Arian melirik Nadia yang masih berdiri dengan salah tingkah, kakinya terus saja bergerak-gerak gelisah. Tatapannya juga kosong, menandakan kalau wanita itu tengah melamun. "Hei, kenapa kamu berdiri terus ?" Tanya Arian membuat Nadia terjengkat kaget."Eh, i-iya tu... Emm, mas, mas." Ralatnya berkali-kali. Nadia pun duduk dengan canggung di tepi tempat tidur yang memang berhadapan dengan sofa. "Nadia, aku mendengar sesuatu.""Hem ?" Nadia langsung mendongak dan memasang telinganya. "Tentang ibu dan saudari tirimu itu, jangan kamu mudah percaya. Aku yakin mereka mempunyai suatu niat buruk padamu." "Kenapa anda berfikiran seperti itu ?" Tanyanya terlihat keberatan dengan pendapat suaminya. "Ya karena manusia seperti mereka itu banyak, dan semuanya juga saya sudah hafal bagaimana taktaiknya. Dan termasuk dengan apa yang merka lakukan sekarang sama kamu, mereka itu hanya ingin memanfaatkanmu." Nadia tak bersuara lagi, tapi dari wajahnya dia terlihat sangat keberatan dengan apa yang d
Hari-hari berlalu, kepadatan pekerjaan membuat Nadia dan Arian masih saja dalam mode dingin karena keduanya jarang sekali berinteraksi. Nadia selalu pulang sore hari, sedangkan Arian pukul tujuh malam baru pulang, dan kadang lebih malam. Hal itu membuat kerenggangan antara keduanya jadi semakin berlarut-larut. Berkali-kali Arian berniat untuk mengajak Nadia berbicara, tetapi selalu saja ada halangan. Entah Nadia yang sudah terlelap lebih awal, atau Nadia yang terlihat sibuk mengecek laporan toko, atau malah dirinya yang terlalu sibuk. Arian memang tipe ormag yang tidak bisa membiarkan pekerjaan, sebelum pekerjaan itu selesai dia selalu menyelesaikannya di rumah sebelum tertidur. Pagi hari, Arian yang baru membalikkan badannya menghadap ke tempat Nadia berbaring tak sengaja menyenggol tubuh istrinya. Dia langsung terbangun, merasa aneh karena Nadia ternyata masih terlelap, biasanya istrinya itu selalu sudah meninggalkannya di saat Arian baru membuka mata. Melihat jam sudah menunjukka
Matahari merangkak semakin tinggi, seperti biasa, Arian akan membawakan sarapan terlebih dulu untuk Nadia sebelum dia berangkat ke kantor. Namun, kali ini Nadia menahannya saat Arian akan meninggalkan kamar."Mas..." Ucapnya dengan lesuArian yang mendengar itu langsung menoleh tanpa mengatakan apapun."Biar aku ikut kebawah saja sekarang." Ucapnya yang sudah turun dari trmpat tidur. "Tidak perlu, saya akan bawakan sarapannya kesini. Kamu tunggu saja disini.""Tapi, saya ingin sekalian ke taman, mas. Saya ingin menghirup udara segar, bosan saya di kamar terus berhari-hari." Ucapnya dengan memelas.Arian tersenyum kecil sambil memalingkan wajahnya melihat itu. "Baiklah, ayo." Arian mendekati Nadia, dia sudah siap memapah sang istri. Namun, Nadia menggerakkan bahunya seperti tidak nyaman."Emmm, mas ? Saya bisa sendiri." Ucapnya sambil menepis lembut lengan Arian di bahunya. "Benarkah ? Tapi saya akan terlihat seperti suami yang tidak berperasaan jika berjalan sendirian meninggalkan
Di sepanjang perjalanan, Tris sedikit heran karena Nadia tidsk terdengar meracau lagi. Dia melirik nyonyanya yang duduk di kursi belakang lewat kaca spion. Tris sedikit cemas saat melihat Nadia menyandarkan kepalanya pada jendela sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Nyonya, anda tidak papa kan ?" Tanyanya sambil sesekali melirik Nadia lewat kaca spion. Nadia tak langsung menjawab, dia hanya melambaikan telapak tangannya yang sebelah lagi untuk menjawab pertanyaan Tris.Walau Nadia memberi isyarat bahwa dia tidak kenapa-napa, tapi Tris tetap merasa cemas. Untung saja letak tokonya sudah sangat dekat. Mobil pun langsung memasuki lapangan lebar yang terletak di samping toko. Nadia langsung turun dengan terburu-buru dan berlari menuju semak-semak yang cukup tinggi di belakang toko. Tris yang melihat nyonyanya sedang berjongkok di sana pun langsung berlari menyusul. Ternyata di sana ada aliran air kecil yang hampir tertutup sempurna oleh rerumputan.Huweeek huweekkNadia berk
