Detik demi detik terlewati, hingga tak terasa, dua minggu sudah Binar terbaring koma setelah kecelakaan yang menimpanya. Di sebelah wanita cantik itu, Rigel senantiasa menemani---menantinya membuka mata---kadang ditemani kedua orangtua pria itu. Sampai kemudian, jemari lentik wanita itu bergerak, begitu pun kedua netranya yang perlahan mengerjap dan terbuka.
"Binar, akhirnya kau sadar juga." Air muka Rigel begitu terang saat melihat istrinya siuman. Namun, tak ada balasan sama sekali dari istrinya. Binar hanya diam dengan wajah sendu. "Kau haus?" tanyanya yang pada kemudian dijawab sebuah anggukan lemah.
Rigel memosisikan tubuh Binar menjadi duduk, membantunya minum sedikit demi sedikit. Setelah itu, ia segera memencet tombol yang berada di dinding di atas brankar agar dokter segera hadir. Tak lama kemudian, sang dokter pun hadir untuk memeriksa perkembangan Binar dan melepas elektoda di tubuh wanita itu.
"Kenapa kaki kanan saya terasa mati rasa, dok?" tanya Binar seraya menyentuh kakinya.
"Tulang kaki Anda mengalami patah sehingga harus dipasangi pen dan gips setelah reposisi agar tulang bisa terbentuk ke posisi semula. Mati rasa itu wajar, apalagi Anda terbaring koma selama dua minggu ini. Beberapa minggu ke depan Anda sudah bisa merasakan kaki Anda. Dua minggu lagi kita akan kembali melakukan rontgen sebelum melepas gips untuk mengetahui perkembangan kaki Anda," papar dokter.
"Apa saya bisa berjalan seperti semula?" tanya Binar cemas.
"Tergantung sejauh mana kaki Anda berhasil setelah melakukan fisioterapi. Untuk beberapa bulan ke depan Anda membutuhkan kruk untuk berjalan. Di bulan ketiga dan keempat, pen Anda bisa dilepas. Setelah itu, di bulan kelima dan keenam, Anda mulai bisa berjalan tanpa kruk, meski masih tidak boleh melakukan aktivitas terlalu berat. Pada beberapa kasus dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa berjalan normal seperti semula, bahkan pahitnya ada yang tidak bisa berjalan," sahut dokter menjelaskan.
"Maksudnya, kemungkinan saya juga bisa lumpuh, dok?" tanya Binar kembali.
Dokter menghela napas. "Anda harus semangat dan terus melakukan terapi. Jangan pernah putus asa. Berdoalah, karena kita tak pernah menduga betapa dahsyatnya doa," jawabnya menyemangati. "Kalau begitu saya permisi," pamitnya.
Hati Binar mencelos. Takdir seolah tak berhenti menyakitinya. Setelah matanya melihat bagaimana suaminya bermesraan dengan wanita lain dan telinganya menangkap ungkapan cinta suaminya pada wanita lain, kini ia harus menelan pil pahit bahwa kakinya tak bisa berjalan normal. Ingin rasanya ia berteriak pada dunia, memrotes bahwa ia tidak kuat. Namun, semua itu ia pendam.
Sepeninggal dokter, air mata Binar yang sedari tadi menuntut keluar tertahan, hanya kebisuan yang ia perlihatkan dengan pandangan mata yang tertuju pada satu arah memperlihatkan kehampaan. Ia harus kuat, karena air mata hanya akan memperlihatkan betapa lemahnya ia dan itu semua pasti mengundang tawa bagi Rigel dan Naresha.
"Maaf." Kata itu meluncur dari bibir Rigel. Pria itu menundukkan kepalanya, sedangkan satu tangannya menggenggam tangan istrinya.
Binar menoleh, memperlihatkan wajah datar. "Untuk apa?" Pertanyaan itu bagai sebuah bom yang membuat Rigel telak mati rasa.
"Untuk semua," jawab Rigel. Ia kemudian mengembuskan napas kasar lalu berkata, "Aku dan ... Naresha."
