"Apa?!" Air muka Rigel mendadak pucat saat resepsionis menelepon untuk mengabarkan kalau baru saja terjadi kecelakaan. Bukan hanya itu, batinnya mendadak nyeri saat mengetahui siapa korbannya.
Tanpa memeduli Naresha yang hampir terjungkir dari pangkuan Rigel, karena pria itu beranjak cepat, pria itu bergegas keluar dari ruang kerjanya, menekan tombol lift yang terasa lama terbuka.
Hati Rigel terus berdoa---berharap kalau apa yang didengarnya beberapa menit lalu adalah suatu kebohongan. Ia sendiri masih tak percaya akan kehadiran Binar di perusahaannya. Ada perlu apa wanita itu kemari? Pikirannya bertanya-tanya. Namun, kerumunan yang dilihatnya saat ia sudah sampai di lokasi kejadian begitu menarik hatinya.
Rigel mengurai, mendesak masuk di antara kerumunan itu. Sejurus kemudian, kedua netranya terbelalak tatkala melihat wanita yang menjadi istrinya selama sebulan ini sedang terbujur tak berdaya di atas pangkuan Nira. Tubuh wanita itu mengeluarkan darah, membuat batinnya menatap tidak tega. Perlahan tubuhnya merosot, lalu diraihnya tubuh sang istri dari sekretarisnya.
"Binar ... bangun. Binar ...." Berapa kali pun Rigel memanggil, istrinya hanya membisu dengan mata terpejam damai. Ia mendongak, menatap nyalang satu per satu para karyawannya. "Kenapa kalian hanya berdiri, huh?! Cepat cari bantuan!"
"Kami sudah menelpon ambulance, Tuan. Sepertinya sebentar lagi akan segera sampai," ucap Nira dan benar saja, selang beberapa menit kemudian ambulance pun datang.
Para tim medis segera menurunkan tandu ambulance, membopong Binar, menaruhnya di atas tandu, kemudian memasukkannya ke dalam ambulance. Di saat Rigel hendak masuk ke dalam ambulance, sebelah tangannya tiba-tiba dicekal oleh Naresha.
"Kau tidak berniat masuk ke sana, 'kan?" tanya Naresha dengan tatapan tidak suka, terutama ketika Rigel hanya diam tak menanggapi. "Aku tidak mau naik mobil mengerikan itu. Lebih baik kita naik mobilmu saja," lanjutnya.
"Tapi dia membutuhkanku, Sha," sahut Rigel.
Naresha berdecak kesal. "Apa kau tidak lihat, sudah ada tim medis yang menemaninya?"
Terlihat mulut Rigel sudah terbuka. Pria itu berniat membantah ucapan wanita pujaannya. Entah mengapa, meski sudah ada tim medis yang menemani istrinya, ada rasa tidak rela jika ia harus meninggalkan istrinya. Ada rasa tanggung jawab yang dipikulnya. Sementara itu, beberapa pasang mata menatap nyalang kepadanya. Suami brengsek, mungkin itulah yang sedang dipikirkan para karyawannya. Namun, saat ini ia tidak peduli.
"Biar saya saja yang menemani Bu Binar, Tuan," usul Nira. Pada awalnya, Rigel ingin menolak, namun tarikan Naresha di tangannya membuatnya mengangguk.
***
Naresha membanting ponselnya ke sofa, kemudian menjatuhkan pandangannya kepada kekasihnya. "Mau sampai kapan kau terus memandanginya, huh?! Nanti juga sadar sendiri. Lebih baik sekarang kau antar aku pulang. Aku bosan di sini."
Usapan lembut Rigel terhenti. Pria itu kemudian memutar tubuhnya dan menatap Naresha. "Aku masih harus di sini, Sha. Jika kau ingin pulang, pulanglah sendiri. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu," lirihnya.
Naresha beranjak, kemudian menyilangkan kedua tangan di dada. "Maksudmu, kau lebih memilih wanita sialan itu daripada aku?!" tanyanya tak terima.
"Kumohon, mengertilah, Sha, dan jangan pernah kau mengatai istriku wanita sialan," sahut Rigel dengan lembut. Mendengarnya, napas Naresha memburu, karena tidak terima.
"Oh, jadi sekarang kau mengakui kalau dia istrimu. Baiklah aku mengerti, kalau di matamu sekarang aku bukan siapa-siapa lagi," desis Naresha. Ia kemudian menarik kakinya menuju pintu keluar. Namun, ketika tangannya sudah mencapai gagang pintu, sebelah tangannya ditarik Rigel. "Lepas!" ucapnya seraya menghentak tangannya.
