Share

Bab 3

Penulis: Hangga
"Mau nolong orang, dong, kenapa?"

Rafa melirik Mega dengan sinis dan berkata, "Baju renang adikmu terlalu ketat, jadi menghambat proses resusitasi jantung dan paru. Ini dasar ilmu medis, kamu mengerti nggak?"

Mega terdiam sesaat, lalu menangis semakin keras, "Kalau begitu cepat selamatkan dia! Aku mohon!"

Rafa melihat ke sekitarnya, tetapi tidak menemukan alat apa pun yang bisa digunakan. Tiba-tiba, dia mendapatkan ide. Dia memungut sebatang rumput liar yang keras dan mematahkannya, lalu menggunakan ujung runcingnya untuk menusuk beberapa titik di dada dan bawah ketiak Marisa.

Menurut ilmu pengobatan kuno, dalam situasi seperti ini, akupunktur harus digunakan untuk merangsang aliran energi di jantung agar memungkinkan proses resusitasi berhasil. Berhubung Rafa tidak memiliki jarum perak, dia terpaksa menggunakan rumput liar sebagai pengganti.

Ajaibnya, tangan dan kaki Marisa tiba-tiba bergerak sedikit!

"Ada harapan! Rafa, lanjutkan! Cepat teruskan!" Mega begitu bersemangat hingga air matanya mengalir deras. Hatinya diliputi kecemasan dan harapan.

Rafa mengangguk. Dia membuang batang rumput itu, lalu mengangkat Marisa dan memanggulnya di bahu. Kemudian, Rafa mulai berlari kecil di tempat, membuat tubuh Marisa berguncang dan perutnya yang penuh air tertekan di pundaknya!

Akhirnya, Marisa terbatuk keras dan memuntahkan air sungai!

"Dia sadar! Terima kasih, Tuhan!" Mega langsung berlutut di tanah dan menangis tersedu-sedu.

Rafa mendengus dalam hati. 'Jelas-jelas aku yang nolong dia, kenapa kamu malah berterima kasih sama Tuhan?'

Namun, Rafa masih tidak berhenti. Dia melanjutkan langkah-langkah kecilnya dan memastikan bahwa Marisa benar-benar pulih!

"Uhuk, uhuk uhuk .... Hoek! Uhuk!"

Tiga menit kemudian, Marisa akhirnya bisa bernapas dengan normal. Perutnya yang tadi menggembung seperti balon, kini mengecil secara signifikan.

"Marisa, kamu sudah sadar?" Mega langsung menangis haru dan memeluk erat adiknya.

Sementara itu, Rafa yang sudah kehabisan tenaga hanya bisa menghela napas panjang, lalu berkata, "Cepat pakaikan bajunya, dia sudah nggak apa-apa."

Mega akhirnya sadar, lalu buru-buru mengambil jaket dan menyelimuti tubuh adiknya yang masih gemetaran. Marisa masih terbatuk-batuk dan bernapas terengah-engah. Butuh waktu beberapa menit baginya sebelum akhirnya benar-benar tenang.

Sementara itu, Rafa merasa perutnya mulai keroncongan. "Sudahlah, aku pulang dulu!" katanya sambil berbalik. Namun, tepat saat dia hendak pergi, Mega tiba-tiba menarik lengannya.

Dengan suara rendah, dia berkata, "Bodoh ... soal kejadian ini ... bisa nggak kamu rahasiakan? Adikku masih gadis, nggak bagus kalau orang lain tahu kamu sudah pernah melihat tubuhnya semua."

Mega masih memanggilnya "Bodoh"?

Rafa menggaruk kepalanya, lalu tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, cium aku sekali. Aku nggak akan cerita ke siapa-siapa."

"Hah? Cium kamu?!" Wajah Mega langsung merah padam.

Tak disangka, "si bodoh" ini ternyata tidak sepenuhnya bodoh! Dia masih tahu soal hubungan antara pria dan wanita! Namun, Rafa hanya mengangkat bahunya santai, lalu berkata, "Tapi kalau kamu nggak mau, ya sudah, aku ...."

Cup!

Sebelum Rafa sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir Mega yang lembut dan hangat tiba-tiba mengecupnya! Sayangnya, Mega hanya menyentuhnya sekilas, lalu langsung menjauh.

Mega menyunggingkan senyum tipis dan berkata, "Sudah cukup, 'kan? Jangan bahas lagi soal ini. Termasuk tentang ciumanku barusan."

Rafa menyeringai dalam hati, lalu bertanya dengan wajah serius, "Kalau aku patuh, apa kamu bakal cium aku lagi nantinya?"

Astaga, orang ini jadi ketagihan?!

Mega mendelik sebal, lalu mencubit dada Rafa. "Mungkin saja. Tapi harus ada kesempatan yang pas."

