Tak terasa satu bulan sudah Binar dan Rigel menjadi suami istri. Selama itu, jangan harap hubungan mereka harmonis apalagi romantis layaknya pasangan baru lainnya. Setelah kepulangan mereka dari hotel, sikap Rigel tetaplah sama---dingin tak tersentuh, bahkan terkesan menjaga jarak. Tak ada acara honeymoon, padahal Indira sudah mempersiapkan tiket berlibur untuk mereka. Saat itu Rigel dengan tegas mengatakan ada pekerjaan yang harus ia tangani dan tidak bisa diwakilkan.
Layaknya seorang istri yang berbakti pada umumnya, Binar senantiasa menyiapkan segala keperluan untuk suaminya. Kendati memiliki seorang pekerja rumah tangga, wanita itu dengan senang mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi saat ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah. Meski pada awalnya maksud dia kuliah adalah untuk mengejar cita-citanya sekaligus membantu ayahnya mengurusi perusahaan. Namun, ayahnya tetap tak mau dibantu dirinya.
Lalu, bagaimana dengan Rigel? Pria itu sama sekali tak menjalankan tugasnya layaknya seorang suami yang baik. Pria itu terkesan menjauhi Binar layaknya sesuatu yang menjijikkan dan pantas dihindari, termasuk saat tidur.
Ketika di hotel, Rigel dan Binar memang tidur dalam ranjang yang sama. Tapi di rumah, Binar diam-diam membuka mata setelah pura-pura terlelap untuk memastikan kalau suaminya pergi meninggalkannya. Pria itu sering menghabiskan waktu dan terlelap di ruang kerjanya. Baru menjelang Subuh pria itu kembali merebahkan diri sambil membelakanginya. Tanpa pria itu sadari, tetes demi tetes air mata telah jatuh saat merasakan denyut nyeri yang senantiasa mencabik-cabik hatinya.
Sebegitu fatalkah apa yang dilakukan Binar hingga dia pantas diperlakukan seperti itu? Ah, rasanya tidak. Meski tak ada cinta di hati Rigel, setidaknya pria itu bisa menghargai kehadirannya atau memperlakukannya layaknya seorang manusia.
Di sela kegiatannya menyiapkan sarapan, tatapan Binar jatuh pada pria yang baru saja datang dengan pakaian kerjanya. "Ah, Kakak sudah siap. Ayo, kita makan. Aku sudah memasak masakan kesukaan Kakak," ucapnya lembut. Namun seperti biasa, pria itu hanya berdiri, mengambil segelas air, lalu meneguknya.
"Maaf, aku tidak bisa. Aku harus datang pagi hari ini," ucap Rigel seraya menaruh gelas di atas meja.
Hari ini? Binar tersenyum kecut dalam hati saat mendengarnya, karena nyatanya Rigel memberi alasan itu hampir setiap hari. Jelas pria itu beralasan untuk menghindarinya. Tapi, wanita itu tak bisa memrotes, hanya sebuah anggukan patuh yang dilakukannya.
"Kalau begitu, aku siapkan bekal agar Kakak bisa mengganjal perut Kakak. Perut kosong bisa membuat tidak konsentrasi, 'kan?" tawar Binar. Namun, suaminya menggeleng.
"Tidak perlu," tolak Rigel. Ia menghela napas kemudian berkata, "Aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum," pamitnya.
Binar meraih tangan kanan Rigel, mengecupnya, lalu membalas salam. Di saat suaminya membalikkan tubuh untuk segera berangkat, sebelah tangannya mencekal tangan kiri suaminya, menghentaknya pelan hingga suaminya berbalik. Setelah itu, ia membenarkan letak dasi suaminya. "Selesai, sekarang Kakak boleh pergi," ucapnya seraya memperlihatkan senyum kecil.
"Terima kasih," ucap Rigel. Pria itu pada akhirnya melenggang pergi begitu saja, meninggalkan istrinya tanpa memberi kecupan terlebih dahulu.
Binar menghela napas berat. Kedua netranya memanas. Di minggu pertama air mata yang sedari tadi ditahannya perlahan meluncur sudah di pipinya. Namun kini, ia bisa lebih tegar, kendati rasa sesak di dada tetap ada. Ia tidak mau terlihat menyedihkan.
"Mbok, sebaiknya makanan ini Mbok kasih pada satpam cluster," ucap Binar pada wanita paruh baya berstatus pekerja rumah tangga di rumahnya.