Binar mengulas senyum kecil pada suaminya. "Bukankah aku yang seharusnya minta maaf? Aku adalah penghancur hubungan Kakak dan dia," ucapnya seraya melepaskan genggaman tangan suaminya.
Rigel menelan saliva dengan susah payah saat mendengar penuturan istrinya. Tenggorokannya mendadak kering. Ucapan istrinya terdengar bagai sebuah sindiran yang menusuk, apalagi senyum yang diperlihatkan. Ia bingung harus berkata apa. Jelas-jelas menurut penuturan Nira secara tidak langsung ialah yang menjadi penyebab kecelakaan itu terjadi.
Bulir-bulir bening yang Binar perlihatkan menyiratkan bahwa wanita itu terluka dan kecewa. Itulah yang Rigel tangkap dari layar CCTV perusahaan yang ia lihat untuk mengetahui bagaimana kronologi kecelakaan itu terjadi. Batinnya pun meringis saat dokter mengatakan bahwa perut istrinya kosong---menandakan belum makan. Ia berpikir, kemungkinan istrinya ingin sarapan bersamanya. Istrinya sudah sudah payah memasak untuknya. Tapi nyatanya, ia justru mengecewakan istrinya dengan sarapan bersama wanita lain. Selama ini, ia sudah membohongi istrinya.
"Binar ... aku ... aku minta maaf. Tak seharusnya pemandangan itu kau lihat," ujar Rigel.
"Memangnya, apa yang seharusnya aku lihat? Semua itu memang seharusnya terjadi. Pernikahan kitalah yang tak seharusnya terjadi. Seharusnya aku bisa menolak perjodohan itu. Seharusnya aku pergi jauh dan bersembunyi di suatu tempat agar Kakak dan Kak Naresha masih bisa bersama tanpa harus merasa bersalah padaku," sahut Binar seraya tersenyum, meski jauh di dalam lubuk hatinya menyiratkan kegetiran yang mendalam.
"Ini bukan salahmu. Aku pun menyetujui perjodohan itu," ujar Rigel. Tangannya kembali ingin menyentuh tangan istrinya, tapi secepat kilat Binar menarik tangan---tak mau disentuh.
"Tidak masalah jika Kakak ingin bersama Kak Naresha. Tapi, aku mohon jangan sekarang. Jangan ketika Kakak masih berstatus suamiku. Bukan karena aku egois, tapi karena aku tidak ingin nama baik Kakak dan keluarga kita tercoreng.
"Selama ini Kakak mungkin berhasil menyembunyikan apa yang Kakak dan Kak Naresha lakukan, seperti makan bersama, pergi bersama, bahkan membeli sebuah cincin yang begitu indah. Ah tidak, bukan berhasil menyembunyikan, tapi tak ada orang yang menegur kalian saat bersama, sehingga kalian terus bersama. Namun di balik semua itu, Kakak tidak tahu bahwa ada orang yang melihat kalian lalu membicarakan kalian di belakang, hingga sampai ke telingaku.
"Coba katakan padaku, jawaban apa yang pantas aku beri saat ada yang bertanya mengapa suamiku pergi bersama wanita lain? Haruskah aku berbohong kalau wanita itu adalah saudara dari suamiku?" Sontak pertanyaan Binar begitu telak menampar hati Rigel. Pria itu membeku, bingung harus menjawab apa, sedangkan Binar malah terkekeh. "Ah, aku tidak berbohong, kalian memang saudara sesama umat manusia, 'kan?"
Sungguh, kekehan Binar semakin mengiris hati Rigel, memperlihatkan betapa brengseknya ia. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua itu terasa sulit baginya. Tak ada orang yang mampu melepas orang terkasihnya demi sosok baru, bahkan Binar sekalipun. Padahal baginya, setelah ibunya, nama Binar-lah yang terpatri sebagai wanita yang berharga di hatinya.
"Binar ...," panggil Rigel lirih. Ia ingin menangis, tetapi tak bisa.
