Rigel menatap wajah cantik Naresha yang sedang memakan es krim. Memang tak secantik Binar yang berwajah kebulean seperti ibunya yang memiliki darah Eropa, tapi hanya Naresha-lah yang ia cinta. Mungkin karena selama ini ia hanya menganggap Binar sebagai adik, tidak lebih, meski tak bisa dipungkiri jauh sebelum Naresha hadir, ada desiran aneh yang menggelitik saat bersama Binar. Sebuah desir yang ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Naresha dulu.
Naresha adalah seorang anak yatim piatu. Di usianya yang kesembilan tahun, ayahnya meninggal karena tertimpa steger saat memandori proyek perumahaan. Selang setahun kemudian, ibunya menyusul kepergian ayahnya menuju Sang Khalik karena sakit-sakitan. Sepeninggal kedua orangtuanya, ia harus tinggal dengan bibinya---dari pihak sang ibu---yang kejam, dalam arti suka memukul, mencaci, menjadikan pembantu, dan menjadikan sumber uang bagi bibi dan sepupu laki-lakinya alias anak sang bibi, sedangkan suami sang bibi telah berpulang, karena dipukuli masa sehabis merampok.
Sebenarnya saat itu Naresha lelah, tetapi mau bagaimana lagi? Hanya bibi dan sepupunya yang ia punya di dunia ini. Ia bahkan tidak mengenal keluarga dari ayahnya. Bibinya bilang, konon ayahnya dibuang keluarganya karena tetap memaksa ingin menikahi ibunya yang berasal dari kasta rendah. Pantas saja, saat pemakaman ayahnya, ia tak melihat keluarga ayahnya yang melayat.
Bertemu dengan Rigel merupakan suatu keberuntungan bagi Naresha. Pria itu benar-benar mengubah hidupnya. Berperan sebagai sosok pelindung dari orang-orang yang acapkali mengejeknya.
Pertemuan pertama mereka terjadi saat Rigel mendatangi sebuah kelab untuk menghadiri undangan pesta temannya. Saat itu, Naresha yang bekerja sebagai seorang pelayan di kelab itu mendapat pelecehan dari salah satu pengunjung. Bak seorang pahlawan, Rigel segera melumpuhkan pengunjung tak tahu diri itu. Tak ada hal lebih yang terjadi antara Rigel dan Naresha saat itu. Hanya sekadar ucapan terima kasih yang wanita itu berikan. Setelah itu, wanita itu kembali menjalankan pekerjaannya.
Beberapa minggu kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka tepatnya di universitas tempat mereka menimba ilmu. Saat itu Rigel tak sengaja melihat Naresha yang sedang memohon untuk diberi keringanan dalam membayar uang sidang dan wisuda. Selama ini wanita itu kuliah bermodalkan beasiswa ditambah uang hasil bekerja sebagai salah satu pegawai kafe. Wajar jika kali ini ia kesulitan membayar itu semua. Keputusannya saat itu bekerja di kelab adalah untuk mendapat uang agar ia bisa membayar biaya sidang dan wisuda, apalagi bibinya itu terus mengomel soal biaya. Namun, setelah kejadiaan naas yang menimpanya di hari pertama bekerja, ia langsung memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu.
"KTM," ucap Rigel saat itu seraya menadahkan telapak tangan kanannya, membuat Naresha yang berdiri dengan mata berkaca terperanjat. Melihat wanita di depannya hanya bergeming, ia menggerakkan telapak tangan sebagai isyarat agar Naresha segera menyerahkan yang ia pinta. "Mana?" tanyanya dingin. Bagai dihipnotis, Naresha pun mengeluarkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dari dompetnya, kemudian menaruhnya di atas telapak tangan Rigel.
Rigel membaca identitas Naresha di kartu itu. Setelah itu, selama beberapa menit ia berkutat dengan ponselnya. Selang beberapa detik kemudian, ia memperlihatkan notifikasi transfer dengan tujuan rekening universitasnya berhasil dan KTM pada petugas bagian keuangan kampus.
"Itu untuk biaya sidang dan wisudanya," ucap Rigel pada petugas. Di sampingnya, Naresha melongo tak percaya. Ia kemudian menatap Naresha seraya berkata, "Jangan bersedih lagi, Nona. Bye!" Setelah mengucapkannya, ia berlalu begitu saja.
Setelah sadar dari keterpakuannya, Naresha mengambil KTM miliknya, kemudian menyusul langkah pria yang telah dua kali menolongnya.
"Hei, berhenti!" pekik Naresha. Wanita itu sedikit terengah, karena tak mampu mengimbangi langkah Rigel yang cepat. Namun, sejurus kemudian ia mendesah saat pria yang dikejarnya berhenti. Ia berlari mendekati pria itu, kemudian mengulurkan tangan kanannya. "Naresha," ucapnya memperkenalkan diri.