"Hore! Asyik, aku tunggu!" Rafa tertawa lebar, lalu melompat-lompat kegirangan sambil berjalan pulang.

Dari belakang, Mega menghela napas pelan. 'Sayang sekali, dia ini sebenarnya cukup tampan. Alangkah bagusnya kalau dia tidak bodoh!'

Saat Rafa sampai di rumah, langit sudah benar-benar gelap. Di depan pintu, Miko berdiri sambil menggendong Alice, putrinya.

Begitu melihat Rafa, dia langsung mengomel, "Kenapa baru pulang sekarang? Aku khawatir sekali, tahu nggak? Cepat masuk dan makan malam."

Rafa tersenyum santai, lalu masuk ke dalam rumah.

Di meja makan, ada bubur hangat, roti kukus besar, dan acar asin. Dengan lahap, Rafa mulai menyeruput buburnya. Namun di dalam pikirannya, dia sedang memikirkan cara mendapatkan uang.

Meskipun kini dia memiliki ilmu pengobatan legendaris, tetap saja dia tidak bisa membuka klinik jika tidak punya uang. Setelah berpikir lama, Rafa akhirnya mengangkat kepala dan menatap Miko.

"Kak, apa kita masih punya uang?"

"Kamu mau uang?"

Miko tertegun sejenak, lalu berkata sambil tersenyum, "Tunggu sampai kakakmu pulang dari merantau, nanti pasti ada uang." Namun, begitu mengatakannya, hatinya terasa sesak. Air mata hampir jatuh dari matanya.

Suaminya telah pergi bekerja selama lebih dari satu tahun tanpa kabar sedikit pun. Mana mungkin mereka masih punya uang? Yang ada hanya utang yang menumpuk!

Melihat ekspresi Miko, Rafa sudah mengerti semuanya. Dia langsung berkata dengan yakin, "Kak, jangan sedih. Aku akan berusaha keras cari uang."

"Baiklah, aku tahu kamu anak yang penurut." Miko menyeka air matanya, lalu tersenyum lagi.

Kemudian dia mengingat sesuatu dan berkata, "Oh iya, Rafa, soal perkelahianmu sama Angga tadi .... Jangan sampai ketahuan sama Ibu. Jangan buat dia khawatir."

Saat kejadian tadi, ibunya yang sudah tua dan mengalami gangguan pendengaran, sedang berbaring di kamar belakang. Karena pendengarannya buruk, dia sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di depan rumah.

Rafa menggertakkan giginya dan mengangguk. Tentu saja, dia tidak akan membiarkan bajingan seperti Angga lolos begitu saja! Namun, sekarang bukan saatnya untuk membicarakan masalah itu agar Miko tidak khawatir.

Miko menghela napas panjang.

"Angga itu benar-benar biadab. Dia bahkan nggak peduli sama keluarganya sendiri. Mulai sekarang, jangan cari masalah lagi sama dia."

Setelah itu, dia melirik Rafa, lalu bertanya dengan ragu, "Oh ya .... Tadi Angga bilang, kamu melecehkan Hana? Apa maksudnya?"

Rafa baru teringat soal Hana sekarang dan merasa terkejut.

Benar juga! Hana biasanya adalah orang baik, kenapa dia malah menjebak Rafa hari ini? Dia meminta Rafa menangkap semut. Namun, kalau dipikir-pikir sekarang, sepertinya dia memang sengaja!

Miko melihat Rafa melamun, lalu tersenyum dan berkata, "Rafa, kamu suka Hana? Nanti kalau aku sudah ngumpulin uang yang cukup, aku akan carikan istri seperti Hana untukmu, gimana?"

Rafa tersenyum lebar. Namun dalam hatinya, dia tahu Miko sudah cukup kesulitan hanya untuk memastikan mereka sekeluarga bisa makan setiap hari. Mana mungkin dia masih punya kemampuan untuk mencarikan istri untuk Rafa?

Namun, Rafa percaya bahwa niat Miko itu tulus.

"Dasar bodoh." Melihat Rafa tertawa seperti anak kecil, Miko ikut tersenyum geli.

Dia menekan jari telunjuknya ke dahi Rafa, "Aku tahu kamu suka perempuan seperti Hana. Jangan khawatir, nanti Kakak pasti akan carikan istri untukmu."

Rafa tiba-tiba merasa ingin menggoda Miko. Dengan wajah pura-pura polos, dia berkata, "Kalau begitu, aku mau nikah sama 18 istri! Biar mereka bisa bantu kamu mengurus rumah. Jadi nanti Kakak nggak usah kerja lagi!"

"Pfft ...!" Miko langsung menyemburkan buburnya karena tidak bisa menahan tawa. Dasar bodoh. Meskipun Rafa mengalami keterbelakangan mental, perhatiannya pada Miko tetap sama seperti sebelum dia berubah.