Jujur, Rigel merasa terpojokan dalam situasi seperti ini. Ia pun merasa bahwa tatapan karyawannya mencemohoon kedekatannya dengan sang kekasih---Naresha. Orang-orang itu tak mengerti perasaannya. Binar dan Naresha bukanlah pilihan. Mereka punya tempat spesial masing-masing di hatinya. Ia menyayangi Binar, tapi ia mencintai Naresha. Bajingan? Ia tak peduli julukan itu tertuju padanya.
Binar mendesah pelan. "Satu tahun," ucapnya, membuat Rigel menatapnya dengan sebuah kernyitan. "Aku tahu itu terlalu lama. Tapi, bercerai saat ini tidaklah tepat, terutama bagi perasaan keluarga kita. Selagi menunggu, bisakah Kakak berpisah dengannya dulu selama satu tahun? Setelah itu, kita akan bercerai, lalu Kakak bisa menikah dengan Kak Naresha."
Rigel menggeleng. "Binar, aku tidak mau kita bercerai."
Binar tertawa miris. "Maksud Kakak, Kakak ingin berpoligami? Maaf, aku bukan Saudah binti Zam'ah yang rela membagi hati. Aku ingin seperti Khadijah binti Khuwailid yang menjadi satu-satunya hingga akhir hayat. Tuhan memang membalas surga bagi wanita yang suaminya berpoligami. Tapi perlu digaris bawahi, itu adalah hadiah bagi wanita yang ikhlas. Dan maaf, aku bukan wanita yang tercipta dengan hati seikhlas itu."
"Bu---bukan itu maksudku," elak Rigel.
"Lalu apa? Bermain di belakang dan menumpuk dosa?" tanya Binar retoris. "Meski Kakak tidak menganggap pernikahan ini, aku tidak ingin suamiku berdosa. Karena itulah, aku minta Kakak bersabar selama satu tahun ini. Kakak juga tidak perlu khawatir, jika Kak Naresha benar-benar mencintai Kakak, dia akan sabar dan setia menunggu."
Rigel menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. Semakin ke sini, ucapan Binar semakin menusuk batinnya. Rasanya, ia ingin menenggelamkan diri ke dasar laut. Tapi, sekali lagi ia tak tahu harus berkata apa.
"Selama satu tahun ini, seperti biasanya, aku akan melakukan kewajibanku seperti seorang istri. Namun, kita tak perlu tidur satu kamar." Binar kemudian memalingkan wajah ke arah jendela seraya menyembunyikan kedua manik matanya yang berkaca-kaca. "Dengan begitu Kakak tidak perlu lagi menyiksa diri dengan tidur di ruang kerja atau di sofa untuk menghindariku yang jijik ini."
Lagi-lagi Rigel tercengang, bukan hanya soal kebersamaannya dengan Naresha dan cincin yang mereka beli, tapi soal tidur. Ia menggeleng, meski itu percuma karena tak bisa dilihat Binar. Ia pun membalikkan tubuh istrinya, kemudian memeluknya erat.
"Maafkan aku. Demi Tuhan, aku tidak jijik padamu," sesal Rigel. Sementara itu, tanpa permisi air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya lolos sudah, membasahi wajah Binar. Wanita itu terisak dalam pelukan suaminya. Tak kuasa menahan sakit yang begitu menyesakkan dada.
"Kumohon, jangan acuhkan aku, perlakukan aku seperti saat-saat kita sebelum menikah. Setelah itu, aku akan pergi sejauh mungkin. Aku janji," pinta Binar seraya terus menumpahkan getir yang dirasakannya.
Mungkin memang inilah jalan yang harus Binar tempuh. Terlampau sakit, tetapi tak ada jalan lain yang bisa ia lewati. Mau tak mau ia harus tetap melangkah di atas ribuan jarum yang membuatnya tertatih bersama tetes demi tetes darah yang setia menemani.