Rigel terlihat mengernyit, tapi kemudian ia menyambut uluran tangan Naresha. "Rigel," balasnya.
Sejak saat itu, entah mengapa pertemuan Rigel dan Naresha semakin intens. Mungkin dulu sebelum mereka saling mengenal, mereka sering berpapasan di kampus. Tapi, karena tak saling kenal, mereka sama-sama tidak sadar dan menganggap pertemuan mereka sebagai angin lalu. Sesekali Naresha memberi kue bolu sebagai ucapan terima kasih pada Rigel. Awalnya pria itu menolak, tapi karena tidak enak hati, akhirnya ia pun menerima kue bolu itu.
Selama beberapa bulan hubungan mereka hanya sekadar teman. Lagi-lagi Rigel berperan bak pangeran berkuda putih yang senantiasa melindunginya, terutama dari para mulut nyinyir mahasiswi yang sering mengejeknya sebagai keponakan perampok dan anak yang tidak jelas asal usulnya. Semua cibiran itu berasal dari Mita, salah satu mahasiswi yang merupakan tetangganya sejak mereka kecil selalu sirik padanya.
Rigel selalu menyuruh Naresha untuk tidak selalu diam saat orang-orang mencibirnya. Pria itu mengubahnya untuk menjadi wanita tangguh dan kuat, termasuk menghadapi bibi dan sepupunya. Ketika Rigel tahu kelakuan buruk bibinya saat hendak menjemputnya untuk pergi bersama ke kampus, pria itu mengancam bibinya untuk tidak lagi berbuat macam-macam padanya, kalau tidak pria itu tidak segan-segan akan menjebloskan bibinya ke penjara. Benar saja, sehari kemudian perlakuan sang bibi berubah 180 derajat. Namun, tanpa pria itu tahu, tanpa sadar pria itu telah menghidupkan jiwa iblis dalam diri Naresha.
Roda kehidupan Naresha semakin berada di puncak saat Rigel mengajaknya berlibur ke Bali setelah ia lulus kuliah. Saat itu ia tiba-tiba ditawari menggantikan seorang model yang tiba-tiba sakit. Sejak saat itu, ia sering lalu lalang menjadi seorang model yang jam terbangnya cukup tinggi. Bahkan setahun setelah itu, ia memutuskan tinggal di Milan, Italia atas tawaran salah satu agensi model internasional. Sebagai teman, Rigel pun mendukungnya.
Selama tiga tahun Naresha menetap di Milan. Selama itu pula ia sering berhubungan dengan Rigel, baik melalui chat, sosial media, dan telepon. Beberapa kali pria itu bahkan datang berkunjung menemuinya.
Nyaman, itulah yang Naresha dan Rigel rasakan selama empat tahun pertemanan mereka. Hingga akhirnya, Rigel mengungkapkan cinta pada Naresha dan membawa wanita itu pulang ke tanah air. Naresha pun tidak keberatan.
Di Indonesia, wanita itu tinggal sendiri di sebuah apartemen. Namun beberapa bulan kemudian, tersiar berita kalau anak bibinya tewas karena kecelakaan bersama sang kekasih yang sedang berbadan dua. Mau tidak mau, ia harus menampung bibinya sebagai ungkapan balas jasa.
"Mau tambah lagi?" tanya Rigel kala matanya menangkap Naresha yang telah menghabiskan es krim seraya mengelap bibir wanita yang telah dipacarinya selama satu tahun ini.
Naresha menggeleng. "Takut gemuk," ucapnya memicu helaan napas kekasihnya.
"Kau bisa berhenti dari dunia model itu, Sha. Gajiku lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhanmu," ucap Rigel.
Naresha tertawa sumbang, lalu menatap sendu wajah kekasihnya. "Aku ingin mandiri, Rigel. Selain itu, aku tidak mau bergantung pada uang suami orang."
Beberapa saat Rigel bergeming. Rasa bersalah membuncah di hatinya. Tadinya ia sudah berencana melamar kekasihnya, tapi takdir berkata lain. Ayahnya justru meminta dirinya menikahi anak dari sahabat ayahnya---Binar. Dengan terpaksa, ia pun menurut. Saat ini, ia bingung. Empat hari yang lalu Binar memintanya untuk mengakhiri hubungannya dengan Naresha. Sungguh itu berat, tak kalah berat dengan rindu. Keputusannya menikah dengan Binar sudah melukai perasaan Naresha, apalagi jika ia benar-benar mengakhiri hubungan mereka?
