Share

Part 7

Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar.

"Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya.

"Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak.

"Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.

Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?

"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk.

"Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa sih yang kau lihat dari wanita murahan itu? Sudah sejak awal Mama tidak setuju kau menjalin hubungan dengannya, tapi kau masih saja menjalin hubungan."

"Ma, dia punya nama dan namanya adalah Naresha, bukan wanita murahan," bela Rigel, membuat Binar hanya menunduk seraya memikirkan betapa besar rasa cinta suaminya kepada Naresha.

"Pakaiannya saja seperti wanita jalang yang ingin menjajakkan tubuhnya. Sudah tahu kau sudah menikah, dia tetap menempel padamu bagai lintah. Apa lagi sebutan yang pantas untuknya? Pelakor?" Indira kemudian mengelap bibir dengan serbet, kemudian beranjak. "Mama tidur duluan, Sayang," ucapnya lembut pada Binar, kemudian matanya memincing tajam ke arah anaknya. "Awas saja kalau kau menyakiti Binar lagi dan memilih si wanita murahan itu."

Mendengar ucapan ibunya, kedua tangan Rigel terkepal seraya menahan amarah. Ia tidak mungkin berdebat dengan ibunya, apalagi yang diucapkan ibunya tidak sepenuhnya salah. Naresha bahkan pernah menjadi salah satu angel Victoria's Secret.

Tak ingin berlama-lama dengan suasana yang tak kondusif, Binar pun membereskan piring dan gelas bekas makannya dan ibu mertuanya. Dengan tertatih ia meraih kruk, berdiri dengan satu kaki, kemudian menyelipkan di ketiaknya.

"Biar Mbok Jum saja yang bereskan. Lebih baik sekarang kau minum obat, lalu tidur," titah Rigel, membuat Binar memutar kedua bola mata dengan malas. Pria itu memerlakukannya bagai seorang anak kecil yang sedang sakit.

Menurut, Binar memilih berjalan menuju kamarnya. Namun sejurus kemudian, tangan Rigel memapahnya. Tentu saja, Binar meronta---tidak mau---tapi, Rigel justru semakin menggeratkan pegangannya.

"Kak Rigel, lepas. Aku jadi susah berjalan," keluh Binar, tapi tak diindahkan sama sekali oleh Rigel.

"Sudah, diamlah! Biarkan aku melaksanakam tanggung jawabku," sergah Rigel seraya terus memapah istrinya.

"Aku tidak hamil, Kakak tidak perlu bertanggung jawab," gurau Binar disertai desisan.

"Jadi, kau mau aku hamili dulu?" Secepat kilat, setelah mengatakan itu Rigel memekik karena tangan kiri Binar menyiku perutnya. "Kenapa kau senang sekali KDRT? Bukankah Binar yang kukenal terkenal lemah lembut?"

"Sayangnya, Binar yang Kakak kenal sudah mati," balas Binar dengan ketus. Tanpa memedulikan suaminya, dengan tertatih ia berjalan ke arah kamar.

Sesampainya di dalam kamar, Binar kemudian bersandar di kepala ranjang seraya meminum obat. Tak lama kemudian, terdengar derit pintu pertanda Rigel masuk.

"Binar, maaf jika tadi aku lancang menciummu," ujar Rigel seraya duduk di sisi ranjang.

"Tidak usah meminta maaf, itu adalah hak Kakak, bahkan Kakak berhak melakukan lebih dari itu," sahut Binar seraya menyembunyikan rona merah yang kembali menjalar di pipinya.

Rigel mencondongkan wajahnya ke dekat wajah Binar, kemudian tersenyum aneh. "Jadi, aku boleh meminta hakku sebagai suami?"

"Tentu saja seorang suami boleh meminta haknya kepada sang istri. Tapi tunggu dulu, ucapanku tadi belum selesai. Hmm ... sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi hubungan kita. Karena Kakak tidak menganggapku seorang istri, maka aku pun takkan menganggap Kakak sebagai seorang suami. Jadi, jangan pernah mencoba menciumku lagi, apalagi menyentuhku. Lagi pula, aku hanya akan melakukan hal itu pada pria yang berstatus sebagai suami sungguhan. Suami yang akan menemaniku hingga kami menua dan menutup mata, bukan pada Kakak yang sebatas suami satu tahun." Binar kemudian mendorong tubuh Rigel agar menjauh. Setelah itu, ia menepuk-nepuk dua buah guling yang berada di tengah. "Jangan lewati batas ini. Aku akan pegang omongan Kakak saat malam pertama kita dulu, Kakak tidak akan berbuat yang macam-macam kepadaku," peringatnya.

Rigel membisu. Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh meminta haknya. Hal itu ia lakukan untuk menggoda Binar saja. Bukannya tersipu apalagi menurut, istrinya malah mengeluarkan kata-kata penolakan. Sungguh, ia seperti melihat Binar baru yang lebih berani.

Tapi, bagaimana jika seandainya Rigel dan Binar benar-benar melakukan hubungan suami-istri? Seketika sekelebat bayangan di mana pria itu dan Binar sedang memadu kasih muncul. Namun, tak lama kemudian sebuah notifikasi pesan masuk mengalihkan antensi Rigel dari lamunannya. Beberapa detik selanjutnya, kedua netranya terbelalak setelah membaca pesan. Ia kemudian menarik langkah cepat ke arah balkon dengan pandangan mata yang tertuju pada layar ponsel yang digenggamnya.

Dari balik tembok kaca yang menjadi pembatas antara kamar dan balkon, dapat Binar lihat suaminya bergerak gelisah. Sesekali Rigel mengetikkan sesuatu. Sesekali pula pria itu menempelkan benda pipih itu di telinganya. Hingga akhirnya, suaminya terlihat mengerang seraya memukul tangan ke pagar balkon.

"Dasar bastard!" umpat Binar seraya meremas sprei. Ia dapat mengira siapa yang mengirim pesan itu. Setelah itu, ia memilih menyembunyikan tubuh di bawah selimut.

Sementara itu, di balkon sana Rigel masih mencoba menghubungi mantan kekasihnya yang beberapa menit yang lalu memberi kabar mengejutkan baginya.

Terima kasih atas tipu daya yang membuatku jatuh ke dalam pesonamu.

Satu tahun, ya?

Entah apa yang akan terjadi dalam satu tahun itu.

Entah kau yang berpaling kepadanya.

Entah aku yang menemukan cinta yang baru.

Entah kita yang kembali bersama.

Yang jelas, aku tidak mau menunggu yang tak pasti. Lebih baik aku kembali ke Italia, daripada harus menunggumu dengan penuh sakit hati.

Selamat tinggal,

Naresha.

"Ya Tuhan, kenapa jadi begini?" erang Rigel seraya mengacak-acak rambutnya.

Lama Rigel memilih menatap langit tak berbintang bersama semilir angin yang mulai menusuk tulang. Setelah puas, ia memutuskan kembali ke dalam kamar.

Perlahan, tak ingin mengganggu wanita yang sudah terlelap damai di atas ranjang, ia naik lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Dilihatnya, Binar sedang tertidur membelakanginya dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh wanita itu. Ia turunkan selimut itu hingga batas bahu agar wanita itu bisa bernapas, kemudian ia membelai rambut wanita itu dengan lembut. Perlahan pikirannya melayang. Apa ini akhir kisahnya dengan Naresha dan awal kisalnya dengan Binar? Sungguh, tak ada yang tahu kemana permainan takdir membawanya. Kepada sebuah suka atau justru duka lara?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status