Rigel menatap wajah cantik Naresha yang sedang memakan es krim. Memang tak secantik Binar yang berwajah kebulean seperti ibunya yang memiliki darah Eropa, tapi hanya Naresha-lah yang ia cinta. Mungkin karena selama ini ia hanya menganggap Binar sebagai adik, tidak lebih, meski tak bisa dipungkiri jauh sebelum Naresha hadir, ada desiran aneh yang menggelitik saat bersama Binar. Sebuah desir yang ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Naresha dulu.Naresha adalah seorang anak yatim piatu. Di usianya yang kesembilan tahun, ayahnya meninggal karena tertimpa steger saat memandori proyek perumahaan. Selang setahun kemudian, ibunya menyusul kepergian ayahnya menuju Sang Khalik karena sakit-sakitan. Sepeninggal kedua orangtuanya, ia harus tinggal dengan bibinya---dari pihak sang ibu---yang kejam, dalam arti suka memukul, mencaci, menjadikan pembantu, dan menjadikan sumber uang bagi bibi dan sepupu laki-lakinya alias anak sang bibi, sedangkan suami sang bibi te
"Ke mana itu anak?" gumam Indira berang, karena putra semata wayangnya tidak ada di kamar inap menantunya, padahal ini waktunya Binar diperbolehkan pulang. Wanita paruh baya itu kemudian menatap wajah ayu menantunya dengan tatapan bersalah. "Maafkan Mama, karena Mama lalai mendidik anak. Mama harap, kau bisa memaafkan Rigel."Binar tersenyum tipis. "Mama adalah ibu terbaik. Mama bahkan menyayangiku seperti ibu kandung. Bagiku, Mama telah berhasil mendidik anak. Soal Kak Rigel, tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tidak bersalah. Aku mengerti kalau pernikahan ini sulit bagi Kak Rigel."Mata Indira berkaca-kaca sampai setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya. Dengan cepat ia seka, kemudian menghela napas panjang. "Semoga kau mau bersabar. Mama yakin, kelak Rigel akan mencintaimu dan melupakan wanita itu."Binar hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya. Sementara itu, di balik pintu kamar i
Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar."Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya."Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak."Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk."Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa si
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Binar hanya ingin membersihkan tubuhnya yang berselimut keringat agar ia bisa tidur nyenyak. Namun, suasana hatinya yang merasa terpatahkan membuat otaknya mendadak buntu dengan lupa membawa pakaian ganti. Tadi ia sudah akan mengambil pakaian kalau saja Rigel tidak menghentikan langkahnya dengan kalimat yang membuatnya merasa dipermainkan. Rasa ingin pergi dari hadapan Rigel lebih kuat mendominasi, daripada pikiran jernihnya, membuat ia urung keluar dari kamar mandi untuk mengambil pakaian ganti. Dirinya tak siap untuk bertemu suaminya. Mungkin, dengan menyembunyikan diri selama beberapa waktu di dalam kamar mandi bisa sedikitnya mengalihkan apa yang dirasakannya saat ini.
Kedua telapak tangan Rigel terkepal erat hingga menampilkan urat-urat yang membiru dan buku-buku jari yang memutih. Rahangnya tampak tegas. Aura dingin kentara menyelimuti paras pria yang baru saja resmi menjadi seorang ayah. Pun, iris coklat gelapnya seakan mematik api amarah pada wanita yang berhasil selamat dari maut beberapa waktu yang lalu.Binar, wanita yang menyandang status ibu baru itu kini hanya bisa terbaring pasrah di atas ranjang pesakitan dengan segala macam alat yang menempel pada tubuhnya. Wanita itu mengalami koma, yaitu situasi darurat di mana tubuh tidak sadar karena menurunnya aktivitas otak karena kondisi tertentu.Selepas dari ruang NICU Akhtar, Rigel bergegas pergi ke ruang dokter yang memanggilkan. Hanya satu yang di pikirannya, yaitu kondisi sang putra. Masih tampak jelas di ingatannya bagaimana tubuh Binar terguling melewati setiap undakan anak tangga, sehingga menyebabkan ceceran d
