Astaga, mau bunuh sekeluarganya?Tanpa ragu, Rafa langsung mengayunkan tangan dan menebas tengkuk Angga dengan satu pukulan tajam!Bruk!Angga langsung terjatuh di lantai dan tidak bergerak sama sekali. Rafa melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang di sekitar. Lalu, dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Jarum ini bisa menyelamatkan orang, tapi juga bisa membuat orang menderita.Syut syut syut!Dalam hitungan detik, Rafa sudah menusukkan 12 jarum ke berbagai titik di tubuh Angga. Dua belas jarum ini menutup sebagian besar meridian di dalam tubuh Angga. Dalam sepuluh hari ke depan, Angga akan merasakan penderitaan yang luar biasa.Melihat Angga terkapar tak berdaya, Rafa langsung berbalik dan pergi.Setibanya di rumah, Rafa langsung masuk ke kamarnya untuk meletakkan barang-barang yang dibelinya, lalu mengambil mainan dan bebek panggang sebelum menuju ke belakang rumah.Di sana, Miko sedang bermain dengan Alice dan membuat gadis kecil itu tertawa riang.Tok! Tok!"Kak!" Rafa mende
"Makanan apa? Enak banget ya?" tanya Rafa dengan santai."Tentu saja enak. Nanti malam datang ke rumahku, kamu akan tahu sendiri," jawab Arumi sambil tersenyum.Meski Rafa agak bodoh, penampilannya cukup tampan dan membuat orang terpesona. Jika bukan karena mentalnya yang terbelakang, dengan penampilannya ini, pasti ada banyak wanita yang ingin menikahinya meski dia miskin."Baiklah. Kakak jangan bohongi aku ya." Rafa menghela napas, lalu mengambil tongkat bambu pemikul.Sial benar hari ini, baru keluar rumah sudah kena kerja rodi.Di jalan setapak yang sunyi, hanya terdengar suara tongkat bambu berderit pelan. Suaranya sangat berirama, seperti ....Wajah Arumi tiba-tiba memerah karena teringat sesuatu.Rafa menoleh sekilas dan bertanya dengan heran, "Kak Arumi, kenapa wajahmu merah sekali? Kamu nggak sakit, 'kan?""Aku nggak sakit, dasar bodoh."Arumi menjawab sambil tertawa, "Suara bambu ini ... mirip suara ranjang kayu di rumahku."Rafa mengernyit heran. "Ranjang kayu di rumahku jug
"Kak, aku nggak ngomong sembarangan."Rafa menjelaskan, "Aku lagi melakukan pemeriksaan, Kak. Jangan malu, di rumah sakit besar juga ada dokter pria di bagian ginekologi. Siklus menstruasimu nggak teratur, dan setiap kali datang bulan, darahnya baru bersih setelah tujuh atau delapan hari. Ini adalah kondisi yang perlu ditangani."Miko terdiam sejenak. "Jadi, kamu benar-benar bisa mengobati orang?" Apa yang baru saja dikatakan Rafa, semuanya memang akurat."Tentu saja bisa."Rafa mengeluarkan jarum peraknya. "Kalau Kakak masih ragu, kita bisa coba sesuatu lagi. Aku cuma butuh dua jarum untuk membuat tanganmu nggak bisa diangkat."Miko berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Kalau kamu benar-benar punya kemampuan seperti itu, aku pasti akan mendukungmu membuka klinik.""Baiklah," kata Rafa. "Tapi Kakak harus lepas jaket luarnya dulu.""Kenapa harus lepas baju?" Miko kembali tersipu, wajahnya memerah."Kalau lepas pakaian, aku lebih mudah nemukan titik akupunkturnya.""Hm, baiklah kalau begitu
