"Ke mana itu anak?" gumam Indira berang, karena putra semata wayangnya tidak ada di kamar inap menantunya, padahal ini waktunya Binar diperbolehkan pulang. Wanita paruh baya itu kemudian menatap wajah ayu menantunya dengan tatapan bersalah. "Maafkan Mama, karena Mama lalai mendidik anak. Mama harap, kau bisa memaafkan Rigel."
Binar tersenyum tipis. "Mama adalah ibu terbaik. Mama bahkan menyayangiku seperti ibu kandung. Bagiku, Mama telah berhasil mendidik anak. Soal Kak Rigel, tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tidak bersalah. Aku mengerti kalau pernikahan ini sulit bagi Kak Rigel."
Mata Indira berkaca-kaca sampai setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya. Dengan cepat ia seka, kemudian menghela napas panjang. "Semoga kau mau bersabar. Mama yakin, kelak Rigel akan mencintaimu dan melupakan wanita itu."
Binar hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya. Sementara itu, di balik pintu kamar inap Binar ada Rigel yang sedari tadi menguping. Pikiran pria itu masih kalut karena kemarahan Naresha beberapa jam yang lalu dan sekarang ia merasa ada beban berat di pundaknya. Sungguh ia menyayangi Binar, tapi untuk mencintai rasanya tidak mungkin. Hatinya sudah terkunci untuk Naresha dan kunci itu sudah ia hempas jauh-jauh ke dasar samudera agar tak ada wanita lain bisa membukanya. Mungkin inilah yang dinamakan budak cinta. Namun secara tidak langsung, sikapnya telah melukai wanita yang kini berstatus sebagai istrinya. Sebagai seorang istri, tentu ia tahu Binar ingin dicintai, tapi mampukah ia memberi cinta pada wanita itu?
Sejenak Rigel bersandar di tembok, memikirkan penawaran Binar. Satu tahun bukanlah waktu yang sedikit, tapi melewatinya tidaklah terasa. Setelah satu tahun, ia akan bercerai dari istrinya. Sebelum itu, ia ingin meninggalkan kesan baik untuk wanita itu. Istrinya meminta diperlakukan seperti sebelum mereka menikah dan ia akan mengabulkan itu. Sungguh ia tidak jijik terhadap Binar, ia bahkan merindukan tawa wanita itu.
Kilasan-kilasan masa kecil mereka yang bahagia berputar bak sebuah film. Binar adalah wanita yang selalu ia jaga. Mereka bahkan sekolah di tempat yang sama. Sebuah sekolah di mana terdapat SD, SMP, dan SMA sekaligus. Setelah lulus, Rigel memutuskan untuk kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta agar tetap bisa melindungi Binar, sedangkan Binar setelah lulus SMA wanita itu memilih untuk kuliah di Inggris.
Kadang-kadang Rigel menceritakan tentang Naresha. Bagaimana kisah mereka terjalin hingga menumbuhkan benih-benih cinta. Selama empat tahun lebih, Rigel hanya cinta dalam diam. Ia tidak mau memiliki pacar, karena perhatiannya pada Binar pasti berkurang. Namun, rasa cinta itu semakin membuncah. Mengingat betapa terkenalnya Naresha yang pasti membuat wanita itu dikelilingi banyak pria yang menyukai wanita itu, Rigel mengunjungi Binar di Inggris untuk meminta pendapat.
"Raihlah dan jadikan ia milikmu, jika Kakak benar-benar mencintainya." Itulah saran Binar saat itu.
"Lalu bagaimana dengan dirimu? Maksudku, kau tahu 'kan jika aku telah dimiliki wanita lain, kita tak bisa sebebas dulu?" tanya Rigel.
"Kakak tidak usah memikirkan diriku. Sudah cukup aku memiliki Kakak, sekarang giliran Kakak meraih bahagia. Kakak lihat 'kan di sini aku bisa bertahan meski Kakak tak selalu bersamaku?" Binar tersenyum meyakinkan, membuat Rigel mendesah lega.
Pada hari itu juga, Rigel terbang ke Italia untuk menyatakan cintanya. Saat itu ia tidak menyangka kalau ternyata Naresha memiliki perasaan yang sama dengannya. Sungguh tiada tara bahagia yang tengah dirasakannya. Setelah Naresha menerima cintanya, ia langsung menghubungi Binar untuk berbagi kebahagiaan. Suara Binar yang ia dengar mencerminkan bahwa wanita itu turut bahagia.
Tak terasa satu tahun sudah Rigel menjalin hubungan dengan Naresha. Bak dua insan yang sedang kasmaran, bunga-bunga terasa menyelimuti hati mereka. Namun, ada secuil sedih saat ia merasa justru Binar menjauh. Wanita itu tak lagi menghubunginya untuk sekadar menceritakan keseharian wanita itu selama menimba ilmu, padahal banyak kisah yang ingin ia ceritakan kepada wanita itu. Geram, akhirnya ia terbang menemui Binar. Saat itu Binar beralasan ingin fokus pada tugas akhirnya hingga tak mengangkat panggilannya atau membalas pesan-pesannya. Jujur, pada pertemuan itu ia merasa ada dinding kokoh yang membentengi dirinya dengan Binar, tetapi ia tepis. Mungkin itu hanya perasaannya saja.