Derai kekhawatiran itu kentara di wajah wanita paruh baya yang sedang mengikuti brankar yang membawa majikannya. Segala doa ia rapalkan dalam hati. Batinnya tidak sanggup melihat wajah yang biasanya berseri kini pucat pasi dengan mata terpejam erat dan darah terus-terusan mengalir dari bagian selatan tubuh majikan yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri."Ya Allah, Nona Binar ... hiks ... kenapa ini bisa terjadi?" lirih Bi Jum, wanita paruh baya itu saat pegangan tangannya pada brankar terlepas, karena perawat membawanya ke sebuah ruangan. Sungguh ia tidak rela meninggalkan Binar sendiri di dalam sana, tetapi perawat itu menahannya dan pria di sampingnya agar tidak ikut masuk. Pria itu, siapa lagi kalau bukan Rigel?"Argh ...," erang Rigel sambil meninju tembok tak bersalah.Bi Jum terperanjat. "Yang sabar, Tuan. Sebaiknya kita berdoa agar Allah menyelamatkan Nona Binar dan anak kalian." Sebelah tangannya terulur, tetapi segera ditepis Rigel. Hal itu tak membuat wanita paruh baya
Pelan, Rigel---pengusaha muda nan tampan itu---membuka pintu kamarnya yang berada di rumah orangtuanya dengan perasaan takut membangunkan sang istri yang sudah terlelap dengan damai. Ya, sejak kematian sang ayah, ia dan Binar memutuskan untuk menemani sang mama sementara waktu.Lelah tampak kentara di wajah Rigel. Ia menarik dasi yang terasa mencekiknya seharian ini sambil menarik kaki ke arah sang istri. Setelah sampai, ia duduk si sisi ranjang, tersenyum kecil sambil mengusap lembut surai kecoklaatan istrinya yang sedang tertidur dalam posisi miring membelakanginya. Menghentikan usapan, sejenak kepalanya berpaling sambil menutup mata dan mengembuskan napas berat. Perkataan dokter sungguh menghantui pikirannya, belum lagi fakta-fakta yang harus ia selidiki. Membuka mata, ia lantas kembali memberi usapan di kepala sang istri. Setelah itu, lama sekali ia mendaratkan bibir di surai kecoklat
Suara ketukan pintu terdengar. Setelah dipersilakan masuk, maka Rigel---si pengetuk---pun membuka pintu, masuk, kemudian duduk di tempat yang dipersilakan. Ada semburat tanda tanya di wajahnya, bahkan semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh, ia sudah tidak sabar mendapat jawaban dari sang dokter yang kini duduk di seberangnya. Rigel berdeham dengan wajah dinginnya. "Bisa kita langsung saja?"Dokter Fatih mengangguk. "Dari gejala-gejala yang terlihat, saya menduga kalau ayah Anda terkena racun risin yang terpapar melalui jalur udara. Entah itu yang di-extract menjadi bubuk, maupun semprot."Dahi Rigel tampak mengerut. "Diduga? Jadi, maksud Dokter itu belum pasti?"Dokter Fatih
Di saat matahari berada di antara waktu Dzuhur dan Maghrib---Ashar---di mana panjang bayang-bayang melebihi panjang benda itu sendiri, lantunan ayat suci Al-Quran yang keluar dari bibir Binar sayup-sayup terdengar. Tak seperti biasanya, kali ini wanita berbadan dua itu tak ber-tilawah, pun tidak tartil. Getar dan isak menyusup dalam setiap bacaannya. Sesekali wanita itu berhenti sambil menajamkan indra penglihatannya. Kabur. Kabut itu seakan menebal hingga mengikis jarak pandangnya, membuat rintik hujan air mata tak sengaja jatuh mengenai kitab suci yang dipegangnya."Hal jazā'ul-iḥsāni illal-iḥsān ...." Bersama berakhirnya Ar-Rahman ayat 60 yang artinya, "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." rintik hujan air mata Binar semakin deras. Kepala wanita itu semakin menunduk dan bahu ringkihnya bergetar hebat mendapat serangan hebat yang menikam jantungnya. Rasanya, kenapa begitu perih?Tanpa wanit
Waktu terus bergulir, tak terasa kini usia kandungan Binar sudah memasuki minggu ke-25. Banyak hal yang dialami wanita hamil itu. Bukan hanya berat badannya yang bertambah, seiring perutnya yang membuncit, tetapi semakin ke sini ia merasa kondisi tubuhnya menjadi lemah. Meski ngidamnya telah lenyap akhir trimester pertama, mual dan muntah yang dialaminya hingga kini masih melanda. Belum lagi sesekali ia merasa sakit di bagian atas perutnya, bahkan beberapa minggu ini pandangannya seringkali mengabur.Bunyi antara gelas jatuh dan lantai yang beradu memekik ruangan. Rigel yang berniat ingin menghampiri sang istri untuk meminta dipasangkan dasi terlonjak kaget dan bergegas menuju dapur."Berhenti!" titah Rigel kala matanya menangkap sang istri yang hendak berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan.