Rafa awalnya mengira ini adalah pertanyaan serius, sehingga dia berkata dengan percaya diri, "Tentu saja bisa! Tapi aku harus lihat dulu, apakah itu wasir internal, eksternal, atau kombinasi."Arumi langsung tertawa keras, "Kak Vina, ayo tunjukkan wasirmu sama Rafa!""Sembuhkan saja dulu mulut busukmu itu!" maki Vina yang sama kejamnya."Tapi kalau Rafa benar-benar bisa menyembuhkannya, aku juga nggak akan keberatan. Dua puluh tahun yang lalu, waktu Rafa baru lahir, ibunya kekurangan ASI dan membawanya ke rumahku untuk minta susu! Jadi, dalam pandanganku, Rafa ini seperti anakku sendiri!"Rafa langsung cemberut dan memotong canda gurau beberapa orang itu, "Kalau mau berobat, lakukan saja. Jangan bahas masa lalu!""Aku cuma minum beberapa tetes susu waktu kecil. Nggak berarti aku harus jadi anakmu sekarang, 'kan? Nggak adil!""Wih, anak bodoh ini sudah tahu malu sekarang," ledek Vina sambil tertawa.Rafa sebenarnya ingin terus membahas soal wasir, siapa tahu bisa menarik pelanggan dan m
Arumi menarik Rafa lebih dalam ke ladang jagung. Dia menekan bahu Rafa, memaksanya berjongkok, lalu berbisik di telinganya, "Kalau si tua bangka itu lihat kita, pasti dia akan nuduh kita melakukan hal yang nggak-nggak.""Kamu tahu sendiri, 'kan? Si tua bangka ini berengsek sekali. Dia punya niat buruk padaku. Setiap hari dia selalu cari kesempatan untuk menjebakku!"Rafa tiba-tiba teringat sesuatu. Suami Arumi memang selalu bekerja di luar kota dan jarang pulang. Sementara itu, ayah mertuanya pernah punya niat jahat terhadapnya.Tahun lalu, Hendru bahkan pernah menyelinap di bawah ranjangnya saat dia mandi. Begitu Arumi keluar, pria tua itu langsung menerkamnya dan ingin melakukan hal tidak senonoh.Tapi siapa sangka, Arumi bukan tipe perempuan yang mudah ditindas. Dia berhasil melawan, melepaskan diri, lalu menghajarnya habis-habisan dengan sandal. Bahkan, dia sempat mengejar pria tua itu keliling desa sehingga membuat Hendru dipermalukan habis-habisan.Insiden ini menjadi bahan gosip
Mega menjadi tidak sabar dan mulai memberi isyarat dengan tangan di dadanya."Itu lho, yang terbuat dari plastik, ada corong yang ditempelkan ke dada, lalu ada bola kecil di belakangnya. Kalau dipencet, udara di dalamnya keluar, menciptakan tekanan udara untuk menyedot ASI ...."Rafa akhirnya mengerti. "Oh, maksudmu pompa ASI? Kenapa nggak bilang dari tadi?""Iya, itu dia!"Mega terkekeh. "Ternyata otakmu nggak terlalu bodoh juga, Rafa.""Kamu juga nggak mau menikah sama aku, terus kenapa peduli aku bodoh atau nggak?"Rafa bergumam sambil menggendong Alice dan masuk ke kamar kakak iparnya. "Sepertinya kakak iparku pernah pakai benda itu. Aku coba cari dulu."Mega mengikutinya masuk, lalu meninju lengan Rafa pelan. "Kalau kamu nggak bodoh, aku pasti mau nikah sama kamu!"Serius, nih?Rafa langsung berbalik, menatap mata Mega dengan serius. "Mega, kamu serius?""Tentu saja! Aku selalu menepati janji."Mega membusungkan dadanya dengan percaya diri, lalu menyeringai. "Tapi masalahnya, kamu
Rafa menarik tangannya kembali dan tersenyum santai. "Aku mengerti, Kak Hana. Kamu bisa kembali sekarang."Hana tertegun. Dia tidak menyangka Rafa bisa setenang ini! Namun, setelah berpikir sejenak, dia menyadari sesuatu.'Benar juga. Dia kan bodoh. Mana mungkin dia mengerti betapa seriusnya masalah ini?'Namun, Miko benar-benar panik. Dia buru-buru berkata pada Hana, "Aku mengerti, Hana. Terima kasih sudah datang ngasih tahu kami. Kamu pergi saja dulu, aku akan suruh Rafa bersembunyi atau cari cara lain.""Baiklah, aku pergi dulu. Kalian benar-benar harus berhati-hati. Ini bukan main-main ...."Hana melangkah pergi dengan sesekali menoleh ke belakang. Air matanya masih mengalir deras.Begitu Hana pergi, Miko segera mengambil keputusan. "Rafa, kamu segera pergi ke gunung dan sembunyi di sana. Aku pergi cari Pak Hansen dulu, kalau itu nggak berhasil, aku akan ke kota untuk melapor ke polisi. Aku nggak percaya kalau hukum sudah nggak berlaku di desa ini!"Meskipun Miko terlihat tenang da
