Hari - hari sudah berganti, seminggu itu waktu yang sangat singkat, semua para tamu sudah memenuhi ruangan di rumah utama. Tuan Alex sengaja menggelar pesta resepsi di rumah, karena supaya lebih berkesan dan terdapat kenangan.
Nadia masih terdiam di dalam kamar, dia sudah selesai di rias dengan sedemikian rupa.
"Nona, nona sangat cantik sekali." puji Fariza dengan sta berbinar.
Nadia tersenyum kecut, entah itu memang tulus atau hanya untuk menghibur dirinya, Nadia tak ingin menatap pantulan dirinya di cermin."Ayo nona, kita sudah di tunggu semua orang di bawah." ucap Fariza.
Nadia menghirup udara dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya.
"Ayo."ucap Nadia menoleh pada Fariza yang sedang tersenyum lebar.
"Nona gugup ya ? Itu biasa non, katanya sih. Saya kan belum menikah, hihi."
"Emm,, tidak. Ayo."
Fariza pun menuntun Nadia keluar dari kamar dan mendekati tangga, Nadia tertegun menatap tamu yang kini sudah memenuhi ruangan.
Nadia semakin gugup, dia menelan ludah dengan susah payah saat mendapati semua pasang mata kini sedang tertuju padanya.
Perlahan Nadia mulai menuruni tangga dengan anggun, semua tamu mulai berbisik, melontarkan penilaian mereka pada sang pengantin wanita.
"Ya ampun, anak siapa itu ? Cantiknya..."
"Benar-benar jelita, darimana tuan Alex mendapatkan menantu secantik itu ?"
"Apa dia manusia ? Kenapa dia terlihat seperti bidadari ?"
Semua orang memuji Nadia, mereka seakan terhipnotis untuk menatap pengantin wanita tanpa berkedip, termasuk Arian, dia bergitu terpaku dengan sosok yang kini duduk disampingnya. Dia sangat tak percaya, kalau wanita yang di sampingnya ini adalah Nadia.
Nadia terus menunduk tak menghiraukan desas desus yang terus terdengar di telinganya, dia pun tak menghiraukan pandangan seluruh tamu yang terus tertuju padanya.
Acara akad pun segera di mulai, tanpa
Nadia sadari di antara ratusan tamu yang datang terselip seorang kameraman yang sengaja hadir untuk mengutip acara pernikahan cucu dari pengusaha terkenal, Alex Trisatya. Yang tak lain adalah Arian Trisatya, pengusaha muda dan tampan yang sudah lama melajang.Di kampung
Mama Leni dan Silvi sedang bersantai di depan televisi. Menonton acara gosip sambil mengemil dan bermain ponsel, layaknya seorang pengangguran.
Mama Leni memicingkan matanya menatap layar tv, dia menepuk-nepuk Silvi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tv tersebut.
"Sil, Sil, liat deh... "
"Apaan sih, ma ? Ganggu aja deh," ucap Silvi sambil menepis tangan mamanya.
"Itu loh, liat makanya."
"Iya, itu apa ? Heboh banget deh kalo masalah gosip."
"Liat itu pengantin wanitanya, mama rasa kok wajahnya gak asing, ya ?"
Silvi mulai tertarik, dia menyimpan ponselnya dan meneliti wajah sang pengantin wanita yang terpampang di layar tv.
"Gak asing gimana sih ma, maksudnya ?"
"Lah, kok kamu gak nyadar sih ? Mama malah mikir dia itu mirip sama si Nadia, loh." ucap mama Leni masih dengan fokus menatap layar tv.
"Hah ?? Hahaha... Mama yang bener aja deh. Ah, ngada-ngada. Itu cantik, ma. Ya jauh lah sama si Nadia, lagipula mana mungkin sih si Nadia tiba-tiba nikah ? Gak masuk akal banget." Silvi meraih kembali ponselnya dna mengacuhkan acara gosip itu.
"Loh, itu tuh liat, Sil. Itu, pernikahan Arian Trisatya dan Nadia. Liat, namanya Nadia juga !" ucap mama Leni semakin heboh.
Silvi pun tersentak, dia sampai bangkit dari kursi dan mendekati tv untuk menatap lebih dekat.
