Share

Diusir Dari Kampung, Dinikahi Sultan Tampan
Diusir Dari Kampung, Dinikahi Sultan Tampan
Author: UmmiNH

1. Perjalanan Ke Kota

Di dalam bus yang begitu padat, penumpang sampai berdesak-desakan dalam memilih tempat. Di kursi paling kiri terdapat seorang gadis yang sedang tercenung, memisahkan diri dari keributan yang terjadi disana. Nadia, seorang gadis berusia 19 tahun.

Dalam fikirannya terus berputar kejadian-kejadian yang baru beberapa jam dia alami di kampung halamannya.

Dua hari lalu sang ayah meninggal, meninggalkannya bersama ibu dan saudari tirinya yang tak menyukainya.

"Heh.. Anak sebatang kara kaya kamu gak bakalan ada yang mau mungut, udah jelek, gak ada keahlian sama sekali. Gak bisa hasilin duit." bentak sang ibu tiri.

"Jangan pernah membantah apapun yang kami suruh, karena gak ada yang bakalan nolongin kamu disini." tambahnya lagi sembari melemparkan pakaian kotor ke wajah gadis malang itu.

Sepeninggal ibu tirinya, Nadia mengepalkan tangannya dengan sorot mata yang tajam.

Selama ayahnya hidup, mereka ternyata hanya berpura-pura menyayanginya. Mempunyai ibu tiri selama satu tahun, Nadia tak pernah menyangka kalau ibu tiri serta saudari tirinya itu hanya pura-pura menyayanginya saja selama ini.

Nadia tak terima dengan perlakuan ibu tiri serta saudari tirinya yang selalu semena-mena sekarang, dia pun berniat untuk pergi dari rumah itu sekalian. Namun, saat Nadia sedang mengemasi pakaian, Silvi, saudari tirinya melihatnya dan langsung mengadukannya pada sang ibu.

"Biar, biarin aja dia pergi. Emang dia mau pergi kemana, dia gak punya tempat lagi selain rumah ini." ucap ibu tirinya dengan pongah.

Dia tak tau saja, kalau saat hari kematian sang ayah, ada seorang kakek yang menghampirinya di pemakaman saat semua orang sudah pulang. Sang kakek itu meminta Nadia untuk ikut dengannya ke kota, sang kakek pun memberikan kartu namanya, lengkap dengan alamat dan nomor telpon.

"Saya atasan sekaligus teman mendiang ayah kamu, saya sangat menyukai dan menghargai beliau. Saya sangat sedih dengan meninggalnya Haris. Haris pernah bercerita pada saya, dia masih punya seorang anak gadis. Karena seperti sudah mempunyai firasat tentang kematiannya, Haris tiba-tiba memintaku untuk menjagamu hari itu. Dan saya pun sudah berjanji pada Haris akan menjagamu. " ucap kakek yang masih terlihat segar bugar itu.

Nadia tersadar dari lamunannya karena mendengar suara ribut di depan rumahnya.

Namun, Nadia pun menyelesaikan acara berkemasnya tanpa memperdulikan keributan itu . Tak banyak yang dia bawa, hanya beberapa pasang pakaian serta benda-benda kesayangannya.

Nadia bersiap keluar rumah, dia melihat kini ibu serta saudari tirinya sedang memicarakan sesuatu dengan ibu-ibu yang sudah berkumpul di halaman rumahnya.

Nadia sedikit heran dengan kedatangan para tetangganya ke rumah yang tiba-tiba, tapi dia pun tak mau banyak berfikir. Terus melangkahkan kakinya melewati ambang pintu.

"Huh... Anak durhaka ! Anak durhaka ! Harusnya anak seperti dia kita jebloskan ke penjara, biar jera dan tak di tiru anak lainnya !" teriak ibu-ibu itu sambil menatap Nadia dengan mata nyalangnya.

Nadia bertanya-tanya dalam hati.

"Apa yang ibu-ibu bicarakan ?" tanya Nadia yang sangat tak mengerti dengan ucapan mereka.

"Kami tau, kamu sudah membunuh ayahmu sendiri, Nadia. Ibu kamu saksinya, tapi sayang sekali kita gak punya bukti, jadi gak bisa mengirim anak durhaka sepertimu ke penjara !" teriak ibu-ibu yang lainnya.

Nadia melirik ibu tiri serta adik tirinya, mereka kini menunduk dan sesekali sesenggukan, berpura-pura bersedih dan menangis.

"Ayoo... Kita usir sekalian anak ini dari kampung kita !" ucap salah satu dari mereka, membuat semua yang ada di sana pun maju dan menyeret Nadia.

Nadia tak melawan, dia menatap penuh kebencian pada ibu serta saudari tirinya.

"Aku diam, tapi bukan berarti aku lemah. Lihat saja nanti, semua yang ikut menuduhku ini akan berbalik menyerang kalian." gumam Nadia dalam hati.