"Siapa yang bilang kalau kau bukan siapa-siapa?!" Nada bicara Rigel meninggi.
Naresha memalingkan wajah enggan menanggapi, hanya gumaman yang terdengar dari bibirnya. "Seharusnya dia bukan hanya patah tulang, tapi mati."
"Apa kau bilang, Naresha?!" bentak Rigel seraya memalingkan wajah Naresha agar menatapnya.
"Cih, bahkan sekarang kau mulai berani membentakku. Jangan-jangan sekarang kau sudah mencintainya," tuduh Naresha seraya tertawa sumbang. Lain halnya dengan Rigel, air muka pria itu berubah merasa bersalah.
"Maaf, aku tak bermaksud membentakmu. Kau tahu bahwa sedari dulu aku hanya mencintaimu. Tapi kali ini, kumohon izinkan aku untuk menemani Binar," mohon Rigel seraya mengelus pipi kekasihnya. "Aku melakukannya karena saat ini dia adalah tanggung jawabku. Selain itu, apa kau tidak lihat bagaimana karyawanku menatap sinis pada kita? Aku tidak ingin mereka beraggapan buruk padamu," lanjutnya, membuat Naresha perlahan mengangguk.
"Baiklah aku maafkan. Sekarang aku pergi dulu," pamit Naresha. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri untuk mengecup pipi kekasihnya.
Tak lama setelah kepergian Naresha, pintu ICU tempat Binar dirawat diketuk, kemudian menampilkan Nira dan seorang pria yang datang. Mata Nira yang langsung tertuju pada istri bosnya menatap dengan pandangan prihatin, sedangkan pria yang datang bersamanya menunduk takut---enggan menatap wajah sang bos.
"Kalian belum pulang?" ucap Rigel pada kedua pegawainya.
"Belum, Tuan," jawab Nira. Ia kemudian memberi kode pada pria di sebelahnya untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. "Ayo, Ndra," bisiknya.
Andra---pria yang berdiri di sebelah Nira---secepat kilat berlari ke arah Rigel, kemudian bersujud di bawah kaki pria itu. "Maaf, maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja. Tadi saya sedang terburu-buru hingga tidak sempat mengerem saat istri Tuan berlari di depan mobil saya," akunya.
"Brengsek! Apa kau tidak lihat dampak dari perbuatanmu, huh?!" geram Rigel seraya menarik kerah Andra agar pria itu berdiri, kemudian melayangkan pukulan-pukulan di wajah dan perut pria itu. Sementara itu, Andra hanya diam menerima hukumannya. "Nira, cepat hubungi polisi dan jebloskan pria ini ke penjara!" titahnya.
Andra menggeleng. "Jangan, Tuan. Saya mohon." Namun lirihannya sama sekali tak diindahkan Rigel. Bosnya itu malah menyeretnya ke luar, melemparkannya ke satpam rumah sakit untuk segera dibawa ke kantor polisi.
Dengan napas terengah Rigel kembali duduk di sebelah brankar Binar, pun dengan Nira yang duduk di seberangnya. Ada rasa kasihan sebenarnya dalam diri Nira pada Andra, namun ia tidak bisa apa-apa. Lagi pula, Andra memang bersalah.
Untuk beberapa saat, kamar itu terasa hening. Hanya bunyi mesin eletrokadriograf yang terdengar. Sampai kemudian, dengan hati-hati Nira menceritakan bagaimana awalnya Binar datang ke kantor untuk menyerahkan kotak makan dan map yang tertinggal, sebuah luka yang tersirat di matanya saat melihat Rigel sedang bersama Naresha, hingga akhirnya dengan perasaan kecewa Binar berlari secepat mungkin, kemudian terjadilah kecelakaan itu.
"Saya tidak tahu apa alasan Tuan menikah dengan Bu Binar, padahal saya tahu kalau Tuan sudah lama berpacaran dengan Bu Naresha. Tapi, apa pun alasannya, saya mohon mulai sekarang Tuan bisa lebih memahami perasaan Bu Binar. Bagaimanapun, statusnya sebagai istri lebih tinggi daripada Bu Naresha," tutur Nira. Ia menghela napas panjang, kemudian beranjak. "Saya pulang dulu. Semoga Bu Binar segera siuman. Assalamu'alaikum," pamitnya seraya menundukkan kepala.
"Wa'alaikumussalam," sahut Rigel setelah sekian menit ia hanya bergeming seraya mendengarkan ucapan Nira. Di saat mata coklat gelapnya menatap istrinya, ada rasa nyeri bagaikan tersayat sembilu. Ia tak menyangka kalau ia adalah jalan yang memicu kecelakaan itu terjadi. "Maaf," lirihnya bersama setetes bulir bening yang lolos di sudut matanya.