Tak ada seorang pun rela melepas orang yang dicintainya demi wanita lain, Rigel paham benar hal itu dan itu membuatnya merasa bersalah kepada kekasihnya. Dulu, Naresha luluh dan memaafkannya karena ia berjanji takkan melupakan kekasihnya. Semua akan tetap sama, perhatiannya dan tentu saja rasa cintanya. Pernikahannya dengan Binar hanya status yang terakui secara agama dan hukum. Sekarang, ia tidak yakin kekasihnya mau menunggu selama satu tahun. Ia sudah melampaui batas kesabaran kekasihnya. Tapi, jika benar wanita itu mencintainya, wanita itu pasti akan sabar dan setia menunggu seperti ucapan Binar, 'kan?
Arrggh ... rasanya kepala Rigel ingin meledak. Ia dilema. Tapi, keputusan mengakhiri harus tetap ia ambil. Bukan karena omongan Binar saja, tetapi ancaman ibunya yang sudah tahu penyebab kecelakaan Binar dari mulut para karyawannya. Bahkan, salah satu karyawannya ada yang memosting sikap buruknya dengan kata-kata, "Istri Merana, Suami Bahagia."
Sungguh, hari itu juga ayah Rigel segera melayangkan pukulan, begitu pun ayah Binar yang tidak terima putrinya tersakiti. Meski posting-an itu sudah dihapus oleh para ahli yang dibayarnya, tetap saja cap suami brengsek akan selalu melekat di pikiran orang-orang yang sudah membacanya. Dalam satu hari saham perusahaannya pun anjlok dan bisa ia pastikan kalau ia tetap bersama Naresha, karier wanita itu pun akan jelek.
"Sha, ada yang aku katakan. Tapi sebelumnya, kuharap kau mengerti dan yakin bahwa selamanya aku akan mencintaimu. Kau satu-satunya wanita yang berhasil menempati tahta tertinggi di hatiku." Rigel kemudian menggenggam sebelah tangan Naresha, menatap lekat manik hitam wanita itu dengan tatapan penuh luka, sedangkan wanita itu hanya diam seraya menatap wajahnya. "Aku minta dalam satu tahun ke depan kita break." Ucapan disertai helaan napas berat itu dibalas dengan tarikan kasar tangan Naresha.
"Katakan kalau kau bercanda?" tanya Naresha. Ada kilat amarah dan luka di matanya, terutama saat mendapat gelengan dari sang kekasih. "Ini tidak lucu, Rigel!" pekiknya, mengundang tatapan kaget dari pengunjung.
Rigel memberi isyarat agar Naresha tenang, tapi kilat di netra wanita itu semakin menyala. "Sha ... kumoh---"
"Shut up! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Semua ini karena wanita sialan itu, 'kan? Aku sudah merelakan hatiku, tapi apa balasanmu? Kau semakin mengores tinta darah di jantungku. Okay, kalau kau mau kita berpisah. Mulai detik ini kita break untuk selamanya!" putus Naresha. Wanita itu beranjak dari posisi duduk, hendak pergi dari hadapan kekasihnya---ralat, mantan kekasihnya. Namun, sebuah cekalan di pergelangan tangan menghentikannya.
"Sha, dengarkan aku. Ini semua demi kebaikan kita," bujuk Rigel. Namun, Naresha malah menghentak tangan hingga cekalannya terlepas.
Naresha tertawa sumbang. "Kebaikan, kau bilang?" Ia lalu menatap mata Rigel dengan pandangan menghunus. "Dengarkan aku, Tuan Rigel yang terhormat. Mulai sekarang aku tidak peduli lagi padamu."
Rigel mengacak-acak rambutnya seraya mengerang frustasi saat melihat Naresha yang perlahan menghilang dari pandangannya. Kakinya terpaku di tempat, tak bergerak sedikit pun untuk mengejar wanita yang telah dipatahkan hatinya. Naresha butuh waktu untuk memahami niatnya dan ia yakin ketika wanita itu tak lagi diselimuti kabut amarah, wanita itu akan kembali kepadanya.
***
Sesampainya di apartemen, Naresha menjatuhkan tubuhnya di sofa. Segala umpatan wanita itu layangkan untuk Binar yang telah merebut pangeran berkuda putih miliknya. Vas bunga yang tak bersalah pun harus hancur berkeping-keping dan berceceran di lantai akibat tepisan kasar dari tangannya.
"Bi! Bibi!!!" teriak Naresha. Tak lama kemudian, wanita paruh baya adik dari ibunya datang dengan pandangan menunduk hormat.
"Ada apa, Sha?!" tanya Sinta---bibi Naresha---dengan lembut.