Mbok Jum---pekerja rumah tangga---yang sudah paham akan situasi rumah tangga tuannya mengangguk paham. Wanita paruh baya itu segera memasukkan sarapan yang dibuat istri majikannya dengan penuh cinta ke dalam kotak makan untuk diberikan kepada satpam penjaga cluster. Sejujurnya, ia merasa prihatin atas apa yang menimpa nyonya-nya. Namun, ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu, Binar lebih memilih masuk kamar daripada sarapan. Perutnya jadi kenyang ketika memakan tatapan dingin suaminya.
Sesampainya di dalam kamar, kedua manik Binar jatuh pada sebuah map yang tergeletak di lantai. Kemungkinan map itu terjatuh saat Rigel akan pergi.
"Sebegitu terburu-burunyakah Kakak tidak mau melihatku hingga Kakak bisa seceroboh ini?" gumam Binar seraya mengambil map itu. "Sebaiknya aku ke kantor untuk menyerahkan map ini," cetusnya bersama seulas senyum yang terbit.
***
"Emm, Nira, maaf, apakah Tuan Rigel ada?" tanya Binar pada sekretaris suaminya. Sebelah tangan kanan membawa tas dan map, sedangkan tangan kirinya membawa kotak makan. Meski tadi Rigel menolak, ia tetap ingin memberi suaminya sarapan. Sarapan yang sebenarnya jatah untuknya, karena yang lain sudah diberikan kepada satpam cluster-nya.
"Eh, Bu Binar. Emm ... i---itu ... a---anu, Tu-tuan---" Ucapan Nira terhenti kala terpotong oleh Binar. Sekretaris itu memang mengenali wajah istri bosnya sejak ia diundang di acara pernikahan bosnya itu.
"Tuan ada di dalam, 'kan? Emm, ya sudah, kalau begitu saya masuk dulu. Permi---"
"Tu---tuan sedang keluar, Bu," potong Nira seraya menghadang Binar. Wanita itu bahkan sudah merampas map dan kotak makan yang dibawa Binar. "Emm, biar saya saja yang menyerahkannya pada Tuan," tawarnya kikuk.
Binar mengulas senyum ramah, lalu mengambil kembali map dan kotak makan yang dirampas Nira. "Biar saya saja. Kalau begitu, saya tunggu Tuan Rigel di ruangannya saja, ya."
Nira bergeming, wajahnya seketika pucat pasi. Tanpa sadar ia menelan salivanya dengan susah payah seraya mengangguk mempersilakan istri bosnya pergi.
Sambil terus mengulas senyum lebar Binar melangkah menuju ruang suaminya. Di saat ia hendak membuka pintu, ia sedikit terbelalak karena pintu itu sedikit terbuka. Ketika tangannya terulur hendak mendorong pintu, ia menarik kembali tangannya kala indra pendengarnya menangkap suara yang tak asing. Itu suara suaminya, tapi bukan hanya itu, ia juga mendengar suara lainnya, tepatnya suara seorang wanita. Dengan perasaan berkecambuk, ia memilih mengintip dari celah pintu. Tak disangka, jantungnya terasa begitu nyeri bagai terkena sebilah tombak yang menghunus tepat di jantungnya kala kedua netra coklatnya menangkap hal yang tidak pantas. Jadi, inikah alasan suaminya harus berangkat pagi?
"A ...," titah Rigel seraya menyodorkan sendok yang digenggamnya pada sosok wanita yang berada dalam pangkuannya. Di saat wanita itu mendekatkan mulut pada sendok, dengan jahil Rigel malah menariknya, membuat wanita itu berdecak.
"Ishh ... Rigel," rajuk wanita itu, membuat Rigel terkekeh. Hal yang sangat jarang Binar lihat selama sebulan ini.
Rigel kembali menyodorkan sendoknya. Namun wanita itu malah memalingkan wajahnya. Hal itu membuat Binar semakin jelas melihat wajah wanita itu. Wanita yang sebenarnya ia sudah kenal sejak tiga tahun yang lalu.
"Ayo buka mulutmu, Sha. Aku tidak mau kau semakin kurus seperti tiang listrik," bujuk Rigel disertai gurauan.
Wanita yang dipanggil Sha mendelik kesal. "Memangnya kenapa kalau aku kurus seperti tiang listrik? Kau mau berpaling pada istrimu itu, huh?!"
Rigel terkekeh seraya mencubit gemas hidung wanita itu. "Sampai kapan pun, tak ada wanita satu pun di dunia ini yang bisa memalingkanku darimu."
"Termasuk Binar?" tanya wanita itu.
Rigel mengangguk sambil memperlihatkan senyum yang membingkai wajah tampannya. "Hanya Naresha Pramudhita yang Achazia Rigel Kalandra cinta. Wanita yang pantas menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku."
