Arian sudah keluar dari kamar mandi, kini giliran Nadia yang harus membersihkan tubuhnya dari air hujan yang sempat mengguyurnya beberapa saat lalu. Arian duduk di sofa, dia memesan beberapa cemilan dan juga minuman hangat pada petugas resort. Sambil menunggu pesanan tiba, Arian membuka ponselnya dan mendapatkan beberapa pesan. Hampir semuanya tentang pekerjaan, Arian sudah meminta sekretarisnya untuk menghendel pekerjaan selama dia berada disini. Gerakan jempolnya terhenti saat mendapati panggilan tak terjawab dari kakeknya. Aahh... Arian sampai lupa tidak memberitahukan pada kakeknya kemana mereka pergi. Arian menekan tombol panggil, dan tak menunggu lama akhirnya panggilan tersambung. "Halo ?" "Halo, kek.""Jadi, kemana kamu membawa cucu menantuku ?" Tanya Alex to the poin. Arian mendesah pelan, tadi dia hanya menitipkan pesan pada Tris, untuk memberitahukan pada kakeknya bahwa dirinya akan pulang sedikit terlambat bersama Nadia. Namun, dia tidak mengatakan tujuannya dan kapan
"Loh, itukan si Nadia ?" Gumam wanita tersebut dalam hati. "Sayang, kamu kenapa ?" Tanya Dev, pria tampan yang bersama dengan Silvi. Dari penampilannya, Dev seperti pria kaya lainnya, keren, rapi, dan juga terawat, lagipula, jika saja Dev bukan pria ber-uang, mana mungkin Silvi akan mau berhubungan dengannya. "Eh, eem... Aku mau ke toilet dulu deh sayang. Sebentar, ya ? Kamu tunggu saja di mobil.""Baiklah, jangan lama." Silvi tersenyum, Dev pun berjalan menuju parkiran meninggalkan Silvi. Silvi ternyata juga berkencan dengan Dev di resort itu. Setelah hatinya hancur kemarin karena Arian yang ternyata suami Nadia, Silvi langsung pergi mencari kesenangan ke club langganannya, dan disanalah dia bertemu dengan Dev. Perlahan Silvi mengendap-endap untuk melihat pasangan tersebut semakin dekat. "Oh shit ! Iya itu mereka ! Jadi mereka emang suami istri ?" Silvi mengumpat sambil menatap tak suka ke arah mereka.Pasangan yang serasi, mereka terlihat begitu bahagia satu sama lain. Aura k
"Ini, inilah yang saya tadi ingin bicarakan sama kamu. Juli, dia tadi pagi masuk rumah sakit mendadak karena di temukan tak sadarkan diri di kamarnya. Tapi keadaannya sudah stabil tadi, makanya saya pergi bekerja. Tapi tadi, suster menelpon mengabari kondiri Juli yang kritis." "Ap-apa ?? Juli ?" Felix menjadi gugup. Raut kecemasan terlihat dengan jelas di wajahnya. "Saya ke rumah sakit dulu, permisi pak Arian, pak Felix." "Tunggu, pak ! Saya ikut !" Ucap Felix "Baiklah, ikuti saja mobil saya." Ucap Samsudin sambil sedikit berlari menuju keluar restoran.Felix dengan terburu-buru merogoh dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang pada Arian. "Pak Arian, saya mohon maaf sekali karena harus meninggalkan anda. Ini, saya yang bayar." "Tidak usah, pak Felix. Saya mengerti kok.""Tidak papa, anggap saja ini sebagai permintaan maaf saya karena tak jadi menemani anda makan siang, padahal saya yang ngajak tadi. Sudah ya, syaa tifak punya banyak waktu. Sekali lagi saya minta maaf, dan
Semua bapak-bapak di belakang Arian hendak melayangkan ledekannya lagi. Namun, pak penghulu dengan segera mengangkat sebelah tangannya, membuat mereka urung mendebat pembelaan Arian. "Jadi, tuan ini menghamili nona ini ?" Tanya penghulu menunjuk Arian dan Silvi bergantian. "Tidak !""Iya, pak !" Jawab Silvi dan Arian bersamaan. Arian menatap Silvi dengan bengis. Sungguh, dia sangat muak dengan wanita itu. "Pak, saya sama sekali tidak melakukannya. Demi allah ! Saya sudah punya istri, dan saya mencintai istri saya."Sambil menunduk, Silvi menyembunyikan bibirnya yang mencebik mendengar ucapan Arian."Haha, zaman sekarang mah udah punya istri, kek. Udah punya suami, kek. Kalau otaknya konslet tetep aja nyari mangsa lagi. Ya gak ?" Tanya salah seorang bapak-bapak itu yang di sambut dengan tawa dari yang lainnya. Arian berdiri, dia sudah cukup sabar menghadapi sikap so tau mereka."Itu menurut orang yang otaknya konslet. Tapi, saya tidak seperti itu. Saya masih normal, otak saya mas
