Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar.
"Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya.
"Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak.
"Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.
Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?
"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk.
"Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa sih yang kau lihat dari wanita murahan itu? Sudah sejak awal Mama tidak setuju kau menjalin hubungan dengannya, tapi kau masih saja menjalin hubungan."
"Ma, dia punya nama dan namanya adalah Naresha, bukan wanita murahan," bela Rigel, membuat Binar hanya menunduk seraya memikirkan betapa besar rasa cinta suaminya kepada Naresha.
"Pakaiannya saja seperti wanita jalang yang ingin menjajakkan tubuhnya. Sudah tahu kau sudah menikah, dia tetap menempel padamu bagai lintah. Apa lagi sebutan yang pantas untuknya? Pelakor?" Indira kemudian mengelap bibir dengan serbet, kemudian beranjak. "Mama tidur duluan, Sayang," ucapnya lembut pada Binar, kemudian matanya memincing tajam ke arah anaknya. "Awas saja kalau kau menyakiti Binar lagi dan memilih si wanita murahan itu."
Mendengar ucapan ibunya, kedua tangan Rigel terkepal seraya menahan amarah. Ia tidak mungkin berdebat dengan ibunya, apalagi yang diucapkan ibunya tidak sepenuhnya salah. Naresha bahkan pernah menjadi salah satu angel Victoria's Secret.
Tak ingin berlama-lama dengan suasana yang tak kondusif, Binar pun membereskan piring dan gelas bekas makannya dan ibu mertuanya. Dengan tertatih ia meraih kruk, berdiri dengan satu kaki, kemudian menyelipkan di ketiaknya.
"Biar Mbok Jum saja yang bereskan. Lebih baik sekarang kau minum obat, lalu tidur," titah Rigel, membuat Binar memutar kedua bola mata dengan malas. Pria itu memerlakukannya bagai seorang anak kecil yang sedang sakit.
Menurut, Binar memilih berjalan menuju kamarnya. Namun sejurus kemudian, tangan Rigel memapahnya. Tentu saja, Binar meronta---tidak mau---tapi, Rigel justru semakin menggeratkan pegangannya.
"Kak Rigel, lepas. Aku jadi susah berjalan," keluh Binar, tapi tak diindahkan sama sekali oleh Rigel.
"Sudah, diamlah! Biarkan aku melaksanakam tanggung jawabku," sergah Rigel seraya terus memapah istrinya.
"Aku tidak hamil, Kakak tidak perlu bertanggung jawab," gurau Binar disertai desisan.
"Jadi, kau mau aku hamili dulu?" Secepat kilat, setelah mengatakan itu Rigel memekik karena tangan kiri Binar menyiku perutnya. "Kenapa kau senang sekali KDRT? Bukankah Binar yang kukenal terkenal lemah lembut?"
"Sayangnya, Binar yang Kakak kenal sudah mati," balas Binar dengan ketus. Tanpa memedulikan suaminya, dengan tertatih ia berjalan ke arah kamar.
Sesampainya di dalam kamar, Binar kemudian bersandar di kepala ranjang seraya meminum obat. Tak lama kemudian, terdengar derit pintu pertanda Rigel masuk.
"Binar, maaf jika tadi aku lancang menciummu," ujar Rigel seraya duduk di sisi ranjang.
"Tidak usah meminta maaf, itu adalah hak Kakak, bahkan Kakak berhak melakukan lebih dari itu," sahut Binar seraya menyembunyikan rona merah yang kembali menjalar di pipinya.
Rigel mencondongkan wajahnya ke dekat wajah Binar, kemudian tersenyum aneh. "Jadi, aku boleh meminta hakku sebagai suami?"
"Tentu saja seorang suami boleh meminta haknya kepada sang istri. Tapi tunggu dulu, ucapanku tadi belum selesai. Hmm ... sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi hubungan kita. Karena Kakak tidak menganggapku seorang istri, maka aku pun takkan menganggap Kakak sebagai seorang suami. Jadi, jangan pernah mencoba menciumku lagi, apalagi menyentuhku. Lagi pula, aku hanya akan melakukan hal itu pada pria yang berstatus sebagai suami sungguhan. Suami yang akan menemaniku hingga kami menua dan menutup mata, bukan pada Kakak yang sebatas suami satu tahun." Binar kemudian mendorong tubuh Rigel agar menjauh. Setelah itu, ia menepuk-nepuk dua buah guling yang berada di tengah. "Jangan lewati batas ini. Aku akan pegang omongan Kakak saat malam pertama kita dulu, Kakak tidak akan berbuat yang macam-macam kepadaku," peringatnya.
Rigel membisu. Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh meminta haknya. Hal itu ia lakukan untuk menggoda Binar saja. Bukannya tersipu apalagi menurut, istrinya malah mengeluarkan kata-kata penolakan. Sungguh, ia seperti melihat Binar baru yang lebih berani.
Tapi, bagaimana jika seandainya Rigel dan Binar benar-benar melakukan hubungan suami-istri? Seketika sekelebat bayangan di mana pria itu dan Binar sedang memadu kasih muncul. Namun, tak lama kemudian sebuah notifikasi pesan masuk mengalihkan antensi Rigel dari lamunannya. Beberapa detik selanjutnya, kedua netranya terbelalak setelah membaca pesan. Ia kemudian menarik langkah cepat ke arah balkon dengan pandangan mata yang tertuju pada layar ponsel yang digenggamnya.
Dari balik tembok kaca yang menjadi pembatas antara kamar dan balkon, dapat Binar lihat suaminya bergerak gelisah. Sesekali Rigel mengetikkan sesuatu. Sesekali pula pria itu menempelkan benda pipih itu di telinganya. Hingga akhirnya, suaminya terlihat mengerang seraya memukul tangan ke pagar balkon.