"Ih, mama ! Ya kalo nama sih pasti banyak lah yang sama. Mama liat ini, laki-laki itu pengusaha besar, ma. Keluarganya juga bukan keluarga sembarangan. Masa tiba-tiba menikah ssma gelandangan yang gak jelas asal usulnya ? Simpati juga gak mungkin sampe di nikahin, kali."
"Iya, ya ! Ah, mungkin memang cuma kebetulan aja !"
Di rumah utama, kini Nadia sudah resmi menjadi menantu di keluarga Tristya. Nadia dan Arian sedang menyalami para tamu yang datang, tak henti-hentinya seluruh tamu memuji Nadia, membuat sang kakek semakin merasa kalau pilihannya sangatlah tepat.
Nadia dan Arian terlihat begitu serasi, berdiri saling berdampingan dengan senyuman yang menghiasi keduanya, walau senyuman itu hanyalah tertuju untuk menghargai para tamu.
Arian bersikap begitu berwibawa, menyalami seluruh rekan kerja dan juga klien nya yang datang. Namun, tak sekalipun dia menoleh pada Nadia atau pun melontarkan suatu pertanyaan. Benar-benar cuek.
Hingga hari berganti malam, semua acara pun baru selesai. Nadia begitu merasa lelah, dia sudah tak sabar untuk membersihkan diri dan segera terlelap untuk mengistirahatkan persendiannya.
"Nadia, kamu segera ke kamar Rian ya ? Pelayan sudah memindahkan seluruh barangmu kesana. Kau istirahatlah sebentar, mumpung Arian masih ada urusan sama kakek." ucap sang kakek sambil tersenyum penuh arti.
Nadia terpaku, dia pun tersenyum kikuk menanggapi ucapan kakek barunya.
"Nadia permisi, kek."
"Ya, silahkan."
Nadia perlahan melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga, kakinya mendadak terasa lemas dan gemetar mengingat ucapan kakek tadi, di tambah kini mulai sekarang dia akan tinggal sekamar dengan seorang pria. Membayangkannya saja Nadia sudah merasa canggung sendiri.
Nadia membuka pintu, kamar itu masih gelap gulita. Nadia pun masuk dan menyalakan lampu, dia begitu terpaku menatap kamar yang sudah dihias layaknya kamar pengantin baru, tiba-tiba Nadia merasa malu sendiri.
"Astaga, aku sudah gila !" umpatnya sambil menjitak kepalanya sendiri.
Nadia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis fikiran yang sempat menggaggunya.
"Mumpung dia belum kesini, aku ingin mandi dengan tenang."
Nadia pun bergegas ke kamar mandi, dia sengaja berlama-lama karena merasa rilex saat berendam air hangat.
"Nyaman banget, aku bahkan bisa ketiduran disini... Di kampung mana ada yang seperti ini." gumam Nadia.
Tiga puluh menit pun berlalu, Nadia baru selesai dna keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.
Langkahnya terhenti saat mendapati laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya sedang terduduk di sofa dengan mata terpejam.
Nadia begitu panik, dia pun menyambar selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Astaga, kenapa dia malah diam di sana ? Aku kan jadi tidak bisa bebas berjalan." gumam Nadia
Perlahan Nadia melangkahkaan kakinya untuk melewati pria yang kini sedang menutup matanya, Nadia menoleh saat telinganya mendengar dengkuran halus dari pria yang sedang menutup mata itu.
Nadia mengibaskan tangannya di depan wajah Arian, dia pun menghembuskan nafas lega saat mengetahui bahwa suaminya itu ternyata sedang tertidur sambil duduk.
Nadia ingin menghindar, tapi hatinya malah memintanya untuk bertahan sejenak, Nadia pun dengan sendirinya menurut, dia menatap wajah Arian yang begitu rupawan.
'Tuan begitu tampan, entah apalah yang terjadi pada diri anda sehingga anda begitu menghindari pernikahan, padahal anda sangat bisa mendapatkan wanita yang sangat sempurna.' Nadia bergumam dalam hatinya.
Tanpa dia duga, Arian membuka kedua matanya dan dia langsung membulatkan matanya karena terkejut melihat Nadia yang kini sedang berada di hadapannya hanya beberapa centi saja.
"Aaah !" Nadia refleks menjerit saat menyadari kini dia sedang beradu pandang dengan Arian, Nadia langsung berdiri dan menjauh, menyadari kalau kini dia hanya menggunakan handuk, dia pun kemudian berlari dan bersembunyi di dalam lemari.