Mengingat usianya tidak muda lagi, Rigel berniat untuk melamar Naresha. Di saat ia ingin meminta izin pada kedua orangtuanya, kabar mengejutkan terlebih dulu menghujamnya. Ayahnya meminta dirinya untuk menikahi Binar. Tentu saja saat itu ia menolak. Binar yang baru lulus dan kembali ke Indonesia pun menjelaskan kalau ia tidak mau menikah dengan pria yang sudah memiliki kekasih. Tapi, ayahnya tetap bersikukuh dan mengancamnya, pun dengan ibunya, sehingga mau tidak mau akhirnya ia terpaksa menerima perjodohan itu. Siapa kira, sebulan setelah itu ia akhirnya resmi menyandang gelar sebagai suami dari Auristela Binar Anarghya.
Hati Rigel hancur berkeping-keping dan kepingan itu perlahan hancur bak sebuah debu yang tersapu angin. Niat hati meminta izin untuk melamar Naresha, ia malah menikahi Binar. Rasanya begitu berat. Setiap detik yang ia rasakan sampai saat ini terasa sakit bagai sebuah pisau tajam yang tiada henti menguliti tubuhnya, terutama kala bayangan Naresha yang sedang menumpahkan bulir-bulir patah hati melintas di ingatannya. Itulah alasan mengapa ia tidak mau tidur seranjang dengan Binar.
Menghela napas berat, Rigel memutuskan untuk memasuki kamar istrinya. Dilihatnya sang ibu menatap geram ke arahnya.
"Dari mana saja kau?" tanya Indira. Jelas, dari suaranya wanita paruh baya itu kesal pada anaknya.
"Maaf, ada urusan yang harus aku selesaikan," jawab Rigel.
Setelah perbincangan singkat itu Rigel membawa istri dan ibunya pulang ke rumah. Ia mendesah sedih kala Binar turun dari mobil dengan menggunakan kruk. Tanpa meminta persetujuan istrinya terlebih dahulu, ia menggendong istrinya ala bridal style menuju kamar bawah yang merupakan kamar baru wanita itu agar tak kesusahan harus naik-turun tangga. Sementara itu, sang ibu menunggu di ruang tamu sambil rebahan.
Kedua manik coklat Binar menyapu seluruh sudut kamar barunya. Setelah itu, ia menunduk lesu. Entah apa yang dirasakannya. Apakah wanita itu tidak suka dengan nuansa kamarnya? Tapi, Rigel sudah mendekorasi sebaik mungkin.
"Mulai sekarang kita tidur di sini," celetuk Rigel, membuat Binar menoleh ke arahnya dengan alis yang saling bertaut.
"Kita?" tanya Binar.
"Ya, kita. Aku dan kau," sahut Rigel dengan wajah datar.
"Kenapa kita? Bukankah sudah kukatakan kalau sebaiknya kita pisah kamar?" protes Binar.
"Karena status kita masih suami-istri," sahut Rigel, menimbulkan kekehan yang keluar dari mulut Binar.
"Suami-istri? Sejak kapan Kakak menganggapku sebagai istri?" desis Binar. Ia mendesah pelan, lalu berkata, "Pokoknya aku mau kita pisah kamar, lagi pula pernikahan ini hanya bertahan selama satu tahun. Selain itu, apa Kakak tidak merasa bersalah pada Kak Naresha kalau Kakak tidur bersama wanita lain?"
Demi Tuhan, ucapan Binar bagai pukulan telak yang berhasil membungkam mulut Rigel. Pria itu membisu, tapi siapa yang tahu kalau di hatinya ada percikan amarah.
"Kau pikir dengan kita pisah kamar itu tidak menimbulkan tanda tanya bagi orangtua kita?!" Binar sedikit tersentak saat Rigel meninggikan intonasi ucapannya.
"Kalau yang Kakak takutkan adalah orangtua kita, maka Kakak tidak usah khawatir. Ketika orangtua kita menginap, kita bisa satu kamar. Setelah mereka pulang, kita kembali tidur di kamar masing-masing," sahut Binar dengan berani. Tak ada rasa takut yang diperlihatkannya. Sebisa mungkin ia tidak boleh terlihat lemah.
"Itu ribet, Binar. Apa susahnya kita tidur sekamar?" Rigel kemudian duduk di sebelah Binar, menyelipkan helai rambut wanita itu, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu. "Dulu, sewaktu kita kecil kita juga sering tidur bersama, bahkan mandi bersama," bisiknya.
Kedua netra Binar terbelalak, refleks dengan tenaganya yang masih lemas ia mendorong tubuh kekar Rigel hingga pria itu terjatuh dari tempat tidur. "Ma---maaf. Aku tidak sengaja," sesalnya.
Rigel menepuk pantatnya yang baru mencium lantai, kemudian bangkit. "Ini sakit, Binar."
Binar memalingkan wajah ke arah lain. "Itu tak sebanding dengan sakit di hatiku," lirihnya nyaris seperti berbisik.
