Dua hari berlalu sejak Arian kecelakaan. Selama itu juga Nadia dengan setia menunggui suaminya, karena Alex yang sudah tua tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Nadia dengan sabar membantu setiap Arian membutuhkan sesuatu atau menginginkan sesuatu. Namun, tak jarang juga laki-laki itu menolak pertolongan Nadia dan malah meminta pertolongan pada Tris, di tambah lagi jika dirinya membutuhkan ke toilet. Tentu saja hal itu membuat Tris kebingungan, sebagai seorang suami, tentu saja pantasnya Arian lebih leluasa di bantu oleh istrinya. Tapi entahlah alasan apa yang membuat bos nya itu lebih menginginkan dirinya untuk membantunya. "Nyonya, anda makan siang dulu. Tadi juga anda sarapan hanya sedikit." Ucap Tris. Kini keduanya sedang duduk di kursi yang terletak di luar ruangan. Arian baru saja meminum obat dan tertidur, Nadia memilih keluar supaya tak mengganggu istirahat suaminya. "Nanti aku makan, Tris. Tapi sekarang aku tidak lapar." Ucap Nadia dengan lemas. Tris sungguh tak tega mel
Nadia sedang membereskan kamar, dia menepuk-nepuk kasur serta bantal yang akan di gunakan oleh suaminya. Arian yang masih duduk di sofa menatapnya, dia mengalihkan pandangannya saat Nadia menoleh padanya. "Ayo tuan..." Ucap Nadia sambil memegang lengan Arian hendak memapah suaminya lagi. Namun, Arian menatap tangan Nadia yang memegangi lengannya, kemudian dia mengalihkan tatapannya pada Nadia dan menatapnya dengan tatapan menusuk. Nadia pun menjadi sedikit takut, dia perlahan melepaskan pegangan tangannya. Begitu tangannya terlepas, Arian langsung bangkit dan berusaha berjalan sendiri walau dengan tertatih-tatih.Tak ingin hanya diam saja, Nadia pun menyibakkan selimut sebelum Arian menaiki ranjang. Kali ini Arian langsung duduk di atas tempat tidurnya tanpa memprotes apa yang di lakukan Nadia. Arian menyandarkan tubuhnya di tepi ranjang. Melihat itu, Nadia keluar kamar dan berjalan menuruni tangga, dia mengayunkan kakinya ke arah dapur. Para pelayan menyapanya, mereka saling men
Pagi menjelang, Arian menggeliat dan melihat jam, dia kembali membenamkan kepalanya di bantal saat mengetahui jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Ceklek. Suara pintu kamar mandi terbuka, Arian mendongak dan mendapati Nadia sudah memakai baju lengkap dan handuk yang melilit di rambutnya. Seketika itu juga aroma segar dari sabun dan shampo menguar dan menusuk rongga hidung Arian. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya, membalikkan badan dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Nadia tak menghiraukannya. Dia duduk dengan tenang di kusi yang menghadap meja rias. Dia memperhatikan wajahnya sejenak, kemudian mulai memoleskan sesuatu pada wajahnya. Selesai dengan urudan wajah, Nadia beralih pada rambutnya. Dia membuka handuk yang membungkus rambut panjangnya. Menyisirnya sambil sesekali menggosoknya lagi hingga rambutnya benar-benar tak meneteskan air.Dia keluar dari kamar dan berbaur dengan para pelayan yang sudah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. "Nyonya, tumben anda sudah
Seharian ini Nadia sibuk mengurus kakeknya yang malah semakin parah. Walaupun ada beberapa pelayan, Nadia tetap bersikukuh mengurus kakek sendiri, sedangkan pelayan hanya membantu pekerjaan Nadia. Nadia sudah mengakjk kakek supaya di rawat di rumah sakit, tapi kakek bersikukuh tidak mau dan hanya ingin di rumah saja. Demamnya cukup meninggi, dan kakek pun terus-terusan batuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Nadia kini sedang menyuapi kakek dengan sup hangat. Arian tiba-tiba datang dengan wajah panik, pria itu langsung menghampiri dan duduk di tepi ranjang lain yang berlawanan dengan Nadia. "Kek, kenapa kakek gak mau kerumah sakit ?" Tanyanya setelah emnyentuh dahi sang kakek."Tidak, Rian. Kakek cuma demam saja. Uhuukk... Uhuuk..." Nadia dengan sigap mengulurkan gelas air minum dan kakek segera meminumnya. Arian menatap Nadia sejenak, kemudian kembali lagi menatap kakek. "Kenapa kamu gak ngabarin aku dari siang kalau kakek sakut ?" Tanya Arian tanpa menoleh pada Nadia