Detik demi detik terlewati, hingga tak terasa, dua minggu sudah Binar terbaring koma setelah kecelakaan yang menimpanya. Di sebelah wanita cantik itu, Rigel senantiasa menemani---menantinya membuka mata---kadang ditemani kedua orangtua pria itu. Sampai kemudian, jemari lentik wanita itu bergerak, begitu pun kedua netranya yang perlahan mengerjap dan terbuka."Binar, akhirnya kau sadar juga." Air muka Rigel begitu terang saat melihat istrinya siuman. Namun, tak ada balasan sama sekali dari istrinya. Binar hanya diam dengan wajah sendu. "Kau haus?" tanyanya yang pada kemudian dijawab sebuah anggukan lemah.Rigel memosisikan tubuh Binar menjadi duduk, membantunya minum sedikit demi sedikit. Setelah itu, ia segera memencet tombol yang berada di dinding di atas brankar agar dokter segera hadir. Tak lama kemudian, sang dokter pun hadir untuk memeriksa perkembangan Binar dan melepas elektoda di tubuh wanita itu."Kenapa kaki kanan saya ter
Rigel menatap wajah cantik Naresha yang sedang memakan es krim. Memang tak secantik Binar yang berwajah kebulean seperti ibunya yang memiliki darah Eropa, tapi hanya Naresha-lah yang ia cinta. Mungkin karena selama ini ia hanya menganggap Binar sebagai adik, tidak lebih, meski tak bisa dipungkiri jauh sebelum Naresha hadir, ada desiran aneh yang menggelitik saat bersama Binar. Sebuah desir yang ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Naresha dulu.Naresha adalah seorang anak yatim piatu. Di usianya yang kesembilan tahun, ayahnya meninggal karena tertimpa steger saat memandori proyek perumahaan. Selang setahun kemudian, ibunya menyusul kepergian ayahnya menuju Sang Khalik karena sakit-sakitan. Sepeninggal kedua orangtuanya, ia harus tinggal dengan bibinya---dari pihak sang ibu---yang kejam, dalam arti suka memukul, mencaci, menjadikan pembantu, dan menjadikan sumber uang bagi bibi dan sepupu laki-lakinya alias anak sang bibi, sedangkan suami sang bibi te
"Ke mana itu anak?" gumam Indira berang, karena putra semata wayangnya tidak ada di kamar inap menantunya, padahal ini waktunya Binar diperbolehkan pulang. Wanita paruh baya itu kemudian menatap wajah ayu menantunya dengan tatapan bersalah. "Maafkan Mama, karena Mama lalai mendidik anak. Mama harap, kau bisa memaafkan Rigel."Binar tersenyum tipis. "Mama adalah ibu terbaik. Mama bahkan menyayangiku seperti ibu kandung. Bagiku, Mama telah berhasil mendidik anak. Soal Kak Rigel, tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tidak bersalah. Aku mengerti kalau pernikahan ini sulit bagi Kak Rigel."Mata Indira berkaca-kaca sampai setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya. Dengan cepat ia seka, kemudian menghela napas panjang. "Semoga kau mau bersabar. Mama yakin, kelak Rigel akan mencintaimu dan melupakan wanita itu."Binar hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya. Sementara itu, di balik pintu kamar i
Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar."Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya."Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak."Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk."Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa si
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi
Raut lelah kentara di wajah Rigel setelah melakukan penerbangan Milan--Jakarta dengan Qatar Airways yang memakan waktu hampir 18 jam, belum lagi setelah itu ia harus kesal duduk di tengah kemacetan ibu kota Jakarta selama 1,5 jam."Biar saya bawakan tasnya, Tuan," tawar Mbok Jum. Rigel mengangguk dan menyerahkan ranselnya."Di mana Binar?" tanya Rigel saat matanya tak menangkap sosok yang sama sekali tidak pernah menghubunginya. Hell, seorang istri seharusnya selalu menanyakan kabar suaminya, 'kan? Tapi seharusnya Rigel ingat, kalau statusnya bukan suami sungguhan dan ia pun tak pernah menghubungi Binar. Jadi wajar jika istrinya tak menghubungi dirinya."Nona Binar sedang tidur di ruang tengah, Tuan," jawab Mbok Jum.