Sementara itu, Alice yang masih berusia satu setengah tahun dan belum paham banyak hal, ikut tertawa riang di pelukan ibunya. Bagi orang luar, keluarga yang sudah berada di ambang kehancuran ini, ternyata masih penuh dengan keharmonisan.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari luar.

Tak lama kemudian, Hansen, sang kepala desa, mendorong pintu dan masuk.

Miko agak terkejut. Dia berdiri dan bertanya, "Pak Hansen, sudah semalam ini, kamu ...."

"Aku cari Rafa!"

Hansen tiba-tiba menarik Rafa ke kamar di sisi timur rumah, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Miko terkejut dan segera berseru dari luar, "Pak Hansen, Rafa buat masalah, ya? Tolong jangan pukul dia! Bicara baik-baik saja!"

"Nggak, kok! Nggak ada masalah, aku cuma mau ngobrol sebentar!"

Di dalam kamar, dia menatap Rafa dengan serius, lalu berbisik dengan suara rendah, "Rafa, terima kasih sudah menyelamatkan putriku. Tapi tolong, jangan kasih tahu siapa pun tentang kejadian itu. Kalau ada sesuatu yang kamu inginkan, pasti akan kuberikan!"

Rafa langsung paham. Ternyata, Hansen juga sama seperti Mega. Dia takut Rafa akan menyebarkan kejadian hari ini.

Setelah berpikir sejenak, Rafa dan berkata, "Aku mau ... kamu bawa aku ke kota, biar aku bisa makan besar. Terus ... aku juga mau sejuta!"

Ini kesempatan bagus! Sekali-sekali memeras kepala desa tidak ada salahnya, 'kan?

Hansen menggaruk kepalanya. Dia merasa berat hati, tapi tetap memaksakan senyum, "Sejuta ya? Baiklah! Kebetulan besok aku mau bawa Marisa ke kota untuk pemeriksaan, aku akan bawa kamu juga. Mengenai uangnya ... besok aku kasih."

Saat ini adalah tahun 2002. Uang sebesar satu juta masih tergolong besar.

Di kota-kota besar, peradaban mulai berkembang pesat. Ada lampu neon yang berkilauan dan teknologi seperti ponsel atau komputer mulai menyebar. Namun, di Desa Kenanga, listrik baru masuk beberapa tahun lalu dan bahkan TV juga masih merupakan barang langka!

Desa ini seperti sudut yang terlupakan. Mereka terus berjuang mengejar zaman, tetapi malah tertahan semakin jauh ke belakang. Sebagai kepala desa, Hansen tentu saja punya uang. Namun, mengeluarkan uang sejuta sekaligus tetap membuatnya merasa sakit hati.

Rafa mengangguk dengan senang. Ini berarti, dia tidak menyelamatkan orang secara cuma-cuma malam ini!

Hansen berbalik hendak pergi, lalu berkata, "Jangan lupa, Rafa. Besok pagi jam setengah tujuh, datang ke rumahku. Kubawa kamu ke kota."

Miko mengejar keluar dan bertanya, "Pak Hansen mau bawa Rafa ke kota? Tolong jangan sampai dia tersesat!"

Hansen tertawa keras, "Tenang saja! Kalau si bodoh ini hilang, aku ganti sama seseorang yang waras!"

Setelah berkata demikian, Hansen pergi sambil tertawa lebar. Miko terdiam sesaat, lalu berbalik masuk ke dalam rumah.

Di dalam, Rafa masih asyik makan roti kukus, ditemani bubur dan acar asin.

Miko menatapnya dengan curiga dan bertanya, "Rafa, kenapa Pak Hansen mau bawa kamu ke kota?"

"Uh ... mungkin dia suka main sama aku?" jawab Rafa sambil memasukkan setengah potong roti kukus ke dalam mulutnya, lalu menelannya dengan susah payah.

Kemudian, dia menatap Miko dan berkata, "Kak, kamu mau sesuatu nggak? Besok aku ke kota, bisa sekalian belikan untukmu."

Miko tertegun sesaat, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Kamu ini .... Besok ikut Pak Hansen, jangan sampai tersesat. Dunia luar itu berbahaya, banyak orang jahat. Jangan sampai kamu dibawa ke pabrik bata ilegal. Aku nggak butuh apa-apa, yang penting kamu tetap jadi anak yang penurut."

Rafa mengangguk patuh, lalu mulai membereskan meja makan. Setelah itu, dia membawa peralatan makan ke dapur dan mencuci piring.

Miko benar-benar terkejut. Rafa bisa cuci piring sendiri? Apakah kondisi adik iparnya ini benar-benar mulai membaik?

Setelah selesai membersihkan dapur, Rafa pergi mengecek keadaan ibunya. Kemudian, dia bermain sebentar dengan Alice, mengobrol dengan Miko, dan akhirnya mandi sebelum tidur.

