Pagi buta sekali Tris sudah bersiap dengan segalanya. Barang-brang beserta baju-bajunya sudah dia kemas dan di masukan kedalam tas besar miliknya, rencananya dia pagi ini akan mengundurkan diri pada sang tuan. Ya, walupun dia baru sehari bekerja disana."Mau bagaimana lagi ? Aku yakin inilah jalan terbaik untukku." Gumamnya sambil menatap cermin. Sedangkan di ruangan lain, Nadia baru mendapatkan setengah kesadarannya dari tidur lelapnya. Dia merasakan sesuatu yang begitu hangat dan nyaman dalam dekapannya, membuanya semakin enggan untuk membuka mata. Nadia mengeratkan pelukannya pada guling kesayangannya itu, tapii... "Eh, tunggu ! Kenapa ini berat sekali ?" Gumamnya saat dia kesusahan dalam mencoba mengangkat guling tersebut, dia pun mengerytkan keningnya sambil meraba-rabakan tangannya ke sesuatu dalam dekapannya itu. "Kenapa rasanya berbeda ?" Tanyanya masih dalam hati. Hingga akhirnya gerakannya itu membuat seseorang dalam dekapannya seketika bergerak dan bergumam tak jelas.
Setelah selesai menonton para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan, Nadia pun berjalan menaiki tangga, bersiap untuk mengetok pintu kamar.Tuk tuk tuk"Tuan..." panggilnya. Namun tak ada jawaban apapun dari dalam. "Ah, mungkin tuan masih di kamar mandi." Gumamnya. Nadia pun memilih untuk masuk kedalam, benar saja kalau suaminya itu tidak terlihat. Nadia pun mendekati tempat tidur yang masih berantakan dan membereskannya. Tak lupa dia juga membuka tirai dan jendela, ah lebih tepatnya pintu kaca karena memang kacanya lebar dan panjang dari atas hingga lantai. Nadia mengayunkan kakinya keluar, dia berdiri sambil berpegangan pada pagar di tepi balkon itu. Angin sepoi-sepoi menerpa rambut panjangnya yang terurai bebas. Nadia terbuai, dia merentangkan kedua tangannya sambil memejamkan mata."Sungguh, udara pagi yang segar sekali. Tak ada polusi yang mencampurinya sama sekali, masih begitu murni dan menyegarkan." Gumamnya masih dengan menutup mata. Arian yang melihat tingkah Nadia hanya
Kedatangan keduanya di sambut dengan antusias oleh kakek mereka. Penjaga langsung mengambilkan koper dan membawanya kedalam rumah. "Bagaimana bulan madu kalian ? Lancar ?" Tanya Alex sambil merangkul cucunya dan berjalan measuki rumah utama. Dari awal mobil mereka memasuki gerbang, Alex langsung berdiri dengan tegap dan tak dapat menyembunyikan raut kebahagiaan di wajahnya.Medengar pertanyaan dari sang kakek, Nadia menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia menyangkal pertanyaan aneh kakeknya itu, jelas-jelas mereka ke vila bukan untuk berbulan madu. Nadia sendiri malah merasa kalau perjalanannya ke villa hanyalah sebuah liburan saja."Kakek ini..." ucap Arian sambil terkekeh membuat Alex tertawa. Melihat respon Arian, Nadia langsung mengerti kalau sang suaminya itu berniat untuk menipu kakeknya sendiri. "Sudah sudah, kalian pasti sangat lelah setelah mnempuh perjalanan yang cukup jauh. Sana, istirahat. Nanti kita makan siang bersama." Nadia pun menganggukkan kepalanya pda sang kak
Hari-hari berlalu, Arian benar-benar sibuk seperti apa yang di katakan Alex tempo hari. Nadia pun kini tak ingin terlalu memperdulikan suaminya. Mengharapkan seseorang seperti Arian untuk perhatian itu sangat menjengkelkan, alhasih dia memilih untuk berusaha mengabaikan apapun yang berkaitan dengan suaminya. Arian hampir jarang pulang. Dia selalu keluar kota untuk urusan bisnis dan kalaupun tidak, dia aka menghabiskan waktunya di kantor.Hingga suatu ketika, siang itu Nadia sedang bersantai sambil memandangi bunga-bunga yang menghiasi taman di belakang rumah utama. Tiba-tiba saja seorang asisten rumah tangga berlari menghampiri Nadia sambil berteriak-teriak."Nyonya... Nyonya... Tuan..." ucap asisten rumah tangga yang bernama Pari itu dengan raut panik membuat Nadia langsung bangkit dari duduk santainya. "Ada apa bi ?" "Nyonya, tuan muda... Tuan muda kecelakaan." "Apa ?" Waktu seakan berhenti berputar begitu Nadia mendengar kabar buruk itu. Walu bagaimana pun juga, Arian tetaplah