Kedua telapak tangan Rigel terkepal erat hingga menampilkan urat-urat yang membiru dan buku-buku jari yang memutih. Rahangnya tampak tegas. Aura dingin kentara menyelimuti paras pria yang baru saja resmi menjadi seorang ayah. Pun, iris coklat gelapnya seakan mematik api amarah pada wanita yang berhasil selamat dari maut beberapa waktu yang lalu.Binar, wanita yang menyandang status ibu baru itu kini hanya bisa terbaring pasrah di atas ranjang pesakitan dengan segala macam alat yang menempel pada tubuhnya. Wanita itu mengalami koma, yaitu situasi darurat di mana tubuh tidak sadar karena menurunnya aktivitas otak karena kondisi tertentu.Selepas dari ruang NICU Akhtar, Rigel bergegas pergi ke ruang dokter yang memanggilkan. Hanya satu yang di pikirannya, yaitu kondisi sang putra. Masih tampak jelas di ingatannya bagaimana tubuh Binar terguling melewati setiap undakan anak tangga, sehingga menyebabkan ceceran d
Derai kekhawatiran itu kentara di wajah wanita paruh baya yang sedang mengikuti brankar yang membawa majikannya. Segala doa ia rapalkan dalam hati. Batinnya tidak sanggup melihat wajah yang biasanya berseri kini pucat pasi dengan mata terpejam erat dan darah terus-terusan mengalir dari bagian selatan tubuh majikan yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri."Ya Allah, Nona Binar ... hiks ... kenapa ini bisa terjadi?" lirih Bi Jum, wanita paruh baya itu saat pegangan tangannya pada brankar terlepas, karena perawat membawanya ke sebuah ruangan. Sungguh ia tidak rela meninggalkan Binar sendiri di dalam sana, tetapi perawat itu menahannya dan pria di sampingnya agar tidak ikut masuk. Pria itu, siapa lagi kalau bukan Rigel?"Argh ...," erang Rigel sambil meninju tembok tak bersalah.Bi Jum terperanjat. "Yang sabar, Tuan. Sebaiknya kita berdoa agar Allah menyelamatkan Nona Binar dan anak kalian." Sebelah tangannya terulur, tetapi segera ditepis Rigel. Hal itu tak membuat wanita paruh baya
Pelan, Rigel---pengusaha muda nan tampan itu---membuka pintu kamarnya yang berada di rumah orangtuanya dengan perasaan takut membangunkan sang istri yang sudah terlelap dengan damai. Ya, sejak kematian sang ayah, ia dan Binar memutuskan untuk menemani sang mama sementara waktu.Lelah tampak kentara di wajah Rigel. Ia menarik dasi yang terasa mencekiknya seharian ini sambil menarik kaki ke arah sang istri. Setelah sampai, ia duduk si sisi ranjang, tersenyum kecil sambil mengusap lembut surai kecoklaatan istrinya yang sedang tertidur dalam posisi miring membelakanginya. Menghentikan usapan, sejenak kepalanya berpaling sambil menutup mata dan mengembuskan napas berat. Perkataan dokter sungguh menghantui pikirannya, belum lagi fakta-fakta yang harus ia selidiki. Membuka mata, ia lantas kembali memberi usapan di kepala sang istri. Setelah itu, lama sekali ia mendaratkan bibir di surai kecoklat
Suara ketukan pintu terdengar. Setelah dipersilakan masuk, maka Rigel---si pengetuk---pun membuka pintu, masuk, kemudian duduk di tempat yang dipersilakan. Ada semburat tanda tanya di wajahnya, bahkan semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh, ia sudah tidak sabar mendapat jawaban dari sang dokter yang kini duduk di seberangnya. Rigel berdeham dengan wajah dinginnya. "Bisa kita langsung saja?"Dokter Fatih mengangguk. "Dari gejala-gejala yang terlihat, saya menduga kalau ayah Anda terkena racun risin yang terpapar melalui jalur udara. Entah itu yang di-extract menjadi bubuk, maupun semprot."Dahi Rigel tampak mengerut. "Diduga? Jadi, maksud Dokter itu belum pasti?"Dokter Fatih
Di saat matahari berada di antara waktu Dzuhur dan Maghrib---Ashar---di mana panjang bayang-bayang melebihi panjang benda itu sendiri, lantunan ayat suci Al-Quran yang keluar dari bibir Binar sayup-sayup terdengar. Tak seperti biasanya, kali ini wanita berbadan dua itu tak ber-tilawah, pun tidak tartil. Getar dan isak menyusup dalam setiap bacaannya. Sesekali wanita itu berhenti sambil menajamkan indra penglihatannya. Kabur. Kabut itu seakan menebal hingga mengikis jarak pandangnya, membuat rintik hujan air mata tak sengaja jatuh mengenai kitab suci yang dipegangnya."Hal jazā'ul-iḥsāni illal-iḥsān ...." Bersama berakhirnya Ar-Rahman ayat 60 yang artinya, "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." rintik hujan air mata Binar semakin deras. Kepala wanita itu semakin menunduk dan bahu ringkihnya bergetar hebat mendapat serangan hebat yang menikam jantungnya. Rasanya, kenapa begitu perih?Tanpa wanit
Waktu terus bergulir, tak terasa kini usia kandungan Binar sudah memasuki minggu ke-25. Banyak hal yang dialami wanita hamil itu. Bukan hanya berat badannya yang bertambah, seiring perutnya yang membuncit, tetapi semakin ke sini ia merasa kondisi tubuhnya menjadi lemah. Meski ngidamnya telah lenyap akhir trimester pertama, mual dan muntah yang dialaminya hingga kini masih melanda. Belum lagi sesekali ia merasa sakit di bagian atas perutnya, bahkan beberapa minggu ini pandangannya seringkali mengabur.Bunyi antara gelas jatuh dan lantai yang beradu memekik ruangan. Rigel yang berniat ingin menghampiri sang istri untuk meminta dipasangkan dasi terlonjak kaget dan bergegas menuju dapur."Berhenti!" titah Rigel kala matanya menangkap sang istri yang hendak berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan.