"Ya Tuhan, aku malu sekali... !" gam Nadia di dalam lemari baju. Jantungnya terasa berdebar-debar dengan kencang, dia sangat tidak berani untuk menunjukan dirinya lagi di hadapan Arian.
Sementara itu, Arian masih terpaku di tempatnya duduk.
"Huufftt, mengagetkan saja !" ucapnya sambil menggelengkan kepala.Arian pun tak memikirkannya lagi dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mendengar suara pintu tertutup, Nadia pun menyembulkan kepalanya dan memindai seluruh ruangan."Bagus, dia sudah tidak ada."
Nadia pun segera mencari baju dan mengenakannya, kemudian menyembunyikan tubuhnya di bawah selimut.
Pagi pun tiba, sang surya telah menunjukkan wujudnya dan merangkak semakin tinggi. Sinar lembut sang surya menembus tirai yang masih tertutup rapat, di ruangan teesebut suasananya masih begitu sepi, menunjukkan para penghuninya masih belum terjaga dari tidur lelapnya.Nadia menggeliat dan mengucek matanya, dia merasakan silau dari cahaya yang menembus tirainya itu. "Ya ampun, udah siang sekali." ucap Nadia dengan terkejut saat melihat suasana di balik tirai jendelanya yang sudah sangat cerah terpapar sinar matahari. Nadia langsung turun dari ranjang dan mengambil handuk, dia dengan terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi dan segera membersihkan diri. Setelah selesai, Nadia pun segera mendekati lemari dan memilih pakaiannya, saat Nadia hendak mengenakan pakaian dalamnya, Nadia terkejut saat mendengar suara pergerakan dari belakangnya. Nadia dengan seketika langsung memutar tubuhnya, matanya langsung terbelalak saat mendapati Arian sedang duduk bersandar di atas ranjang sambil mengu
Pagi ini Nadia dan Arian pergi ke suatu tempat. Tentu saja bukan insiatif Arian, melainkan perintah dari sang kakek yang tidak pernah di tentang sama sekali."Kita mau kemana ?" tanya Nadia dengan ketus.Arian yang sedang menyetir mobil pun menoleh sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. "Ke Villa Mukti. Seperti perintah kakek." jawab Arian."Tapi apa itu jauh sekali ? Kenapa kita sampai membawa koper ? Kakek seakan mengusir kita." "Memang sangat jauh." jawab Arian lagi dengan begitu singkat dan padat. Nadia mendengus kesal, dia pun memilih untuk diam dan sibuk dengan fikirannya sendiri. "Apa yang kakek fikirkan ? Sehingga dia mengirimku bulan madu segala. Ah, astaga ! Bagaimana nasibku nanti disana yang hanya berdua dengan pria ini. Semoga saja banyak hiburan yang bisa menghiburku selama disana."Arian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lama kelamaan mobil itu melewati jalanan yang semakin asing dan sunyi seanjang perjalanan pun hanya di penuhi dengan pohon-
"Apa anda membutuhkan yang lainnya nyonya ?" tanya seorang pelayan."Tidak, kau boleh meneruskan pekerjaanmu yang tertunda." ucap Nadia. Kini dia sedang duduk di taman samping villa sambil membaca sebuah majalah yang dia temukan tergeletak di atas meja. Pelayan yang tadi pun langsung mengundurkan dirinya setelah selesai menyimpan beberapa cemilan dan minuman untuk nyonyanya.Hari ini hari kedua Nadia beserta Arian menginap di villa, walau keduanya memiliki banyak waktu untuk bersama, tapi malah keduanya tak menggunakan waktu itu dengan baik, keduanya tetap saja menjaga jarak dan sibuk dengan urusan masing-masing."Ekhem." Nadia mengarahkan bola matanya ke sebelah sudut, dia melirik Arian yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya bersantai sekarang. Nadia tak terlalu menggubris kehadirannya, dia memilih fokus pada majalah di tangannya walau dia tak begitu tertarik dengan isinya.Arian melangkahkan kakinya dan duduk di kursi satunya lagi yang hanya terhalang oleh meja."Aku akan kem
Tris memasuki mobil kebali dengan raut bersalahnya. Dia menatap Nadia cukup lama sebelum akhirnya duduk menatap lurus kedepan.Nadia yang masih syok hanya terdiam, taapannya mengikuti mkbil truk yang tadi hampir saja bertabrakan dengan mobil yang dia tumpangi."Huuffttt, Triis... Sebenarnya kau ini kenapa ? Kenapa kamu gak konsentrasi ?" Ucap Nadia setelah mobil truk tadi tak terlihat lagi."Maafkan saya, nyonya. Sungguh, saya menyesal sudah lalai." Ucapnya tanpa menoleh Nadia mengusap wajahnya dengan lesu, lalu kemudian dia mempersilahkan Tris untuk melanjutkan perjalanan."Awas ! Kali ini kau harus hati-hati." "Baik nyonya !" Akhirnya perjalanan pun di lanjutkan, Nadia kini tak meiliki keinginan untuk terlelap, dia ikut menatap fokus ke depan.Setelah cukup lama, Tris pun menepikan mobilnya di bawah pohon yang begitu rimbun. Nadia masih memandangi sekeliling dari dalam mobil hingga akhirnya ucapan Tris membuyarkan kefokusan Nadia."Kita sudah sampai nyonya." "Oh, iya. Baiklah."