Alex dan Tris sedang menunggu hasil pemeriksaan dokter dengan tak sabar. "Tuan, duduk dulu saja." Ucap Tris"Ah, tidak perlu." Jawab Alex. Dia pun terus saja mondar mandir kesana kemari, membuat Tris terkekeh melihat tuan besarnya yang terlihat bagaikan seorang ayah yang menunggu kelahiran anaknya. Sebegitunya tuan, mungkin karena saking sudah inginnya tuan punya cucu. Gumam Tris dalam hati. CeklekPintu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat anggun dan berwibawa dengan jas putihnya, dialah dokter Lia. "Dokter, bagaimana keadaan cucu saya ?" Tanya Alex yang langsung menodong dokter Lia dengan pertanyaan begitu dia keluar dari kamar, tentu saja hal itu membuatnya terkejut."Tenang, tuan. Cucu anda baik-baik saja." Ucap dokter Lia setelah mengelus dadanya. "Cucu anda hanya perlu banyak istirahat dulu. Jangan dulu berkendara, apalagi jauh-jauh. Dan, makannya harus teratur. Itu saja, saya sudah tinggalkan resep di dalam, nanti tinggal menebusnya ke apotik
"Res, masa ibu..." Nadia belum meneruskan ucapannya saja, Resti sudah mendengus kesal. Dia mengusap wajahnya dengan kesal dan kemudian berkacak pinggang."Jadi, maksud kamu itu aku yang nyuri uang toko ?" Tanya Resti membuat Nadia langsung mendongak dan menggeleng."Bukan begitu, Res.""Nad, aku tau kamu itu sayang sama itu si ibu tiri. Tapi, mereka belum tentu mempunyai perasaan yang sama, sama kamu. Dan lagi, kalau saja memang aku sama Fani atau aku sendiri yang ngambil uang toko, udah aja kali aku gak perlu kerja lagi hari ini. Mendingan kabur sama anak aku yang jauh bawa uang itu. Tapi ini enggak, dan malah si ibu tiri sama anaknya yang ngilang. Udah ah, terserah kamu. Kalau bahkan kamu lapor polisi pun aku gak takut, bahkan aku bakalan dukung kamu." Resti kemudian meninggalkan Nadia yang masuh termenung di kursinya dan melanjutkan membuat kue dengan resep yang memang sudah tertera di dinding dapur. Resti sangat kecewa dengan Nadia. Iya, memang dia tau sifat Nadia yang kelewat p
Nadia datang ke toko setelah mendapat telpon lagi dari Resti dengan suara yang sangat heboh. Semua itu karena ternyata uang yang dia dan Fani sembunyikan kembali hilang, padahal dia sudah yakin sekali kalau tidak akan ada pencuri yang mengetahui keberadaan uang itu. Nadia tetap berusaha tenang, toko sengaja belum di buka karena mereka ingin menuntaskan masalah ini terlebih dulu."Kamu menyimpannya dimana, Res ?" Tanya Nadia dengan dingin. "Di tong sampah." Ucapnya dengan sedikit rasa gugup. Nadia hari ini terlihat berbeda sejak pertama kali datang. Dia terlihat lebih kalem, tapi malah membuatnya memiliki aura yang mengintimidasi."Kamu menyimpannya atau membuangnya ?" Tanya Nadia semakin membuat Resti dan Fani semakin menunduk."Y-ya... Di simpen lah, Nad. Aku rencananya mau ambil lagi pagi ini. Tapi, keburu di bawa sama pencurinya." Ucapnya dengan wajah memelas.Nadia Berjalan mendekati Tris, dia membawa laptopnya dan berjalan memasuki toko. "Res, Fan, sini !" Ucap Nadia pada ked
Hari ini dia harus memberikan peringatan yang tegas untuk ibu serta saudari tirinya. Ah, padahal mereka nmhanyalah orang lain yang kebetulan pernah menjalin hubungan dengan almarhum ayahnya. Dan sekarang ? Setelah ayahnya meninggal bukankah mereka kembali menjadi orang asing ? Seharusnya Nadia menyadari hal itu sejak dulu, namun sayang, kebodohan sepertinya terlalu menguasai hatinya. "Kek, Nadia pergi dulu ke toko." Ucap Nadia pada sang kakek. Sedangkan Arian sudah berangkat bekerja sejak tadi pagi. "Ya, hati-hati." Alex mengelus pucuk kepala Nadia sejenak seambil tersenyum. Nadia pun membalas senyuman itu dan kemudian berjalan menuju teras. "Tris !" Nadia sedikit teriak sambil melambaikan tangannya pada salah seorang pria yang sedang berkumpul di pos satpam.Merasa namanya yang di panggil, pria itu berjalan dengan sedikit berlari supaya nyonyanya tidak menunggu lama. "Ya, nyonya ? Anda mau ke toko ?""Ya, seperti biasa. Tidak ada tujuan lain kalau aku keluar rumah." Ucapnya samb