"Heh! Lancang sekali kau, memanggilku tanpa embel-embel nyonya. Cepat ulangi lagi ucapanmu!" titah Naresha bak nyonya besar.
Sinta menghela napas. Batinnya menjerit. Ia sungguh tak menyangka akan berada di posisi seperti ini. Namun, perlahan ia menerima, mungkin inilah balasan atas perbuatannya dulu.
Dunia berputar. Maka janganlah engkau berlaku sombong apalagi menyakiti hati orang, karena siapa tahu kelak kau berada di posisi orang yang kau sakiti. Pepatah itu benar dan Sinta menyesal atas karma yang diterimanya. Dulu ia menjadikan Naresha pembantu, sekarang terbalik Naresha yang menjadikan dirinya pembantu.
"Ada apa, Nyonya Naresha?" Sinta berucap dengan pandangan menunduk.
"Cepat bereskan semua pecahan vas ini. Setelah itu, pijat kakiku. Mengerti?" Sinta hanya menjawab dengan sebuah anggukan, kemudian bergegas ke dapur untuk membawa peralatan kebersihan setelah mendapat kibasan tangan dari keponakannya.
Di saat Rigel berkunjung, tentu saja Naresha memperlakukan Sinta bagai seorang keponakan yang teramat menyayangi bibinya. Namun, jika tidak ada pria itu, dengan seenaknya Naresha berlaku tidak sopan pada bibinya. Tak ada niat sedikit pun dalam hati Sinta untuk mengatakan keburukan keponakannya. Meski sakit, ia dengan ikhlas menerima. Saat ini hanya Naresha yang ia punya. Satu-satunya harapan yang akan menemaninya hingga akhir usianya. Kelak, keponakannya itulah yang akan membiayai pemakaman dan tahlilannya ketika ia sudah berpulang, menyusul suami dan anaknya.
"Ke mana itu anak?" gumam Indira berang, karena putra semata wayangnya tidak ada di kamar inap menantunya, padahal ini waktunya Binar diperbolehkan pulang. Wanita paruh baya itu kemudian menatap wajah ayu menantunya dengan tatapan bersalah. "Maafkan Mama, karena Mama lalai mendidik anak. Mama harap, kau bisa memaafkan Rigel."Binar tersenyum tipis. "Mama adalah ibu terbaik. Mama bahkan menyayangiku seperti ibu kandung. Bagiku, Mama telah berhasil mendidik anak. Soal Kak Rigel, tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tidak bersalah. Aku mengerti kalau pernikahan ini sulit bagi Kak Rigel."Mata Indira berkaca-kaca sampai setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya. Dengan cepat ia seka, kemudian menghela napas panjang. "Semoga kau mau bersabar. Mama yakin, kelak Rigel akan mencintaimu dan melupakan wanita itu."Binar hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya. Sementara itu, di balik pintu kamar i
Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar."Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya."Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak."Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk."Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa si
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Binar hanya ingin membersihkan tubuhnya yang berselimut keringat agar ia bisa tidur nyenyak. Namun, suasana hatinya yang merasa terpatahkan membuat otaknya mendadak buntu dengan lupa membawa pakaian ganti. Tadi ia sudah akan mengambil pakaian kalau saja Rigel tidak menghentikan langkahnya dengan kalimat yang membuatnya merasa dipermainkan. Rasa ingin pergi dari hadapan Rigel lebih kuat mendominasi, daripada pikiran jernihnya, membuat ia urung keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian ganti. Dirinya tak siap untuk bertemu suaminya. Mungkin, dengan menyembunyikan diri selama beberapa waktu di dalam kamar mandi bisa sedikitnya mengalihkan apa yang dirasakannya saat ini.
Derit pintu terdengar, diikuti derap langkah Rigel di tengah kegelapan yang menyelimuti kamarnya dan istrinya. Pelan-pelan ia melangkah mendekati saklar yang menempel di dinding dekat nakas, kemudian menekannya hingga lampu tidur yang temaram menyala. Manik matanya beredar ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul setengah satu malam.Pandangan Rigel beralih pada istrinya yang sudah menjelajah ke alam mimpi dalam posisi miring menghadap nakas. Dia duduk di lantai dekat sisi ranjang, sebelah tangan kanannya terulur mengusap lembut surai hitam istrinya, lalu turun dan berhenti di wajah istrinya. Hatinya bergetar saat melihat mata sembab dan jejak basah di pipi istrinya, mungkin wanita itu tertidur setelah lelah menangis. Refleks jari telunjuknya menyeka jejak basah yang mulai mengering, kemudian mengecup kedua mata istrinya. Dirasakannya Binar sedikit menggeliat tidak nyaman dengan mata yang masih terpejam. Syukurlah, wanita itu tidak terba