Saat berbaring di tempat tidurnya, Rafa mulai memikirkan kondisi kesehatan ibunya. Stroke, rematik parah, dan gangguan pendengaran yang serius.

Sangat sulit ditangani. Butuh banyak uang untuk membeli obat dan pengobatan jangka panjang agar dia bisa pulih. Namun, kini dia memiliki ilmu pengobatan kuno. Pelan-pelan, dia pasti bisa menemukan cara untuk menyembuhkan ibunya!

Setelah terbangun kembali, hari telah berganti.

Rafa mengenakan satu-satunya setelan pakaian musim panas yang dimilikinya dan berjalan menuju rumah kepala desa.

Dengan tinggi badan 182 cm dan berat 70 kg, ditambah dengan wajah tampan dan fitur yang tegas, serta pakaian yang rapi, Rafa tampak sangat tampan. Auranya terkesan gagah, elegan, dan ceria.

Namun, Hansen sama sekali tidak menyadari perubahan pada Rafa. Dia hanya melambaikan tangan dan berkata, "Rafa, tunggu sebentar. Mobil sebentar lagi datang. Aku mau pergi ke ujung desa untuk melihat-lihat."

Rafa mengangguk dan mulai mengamati dinding rumah kepala desa. Di sana tergantung banyak foto berwarna-warni. Hansen memiliki tiga anak perempuan dan satu putra bungsu yang masih kecil, sekitar tujuh atau delapan tahun, bernama Kumar.

Gadis yang tenggelam tadi malam, Marisa, adalah anak bungsunya. Ketiga putrinya memang memiliki wajah cantik dan suka berfoto, lalu menempelkan foto-foto mereka di dinding agar bisa dipamerkan kepada orang lain.

Setelah menunggu lama, mobil tak kunjung datang.

Tiba-tiba, Rafa merasa ingin buang air kecil. Dia pun berjalan menuju toilet desa yang ada di belakang rumah kepala desa.

Di pedesaan, toilet umumnya tidak memiliki pintu dan hanya ditutupi oleh sebuah kain tirai yang sederhana. Rafa mengangkat tirai itu dan melangkah masuk.

Namun, saat itu juga, dia melihat seseorang sedang berjongkok di dalamnya! Orang itu adalah Mega!

"Aaaah ...!"

Mega dan Rafa berteriak bersamaan, lalu sama-sama terdiam dan saling menatap dengan mata terbelalak. Setelah itu, reaksi pertama Mega adalah langsung menutupi wajahnya yang merah padam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 4

    Kesadaran Rafa baru saja pulih, tetapi masih ada sedikit gejala yang tersisa saat dia menjadi bodoh. Setelah beberapa detik terdiam, dia baru menyadari situasinya dan buru-buru berbalik keluar. Wajahnya terasa sangat panas.Sepertinya, dia melihat sesuatu ... yang tidak seharusnya dia lihat tadi.Mega buru-buru merapikan pakaiannya dan keluar, lalu berjalan melewati Rafa. Dengan wajah memerah, dia berkata dengan suara pelan, "Untung saja kamu ini bodoh .... Kalau nggak, aku pasti malu setengah mati. Sudah, cepat masuk sana."Rafa menyeka keringat dinginnya sebelum masuk ke dalam toilet. Namun, pemandangan tadi terus terbayang-bayang dalam pikirannya.Pukul delapan pagi. Akhirnya, sebuah mobil sedan yang tua dan usang datang menjemput mereka. Hansen naik ke kursi penumpang depan dengan wajah kesal dan menggerutu tidak jelas. Sementara itu, Rafa duduk di kursi belakang bersama Mega dan Marisa.Wajah Marisa masih merah padam dan tidak berani memandang Rafa. Semalam, pemuda ini telah melih

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 5

    Astaga, mau bunuh sekeluarganya?Tanpa ragu, Rafa langsung mengayunkan tangan dan menebas tengkuk Angga dengan satu pukulan tajam!Bruk!Angga langsung terjatuh di lantai dan tidak bergerak sama sekali. Rafa melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang di sekitar. Lalu, dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Jarum ini bisa menyelamatkan orang, tapi juga bisa membuat orang menderita.Syut syut syut!Dalam hitungan detik, Rafa sudah menusukkan 12 jarum ke berbagai titik di tubuh Angga. Dua belas jarum ini menutup sebagian besar meridian di dalam tubuh Angga. Dalam sepuluh hari ke depan, Angga akan merasakan penderitaan yang luar biasa.Melihat Angga terkapar tak berdaya, Rafa langsung berbalik dan pergi.Setibanya di rumah, Rafa langsung masuk ke kamarnya untuk meletakkan barang-barang yang dibelinya, lalu mengambil mainan dan bebek panggang sebelum menuju ke belakang rumah.Di sana, Miko sedang bermain dengan Alice dan membuat gadis kecil itu tertawa riang.Tok! Tok!"Kak!" Rafa mende

