Hari - hari sudah berganti, seminggu itu waktu yang sangat singkat, semua para tamu sudah memenuhi ruangan di rumah utama. Tuan Alex sengaja menggelar pesta resepsi di rumah, karena supaya lebih berkesan dan terdapat kenangan.
Nadia masih terdiam di dalam kamar, dia sudah selesai di rias dengan sedemikian rupa.
"Nona, nona sangat cantik sekali." puji Fariza dengan sta berbinar.
Nadia tersenyum kecut, entah itu memang tulus atau hanya untuk menghibur dirinya, Nadia tak ingin menatap pantulan dirinya di cermin."Ayo nona, kita sudah di tunggu semua orang di bawah." ucap Fariza.
Nadia menghirup udara dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya.
"Ayo."ucap Nadia menoleh pada Fariza yang sedang tersenyum lebar.
"Nona gugup ya ? Itu biasa non, katanya sih. Saya kan belum menikah, hihi."
"Emm,, tidak. Ayo."
Fariza pun menuntun Nadia keluar dari kamar dan mendekati tangga, Nadia tertegun menatap tamu yang kini sudah memenuhi ruangan.
Nadia semakin gugup, dia menelan ludah dengan susah payah saat mendapati semua pasang mata kini sedang tertuju padanya.
Perlahan Nadia mulai menuruni tangga dengan anggun, semua tamu mulai berbisik, melontarkan penilaian mereka pada sang pengantin wanita.
"Ya ampun, anak siapa itu ? Cantiknya..."
"Benar-benar jelita, darimana tuan Alex mendapatkan menantu secantik itu ?"
"Apa dia manusia ? Kenapa dia terlihat seperti bidadari ?"
Semua orang memuji Nadia, mereka seakan terhipnotis untuk menatap pengantin wanita tanpa berkedip, termasuk Arian, dia bergitu terpaku dengan sosok yang kini duduk disampingnya. Dia sangat tak percaya, kalau wanita yang di sampingnya ini adalah Nadia.
Nadia terus menunduk tak menghiraukan desas desus yang terus terdengar di telinganya, dia pun tak menghiraukan pandangan seluruh tamu yang terus tertuju padanya.
Acara akad pun segera di mulai, tanpa
Nadia sadari di antara ratusan tamu yang datang terselip seorang kameraman yang sengaja hadir untuk mengutip acara pernikahan cucu dari pengusaha terkenal, Alex Trisatya. Yang tak lain adalah Arian Trisatya, pengusaha muda dan tampan yang sudah lama melajang.Di kampung
Mama Leni dan Silvi sedang bersantai di depan televisi. Menonton acara gosip sambil mengemil dan bermain ponsel, layaknya seorang pengangguran.
Mama Leni memicingkan matanya menatap layar tv, dia menepuk-nepuk Silvi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tv tersebut.
"Sil, Sil, liat deh... "
"Apaan sih, ma ? Ganggu aja deh," ucap Silvi sambil menepis tangan mamanya.
"Itu loh, liat makanya."
"Iya, itu apa ? Heboh banget deh kalo masalah gosip."
"Liat itu pengantin wanitanya, mama rasa kok wajahnya gak asing, ya ?"
Silvi mulai tertarik, dia menyimpan ponselnya dan meneliti wajah sang pengantin wanita yang terpampang di layar tv.
"Gak asing gimana sih ma, maksudnya ?"
"Lah, kok kamu gak nyadar sih ? Mama malah mikir dia itu mirip sama si Nadia, loh." ucap mama Leni masih dengan fokus menatap layar tv.
"Hah ?? Hahaha... Mama yang bener aja deh. Ah, ngada-ngada. Itu cantik, ma. Ya jauh lah sama si Nadia, lagipula mana mungkin sih si Nadia tiba-tiba nikah ? Gak masuk akal banget." Silvi meraih kembali ponselnya dna mengacuhkan acara gosip itu.
"Loh, itu tuh liat, Sil. Itu, pernikahan Arian Trisatya dan Nadia. Liat, namanya Nadia juga !" ucap mama Leni semakin heboh.
Silvi pun tersentak, dia sampai bangkit dari kursi dan mendekati tv untuk menatap lebih dekat.
"Ih, mama ! Ya kalo nama sih pasti banyak lah yang sama. Mama liat ini, laki-laki itu pengusaha besar, ma. Keluarganya juga bukan keluarga sembarangan. Masa tiba-tiba menikah ssma gelandangan yang gak jelas asal usulnya ? Simpati juga gak mungkin sampe di nikahin, kali."
"Iya, ya ! Ah, mungkin memang cuma kebetulan aja !"