Mendengar hal itu, kedua sudut Naresha terangkat. "Benar?" Lagi, Rigel mengangguk, membuat semburat rona merah di pipi wanita itu. "Lalu bagaimana dengan Binar?"
Sejenak Rigel nampak diam, sementara di luar sana Binar menanti jawaban suaminya.
"Akan kupikirkan nanti." Jawaban itu terlalu ambigu bagi Binar. Apa maksud Rigel? Apa pria itu hendak menceraikannya? Di saat usia pernikahannya baru seumur jagung? Sudah cukup, Binar tak kuasa lagi berada di situ. Telinganya tak sanggup mendengar hal yang semakin menyakitinya, pun dengan penglihatannya. Kakinya terasa lemas. Ia hampir saja luruh di lantai kalau saja Nira tidak segera menopangnya dari belakang.
"Bu ... maaf." Binar tersenyum tipis, seharusnya bukan Nira yang meminta maaf. Tapi, suaminya yang tengah berselingkuh di belakangnya.
Berselingkuh? Benarkah?
Binar menyerahkan map dan kotak makan pada Nira. "Untukmu saja," ucapnya. Setelah itu, ia berlari dengan derai air mata.
Nira terlihat tidak enak. Ia memilih mengejar istri bosnya. Seharusnya ia bisa mencegah semua ini agar tak ada yang tersakiti akan pemandangan pagi yang tentu begitu melukai.
Binar tak peduli akan panggilan Nira atau bisik-bisik para pegawai kantor yang menganggapnya menyedihkan. Kakinya terus membuat langkah cepat. Tiba-tiba, notifikasi ponselnya berbunyi. Ia pun segera membukanya---takut ada yang penting. Namun, ternyata gambar yang baru saja dikirimkan temannya malah menuai derai kepahitan semakin deras.
Aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak ingin suudzon terlebih dahulu, karena itulah aku bertanya, apakah kau mengenal wanita itu? Suamimu dan wanita itu terlihat dekat. Itulah bunyi pesan yang dikirim bersama gambar di mana Rigel tengah berada di sebuah toko perhiasan bersama Naresha.
Sungguh, batin Binar rasanya sakit. Sakit yang tidak berdarah. Tapi, apa yang bisa dilakukannya selain berlari kembali keluar dari tempat laknat ini bersama perutnya yang kosong? Ah, tidak, kalau boleh ia ingin berlari dari kehidupan yang kejam ini.
Di sela kerapuhannya, tiba-tiba Binar merasakan tubuhnya terdorong kemudian terbanting begitu cepat di jalan depan kantor suaminya bersama decitan mobil yang bertemu aspal dan suara Nira yang begitu memekik. Pandangan Binar terasa buram dan perlahan kesadarannya terenggut. Apakah Tuhan benar-benar mengizinkannya lari dari kehidupan ini?
"Apa?!" Air muka Rigel mendadak pucat saat resepsionis menelepon untuk mengabarkan kalau baru saja terjadi kecelakaan. Bukan hanya itu, batinnya mendadak nyeri saat mengetahui siapa korbannya.Tanpa memeduli Naresha yang hampir terjungkir dari pangkuan Rigel, karena pria itu beranjak cepat, pria itu bergegas keluar dari ruang kerjanya, menekan tombol lift yang terasa lama terbuka.Hati Rigel terus berdoa---berharap kalau apa yang didengarnya beberapa menit lalu adalah suatu kebohongan. Ia sendiri masih tak percaya akan kehadiran Binar di perusahaannya. Ada perlu apa wanita itu kemari? Pikirannya bertanya-tanya. Namun, kerumunan yang dilihatnya saat ia sudah sampai di lokasi kejadian begitu menarik hatinya.Rigel mengurai, mendesak masuk di antara kerumunan itu. Sejurus kemudian, kedua netranya terbelalak tatkala melihat wanita yang menjadi istrinya selama sebulan ini sedang terbujur tak berdaya di atas pangkuan N
Detik demi detik terlewati, hingga tak terasa, dua minggu sudah Binar terbaring koma setelah kecelakaan yang menimpanya. Di sebelah wanita cantik itu, Rigel senantiasa menemani---menantinya membuka mata---kadang ditemani kedua orangtua pria itu. Sampai kemudian, jemari lentik wanita itu bergerak, begitu pun kedua netranya yang perlahan mengerjap dan terbuka."Binar, akhirnya kau sadar juga." Air muka Rigel begitu terang saat melihat istrinya siuman. Namun, tak ada balasan sama sekali dari istrinya. Binar hanya diam dengan wajah sendu. "Kau haus?" tanyanya yang pada kemudian dijawab sebuah anggukan lemah.Rigel memosisikan tubuh Binar menjadi duduk, membantunya minum sedikit demi sedikit. Setelah itu, ia segera memencet tombol yang berada di dinding di atas brankar agar dokter segera hadir. Tak lama kemudian, sang dokter pun hadir untuk memeriksa perkembangan Binar dan melepas elektoda di tubuh wanita itu."Kenapa kaki kanan saya ter
