kamarnya dan istrinya. Pelan-pelan ia melangkah mendekati saklar yang menempel di dinding dekat nakas, kemudian menekannya hingga lampu tidur yang temaram menyala. Manik matanya beredar ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul setengah satu malam.Pandangan Rigel beralih pada istrinya yang sudah menjelajah ke alam mimpi dalam posisi miring menghadap nakas. Dia duduk di lantai dekat sisi ranjang, sebelah tangan kanannya terulur mengusap lembut surai hitam istrinya, lalu turun dan berhenti di wajah istrinya. Hatinya bergetar saat melihat mata sembab dan jejak basah di pipi istrinya, mungkin wanita itu tertidur setelah lelah menangis. Refleks jari telunjuknya menyeka jejak basah yang mulai mengering, kemudian mengecup kedua mata istrinya. Dirasakannya Binar sedikit menggeliat tidak nyaman dengan mata yang masih terpejam. Syukurlah, wanita itu tidak terba
"Maaf Non, ada paket," ucap Mbok Jum pada Binar yang sedang membaca dalam kamar.Binar mengernyit selama beberapa detik. Ia tidak merasa memesan sesuatu. Ah, bisa saja itu pesanan suaminya. Akhirnya ia pun melangkah menuju pintu utama. Sesampainya di sana, ia melihat seorang pria tegap yang tingginya hampir sepantar suaminya sedang berdiri membelakanginya.Binar berdeham lalu berkata, "Maaf, ada apa, Pak?"Pria tegap itu tidak menjawab, tapi langsung membalikkan tubuhnya. Dapat Binar lihat dus berbentuk persegi panjang yang dibawa pria itu menutupi wajahnya. Ketika ia ingin protes, pria itu menurunkan dus hingga wajahnya tampannya terlihat. Ya, pria tegap itu begitu tampan dengan manik coklat keabuan dan kulit putih kemerahaan. 
"Kalau memang Kakak mencintaiku, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Kak Naresha pergi? Apa itu namanya kalau bukan pelarian?!"Kalimat-kalimat itu terus terngiang di pikiran Rigel, membuatnya tidak sadar sudah berapa lama ia membeku, bahkan ia tak sadar kalau Binar sudah tak ada lagi di hadapannya. Otaknya terus mencoba menjawab segala pertanyaan yang begitu menohoknya. Binar benar, jika ia memang mencintai wanita itu, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Naresha pergi? Seketika ia ragu atas perasaannya sendiri. Benarkah ia telah jatuh cinta kepada istrinya? Bagaimana bisa secepat itu? Bukankah hatinya adalah milik Naresha? Ia bahkan baru beberapa hari putus dari wanita pujaannya.Rigel menghela napas panjang. Bukannya mendapat jawaban, ia malah menambah rentetan pertanyaan yang membuat pikiran
Menit demi menit berlalu, tetapi selama itu mulut Rigel tetap terkunci. Lidahnya terlalu kelu dan otaknya seakan tumpul. Di depan pria itu, Binar masih menatapnya---menunggu jawaban dari dirinya. Namun, pria itu masih menunjukkan reaksi yang sama---bergeming---hingga akhirnya seulas senyum kecil terlihat di bibir ranum istrinya bersama helaan napas kasar.Binar mengangguk dengan bibir yang masih memperlihatkan seulas senyum, meski sebenarnya jauh di lubuk hatinya ada rasa sakit yang menjalar akibat disayat sebilah pedang tajam. "Aku mengerti." Setelah mengucapkannya, ia meraih kruk dan beranjak. Namun, baru saja ia beranjak, pergelangan tangannya ditarik Rigel hingga membuatnya terduduk kembali.Selama beberapa detik kedua mata Rigel dan Binar saling beradu. Selama beberapa detik itu pula hanya hening yang menemani keduanya. Sampai akhirnya pria itu meraih tangan kiri istrinya, menggenggamnya erat tanpa melepaskan tatapannya yang mengunci.