Setelah pertemuannya dengan Mr. Lee, di sinilah Rigel, di S.E.A Aquarium Singapore. Beberapa tempat sudah ia kunjungi dan beberapa spesies ikan dari sekitar seratus ribu biota laut sudah ia lihat. Sekarang, matanya sedang dimanjakan oleh ikan-ikan yang sedang asyik bermain di kapal karam yang terdapat dalam ruang akuarium yang ia sewa agar tak ada pengunjung yang bisa masuk."Aku tahu kau juga merindukanku," ucap seorang wanita tiba-tiba.Degup jantung Rigel seketika tak berdetak, pun dengan aliran darah yang seketika terhenti saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Sejenak ia menutup mata, merasakan kerinduan yang dengan tidak sopannya memasuki relung jiwa. Suara itu ... suara pujaan hatinya, wanita yang telah mewarnai hidupnya. Ingin sekali ia berbalik, lalu membalas dekapan hangat itu. Namun, dengan cepat ia tepis. Bagaimanapun semuanya hanya masa lalu. Statusnya sudah tak sama lagi. Wanita itu bukan lagi miliknya.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Binar terbangun karena menginginkan sesuatu. Jadi, ini yang dinamakan ngidam. Dulu, ia tidak percaya atas hal itu. Menurutnya, itu hanya keinginan sang ibu hamil, tetapi mengingat apa yang tengah dirasakannya, kini ia yakin kalau itu bawaan sang janin.Seulas senyum terbit di wajah Binar. Dengan pandangan yang menatap perutnya yang belum membuncit, dengan hati-hati ia mengelus perutnya. Di sana, ada buah cintanya yang sedang berjuang untuk tumbuh hingga bisa terlahir ke dunia."Jadi, kau pelaku yang membuat Ibu bangun tengah malam, hmm? Baiklah, tidak apa-apa. Dengan begitu sehabis memenuhi permintaanmu, Ibu bisa sholat malam," monolog Binar pada janinnya. Sejenak ia melihat sang suami yang tertidur dengan lengan kiri yang menutup matanya, kentara sekali lelah di wajah tampan suaminya itu.Oh Tuhan ... Binar tak bisa mendeskripsikan betapa buncahan bahagia dirasakan saat ia menyebu
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, terhitung satu bulan sudah setelah malam di mana Rigel dan Binar memutuskan untuk menjadi suami-istri sungguhan. Kini tak ada lagi benteng es yang menjulang kokoh membatasi keduanya. Musim salju telah berganti menjadi musim semi yang menebarkan kehangatan. Selama sebulan ini pula, Rigel benar-benar berubah. Perhatian, kasih sayang, dan tatapan memuja terlihat dari sikapnya. Pria itu juga senantiasa memanjakan sang istri dan memperlakukan bagai seorang ratu. Namun, jangan lupakan sikap posesif pria itu. Tingkat keposesifannya kini naik berkali-kali lipat. Terkadang hal itu membuat Binar muak. Untunglah, Xavier tak terlihat batang hidungnya. Pria itu benar-benar menjaga jarak. Ah ... ralat, menjaga hati juga.Dalam keheningan malam Binar menggulirkan tubuhnya ke sana-sini, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tak kunjung juga berhasil. Seperti malam-malam sebelumnya, tengah malam begini perutnya selalu memanggil dan meminta diisi. Demi Tuhan, ia t