Nadia tiba di rumah pada sore hari, tepat sebelum pukul 3 sore yang sudah Tris janjikan pada Sena, pelayan yang bertanggung jawab penuh untuk menemani dan melayani sang nyonya.Dengan senyuman yang mengembang, Nadia terus berjalan menuju kedalam vila, dia bahkan sesekali berdendang menyanyikan sebuah lagu. Sena yang melihat perubahan mood yang drastis pada sang nyonya pun tak bisa menahan dirinya untuk bertanya. Alhasil, saat Nadia hendak memutar knop pintu menuju kamar, Sena berusaha memanggil sang nyonya terlebih dulu."Nyonya... " Nadia langsung membalikkan badannya dan menatap Sena dengan sumringah."Ya ? Ada apa mbak ? Oh, mbak dari tadi ngikutin saya ya ? Aduh, maaf ya mbak, saya gak tau. Memangnya ada apa mbak ? Kayanya serius sekali." Tanyanya dengan wajah yang berseri-seri."Ehh, ini nyonya... Emmm, tadi nyonya sama tuan Tris pergi kemana ya ? Sampai-sampai begitu bahagia sepulang dari sana." Cerocosnya dengan lancar di sertai dengan cengiran khasnya.Jiwa kekepoan sang pelay
Pagi buta sekali Tris sudah bersiap dengan segalanya. Barang-brang beserta baju-bajunya sudah dia kemas dan di masukan kedalam tas besar miliknya, rencananya dia pagi ini akan mengundurkan diri pada sang tuan. Ya, walupun dia baru sehari bekerja disana."Mau bagaimana lagi ? Aku yakin inilah jalan terbaik untukku." Gumamnya sambil menatap cermin. Sedangkan di ruangan lain, Nadia baru mendapatkan setengah kesadarannya dari tidur lelapnya. Dia merasakan sesuatu yang begitu hangat dan nyaman dalam dekapannya, membuanya semakin enggan untuk membuka mata. Nadia mengeratkan pelukannya pada guling kesayangannya itu, tapii... "Eh, tunggu ! Kenapa ini berat sekali ?" Gumamnya saat dia kesusahan dalam mencoba mengangkat guling tersebut, dia pun mengerytkan keningnya sambil meraba-rabakan tangannya ke sesuatu dalam dekapannya itu. "Kenapa rasanya berbeda ?" Tanyanya masih dalam hati. Hingga akhirnya gerakannya itu membuat seseorang dalam dekapannya seketika bergerak dan bergumam tak jelas.