Karena tidak tinggal di desa yang sama, Karno dan Tono tidak mengenali Rafa.Melihat Rafa, Hana ingin memperingatkannya untuk segera kabur. Namun, karena mulutnya masih dibungkam, dia hanya bisa menggelengkan kepala dengan panik dan berusaha memberi isyarat."Lepaskan Kak Hana!" Rafa menunjuk ke arah Karno."Kak Hana?" Tono menatap Rafa dengan sinis, lalu terkekeh. "Bocah, aku tadi tanya siapa kamu, tapi kamu belum jawab.""Aku adalah si bodoh yang kalian cari." Rafa menatap Tono, lalu bertanya, "Katanya kamu mau habisi aku, ya?""Astaga! Bocah ini malah datang sendiri?"Tono dan Karno saling berpandangan dan terkejut sejenak, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Ini benar-benar kesempatan emas. Seperti mangsa yang mengantarkan diri pada predator!Sekarang, mereka bisa menghajar Rafa habis-habisan, lalu memutar balik cerita dan mengatakan bahwa Rafa yang duluan menerobos ke rumah Angga untuk membuat keributan.Rafa tertawa lugu. "Iya, kalian mau cari aku, tentu saja aku harus datang
Wanita itu mengira Rafa tidak puas, jadi berkata dengan nada menyesal, "Aku tahu kamu mungkin kurang puas, tapi aku cuma bisa kasih segitu. Tapi, aku bisa menambahkan 20 juta sebagai tanda terima kasih karena sudah membantuku tadi.""Nggak, nggak ... aku sangat puas." Rafa berbicara jujur. Dia tersenyum dan meneruskan, "Dalam bisnis, memang harus begitu, harus adil. Soal uang terima kasih, aku nggak bisa terima. Aku bantu bukan karena uang.""Jarang sekali ada orang baik sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Baiklah, aku antar kamu ke pasar, biar aku langsung kasih uangnya."Mobil pun melaju menuju pasar obat tradisional."Namaku Karina. Kamu bisa panggil aku Kak Karina." Sambil menyetir, wanita itu bertanya, "Siapa namamu? Dari mana asalmu?""Aku Rafa, dari Desa Kenanga.""Oh, oh ...." Karina mengambil sebuah kartu nama dan tersenyum. "Kalau nanti kamu datang ke kota ini lagi, hubungi saja aku kalau butuh bantuan. Mau jual atau beli obat, aku bisa bantu. Aku jamin kamu bisa jual dengan h
Perampok yang satunya marah besar! Dia mengayunkan kunci inggrisnya ke arah kepala Rafa!"Matilah!" Rafa dengan sigap mengayunkan ranselnya, memukul kunci inggris itu hingga terlempar. Kemudian, dia menyusul dengan satu tendangan tepat ke perut perampok itu!"Aaaarrgh ... ughhh ...." Perampok kedua langsung jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi, keringat bercucuran."Berani-beraninya kalian menindas wanita!" Rafa masih dipenuhi amarah. Dia kembali melayangkan tendangan bertubi-tubi, membuat wajah kedua perampok itu penuh luka lebam.Wanita yang memakai rok pendek itu ketakutan. Dia bergegas bangkit dan berteriak cemas, "Dik, cukup! Kalau terus dipukul, mereka bisa mati!"Rafa baru menghentikan aksinya. Dua perampok itu merangkak ke mobil mereka dengan tubuh penuh darah. Dengan sempoyongan, mereka masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu kabur."Fiuh ...." Wanita itu menghela napas lega. Dia merapikan rambut dan pakaiannya, lalu mengangguk ke arah Rafa. "Terima kasih banyak ya.""Sama-sama.