Setelah yang membawa Nadia terlihat jauh, ibu tiri serta anaknya pun tertawa puas.

"Haha.. Emang enak, sekarang lihatlah, tidak akan ada orang yang mau menampung anak seperti si Nadia itu." ucap ibu tirinya bangga, dia berfikir kalau Nadia tidak akan mungkin pergi jauh dan meminta tumpangan atau kerjaan pada warga sekampung saja.

Nadia yang sedang dalam mobil pun meneteskan air mata, dia menggenggam erat kertas di tangannya. Kartu nama serta alamat tuan Alex, kini dia tak punya lagi tujuan selain pada tuan Alex, dia pun memang sudah pernah mendengar ayahnya bercerita tentang tuan Alex itu, sehingga dia tak menyimpan ketakutan atau kecurigaan pada kakek yang baru sekali ini dia temui.

"Aku akan mengabdikan hidupku pada tuan Alex, aku akan melanjutkan abdi ayah padanya." gumam Nadia dalam hati.

Bus pun berhenti, satu persatu penumpang pun melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit ke arah pintu keluar. Nadia tak terburu-buru, dia masih berdiam diri di kursinya sambil menunggu antrian untuk turun mulai senggang.

Akhirnya waktu Nadia turun pun tiba, dia menghirup udara segar begitu menginjakkan kakinya di tanah kota Jakarta.

Dia berputar, menyapu pandangan ke seluruh titik. Begitu banyak bangunan yang menjulang tinggi dan bangunan-bangunan modern, sangat berbeda dengan kampungnya yang setiap mata memandang, yang menjulang tinggi hanyalah pepohonan di seluruh tempat.

Nadia menatap kartu di tangannya.

"Aku harus mencari tempat ini." gumamnya.

Nadia cukup lama berkeliling, mencari sebuah alamat di kota yang begitu luas dan ramai.

Hingga hari mulai gelap, dia masih belum sampai ke tempat tujuannya.

"Bagaimana ini, apa tempat ini masih jauh ?" tanyanya pada dirinya sendiri. Nadia pun mampir ke sebuah mesjid, dia menunaikan shalat maghrib di sana, lama Nadia berdiam diri di dalam, dan melaksanakan shalat isya begitu waktunya tiba.

Setelah selesai, satu persatu orang pun keluar dari mesjid. Nadia tak sengaja menabrak seorang laki-laki yang sedang berjongkok di lantai mesjid karena saking terburu-burunya.

"Ya ampun, tuan. Maafkan saya, saya tidak sengaja ." ucap Nadia dengan menunduk.

Pria itu menatap Nadia, kemudian melihat sebuah kartu yang terjatuh dari tangan Nadia.

Pria itu meraihnya hendak menyerahkannya pada Nadia. Namun, tak sengaja matanya menangkap nama Alex Trisatya di kartu nama itu.

"Alex Trisatya ?" gumam Pria itu yang lalu menatap Nadia bingung.

"Emm, maaf tuan. Itu, itu punya saya. Saya permisi." ucap Nadia dengan cepat merebut kartu itu dari tangan pria asing tadi.

Bagi Nadia, orang-orang kota mungkin akan sangat menakutkan. Mendengar isu-isu dari tetangga dan temannya, kalau orang kota itu banyak yang licik dan memanfaatkan kepintarannya untuk hal yang buruk.

Dengan berlari kecil, Nadia memakai kembali sandalnya dan hendak berlari dari area mesjid.

Namun, sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya hingga membuat Nadia terkejut dan langsung menoleh ke belakang.

"Tuan, tolong jangan apa-apakan saya, saya tidak sengaja tuan." ucap Nadia sambil terus menundukkan wajahnya.

"Nona, nona tenanglah. Saya tidak akan melakukan apapun pada nona." ucap pria itu membuat Nadia mengangkat wajahnya, menatap pria asing di hadapannya.

Pria yang sekiranya berumur 27 tahun itu terlihat bukan orang sembarangan dari jas yang dia pakai.

"Saya ingin menanyakan, apa keperluan nona pada tuan Alex ? Kenapa kartu namanya ada di nona ? Tentu tak sembarangan orang bisa memilikinya." ucap pria itu semakin membuat Nadia merasa lega. Setidaknya Nadia merasa kalau pria ini tak jahat, dia sepertinya mengenal tuan Alex.

"Saya.. Saya mendapatkannya dari tuan Alex sendiri." jawab Nadia masih dengan takut.

Pria itu semakin menautkan alisnya, dia terus menatap Nadia.

"Siapa anda sebenarnya ?" tanya pria itu.

"Sayaa.. Saya Nadia, tuan."

"Nadia ?" ulang pria itu

"Saya, putri dari pak Haris." ucap Nadia lagi. Dia berharap kalau pria ini benar mengenal tuan Alex, berarti akan mengenal mendiang ayahnya juga, yang sudah berbelasan tahun bekerja dengan tuan Alex.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status