Setelah selesai menonton para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan, Nadia pun berjalan menaiki tangga, bersiap untuk mengetok pintu kamar.Tuk tuk tuk"Tuan..." panggilnya. Namun tak ada jawaban apapun dari dalam. "Ah, mungkin tuan masih di kamar mandi." Gumamnya. Nadia pun memilih untuk masuk kedalam, benar saja kalau suaminya itu tidak terlihat. Nadia pun mendekati tempat tidur yang masih berantakan dan membereskannya. Tak lupa dia juga membuka tirai dan jendela, ah lebih tepatnya pintu kaca karena memang kacanya lebar dan panjang dari atas hingga lantai. Nadia mengayunkan kakinya keluar, dia berdiri sambil berpegangan pada pagar di tepi balkon itu. Angin sepoi-sepoi menerpa rambut panjangnya yang terurai bebas. Nadia terbuai, dia merentangkan kedua tangannya sambil memejamkan mata."Sungguh, udara pagi yang segar sekali. Tak ada polusi yang mencampurinya sama sekali, masih begitu murni dan menyegarkan." Gumamnya masih dengan menutup mata. Arian yang melihat tingkah Nadia hanya
Kedatangan keduanya di sambut dengan antusias oleh kakek mereka. Penjaga langsung mengambilkan koper dan membawanya kedalam rumah. "Bagaimana bulan madu kalian ? Lancar ?" Tanya Alex sambil merangkul cucunya dan berjalan measuki rumah utama. Dari awal mobil mereka memasuki gerbang, Alex langsung berdiri dengan tegap dan tak dapat menyembunyikan raut kebahagiaan di wajahnya.Medengar pertanyaan dari sang kakek, Nadia menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia menyangkal pertanyaan aneh kakeknya itu, jelas-jelas mereka ke vila bukan untuk berbulan madu. Nadia sendiri malah merasa kalau perjalanannya ke villa hanyalah sebuah liburan saja."Kakek ini..." ucap Arian sambil terkekeh membuat Alex tertawa. Melihat respon Arian, Nadia langsung mengerti kalau sang suaminya itu berniat untuk menipu kakeknya sendiri. "Sudah sudah, kalian pasti sangat lelah setelah mnempuh perjalanan yang cukup jauh. Sana, istirahat. Nanti kita makan siang bersama." Nadia pun menganggukkan kepalanya pda sang kak
Beberapa bulan berlalu, kehidupan mereka kini sudah sangat baik, tak ada lagi gangguan yang berarti. Bahkan, entah kenapa Silvi dan Leni pun tak pernah lagi dengan sengaja menunjukkan dirinya. Hanya pernah sesekali tak sengaja berpapasan, dan mereka bersikap seolah tak saling mengenal. Hanya, Nadia masih dapat melihat ketidak sukaan merrka dalam tatapannya. Kehamilan Nadia sudah memasuki usia ke 5 bulan, membuat perutnya kian membuncit. Dia juga kini di larang untuk ikut andil di toko, hanya sekedar keluar dan menyaksikan kesibukan karyawan-karyawannya yang sudsh bertambah. Resti yang bertanggung jawab mengurus segalanya. Ponsel Nadia berdering, wanita itu pun dengan cepat merogoh tasnya dan menempelkan ponsel itu di telinganya. "Ya, mas ?""Kamu masih di toko ?""Iya, mas. Kenapa memangnya ?""Cepat pulang, ya ? Kakek mengajak kita berkumpul di rumah. Ini mas juga sedang di jalan, mau pulang." "Oh, baiklah."Sambungan terputus. Nadia langsung mencari Tris untuk mengajaknya kembal
Semua bapak-bapak di belakang Arian hendak melayangkan ledekannya lagi. Namun, pak penghulu dengan segera mengangkat sebelah tangannya, membuat mereka urung mendebat pembelaan Arian. "Jadi, tuan ini menghamili nona ini ?" Tanya penghulu menunjuk Arian dan Silvi bergantian. "Tidak !""Iya, pak !" Jawab Silvi dan Arian bersamaan. Arian menatap Silvi dengan bengis. Sungguh, dia sangat muak dengan wanita itu. "Pak, saya sama sekali tidak melakukannya. Demi allah ! Saya sudah punya istri, dan saya mencintai istri saya."Sambil menunduk, Silvi menyembunyikan bibirnya yang mencebik mendengar ucapan Arian."Haha, zaman sekarang mah udah punya istri, kek. Udah punya suami, kek. Kalau otaknya konslet tetep aja nyari mangsa lagi. Ya gak ?" Tanya salah seorang bapak-bapak itu yang di sambut dengan tawa dari yang lainnya. Arian berdiri, dia sudah cukup sabar menghadapi sikap so tau mereka."Itu menurut orang yang otaknya konslet. Tapi, saya tidak seperti itu. Saya masih normal, otak saya mas