Dua hari berlalu sejak Arian kecelakaan. Selama itu juga Nadia dengan setia menunggui suaminya, karena Alex yang sudah tua tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Nadia dengan sabar membantu setiap Arian membutuhkan sesuatu atau menginginkan sesuatu. Namun, tak jarang juga laki-laki itu menolak pertolongan Nadia dan malah meminta pertolongan pada Tris, di tambah lagi jika dirinya membutuhkan ke toilet. Tentu saja hal itu membuat Tris kebingungan, sebagai seorang suami, tentu saja pantasnya Arian lebih leluasa di bantu oleh istrinya. Tapi entahlah alasan apa yang membuat bos nya itu lebih menginginkan dirinya untuk membantunya. "Nyonya, anda makan siang dulu. Tadi juga anda sarapan hanya sedikit." Ucap Tris. Kini keduanya sedang duduk di kursi yang terletak di luar ruangan. Arian baru saja meminum obat dan tertidur, Nadia memilih keluar supaya tak mengganggu istirahat suaminya. "Nanti aku makan, Tris. Tapi sekarang aku tidak lapar." Ucap Nadia dengan lemas. Tris sungguh tak tega mel
Nadia sedang membereskan kamar, dia menepuk-nepuk kasur serta bantal yang akan di gunakan oleh suaminya. Arian yang masih duduk di sofa menatapnya, dia mengalihkan pandangannya saat Nadia menoleh padanya. "Ayo tuan..." Ucap Nadia sambil memegang lengan Arian hendak memapah suaminya lagi. Namun, Arian menatap tangan Nadia yang memegangi lengannya, kemudian dia mengalihkan tatapannya pada Nadia dan menatapnya dengan tatapan menusuk. Nadia pun menjadi sedikit takut, dia perlahan melepaskan pegangan tangannya. Begitu tangannya terlepas, Arian langsung bangkit dan berusaha berjalan sendiri walau dengan tertatih-tatih.Tak ingin hanya diam saja, Nadia pun menyibakkan selimut sebelum Arian menaiki ranjang. Kali ini Arian langsung duduk di atas tempat tidurnya tanpa memprotes apa yang di lakukan Nadia. Arian menyandarkan tubuhnya di tepi ranjang. Melihat itu, Nadia keluar kamar dan berjalan menuruni tangga, dia mengayunkan kakinya ke arah dapur. Para pelayan menyapanya, mereka saling men
Pagi menjelang, Arian menggeliat dan melihat jam, dia kembali membenamkan kepalanya di bantal saat mengetahui jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Ceklek. Suara pintu kamar mandi terbuka, Arian mendongak dan mendapati Nadia sudah memakai baju lengkap dan handuk yang melilit di rambutnya. Seketika itu juga aroma segar dari sabun dan shampo menguar dan menusuk rongga hidung Arian. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya, membalikkan badan dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Nadia tak menghiraukannya. Dia duduk dengan tenang di kusi yang menghadap meja rias. Dia memperhatikan wajahnya sejenak, kemudian mulai memoleskan sesuatu pada wajahnya. Selesai dengan urudan wajah, Nadia beralih pada rambutnya. Dia membuka handuk yang membungkus rambut panjangnya. Menyisirnya sambil sesekali menggosoknya lagi hingga rambutnya benar-benar tak meneteskan air.Dia keluar dari kamar dan berbaur dengan para pelayan yang sudah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. "Nyonya, tumben anda sudah
Seharian ini Nadia sibuk mengurus kakeknya yang malah semakin parah. Walaupun ada beberapa pelayan, Nadia tetap bersikukuh mengurus kakek sendiri, sedangkan pelayan hanya membantu pekerjaan Nadia. Nadia sudah mengakjk kakek supaya di rawat di rumah sakit, tapi kakek bersikukuh tidak mau dan hanya ingin di rumah saja. Demamnya cukup meninggi, dan kakek pun terus-terusan batuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Nadia kini sedang menyuapi kakek dengan sup hangat. Arian tiba-tiba datang dengan wajah panik, pria itu langsung menghampiri dan duduk di tepi ranjang lain yang berlawanan dengan Nadia. "Kek, kenapa kakek gak mau kerumah sakit ?" Tanyanya setelah emnyentuh dahi sang kakek."Tidak, Rian. Kakek cuma demam saja. Uhuukk... Uhuuk..." Nadia dengan sigap mengulurkan gelas air minum dan kakek segera meminumnya. Arian menatap Nadia sejenak, kemudian kembali lagi menatap kakek. "Kenapa kamu gak ngabarin aku dari siang kalau kakek sakut ?" Tanya Arian tanpa menoleh pada Nadia