Beberapa bulan berlalu, kehidupan mereka kini sudah sangat baik, tak ada lagi gangguan yang berarti. Bahkan, entah kenapa Silvi dan Leni pun tak pernah lagi dengan sengaja menunjukkan dirinya. Hanya pernah sesekali tak sengaja berpapasan, dan mereka bersikap seolah tak saling mengenal. Hanya, Nadia masih dapat melihat ketidak sukaan merrka dalam tatapannya. Kehamilan Nadia sudah memasuki usia ke 5 bulan, membuat perutnya kian membuncit. Dia juga kini di larang untuk ikut andil di toko, hanya sekedar keluar dan menyaksikan kesibukan karyawan-karyawannya yang sudsh bertambah. Resti yang bertanggung jawab mengurus segalanya. Ponsel Nadia berdering, wanita itu pun dengan cepat merogoh tasnya dan menempelkan ponsel itu di telinganya. "Ya, mas ?""Kamu masih di toko ?""Iya, mas. Kenapa memangnya ?""Cepat pulang, ya ? Kakek mengajak kita berkumpul di rumah. Ini mas juga sedang di jalan, mau pulang." "Oh, baiklah."Sambungan terputus. Nadia langsung mencari Tris untuk mengajaknya kembal
Di dalam bus yang begitu padat, penumpang sampai berdesak-desakan dalam memilih tempat. Di kursi paling kiri terdapat seorang gadis yang sedang tercenung, memisahkan diri dari keributan yang terjadi disana. Nadia, seorang gadis berusia 19 tahun. Dalam fikirannya terus berputar kejadian-kejadian yang baru beberapa jam dia alami di kampung halamannya. Dua hari lalu sang ayah meninggal, meninggalkannya bersama ibu dan saudari tirinya yang tak menyukainya. "Heh.. Anak sebatang kara kaya kamu gak bakalan ada yang mau mungut, udah jelek, gak ada keahlian sama sekali. Gak bisa hasilin duit." bentak sang ibu tiri. "Jangan pernah membantah apapun yang kami suruh, karena gak ada yang bakalan nolongin kamu disini." tambahnya lagi sembari melemparkan pakaian kotor ke wajah gadis malang itu. Sepeninggal ibu tirinya, Nadia mengepalkan tangannya dengan sorot mata yang tajam. Selama ayahnya hidup, mereka ternyata hanya berpura-pura menyayanginya. Mempunyai ibu tiri selama satu tahun, Nadia tak p
"Pak Haris ? Asisten pribadinya tuan Alex ?" tanya pria itu sambil emnatap Nadia dengan kening berkerut. Nadia yang mendengar jawaban pria itupun langsung berubah ekspresi, dia begitu senang ternyata pria ini benar-benar mengenal mendiang ayahnya dan tuan Alex seperti harapannya. "Iya, tuan. Tuan, bisakah anda mengantar saya ke rumah tuan Alex ? Saya sudah mencarinya dari siang, tapi belum ketemu juga." ucap Nadia dengan penuh permohonan. Lama pria itu tak membalas, namun kemudian pria itu pun menganggukkan kepalanya. "Baiklah, mari saya antar." ucap pria itu sambil berjalan mendahului Nadia ke sebuah mobil. Nadia tak menyimpan kecurigaan sama sekali pada pria itu, karena dia bertemu denfannya pun di mesjid yang pastinya pria itu pun pria baik-baik. Di sepanjang jalan, Nadia terus mebatap keluar jendela. Cahaya dari lampu-lampu kendaraan dan lampu jalan begitu berkerlap kerlip di sepanjang jalanan yang begitu ramai. Naina terkagum, tempatnya berada kini sangat jauh berbeda denga
Pagi hari, Nadia di panggil oleh pelayan untuk sarapan bersama.Nadia pun segera mengikuti langkah sang pelayan yang membawanya ke ruang makan yang begitu megah dengan meja yang panjang dan kursi-kursi yang begitu berjajar. Padahal penghuni rumah ini hanyalah sedikit.Atau mungkin di rumah ini para pelayan pun ikut makan bersama ?? Nadia tak mau repot-repot memikirkannya."Selamat pagi, tuan." ucap Nadia sambil menundukkan badannya begitu berada di dekat tuan Alex."Ah, Nadia. Ayo duduk, kita sarapan bersama." ucap sang tuan besar pada Nadia dengan ramah, tak seperti semalam.Nadia tersenyum canggung, dia bingung memilih kursi yang akan di dudukinya dan malah terus berdiri menatap kursi-kursi yang berjejer.Tuan Alex mengernyit menatap Nadia yang tak juga duduk."Kenapa, nak ? Ayo duduklah." ucapnya lagi."Emm... Maaf tuan, kursi yang kosong yang mana yah ? Saya takut menempati kursi milik orang lain." ucap Nadia dengan polosnya. Tuan Alex tersenyum, begitu juga dengan para pelayan y