"Ke pemandian ... bisa lihat apa?" Rafa bingung."Lihat apa? Lihat burung! Di pemandian banyak burung, silakan lihat sepuasnya!" sahut pria tua itu dengan ketus."Buset! Begini caramu berdagang?" Rafa murka, menatap tajam pria itu. "Ya sudah! Aku nggak akan pergi ke pemandian hari ini. Aku akan tetap di sini, melihat burung tuamu!"Tiga pegawai wanita di toko itu saling melirik dan menahan tawa. Mereka memberi isyarat agar Rafa segera pergi."Sial, pagi-pagi sudah bertemu iblis. Sial sekali!" Rafa memelototi pria tua itu, menggerutu sambil berjalan pergi.Awalnya, Rafa masih merasa ada kedekatan dengan tanah leluhurnya. Namun, hari ini dia bukan hanya diincar pencuri, tetapi juga bertemu dengan kakek menyebalkan ini. Perasaan hangat itu lenyap seketika.Dia bahkan mulai berpikir, mungkin nenek moyangnya yang pindah ke Desa Kenanga dulu telah mengambil keputusan yang tepat! Tempat ini benar-benar buruk!Rafa masuk ke toko di seberang. Karena telah belajar dari pengalaman, kali ini dia l
Mata Rafa juga sedikit panas, tetapi dia menahan air matanya. Dia menghapus air mata Miko dan berucap, "Kak, tenang saja. Aku tahu tanggung jawabku, aku nggak akan mengecewakanmu."Miko mengangguk, lalu perlahan melepaskan pelukannya. Dia melihat Rafa pergi semakin jauh.Di timur, langit mulai memancarkan sinar fajar. Rafa berjalan cepat melewati jalan setapak menuju Kota Muara. Sesampainya di sana, dia menyewa sebuah mobil van dan langsung menuju stasiun kereta api kota kabupaten.Lima jam perjalanan dengan kereta api. Akhirnya sebelum tengah hari, Rafa tiba di Kota Obat, pusat perdagangan herbal terbesar!Di kota kecil biasa, paling-paling hanya ada satu atau dua toko obat. Di kota besar, mungkin hanya ada satu pasar obat. Namun di sini, bukan sekadar pasar, melainkan kota khusus untuk obat!Dari namanya saja, sudah terasa perbedaan skala yang luar biasa. Sebagai keturunan langsung dari tabib legendaris, Rafa merasa bersemangat.Dia berjalan sambil mengamati suasana hingga akhirnya t
Rafa sungguh kehabisan kata-kata. Dia mengayunkan tangannya, lalu jarum peraknya langsung menusuk punggung tangan Arumi."Aaaahhh ...!" Arumi menjerit kesakitan.Sebelum Arumi pergi, beberapa warga desa mulai berdatangan. Sorenya, semakin banyak yang datang berobat. Ini karena makan daging kerbau, lalu mengalami panas dalam.Rafa akhirnya menjual habis semua ramuan herbalnya untuk meredakan panas dalam, juga semua persediaan pil.Inilah yang disebut efek domino. Kerbau tua milik Rahman mati, membuat seluruh desa menderita panas dalam, tetapi justru memberi Rafa keuntungan kecil.Satu pasien bisa menghasilkan 20 ribu, jadi totalnya dia berhasil mendapatkan 400 ribu. Uang receh tetap uang!Saat makan malam, Rafa berdiskusi dengan Miko. "Kak, besok aku harus pergi jauh. Aku mau ke Kota Obat, kampung halamanku, untuk beli beberapa bahan obat."Dia harus menjual batu empedu kerbau itu, menukarnya dengan uang, lalu membeli obat untuk menyembuhkan Diah."Kampung halaman?" Miko tidak mengerti,
"Kak, ini klinik. Kita ... bicarakan soal pengobatan." Rafa mulai berkeringat. Matanya menghindar, tidak berani menatap wajah Hana. "Sebenarnya ... apa yang sakit?"Baru saat itu, Hana melepaskan tangannya dari pipi dan mendekatkan wajahnya. "Gigiku sakit."Rafa mengangguk, mengambil senter untuk memeriksa mulut Hana, lalu meraba nadinya. "Nggak apa-apa, Kak. Kamu cuma kepanasan ....""Kepanasan?" Hana tersenyum. "Ya, aku memang kepanasan. Bisa nggak kamu bantu meredakan?""Ten ... tentu bisa ...." Rafa langsung gugup dan terbata-bata. "Kak, kamu makan apa dua hari ini?""Apa lagi? Ya daging kerbau yang kamu kasih 1,5 kilo kemarin, karena kamu kasihan padaku," sahut Hana dengan nada penuh keluhan."Daging kerbau?" Rafa langsung paham.Di cuaca panas seperti ini, makan daging kerbau berlebihan memang bisa menyebabkan panas dalam. Niat baiknya justru membawa masalah untuk diri sendiri."Nggak apa-apa. Aku akan bantu kamu redain panasnya .... Eh, maksudku, aku akan racik obat untukmu." Ka