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 6

    "Makanan apa? Enak banget ya?" tanya Rafa dengan santai."Tentu saja enak. Nanti malam datang ke rumahku, kamu akan tahu sendiri," jawab Arumi sambil tersenyum.Meski Rafa agak bodoh, penampilannya cukup tampan dan membuat orang terpesona. Jika bukan karena mentalnya yang terbelakang, dengan penampilannya ini, pasti ada banyak wanita yang ingin menikahinya meski dia miskin."Baiklah. Kakak jangan bohongi aku ya." Rafa menghela napas, lalu mengambil tongkat bambu pemikul.Sial benar hari ini, baru keluar rumah sudah kena kerja rodi.Di jalan setapak yang sunyi, hanya terdengar suara tongkat bambu berderit pelan. Suaranya sangat berirama, seperti ....Wajah Arumi tiba-tiba memerah karena teringat sesuatu.Rafa menoleh sekilas dan bertanya dengan heran, "Kak Arumi, kenapa wajahmu merah sekali? Kamu nggak sakit, 'kan?""Aku nggak sakit, dasar bodoh."Arumi menjawab sambil tertawa, "Suara bambu ini ... mirip suara ranjang kayu di rumahku."Rafa mengernyit heran. "Ranjang kayu di rumahku jug

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 7

    "Kak, aku nggak ngomong sembarangan."Rafa menjelaskan, "Aku lagi melakukan pemeriksaan, Kak. Jangan malu, di rumah sakit besar juga ada dokter pria di bagian ginekologi. Siklus menstruasimu nggak teratur, dan setiap kali datang bulan, darahnya baru bersih setelah tujuh atau delapan hari. Ini adalah kondisi yang perlu ditangani."Miko terdiam sejenak. "Jadi, kamu benar-benar bisa mengobati orang?" Apa yang baru saja dikatakan Rafa, semuanya memang akurat."Tentu saja bisa."Rafa mengeluarkan jarum peraknya. "Kalau Kakak masih ragu, kita bisa coba sesuatu lagi. Aku cuma butuh dua jarum untuk membuat tanganmu nggak bisa diangkat."Miko berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Kalau kamu benar-benar punya kemampuan seperti itu, aku pasti akan mendukungmu membuka klinik.""Baiklah," kata Rafa. "Tapi Kakak harus lepas jaket luarnya dulu.""Kenapa harus lepas baju?" Miko kembali tersipu, wajahnya memerah."Kalau lepas pakaian, aku lebih mudah nemukan titik akupunkturnya.""Hm, baiklah kalau begitu

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 8

    Rafa awalnya mengira ini adalah pertanyaan serius, sehingga dia berkata dengan percaya diri, "Tentu saja bisa! Tapi aku harus lihat dulu, apakah itu wasir internal, eksternal, atau kombinasi."Arumi langsung tertawa keras, "Kak Vina, ayo tunjukkan wasirmu sama Rafa!""Sembuhkan saja dulu mulut busukmu itu!" maki Vina yang sama kejamnya."Tapi kalau Rafa benar-benar bisa menyembuhkannya, aku juga nggak akan keberatan. Dua puluh tahun yang lalu, waktu Rafa baru lahir, ibunya kekurangan ASI dan membawanya ke rumahku untuk minta susu! Jadi, dalam pandanganku, Rafa ini seperti anakku sendiri!"Rafa langsung cemberut dan memotong canda gurau beberapa orang itu, "Kalau mau berobat, lakukan saja. Jangan bahas masa lalu!""Aku cuma minum beberapa tetes susu waktu kecil. Nggak berarti aku harus jadi anakmu sekarang, 'kan? Nggak adil!""Wih, anak bodoh ini sudah tahu malu sekarang," ledek Vina sambil tertawa.Rafa sebenarnya ingin terus membahas soal wasir, siapa tahu bisa menarik pelanggan dan m

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 9

    Arumi menarik Rafa lebih dalam ke ladang jagung. Dia menekan bahu Rafa, memaksanya berjongkok, lalu berbisik di telinganya, "Kalau si tua bangka itu lihat kita, pasti dia akan nuduh kita melakukan hal yang nggak-nggak.""Kamu tahu sendiri, 'kan? Si tua bangka ini berengsek sekali. Dia punya niat buruk padaku. Setiap hari dia selalu cari kesempatan untuk menjebakku!"Rafa tiba-tiba teringat sesuatu. Suami Arumi memang selalu bekerja di luar kota dan jarang pulang. Sementara itu, ayah mertuanya pernah punya niat jahat terhadapnya.Tahun lalu, Hendru bahkan pernah menyelinap di bawah ranjangnya saat dia mandi. Begitu Arumi keluar, pria tua itu langsung menerkamnya dan ingin melakukan hal tidak senonoh.Tapi siapa sangka, Arumi bukan tipe perempuan yang mudah ditindas. Dia berhasil melawan, melepaskan diri, lalu menghajarnya habis-habisan dengan sandal. Bahkan, dia sempat mengejar pria tua itu keliling desa sehingga membuat Hendru dipermalukan habis-habisan.Insiden ini menjadi bahan gosip