"Apa?" tanya Rigel yang penasaran atas ucapan Binar.
Binar menolehkan kepalanya kembali menghadap Rigel. "Pokoknya aku mau kita pisah kamar. Titik!"
Rigel menggerakkan jari telungjuk ke kanan dan kiri, pun dengan kepalanya. Setelah itu, ia berkata, "Kau sendiri yang memintaku agar hubungan kita seperti sebelum kita menikah. Ya sudah, aku menurutinya. Tidur bersama, makan bersama, nonton bersama, dan mandi ber---"
"Hentikan!" potong Binar geram. "Kita mandi dan tidur bersama saat usiaku balita, sekarang aku sudah dewasa."
"Tapi, kita suami-istri," sergah Rigel. Sebelah alisnya dinaik-turunkan seakan menggoda istrinya yang semakin terlihat geram.
Binar berdecih. "Kalau begitu, kenapa satu bulan pernikahan kita Kakak tidak mau tidur denganku?" Melihat suaminya yang membisu, ia kembali berkata, "Tidak bisa menjawab? Tentu saja, karena di mata Kakak kita ini bukan suami-istri sungguhan. Jadi, lebih baik kita bersikap layaknya dua orang asing yang menjalani hidup masing-mas---" Ucapan itu terhenti tatkala benda kenyal nan merah milik Rigel membungkam benda kenyal yang lebih merah milik Binar dalam beberapa detik.
Rigel menjauhkan tubuhnya, berdiri tegak kemudian memilih keluar kamar, meninggalkan Binar yang seketika membisu sambil mengerjap lucu. Sedari tadi napasnya naik-turun. Entah mengapa kini Binar semakin banyak bicara. Bukan hanya itu, setiap kata yang dilontarkan wanita itu terasa tajam, bahkan lebih tajam daripada samurai yang bisa menebas kepala seseorang dan lebih pedas dari sekilo cabe yang bisa bikin usus buntu. Sampai kemudian, setan dalam dirinya melakukan hal yang tak pernah ia rencanakan sebelumnya.
Ini salah. Yang tadi itu salah, batin Rigel berkecambuk. Ia mengerang frustasi seraya mengacak-acak rambutnya. Ia merasa telah mengkhianati Naresha. Tapi, jika wanita itu benar-benar memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka selama-lamanya, apakah itu berarti ia harus membuka hati untuk Binar?
Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar."Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya."Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak."Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk."Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa si
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Binar hanya ingin membersihkan tubuhnya yang berselimut keringat agar ia bisa tidur nyenyak. Namun, suasana hatinya yang merasa terpatahkan membuat otaknya mendadak buntu dengan lupa membawa pakaian ganti. Tadi ia sudah akan mengambil pakaian kalau saja Rigel tidak menghentikan langkahnya dengan kalimat yang membuatnya merasa dipermainkan. Rasa ingin pergi dari hadapan Rigel lebih kuat mendominasi, daripada pikiran jernihnya, membuat ia urung keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian ganti. Dirinya tak siap untuk bertemu suaminya. Mungkin, dengan menyembunyikan diri selama beberapa waktu di dalam kamar mandi bisa sedikitnya mengalihkan apa yang dirasakannya saat ini.
Derit pintu terdengar, diikuti derap langkah Rigel di tengah kegelapan yang menyelimuti kamarnya dan istrinya. Pelan-pelan ia melangkah mendekati saklar yang menempel di dinding dekat nakas, kemudian menekannya hingga lampu tidur yang temaram menyala. Manik matanya beredar ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul setengah satu malam.Pandangan Rigel beralih pada istrinya yang sudah menjelajah ke alam mimpi dalam posisi miring menghadap nakas. Dia duduk di lantai dekat sisi ranjang, sebelah tangan kanannya terulur mengusap lembut surai hitam istrinya, lalu turun dan berhenti di wajah istrinya. Hatinya bergetar saat melihat mata sembab dan jejak basah di pipi istrinya, mungkin wanita itu tertidur setelah lelah menangis. Refleks jari telunjuknya menyeka jejak basah yang mulai mengering, kemudian mengecup kedua mata istrinya. Dirasakannya Binar sedikit menggeliat tidak nyaman dengan mata yang masih terpejam. Syukurlah, wanita itu tidak terba
"Maaf Non, ada paket," ucap Mbok Jum pada Binar yang sedang membaca dalam kamar.Binar mengernyit selama beberapa detik. Ia tidak merasa memesan sesuatu. Ah, bisa saja itu pesanan suaminya. Akhirnya ia pun melangkah menuju pintu utama. Sesampainya di sana, ia melihat seorang pria tegap yang tingginya hampir sepantar suaminya sedang berdiri membelakanginya.Binar berdeham lalu berkata, "Maaf, ada apa, Pak?"Pria tegap itu tidak menjawab, tapi langsung membalikkan tubuhnya. Dapat Binar lihat dus berbentuk persegi panjang yang dibawa pria itu menutupi wajahnya. Ketika ia ingin protes, pria itu menurunkan dus hingga wajahnya tampannya terlihat. Ya, pria tegap itu begitu tampan dengan manik coklat keabuan dan kulit putih kemerahaan.