Setelah pertemuannya dengan Mr. Lee, di sinilah Rigel, di S.E.A Aquarium Singapore. Beberapa tempat sudah ia kunjungi dan beberapa spesies ikan dari sekitar seratus ribu biota laut sudah ia lihat. Sekarang, matanya sedang dimanjakan oleh ikan-ikan yang sedang asyik bermain di kapal karam yang terdapat dalam ruang akuarium yang ia sewa agar tak ada pengunjung yang bisa masuk."Aku tahu kau juga merindukanku," ucap seorang wanita tiba-tiba.Degup jantung Rigel seketika tak berdetak, pun dengan aliran darah yang seketika terhenti saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Sejenak ia menutup mata, merasakan kerinduan yang dengan tidak sopannya memasuki relung jiwa. Suara itu ... suara pujaan hatinya, wanita yang telah mewarnai hidupnya. Ingin sekali ia berbalik, lalu membalas dekapan hangat itu. Namun, dengan cepat ia tepis. Bagaimanapun semuanya hanya masa lalu. Statusnya sudah tak sama lagi. Wanita itu bukan lagi miliknya.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Binar terbangun karena menginginkan sesuatu. Jadi, ini yang dinamakan ngidam. Dulu, ia tidak percaya atas hal itu. Menurutnya, itu hanya keinginan sang ibu hamil, tetapi mengingat apa yang tengah dirasakannya, kini ia yakin kalau itu bawaan sang janin.Seulas senyum terbit di wajah Binar. Dengan pandangan yang menatap perutnya yang belum membuncit, dengan hati-hati ia mengelus perutnya. Di sana, ada buah cintanya yang sedang berjuang untuk tumbuh hingga bisa terlahir ke dunia."Jadi, kau pelaku yang membuat Ibu bangun tengah malam, hmm? Baiklah, tidak apa-apa. Dengan begitu sehabis memenuhi permintaanmu, Ibu bisa sholat malam," monolog Binar pada janinnya. Sejenak ia melihat sang suami yang tertidur dengan lengan kiri yang menutup matanya, kentara sekali lelah di wajah tampan suaminya itu.Oh Tuhan ... Binar tak bisa mendeskripsikan betapa buncahan bahagia dirasakan saat ia menyebu
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, terhitung satu bulan sudah setelah malam di mana Rigel dan Binar memutuskan untuk menjadi suami-istri sungguhan. Kini tak ada lagi benteng es yang menjulang kokoh membatasi keduanya. Musim salju telah berganti menjadi musim semi yang menebarkan kehangatan. Selama sebulan ini pula, Rigel benar-benar berubah. Perhatian, kasih sayang, dan tatapan memuja terlihat dari sikapnya. Pria itu juga senantiasa memanjakan sang istri dan memperlakukan bagai seorang ratu. Namun, jangan lupakan sikap posesif pria itu. Tingkat keposesifannya kini naik berkali-kali lipat. Terkadang hal itu membuat Binar muak. Untunglah, Xavier tak terlihat batang hidungnya. Pria itu benar-benar menjaga jarak. Ah ... ralat, menjaga hati juga.Dalam keheningan malam Binar menggulirkan tubuhnya ke sana-sini, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tak kunjung juga berhasil. Seperti malam-malam sebelumnya, tengah malam begini perutnya selalu memanggil dan meminta diisi. Demi Tuhan, ia t