"Ini, inilah yang saya tadi ingin bicarakan sama kamu. Juli, dia tadi pagi masuk rumah sakit mendadak karena di temukan tak sadarkan diri di kamarnya. Tapi keadaannya sudah stabil tadi, makanya saya pergi bekerja. Tapi tadi, suster menelpon mengabari kondiri Juli yang kritis." "Ap-apa ?? Juli ?" Felix menjadi gugup. Raut kecemasan terlihat dengan jelas di wajahnya. "Saya ke rumah sakit dulu, permisi pak Arian, pak Felix." "Tunggu, pak ! Saya ikut !" Ucap Felix "Baiklah, ikuti saja mobil saya." Ucap Samsudin sambil sedikit berlari menuju keluar restoran.Felix dengan terburu-buru merogoh dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang pada Arian. "Pak Arian, saya mohon maaf sekali karena harus meninggalkan anda. Ini, saya yang bayar." "Tidak usah, pak Felix. Saya mengerti kok.""Tidak papa, anggap saja ini sebagai permintaan maaf saya karena tak jadi menemani anda makan siang, padahal saya yang ngajak tadi. Sudah ya, syaa tifak punya banyak waktu. Sekali lagi saya minta maaf, dan
"Loh, itukan si Nadia ?" Gumam wanita tersebut dalam hati. "Sayang, kamu kenapa ?" Tanya Dev, pria tampan yang bersama dengan Silvi. Dari penampilannya, Dev seperti pria kaya lainnya, keren, rapi, dan juga terawat, lagipula, jika saja Dev bukan pria ber-uang, mana mungkin Silvi akan mau berhubungan dengannya. "Eh, eem... Aku mau ke toilet dulu deh sayang. Sebentar, ya ? Kamu tunggu saja di mobil.""Baiklah, jangan lama." Silvi tersenyum, Dev pun berjalan menuju parkiran meninggalkan Silvi. Silvi ternyata juga berkencan dengan Dev di resort itu. Setelah hatinya hancur kemarin karena Arian yang ternyata suami Nadia, Silvi langsung pergi mencari kesenangan ke club langganannya, dan disanalah dia bertemu dengan Dev. Perlahan Silvi mengendap-endap untuk melihat pasangan tersebut semakin dekat. "Oh shit ! Iya itu mereka ! Jadi mereka emang suami istri ?" Silvi mengumpat sambil menatap tak suka ke arah mereka.Pasangan yang serasi, mereka terlihat begitu bahagia satu sama lain. Aura k
Arian sudah keluar dari kamar mandi, kini giliran Nadia yang harus membersihkan tubuhnya dari air hujan yang sempat mengguyurnya beberapa saat lalu. Arian duduk di sofa, dia memesan beberapa cemilan dan juga minuman hangat pada petugas resort. Sambil menunggu pesanan tiba, Arian membuka ponselnya dan mendapatkan beberapa pesan. Hampir semuanya tentang pekerjaan, Arian sudah meminta sekretarisnya untuk menghendel pekerjaan selama dia berada disini. Gerakan jempolnya terhenti saat mendapati panggilan tak terjawab dari kakeknya. Aahh... Arian sampai lupa tidak memberitahukan pada kakeknya kemana mereka pergi. Arian menekan tombol panggil, dan tak menunggu lama akhirnya panggilan tersambung. "Halo ?" "Halo, kek.""Jadi, kemana kamu membawa cucu menantuku ?" Tanya Alex to the poin. Arian mendesah pelan, tadi dia hanya menitipkan pesan pada Tris, untuk memberitahukan pada kakeknya bahwa dirinya akan pulang sedikit terlambat bersama Nadia. Namun, dia tidak mengatakan tujuannya dan kapan