Setelah mendengar analisis Rafa yang begitu logis dan masuk akal, Miko akhirnya merasa tenang. Namun, dia masih bertanya, "Rafa, apa Pak Dika ... benar-benar akan mati?""Kak, coba ingat-ingat. Aku sudah menangani pasien selama setengah bulan ini, apa pernah aku salah mendiagnosis?" tanya Rafa balik."Memang benar yang kamu katakan ...." Miko mengangguk, lalu menghela napas. "Sayangnya, Pak Dika nggak mau mendengarkanmu. Satu nyawa hilang begitu saja."Rafa hanya mengangkat bahunya. Kalau orang memang ingin mati, apa yang bisa dia lakukan?Setelah kembali ke kamar, Rafa mengambil batu empedu yang didapatkannya. Di mana dia bisa menjual barang berharga ini?Di kota kecil? Tidak mungkin. Tempat kecil seperti itu tidak akan ada orang yang bisa menilai harganya. Selain itu, jika kabar ini bocor dan Rahman tahu, pasti akan muncul masalah lagi.Ke Kota Obat saja! Tanah kelahiran leluhur mereka, sang tabib legendaris, pusat perdagangan obat tradisional terbesar di negara ini!Namun, bukan sek
"Baik, baik." Dika mengangguk dan melambaikan tangan ke sekeliling. "Hari ini, dengan kesaksian warga desa, Pak Galih, serta Pak Hansen, aku bertaruh dengan Rafa. Hari ini aku biarkan dia lolos, tapi 3 hari kemudian, aku akan datang lagi. Jangan sampai ada yang bilang aku menindasnya!"Galih, Hansen, dan warga desa terdiam menatap Rafa. Taruhan ini terlalu besar!Rafa juga melambaikan tangan dan berseru dengan lantang, "Hari ini aku bertaruh dengan Pak Dika! Tiga hari kemudian, kalau beliau masih bisa muncul dengan sehat di depan rumahku, aku sendiri yang akan membakar klinikku dan menyerahkannya kepadanya!"Kerumunan mulai berbisik-bisik.Rafa menatap Dika dan berkata, "Pak Dika, aku sarankan kamu jangan mempertaruhkan nyawa dalam taruhan ini. Aku akan memberimu resep. Pergilah ke rumah sakit di ibu kota provinsi, jalani operasi. Gunakan ramuan herbal coptis chinensis dan houpoea officinalis, seduh dengan teh, dan minum setiap hari. Itu bisa menyelamatkan nyawamu.""Terima kasih! Tiga
"Aku beli untuk dimakan sendiri, boleh 'kan? Badanku kurang sehat, jadi aku memang suka makan obat."Rafa tersenyum, lalu meneruskan, "Kamu menuduhku membuka klinik, mengobati pasien, mencari uang secara ilegal. Silakan tunjukkan buktinya. Siapa yang kuobati? Aku menerima uang dari siapa? Tolong tunjukkan bukti itu."Kemudian, Rafa menoleh ke arah warga desa yang berkumpul di depan pintu dan melambaikan tangan. "Saudara-saudara sekalian, apa ada di antara kalian yang pernah sakit dan mencariku untuk berobat?"Orang-orang tertawa serempak. "Semua penduduk Desa Kenanga sehat walafiat!""Kamu ...!" Dika terdiam, tidak bisa membalas. Dia menoleh ke Hansen dan membentak, "Pak Hansen! Kemari dan bersaksi! Ini urusan desa kalian!"Hansen menggaruk kepalanya dan mendekat. "Bersaksi gimana?""Bersaksi kalau Rafa menghasilkan uang dengan mengobati orang!""Oh, oh ...." Hansen berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Kalau soal mengobati orang, memang ada. Ayahnya dulu seorang tabib, jadi meningga