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 10

    Mega menjadi tidak sabar dan mulai memberi isyarat dengan tangan di dadanya."Itu lho, yang terbuat dari plastik, ada corong yang ditempelkan ke dada, lalu ada bola kecil di belakangnya. Kalau dipencet, udara di dalamnya keluar, menciptakan tekanan udara untuk menyedot ASI ...."Rafa akhirnya mengerti. "Oh, maksudmu pompa ASI? Kenapa nggak bilang dari tadi?""Iya, itu dia!"Mega terkekeh. "Ternyata otakmu nggak terlalu bodoh juga, Rafa.""Kamu juga nggak mau menikah sama aku, terus kenapa peduli aku bodoh atau nggak?"Rafa bergumam sambil menggendong Alice dan masuk ke kamar kakak iparnya. "Sepertinya kakak iparku pernah pakai benda itu. Aku coba cari dulu."Mega mengikutinya masuk, lalu meninju lengan Rafa pelan. "Kalau kamu nggak bodoh, aku pasti mau nikah sama kamu!"Serius, nih?Rafa langsung berbalik, menatap mata Mega dengan serius. "Mega, kamu serius?""Tentu saja! Aku selalu menepati janji."Mega membusungkan dadanya dengan percaya diri, lalu menyeringai. "Tapi masalahnya, kamu

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 11

    Rafa menarik tangannya kembali dan tersenyum santai. "Aku mengerti, Kak Hana. Kamu bisa kembali sekarang."Hana tertegun. Dia tidak menyangka Rafa bisa setenang ini! Namun, setelah berpikir sejenak, dia menyadari sesuatu.'Benar juga. Dia kan bodoh. Mana mungkin dia mengerti betapa seriusnya masalah ini?'Namun, Miko benar-benar panik. Dia buru-buru berkata pada Hana, "Aku mengerti, Hana. Terima kasih sudah datang ngasih tahu kami. Kamu pergi saja dulu, aku akan suruh Rafa bersembunyi atau cari cara lain.""Baiklah, aku pergi dulu. Kalian benar-benar harus berhati-hati. Ini bukan main-main ...."Hana melangkah pergi dengan sesekali menoleh ke belakang. Air matanya masih mengalir deras.Begitu Hana pergi, Miko segera mengambil keputusan. "Rafa, kamu segera pergi ke gunung dan sembunyi di sana. Aku pergi cari Pak Hansen dulu, kalau itu nggak berhasil, aku akan ke kota untuk melapor ke polisi. Aku nggak percaya kalau hukum sudah nggak berlaku di desa ini!"Meskipun Miko terlihat tenang da

Bab terbaru

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 100

    Wanita itu mengira Rafa tidak puas, jadi berkata dengan nada menyesal, "Aku tahu kamu mungkin kurang puas, tapi aku cuma bisa kasih segitu. Tapi, aku bisa menambahkan 20 juta sebagai tanda terima kasih karena sudah membantuku tadi.""Nggak, nggak ... aku sangat puas." Rafa berbicara jujur. Dia tersenyum dan meneruskan, "Dalam bisnis, memang harus begitu, harus adil. Soal uang terima kasih, aku nggak bisa terima. Aku bantu bukan karena uang.""Jarang sekali ada orang baik sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Baiklah, aku antar kamu ke pasar, biar aku langsung kasih uangnya."Mobil pun melaju menuju pasar obat tradisional."Namaku Karina. Kamu bisa panggil aku Kak Karina." Sambil menyetir, wanita itu bertanya, "Siapa namamu? Dari mana asalmu?""Aku Rafa, dari Desa Kenanga.""Oh, oh ...." Karina mengambil sebuah kartu nama dan tersenyum. "Kalau nanti kamu datang ke kota ini lagi, hubungi saja aku kalau butuh bantuan. Mau jual atau beli obat, aku bisa bantu. Aku jamin kamu bisa jual dengan h

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 99

    Perampok yang satunya marah besar! Dia mengayunkan kunci inggrisnya ke arah kepala Rafa!"Matilah!" Rafa dengan sigap mengayunkan ranselnya, memukul kunci inggris itu hingga terlempar. Kemudian, dia menyusul dengan satu tendangan tepat ke perut perampok itu!"Aaaarrgh ... ughhh ...." Perampok kedua langsung jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi, keringat bercucuran."Berani-beraninya kalian menindas wanita!" Rafa masih dipenuhi amarah. Dia kembali melayangkan tendangan bertubi-tubi, membuat wajah kedua perampok itu penuh luka lebam.Wanita yang memakai rok pendek itu ketakutan. Dia bergegas bangkit dan berteriak cemas, "Dik, cukup! Kalau terus dipukul, mereka bisa mati!"Rafa baru menghentikan aksinya. Dua perampok itu merangkak ke mobil mereka dengan tubuh penuh darah. Dengan sempoyongan, mereka masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu kabur."Fiuh ...." Wanita itu menghela napas lega. Dia merapikan rambut dan pakaiannya, lalu mengangguk ke arah Rafa. "Terima kasih banyak ya.""Sama-sama.