Di rumah utama, kini Nadia sudah resmi menjadi menantu di keluarga Tristya. Nadia dan Arian sedang menyalami para tamu yang datang, tak henti-hentinya seluruh tamu memuji Nadia, membuat sang kakek semakin merasa kalau pilihannya sangatlah tepat.
Nadia dan Arian terlihat begitu serasi, berdiri saling berdampingan dengan senyuman yang menghiasi keduanya, walau senyuman itu hanyalah tertuju untuk menghargai para tamu.
Arian bersikap begitu berwibawa, menyalami seluruh rekan kerja dan juga klien nya yang datang. Namun, tak sekalipun dia menoleh pada Nadia atau pun melontarkan suatu pertanyaan. Benar-benar cuek.
Hingga hari berganti malam, semua acara pun baru selesai. Nadia begitu merasa lelah, dia sudah tak sabar untuk membersihkan diri dan segera terlelap untuk mengistirahatkan persendiannya.
"Nadia, kamu segera ke kamar Rian ya ? Pelayan sudah memindahkan seluruh barangmu kesana. Kau istirahatlah sebentar, mumpung Arian masih ada urusan sama kakek." ucap sang kakek sambil tersenyum penuh arti.
Nadia terpaku, dia pun tersenyum kikuk menanggapi ucapan kakek barunya.
"Nadia permisi, kek."
"Ya, silahkan."
Nadia perlahan melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga, kakinya mendadak terasa lemas dan gemetar mengingat ucapan kakek tadi, di tambah kini mulai sekarang dia akan tinggal sekamar dengan seorang pria. Membayangkannya saja Nadia sudah merasa canggung sendiri.
Nadia membuka pintu, kamar itu masih gelap gulita. Nadia pun masuk dan menyalakan lampu, dia begitu terpaku menatap kamar yang sudah dihias layaknya kamar pengantin baru, tiba-tiba Nadia merasa malu sendiri.
"Astaga, aku sudah gila !" umpatnya sambil menjitak kepalanya sendiri.
Nadia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis fikiran yang sempat menggaggunya.
"Mumpung dia belum kesini, aku ingin mandi dengan tenang."
Nadia pun bergegas ke kamar mandi, dia sengaja berlama-lama karena merasa rilex saat berendam air hangat.
"Nyaman banget, aku bahkan bisa ketiduran disini... Di kampung mana ada yang seperti ini." gumam Nadia.
Tiga puluh menit pun berlalu, Nadia baru selesai dna keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.
Langkahnya terhenti saat mendapati laki-laki yang kini sudah menjadi suaminya sedang terduduk di sofa dengan mata terpejam.
Nadia begitu panik, dia pun menyambar selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Astaga, kenapa dia malah diam di sana ? Aku kan jadi tidak bisa bebas berjalan." gumam Nadia
Perlahan Nadia melangkahkaan kakinya untuk melewati pria yang kini sedang menutup matanya, Nadia menoleh saat telinganya mendengar dengkuran halus dari pria yang sedang menutup mata itu.
Nadia mengibaskan tangannya di depan wajah Arian, dia pun menghembuskan nafas lega saat mengetahui bahwa suaminya itu ternyata sedang tertidur sambil duduk.
Nadia ingin menghindar, tapi hatinya malah memintanya untuk bertahan sejenak, Nadia pun dengan sendirinya menurut, dia menatap wajah Arian yang begitu rupawan.
'Tuan begitu tampan, entah apalah yang terjadi pada diri anda sehingga anda begitu menghindari pernikahan, padahal anda sangat bisa mendapatkan wanita yang sangat sempurna.' Nadia bergumam dalam hatinya.
Tanpa dia duga, Arian membuka kedua matanya dan dia langsung membulatkan matanya karena terkejut melihat Nadia yang kini sedang berada di hadapannya hanya beberapa centi saja.
"Aaah !" Nadia refleks menjerit saat menyadari kini dia sedang beradu pandang dengan Arian, Nadia langsung berdiri dan menjauh, menyadari kalau kini dia hanya menggunakan handuk, dia pun kemudian berlari dan bersembunyi di dalam lemari.
"Ya Tuhan, aku malu sekali... !" gam Nadia di dalam lemari baju. Jantungnya terasa berdebar-debar dengan kencang, dia sangat tidak berani untuk menunjukan dirinya lagi di hadapan Arian.
Sementara itu, Arian masih terpaku di tempatnya duduk.
"Huufftt, mengagetkan saja !" ucapnya sambil menggelengkan kepala.Arian pun tak memikirkannya lagi dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mendengar suara pintu tertutup, Nadia pun menyembulkan kepalanya dan memindai seluruh ruangan."Bagus, dia sudah tidak ada."
Nadia pun segera mencari baju dan mengenakannya, kemudian menyembunyikan tubuhnya di bawah selimut.