"Dasar bastard!" umpat Binar seraya meremas sprei. Ia dapat mengira siapa yang mengirim pesan itu. Setelah itu, ia memilih menyembunyikan tubuh di bawah selimut.
Sementara itu, di balkon sana Rigel masih mencoba menghubungi mantan kekasihnya yang beberapa menit yang lalu memberi kabar mengejutkan baginya.
Terima kasih atas tipu daya yang membuatku jatuh ke dalam pesonamu.
Satu tahun, ya?
Entah apa yang akan terjadi dalam satu tahun itu.Entah kau yang berpaling kepadanya.Entah aku yang menemukan cinta yang baru.Entah kita yang kembali bersama.Yang jelas, aku tidak mau menunggu yang tak pasti. Lebih baik aku kembali ke Italia, daripada harus menunggumu dengan penuh sakit hati.Selamat tinggal,
Naresha.
"Ya Tuhan, kenapa jadi begini?" erang Rigel seraya mengacak-acak rambutnya.
Lama Rigel memilih menatap langit tak berbintang bersama semilir angin yang mulai menusuk tulang. Setelah puas, ia memutuskan kembali ke dalam kamar.
Perlahan, tak ingin mengganggu wanita yang sudah terlelap damai di atas ranjang, ia naik lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Dilihatnya, Binar sedang tertidur membelakanginya dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh wanita itu. Ia turunkan selimut itu hingga batas bahu agar wanita itu bisa bernapas, kemudian ia membelai rambut wanita itu dengan lembut. Perlahan pikirannya melayang. Apa ini akhir kisahnya dengan Naresha dan awal kisalnya dengan Binar? Sungguh, tak ada yang tahu kemana permainan takdir membawanya. Kepada sebuah suka atau justru duka lara?
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Binar hanya ingin membersihkan tubuhnya yang berselimut keringat agar ia bisa tidur nyenyak. Namun, suasana hatinya yang merasa terpatahkan membuat otaknya mendadak buntu dengan lupa membawa pakaian ganti. Tadi ia sudah akan mengambil pakaian kalau saja Rigel tidak menghentikan langkahnya dengan kalimat yang membuatnya merasa dipermainkan. Rasa ingin pergi dari hadapan Rigel lebih kuat mendominasi, daripada pikiran jernihnya, membuat ia urung keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian ganti. Dirinya tak siap untuk bertemu suaminya. Mungkin, dengan menyembunyikan diri selama beberapa waktu di dalam kamar mandi bisa sedikitnya mengalihkan apa yang dirasakannya saat ini.
Derit pintu terdengar, diikuti derap langkah Rigel di tengah kegelapan yang menyelimuti kamarnya dan istrinya. Pelan-pelan ia melangkah mendekati saklar yang menempel di dinding dekat nakas, kemudian menekannya hingga lampu tidur yang temaram menyala. Manik matanya beredar ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul setengah satu malam.Pandangan Rigel beralih pada istrinya yang sudah menjelajah ke alam mimpi dalam posisi miring menghadap nakas. Dia duduk di lantai dekat sisi ranjang, sebelah tangan kanannya terulur mengusap lembut surai hitam istrinya, lalu turun dan berhenti di wajah istrinya. Hatinya bergetar saat melihat mata sembab dan jejak basah di pipi istrinya, mungkin wanita itu tertidur setelah lelah menangis. Refleks jari telunjuknya menyeka jejak basah yang mulai mengering, kemudian mengecup kedua mata istrinya. Dirasakannya Binar sedikit menggeliat tidak nyaman dengan mata yang masih terpejam. Syukurlah, wanita itu tidak terba
"Maaf Non, ada paket," ucap Mbok Jum pada Binar yang sedang membaca dalam kamar.Binar mengernyit selama beberapa detik. Ia tidak merasa memesan sesuatu. Ah, bisa saja itu pesanan suaminya. Akhirnya ia pun melangkah menuju pintu utama. Sesampainya di sana, ia melihat seorang pria tegap yang tingginya hampir sepantar suaminya sedang berdiri membelakanginya.Binar berdeham lalu berkata, "Maaf, ada apa, Pak?"Pria tegap itu tidak menjawab, tapi langsung membalikkan tubuhnya. Dapat Binar lihat dus berbentuk persegi panjang yang dibawa pria itu menutupi wajahnya. Ketika ia ingin protes, pria itu menurunkan dus hingga wajahnya tampannya terlihat. Ya, pria tegap itu begitu tampan dengan manik coklat keabuan dan kulit putih kemerahaan. 
"Kalau memang Kakak mencintaiku, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Kak Naresha pergi? Apa itu namanya kalau bukan pelarian?!"Kalimat-kalimat itu terus terngiang di pikiran Rigel, membuatnya tidak sadar sudah berapa lama ia membeku, bahkan ia tak sadar kalau Binar sudah tak ada lagi di hadapannya. Otaknya terus mencoba menjawab segala pertanyaan yang begitu menohoknya. Binar benar, jika ia memang mencintai wanita itu, kenapa tidak dari dulu? Kenapa harus menunggu Naresha pergi? Seketika ia ragu atas perasaannya sendiri. Benarkah ia telah jatuh cinta kepada istrinya? Bagaimana bisa secepat itu? Bukankah hatinya adalah milik Naresha? Ia bahkan baru beberapa hari putus dari wanita pujaannya.Rigel menghela napas panjang. Bukannya mendapat jawaban, ia malah menambah rentetan pertanyaan yang membuat pikiran