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 98

    "Ke pemandian ... bisa lihat apa?" Rafa bingung."Lihat apa? Lihat burung! Di pemandian banyak burung, silakan lihat sepuasnya!" sahut pria tua itu dengan ketus."Buset! Begini caramu berdagang?" Rafa murka, menatap tajam pria itu. "Ya sudah! Aku nggak akan pergi ke pemandian hari ini. Aku akan tetap di sini, melihat burung tuamu!"Tiga pegawai wanita di toko itu saling melirik dan menahan tawa. Mereka memberi isyarat agar Rafa segera pergi."Sial, pagi-pagi sudah bertemu iblis. Sial sekali!" Rafa memelototi pria tua itu, menggerutu sambil berjalan pergi.Awalnya, Rafa masih merasa ada kedekatan dengan tanah leluhurnya. Namun, hari ini dia bukan hanya diincar pencuri, tetapi juga bertemu dengan kakek menyebalkan ini. Perasaan hangat itu lenyap seketika.Dia bahkan mulai berpikir, mungkin nenek moyangnya yang pindah ke Desa Kenanga dulu telah mengambil keputusan yang tepat! Tempat ini benar-benar buruk!Rafa masuk ke toko di seberang. Karena telah belajar dari pengalaman, kali ini dia l

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 97

    Mata Rafa juga sedikit panas, tetapi dia menahan air matanya. Dia menghapus air mata Miko dan berucap, "Kak, tenang saja. Aku tahu tanggung jawabku, aku nggak akan mengecewakanmu."Miko mengangguk, lalu perlahan melepaskan pelukannya. Dia melihat Rafa pergi semakin jauh.Di timur, langit mulai memancarkan sinar fajar. Rafa berjalan cepat melewati jalan setapak menuju Kota Muara. Sesampainya di sana, dia menyewa sebuah mobil van dan langsung menuju stasiun kereta api kota kabupaten.Lima jam perjalanan dengan kereta api. Akhirnya sebelum tengah hari, Rafa tiba di Kota Obat, pusat perdagangan herbal terbesar!Di kota kecil biasa, paling-paling hanya ada satu atau dua toko obat. Di kota besar, mungkin hanya ada satu pasar obat. Namun di sini, bukan sekadar pasar, melainkan kota khusus untuk obat!Dari namanya saja, sudah terasa perbedaan skala yang luar biasa. Sebagai keturunan langsung dari tabib legendaris, Rafa merasa bersemangat.Dia berjalan sambil mengamati suasana hingga akhirnya t

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 96

    Rafa sungguh kehabisan kata-kata. Dia mengayunkan tangannya, lalu jarum peraknya langsung menusuk punggung tangan Arumi."Aaaahhh ...!" Arumi menjerit kesakitan.Sebelum Arumi pergi, beberapa warga desa mulai berdatangan. Sorenya, semakin banyak yang datang berobat. Ini karena makan daging kerbau, lalu mengalami panas dalam.Rafa akhirnya menjual habis semua ramuan herbalnya untuk meredakan panas dalam, juga semua persediaan pil.Inilah yang disebut efek domino. Kerbau tua milik Rahman mati, membuat seluruh desa menderita panas dalam, tetapi justru memberi Rafa keuntungan kecil.Satu pasien bisa menghasilkan 20 ribu, jadi totalnya dia berhasil mendapatkan 400 ribu. Uang receh tetap uang!Saat makan malam, Rafa berdiskusi dengan Miko. "Kak, besok aku harus pergi jauh. Aku mau ke Kota Obat, kampung halamanku, untuk beli beberapa bahan obat."Dia harus menjual batu empedu kerbau itu, menukarnya dengan uang, lalu membeli obat untuk menyembuhkan Diah."Kampung halaman?" Miko tidak mengerti,