Di sepertiga malam, semua penghuni rumah di buat gempar dengan kabar tuan besar yang tak sadarkan diri. Dengan sigap Arian pun membawa sang kakek kedalam mobil, Nadia pun ikut dan duduk di kursi belakang menemani sang kakek. Selama perjalanan Nadia menggosok telapak tangan Alex dan mengoleskan kayu putih di dekat hidung pria paruh baya itu. Namun tak ada hasil apapun. Setelah tiba di halaman rumah sakit, Arian segera memanggil perawat untuk mengambilkan brankar supaya memudahkan membawa kakeknya ke ruangan periksa.Arian dan Nadia terus berjalan mengikuti petugas yang mendorong brankar berisi kakek mereka hingga petugas menyuruh mereka menunggu di luar ruangan. Nadia tak mengeluarkan sepatah katapun, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, tatapannya kosong, dan kedua matanya terlihat sudah berkaca-kaca. Arian yang sedari tadi menundukkan kepalanya pun mulai mendongak, dia mengusap wajahnya kemudian menyandarkan punggung di tembok. Raut kecemasan sangat terlihat dari keduanya, dalam
Esok harinya, Nadia sedang sibuk memasukkan semua barang-barang pada tas. Hari ini kakek jadi pulang kerumah karena dokter sudah memberinya izin, dengan syarat harus rutin melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah belum ?" Tanya Arian yang baru datang dari luar. Dia semalaman menginap di rumah sakit bersama Nadia karena supaya tak repot."Heh ! Bantu istrimu ! Bukannya malah terus mendesaknya supaya cepat." Ucap Alex yang sedang duduk di tepi ranjang pasien. Arian dengan segera melakukan apa yang kakeknya perintahkan tanpa protes. Membuat pekerjaan Nadia pun jadi selesai lebih cepat.Arian memapah sang kakek untuk berjalan menuju parkiran, sedangkan Nadia membawa tas yang tak terlalu besar. "Kakek di belakang saja." Tolak Alex saat Arian membukakan pintu kursi depan. "Ya sudah kalau begitu." Ucap Arian yang kemudian beralih ke pintu kursi belakang. "Eh, tapi apa gak sebaiknya kakek di depan saja ? Biar Nadia yang duduk di belakang." Tanya Nadia yang merasa tak enak jika kakeknya d
Hari sudah beranjak siang, Nadia masih sibuk di dapur membuatkan kue pesanan sang kakek, para pelayan hanya menonton sambil memperhatikan. "Nyonya pintar memasak ya ?" "Iya, bukan cuma masakan aja, bikin cemilan juga dia lihai sekali. Gak salah tuan besar menjodohkan tuan muda dengan nyonya." Kurang lebih begitulah penilaian para pelayan. Berbeda dengan yang lain yang memperhatikan Nadia sambil terkagum-kagum, Farza malah duduk sambil menyangga dagunya dengan kedua tangan. Dia begitu fokus menatap Nadia sambil berbicara dalam hati. Nyonya memang cukup sempurna. Dia cantik, baik, penyayang, gak sombong, pinter masak sama yang lainnya juga. Pasti kalau sudah punya anak dia bakalan jadi ibu dambaan semua anak. Tapi kok sayang, tuan sepertinya tidak menerima nyonya dengan sepenuh hati. Batinnya berkata."Ah, akhirnya selesai juga, saya akan membawakan ini untuk kakek. Dan yang ini... Kalian bisa memakannya. Bagi-bagi ya ?" Ucap Nadia sambil tersenyum. Para pelayan pun tersenyum sumri
Nadia masuk kedalam kamar, dia sangat terkejut dengan keadaan kamar yang berantakan seperti ada monster yang sudah mengamuk disana. Nadia taj sengaja menedang sepatu saat melangkahkan kakinya. Dia berjongkok untuk meraih sepatu itu."Ini sepatu tuan. Kapan tuan pulang ?" Ucap Nadia. Dia pun melihat tas kerjanya yang tergeletak di dekat lemari pakaian. Dia pun memungutnya dan menyimpannya, di tempat biasa. Saat Nadia sedang membereskan kekacauan itu, Arian keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Nadia langsung memalingkan wajahnya dan melanjutkan kegiatannya."Tuan, kapan anda pulang ?" Tanya Nadia sambil membereskan bantal sofa."Apa pedulimu ?" Tanya Arian dengan ketus sambil menggunakan pakaiannya. Nadia sedikit tersentak dengan sikap suaminya yang tiba-tiba saja kembali acuh dan ketus.Nadia pun tak bersuara lagi, dia hendak menyimpan laptop di atas nakas, melihat laptop di pelukan Nadia, Arian dengan refleks memegang lengan Nadia, membuat langk