Pagi pun tiba, sang surya telah menunjukkan wujudnya dan merangkak semakin tinggi. Sinar lembut sang surya menembus tirai yang masih tertutup rapat, di ruangan teesebut suasananya masih begitu sepi, menunjukkan para penghuninya masih belum terjaga dari tidur lelapnya.Nadia menggeliat dan mengucek matanya, dia merasakan silau dari cahaya yang menembus tirainya itu. "Ya ampun, udah siang sekali." ucap Nadia dengan terkejut saat melihat suasana di balik tirai jendelanya yang sudah sangat cerah terpapar sinar matahari. Nadia langsung turun dari ranjang dan mengambil handuk, dia dengan terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi dan segera membersihkan diri. Setelah selesai, Nadia pun segera mendekati lemari dan memilih pakaiannya, saat Nadia hendak mengenakan pakaian dalamnya, Nadia terkejut saat mendengar suara pergerakan dari belakangnya. Nadia dengan seketika langsung memutar tubuhnya, matanya langsung terbelalak saat mendapati Arian sedang duduk bersandar di atas ranjang sambil mengu
Pagi ini Nadia dan Arian pergi ke suatu tempat. Tentu saja bukan insiatif Arian, melainkan perintah dari sang kakek yang tidak pernah di tentang sama sekali."Kita mau kemana ?" tanya Nadia dengan ketus.Arian yang sedang menyetir mobil pun menoleh sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. "Ke Villa Mukti. Seperti perintah kakek." jawab Arian."Tapi apa itu jauh sekali ? Kenapa kita sampai membawa koper ? Kakek seakan mengusir kita." "Memang sangat jauh." jawab Arian lagi dengan begitu singkat dan padat. Nadia mendengus kesal, dia pun memilih untuk diam dan sibuk dengan fikirannya sendiri. "Apa yang kakek fikirkan ? Sehingga dia mengirimku bulan madu segala. Ah, astaga ! Bagaimana nasibku nanti disana yang hanya berdua dengan pria ini. Semoga saja banyak hiburan yang bisa menghiburku selama disana."Arian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lama kelamaan mobil itu melewati jalanan yang semakin asing dan sunyi seanjang perjalanan pun hanya di penuhi dengan pohon-
"Apa anda membutuhkan yang lainnya nyonya ?" tanya seorang pelayan."Tidak, kau boleh meneruskan pekerjaanmu yang tertunda." ucap Nadia. Kini dia sedang duduk di taman samping villa sambil membaca sebuah majalah yang dia temukan tergeletak di atas meja. Pelayan yang tadi pun langsung mengundurkan dirinya setelah selesai menyimpan beberapa cemilan dan minuman untuk nyonyanya.Hari ini hari kedua Nadia beserta Arian menginap di villa, walau keduanya memiliki banyak waktu untuk bersama, tapi malah keduanya tak menggunakan waktu itu dengan baik, keduanya tetap saja menjaga jarak dan sibuk dengan urusan masing-masing."Ekhem." Nadia mengarahkan bola matanya ke sebelah sudut, dia melirik Arian yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya bersantai sekarang. Nadia tak terlalu menggubris kehadirannya, dia memilih fokus pada majalah di tangannya walau dia tak begitu tertarik dengan isinya.Arian melangkahkan kakinya dan duduk di kursi satunya lagi yang hanya terhalang oleh meja."Aku akan kem
Tris memasuki mobil kebali dengan raut bersalahnya. Dia menatap Nadia cukup lama sebelum akhirnya duduk menatap lurus kedepan.Nadia yang masih syok hanya terdiam, taapannya mengikuti mkbil truk yang tadi hampir saja bertabrakan dengan mobil yang dia tumpangi."Huuffttt, Triis... Sebenarnya kau ini kenapa ? Kenapa kamu gak konsentrasi ?" Ucap Nadia setelah mobil truk tadi tak terlihat lagi."Maafkan saya, nyonya. Sungguh, saya menyesal sudah lalai." Ucapnya tanpa menoleh Nadia mengusap wajahnya dengan lesu, lalu kemudian dia mempersilahkan Tris untuk melanjutkan perjalanan."Awas ! Kali ini kau harus hati-hati." "Baik nyonya !" Akhirnya perjalanan pun di lanjutkan, Nadia kini tak meiliki keinginan untuk terlelap, dia ikut menatap fokus ke depan.Setelah cukup lama, Tris pun menepikan mobilnya di bawah pohon yang begitu rimbun. Nadia masih memandangi sekeliling dari dalam mobil hingga akhirnya ucapan Tris membuyarkan kefokusan Nadia."Kita sudah sampai nyonya." "Oh, iya. Baiklah."