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 95

    "Kak, ini klinik. Kita ... bicarakan soal pengobatan." Rafa mulai berkeringat. Matanya menghindar, tidak berani menatap wajah Hana. "Sebenarnya ... apa yang sakit?"Baru saat itu, Hana melepaskan tangannya dari pipi dan mendekatkan wajahnya. "Gigiku sakit."Rafa mengangguk, mengambil senter untuk memeriksa mulut Hana, lalu meraba nadinya. "Nggak apa-apa, Kak. Kamu cuma kepanasan ....""Kepanasan?" Hana tersenyum. "Ya, aku memang kepanasan. Bisa nggak kamu bantu meredakan?""Ten ... tentu bisa ...." Rafa langsung gugup dan terbata-bata. "Kak, kamu makan apa dua hari ini?""Apa lagi? Ya daging kerbau yang kamu kasih 1,5 kilo kemarin, karena kamu kasihan padaku," sahut Hana dengan nada penuh keluhan."Daging kerbau?" Rafa langsung paham.Di cuaca panas seperti ini, makan daging kerbau berlebihan memang bisa menyebabkan panas dalam. Niat baiknya justru membawa masalah untuk diri sendiri."Nggak apa-apa. Aku akan bantu kamu redain panasnya .... Eh, maksudku, aku akan racik obat untukmu." Ka

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 94

    Setelah mendengar analisis Rafa yang begitu logis dan masuk akal, Miko akhirnya merasa tenang. Namun, dia masih bertanya, "Rafa, apa Pak Dika ... benar-benar akan mati?""Kak, coba ingat-ingat. Aku sudah menangani pasien selama setengah bulan ini, apa pernah aku salah mendiagnosis?" tanya Rafa balik."Memang benar yang kamu katakan ...." Miko mengangguk, lalu menghela napas. "Sayangnya, Pak Dika nggak mau mendengarkanmu. Satu nyawa hilang begitu saja."Rafa hanya mengangkat bahunya. Kalau orang memang ingin mati, apa yang bisa dia lakukan?Setelah kembali ke kamar, Rafa mengambil batu empedu yang didapatkannya. Di mana dia bisa menjual barang berharga ini?Di kota kecil? Tidak mungkin. Tempat kecil seperti itu tidak akan ada orang yang bisa menilai harganya. Selain itu, jika kabar ini bocor dan Rahman tahu, pasti akan muncul masalah lagi.Ke Kota Obat saja! Tanah kelahiran leluhur mereka, sang tabib legendaris, pusat perdagangan obat tradisional terbesar di negara ini!Namun, bukan sek

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 93

    "Baik, baik." Dika mengangguk dan melambaikan tangan ke sekeliling. "Hari ini, dengan kesaksian warga desa, Pak Galih, serta Pak Hansen, aku bertaruh dengan Rafa. Hari ini aku biarkan dia lolos, tapi 3 hari kemudian, aku akan datang lagi. Jangan sampai ada yang bilang aku menindasnya!"Galih, Hansen, dan warga desa terdiam menatap Rafa. Taruhan ini terlalu besar!Rafa juga melambaikan tangan dan berseru dengan lantang, "Hari ini aku bertaruh dengan Pak Dika! Tiga hari kemudian, kalau beliau masih bisa muncul dengan sehat di depan rumahku, aku sendiri yang akan membakar klinikku dan menyerahkannya kepadanya!"Kerumunan mulai berbisik-bisik.Rafa menatap Dika dan berkata, "Pak Dika, aku sarankan kamu jangan mempertaruhkan nyawa dalam taruhan ini. Aku akan memberimu resep. Pergilah ke rumah sakit di ibu kota provinsi, jalani operasi. Gunakan ramuan herbal coptis chinensis dan houpoea officinalis, seduh dengan teh, dan minum setiap hari. Itu bisa menyelamatkan nyawamu.""Terima kasih! Tiga

  • Dokter Sakti Rebutan Gadis Desa   Bab 92

    "Aku beli untuk dimakan sendiri, boleh 'kan? Badanku kurang sehat, jadi aku memang suka makan obat."Rafa tersenyum, lalu meneruskan, "Kamu menuduhku membuka klinik, mengobati pasien, mencari uang secara ilegal. Silakan tunjukkan buktinya. Siapa yang kuobati? Aku menerima uang dari siapa? Tolong tunjukkan bukti itu."Kemudian, Rafa menoleh ke arah warga desa yang berkumpul di depan pintu dan melambaikan tangan. "Saudara-saudara sekalian, apa ada di antara kalian yang pernah sakit dan mencariku untuk berobat?"Orang-orang tertawa serempak. "Semua penduduk Desa Kenanga sehat walafiat!""Kamu ...!" Dika terdiam, tidak bisa membalas. Dia menoleh ke Hansen dan membentak, "Pak Hansen! Kemari dan bersaksi! Ini urusan desa kalian!"Hansen menggaruk kepalanya dan mendekat. "Bersaksi gimana?""Bersaksi kalau Rafa menghasilkan uang dengan mengobati orang!""Oh, oh ...." Hansen berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Kalau soal mengobati orang, memang ada. Ayahnya dulu seorang tabib, jadi meningga

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status