Rigel menatap wajah cantik Naresha yang sedang memakan es krim. Memang tak secantik Binar yang berwajah kebulean seperti ibunya yang memiliki darah Eropa, tapi hanya Naresha-lah yang ia cinta. Mungkin karena selama ini ia hanya menganggap Binar sebagai adik, tidak lebih, meski tak bisa dipungkiri jauh sebelum Naresha hadir, ada desiran aneh yang menggelitik saat bersama Binar. Sebuah desir yang ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Naresha dulu.Naresha adalah seorang anak yatim piatu. Di usianya yang kesembilan tahun, ayahnya meninggal karena tertimpa steger saat memandori proyek perumahaan. Selang setahun kemudian, ibunya menyusul kepergian ayahnya menuju Sang Khalik karena sakit-sakitan. Sepeninggal kedua orangtuanya, ia harus tinggal dengan bibinya---dari pihak sang ibu---yang kejam, dalam arti suka memukul, mencaci, menjadikan pembantu, dan menjadikan sumber uang bagi bibi dan sepupu laki-lakinya alias anak sang bibi, sedangkan suami sang bibi te
"Ke mana itu anak?" gumam Indira berang, karena putra semata wayangnya tidak ada di kamar inap menantunya, padahal ini waktunya Binar diperbolehkan pulang. Wanita paruh baya itu kemudian menatap wajah ayu menantunya dengan tatapan bersalah. "Maafkan Mama, karena Mama lalai mendidik anak. Mama harap, kau bisa memaafkan Rigel."Binar tersenyum tipis. "Mama adalah ibu terbaik. Mama bahkan menyayangiku seperti ibu kandung. Bagiku, Mama telah berhasil mendidik anak. Soal Kak Rigel, tak ada yang perlu dimaafkan karena dia tidak bersalah. Aku mengerti kalau pernikahan ini sulit bagi Kak Rigel."Mata Indira berkaca-kaca sampai setetes bulir bening jatuh dari sudut matanya. Dengan cepat ia seka, kemudian menghela napas panjang. "Semoga kau mau bersabar. Mama yakin, kelak Rigel akan mencintaimu dan melupakan wanita itu."Binar hanya mengangguk seraya tersenyum menanggapi ucapan ibu mertuanya. Sementara itu, di balik pintu kamar i
Suasana makan malam terasa hening. Baik Indira, Rigel, maupun Binar kusyuk dengan makanan mereka. Ah tidak, rasa-rasanya ada aura dingin antara Rigel dan Binar."Apa kalian bertengkar?" tanya Indira seraya menatap anak dan menantunya."Tidak!" jawab Rigel dan Binar serempak."Lalu, kenapa dari tadi kalian saling diam? Kalian tidak sedang sariawan, 'kan?" selidik Indira.Binar membisu, sementara Rigel salah tingkah. Tidak mungkin 'kan pria itu mengatakan pada ibunya kalau penyebab keterdiamannya dan Binar, karena adegan tadi?"Kami baik-baik saja, Ma." Akhirnya Binar membuka suara seraya tersenyum teduh. Meski tidak yakin, Indira pun mengangguk."Dengar, Rigel, Mama tidak mau kau mengulangi kejadian memalukan itu lagi. Statusmu saat ini adalah suami Binar, maka jagalah perasaannya." Indira kemudian berdecih, lalu berkata dengan bibir yang menyeringai merendahkan, "Apa si
"Kakak mau apa?" tanya Binar kala Rigel memapahnya saat ia hendak ke kamar mandi."Membantumu. Memangnya apa lagi?" Rigel menjawab sekaligus bertanya."Aku mau mandi," ungkap Binar."Lalu?" Rigel bertanya dengan wajah datar, membuat Binar memutar bola mata dengan malas."Ya, Kakak pergi sana. Jangan ikut-ikut aku. Aku bisa sendiri. Sejak kemarin, aku bisa ke kamar mandi sendiri, 'kan? Aku tidak butuh bantuan Kakak," usir Binar jujur. Ia memang pergi ke kamar mandi sendiri untuk berwudhu dan buang air. Pada saat Rigel tidak ada di kamar atau saat Rigel masih terlelap, seperti Subuh tadi. Alih-alih pergi, Rigel malah menggendongnya ala bridal style, membuat ia memekik kaget.
Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suara
Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.Jari telunjuk Rigel menekan bel pi