Di restoran yang masih termasuk di area resort, Arian dan Nadia sedang makan bersama di salah satu meja. Ada beberapa meja lain yang sama-sama terisi oleh pengunjung lain, namun tak mengurangi kenikmatan hidangan tersebut. Setelah Arian selesai membersihkan dirinya, keduanya langsung pergi keluar untuk makan siang yang sudah kesorean. Nadia maupun Arian menyantap makanannya dengan lahap tanpa ada perbincangan saking sudah laparnya, hingga tak butuh waktu lama untuk mereka berdua menghabiskan semua menu yang tersaji di meja. "Ayo !" Ucap Arian setelah selesai mengelap bibirnya menggunakan tissue. "Mau kemana lagi, mas ?" Tanya Nadia setelah meneguk habis minumannya. "Kemana saja, jalan-jalan." Ucapnya yang segera berdiri dan menarik tangan Nadia. Nadia pun menurut dan hanya mengikuti langkah sang suami saja. Dia benar-benar tida menyangka, kalau ternyata Arian Trisatya, seorang pria yang terkenal dingin dan acuh itu memiliki sisi yang berbeda. Nadia melihat suaminya kini seperti pr
Setelah perjalanan selama setengah jam, akhirnya mereka tiba di sebuah Resort yang Resti katakan tadi. Bangjnan itu cukup luas dan terlihat sangat nyaman. Walaupun tidak terlihat mewah, karena resort itu memberikan tampilan bernuansa pedesaan atau pantai.Arian tak berkata apa-apa, dia langsung meraih tangan Nadia dan menarik istrinya itu untuk mengikuti langkahnya. Arian langsung menuju resepsionis, setelah semua keperluannya selesai, mereka langsung menuju kamar yang sudah menjadi milik mereka untuk beberapa hari kedepan."Tuan, apa saya tidak salah dengar tadi ?" Tanya Nadia sambil berjalan menuju kamar mereka. "Apanya yang salah ?""Tiga hari ? Anda akan menginap disini selama tiga hari ?""Ya, seperti yang kamu dengar. Kenapa ?" Arian membuka pintu, terlihat sebuah ruangan yang cukup luas dan sangat bersih di dalamnya. Awal masuk mereka seperti di sambut oleh ruang tamu mini yang hanya terdapat sofa panjang dan meja kecil. Nadia terpana, dia melepaskan pegangan tangan Arian dan
"Ibu !" "Diam kamu !" Leni mengusap wajahnya dengan lesu, sedangkan Silvi masih terus merengek sambil menggerak-gerakkan kakinya asal."Hiks, tuan tampan itu ternyata suaminya Nadia. Ibu, aku tidan percaya semua ini... Pasti dia berbohong kan ? Bagaimana Nadia bisa menikahi pria sultan sepertinya ?" "Yah, ibu juga tidak bisa percaya ini. Tiba-tiba saja pria itu datang dan menyebut Nadia sebagai istrinya. Ini sangat tidak masuk akal.""Ibu... Apa yang harus kita lakukan sekarang ? Kalaupun itu bohong, aku ingin memperjuangkan cintaku, dimana dia tinggal ?" "Silvi, tenanglah dulu. Jangankan tempat tinggal, namanya saja kita tidak tau."***Sepasang suami istri itu baru sampai di toko, sepanjang perjalanan, keduanya sama-sama larut dalam fikirannya masing-masing. Nadia menatap Arian yang masih fokus menatap kedepan. Ada perasaan hangat yang menelusup kedalam dadanya, ucapan Arian tadi di depan Leni dan Silvi terus terngiang-ngiang di telinganya. Arian langsung menepikan mobil, melih
Nadia menanggapi sikap ibu tirinya dengan senyuman sinis sambil menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia masih bersikap keras seperti ini setelah semuanya terbukti. "Ibu, kenapa ibu malah balik marah ? Harusnya aku loh yang marah disini, kenapa ibu merebut peranku ?" Tanya Nadia masih santai. Leni semakin tersulut emosi melihat sikap Nadai yang seolah mengejeknya. "Dasar kamu ya... Anak gak tau diuntung !" Leni bergerak cepat hendak menyerang Nadia. Namun, Nadia berhasil menghindar tepat waktu. "Kalian sungguh tidak tau terima kasih, sudah untung aku tidak menjebloskan kalian ke penjara. Tapi lihatlah, apa yang kalian lakukan untuk membalas kebaikanku itu. Bahkan kamu bertindak kasar. Jika aku mau, aku bisa melaporkan kamu ke polisi debgan dua kasus sekaligus !" Leni semakin marah, tapi dia tak kunjung bertindak. Dia hanya berdiri mematung sambil menatap Nadia dengan penuh kebencian, dadanya pun terlihat kembang kempis karena amarahnya. "Silvi ! Ambil laptopnya, kita harus meng