Nadia tiba di rumah pada sore hari, tepat sebelum pukul 3 sore yang sudah Tris janjikan pada Sena, pelayan yang bertanggung jawab penuh untuk menemani dan melayani sang nyonya.Dengan senyuman yang mengembang, Nadia terus berjalan menuju kedalam vila, dia bahkan sesekali berdendang menyanyikan sebuah lagu. Sena yang melihat perubahan mood yang drastis pada sang nyonya pun tak bisa menahan dirinya untuk bertanya. Alhasil, saat Nadia hendak memutar knop pintu menuju kamar, Sena berusaha memanggil sang nyonya terlebih dulu."Nyonya... " Nadia langsung membalikkan badannya dan menatap Sena dengan sumringah."Ya ? Ada apa mbak ? Oh, mbak dari tadi ngikutin saya ya ? Aduh, maaf ya mbak, saya gak tau. Memangnya ada apa mbak ? Kayanya serius sekali." Tanyanya dengan wajah yang berseri-seri."Ehh, ini nyonya... Emmm, tadi nyonya sama tuan Tris pergi kemana ya ? Sampai-sampai begitu bahagia sepulang dari sana." Cerocosnya dengan lancar di sertai dengan cengiran khasnya.Jiwa kekepoan sang pelay
Pagi buta sekali Tris sudah bersiap dengan segalanya. Barang-brang beserta baju-bajunya sudah dia kemas dan di masukan kedalam tas besar miliknya, rencananya dia pagi ini akan mengundurkan diri pada sang tuan. Ya, walupun dia baru sehari bekerja disana."Mau bagaimana lagi ? Aku yakin inilah jalan terbaik untukku." Gumamnya sambil menatap cermin. Sedangkan di ruangan lain, Nadia baru mendapatkan setengah kesadarannya dari tidur lelapnya. Dia merasakan sesuatu yang begitu hangat dan nyaman dalam dekapannya, membuanya semakin enggan untuk membuka mata. Nadia mengeratkan pelukannya pada guling kesayangannya itu, tapii... "Eh, tunggu ! Kenapa ini berat sekali ?" Gumamnya saat dia kesusahan dalam mencoba mengangkat guling tersebut, dia pun mengerytkan keningnya sambil meraba-rabakan tangannya ke sesuatu dalam dekapannya itu. "Kenapa rasanya berbeda ?" Tanyanya masih dalam hati. Hingga akhirnya gerakannya itu membuat seseorang dalam dekapannya seketika bergerak dan bergumam tak jelas.
Setelah selesai menonton para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan, Nadia pun berjalan menaiki tangga, bersiap untuk mengetok pintu kamar.Tuk tuk tuk"Tuan..." panggilnya. Namun tak ada jawaban apapun dari dalam. "Ah, mungkin tuan masih di kamar mandi." Gumamnya. Nadia pun memilih untuk masuk kedalam, benar saja kalau suaminya itu tidak terlihat. Nadia pun mendekati tempat tidur yang masih berantakan dan membereskannya. Tak lupa dia juga membuka tirai dan jendela, ah lebih tepatnya pintu kaca karena memang kacanya lebar dan panjang dari atas hingga lantai. Nadia mengayunkan kakinya keluar, dia berdiri sambil berpegangan pada pagar di tepi balkon itu. Angin sepoi-sepoi menerpa rambut panjangnya yang terurai bebas. Nadia terbuai, dia merentangkan kedua tangannya sambil memejamkan mata."Sungguh, udara pagi yang segar sekali. Tak ada polusi yang mencampurinya sama sekali, masih begitu murni dan menyegarkan." Gumamnya masih dengan menutup mata. Arian yang melihat tingkah Nadia hanya
Kedatangan keduanya di sambut dengan antusias oleh kakek mereka. Penjaga langsung mengambilkan koper dan membawanya kedalam rumah. "Bagaimana bulan madu kalian ? Lancar ?" Tanya Alex sambil merangkul cucunya dan berjalan measuki rumah utama. Dari awal mobil mereka memasuki gerbang, Alex langsung berdiri dengan tegap dan tak dapat menyembunyikan raut kebahagiaan di wajahnya.Medengar pertanyaan dari sang kakek, Nadia menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia menyangkal pertanyaan aneh kakeknya itu, jelas-jelas mereka ke vila bukan untuk berbulan madu. Nadia sendiri malah merasa kalau perjalanannya ke villa hanyalah sebuah liburan saja."Kakek ini..." ucap Arian sambil terkekeh membuat Alex tertawa. Melihat respon Arian, Nadia langsung mengerti kalau sang suaminya itu berniat untuk menipu kakeknya sendiri. "Sudah sudah, kalian pasti sangat lelah setelah mnempuh perjalanan yang cukup jauh. Sana, istirahat. Nanti kita makan siang bersama." Nadia pun menganggukkan kepalanya pda sang kak