Kedatangan keduanya di sambut dengan antusias oleh kakek mereka. Penjaga langsung mengambilkan koper dan membawanya kedalam rumah. "Bagaimana bulan madu kalian ? Lancar ?" Tanya Alex sambil merangkul cucunya dan berjalan measuki rumah utama. Dari awal mobil mereka memasuki gerbang, Alex langsung berdiri dengan tegap dan tak dapat menyembunyikan raut kebahagiaan di wajahnya.Medengar pertanyaan dari sang kakek, Nadia menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia menyangkal pertanyaan aneh kakeknya itu, jelas-jelas mereka ke vila bukan untuk berbulan madu. Nadia sendiri malah merasa kalau perjalanannya ke villa hanyalah sebuah liburan saja."Kakek ini..." ucap Arian sambil terkekeh membuat Alex tertawa. Melihat respon Arian, Nadia langsung mengerti kalau sang suaminya itu berniat untuk menipu kakeknya sendiri. "Sudah sudah, kalian pasti sangat lelah setelah mnempuh perjalanan yang cukup jauh. Sana, istirahat. Nanti kita makan siang bersama." Nadia pun menganggukkan kepalanya pda sang kak
Hari-hari berlalu, Arian benar-benar sibuk seperti apa yang di katakan Alex tempo hari. Nadia pun kini tak ingin terlalu memperdulikan suaminya. Mengharapkan seseorang seperti Arian untuk perhatian itu sangat menjengkelkan, alhasih dia memilih untuk berusaha mengabaikan apapun yang berkaitan dengan suaminya. Arian hampir jarang pulang. Dia selalu keluar kota untuk urusan bisnis dan kalaupun tidak, dia aka menghabiskan waktunya di kantor.Hingga suatu ketika, siang itu Nadia sedang bersantai sambil memandangi bunga-bunga yang menghiasi taman di belakang rumah utama. Tiba-tiba saja seorang asisten rumah tangga berlari menghampiri Nadia sambil berteriak-teriak."Nyonya... Nyonya... Tuan..." ucap asisten rumah tangga yang bernama Pari itu dengan raut panik membuat Nadia langsung bangkit dari duduk santainya. "Ada apa bi ?" "Nyonya, tuan muda... Tuan muda kecelakaan." "Apa ?" Waktu seakan berhenti berputar begitu Nadia mendengar kabar buruk itu. Walu bagaimana pun juga, Arian tetaplah
Dua hari berlalu sejak Arian kecelakaan. Selama itu juga Nadia dengan setia menunggui suaminya, karena Alex yang sudah tua tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Nadia dengan sabar membantu setiap Arian membutuhkan sesuatu atau menginginkan sesuatu. Namun, tak jarang juga laki-laki itu menolak pertolongan Nadia dan malah meminta pertolongan pada Tris, di tambah lagi jika dirinya membutuhkan ke toilet. Tentu saja hal itu membuat Tris kebingungan, sebagai seorang suami, tentu saja pantasnya Arian lebih leluasa di bantu oleh istrinya. Tapi entahlah alasan apa yang membuat bos nya itu lebih menginginkan dirinya untuk membantunya. "Nyonya, anda makan siang dulu. Tadi juga anda sarapan hanya sedikit." Ucap Tris. Kini keduanya sedang duduk di kursi yang terletak di luar ruangan. Arian baru saja meminum obat dan tertidur, Nadia memilih keluar supaya tak mengganggu istirahat suaminya. "Nanti aku makan, Tris. Tapi sekarang aku tidak lapar." Ucap Nadia dengan lemas. Tris sungguh tak tega mel
Nadia sedang membereskan kamar, dia menepuk-nepuk kasur serta bantal yang akan di gunakan oleh suaminya. Arian yang masih duduk di sofa menatapnya, dia mengalihkan pandangannya saat Nadia menoleh padanya. "Ayo tuan..." Ucap Nadia sambil memegang lengan Arian hendak memapah suaminya lagi. Namun, Arian menatap tangan Nadia yang memegangi lengannya, kemudian dia mengalihkan tatapannya pada Nadia dan menatapnya dengan tatapan menusuk. Nadia pun menjadi sedikit takut, dia perlahan melepaskan pegangan tangannya. Begitu tangannya terlepas, Arian langsung bangkit dan berusaha berjalan sendiri walau dengan tertatih-tatih.Tak ingin hanya diam saja, Nadia pun menyibakkan selimut sebelum Arian menaiki ranjang. Kali ini Arian langsung duduk di atas tempat tidurnya tanpa memprotes apa yang di lakukan Nadia. Arian menyandarkan tubuhnya di tepi ranjang. Melihat itu, Nadia keluar kamar dan berjalan menuruni tangga, dia mengayunkan kakinya ke arah dapur. Para pelayan menyapanya, mereka saling men
Pagi menjelang, Arian menggeliat dan melihat jam, dia kembali membenamkan kepalanya di bantal saat mengetahui jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Ceklek. Suara pintu kamar mandi terbuka, Arian mendongak dan mendapati Nadia sudah memakai baju lengkap dan handuk yang melilit di rambutnya. Seketika itu juga aroma segar dari sabun dan shampo menguar dan menusuk rongga hidung Arian. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya, membalikkan badan dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Nadia tak menghiraukannya. Dia duduk dengan tenang di kusi yang menghadap meja rias. Dia memperhatikan wajahnya sejenak, kemudian mulai memoleskan sesuatu pada wajahnya. Selesai dengan urudan wajah, Nadia beralih pada rambutnya. Dia membuka handuk yang membungkus rambut panjangnya. Menyisirnya sambil sesekali menggosoknya lagi hingga rambutnya benar-benar tak meneteskan air.Dia keluar dari kamar dan berbaur dengan para pelayan yang sudah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. "Nyonya, tumben anda sudah
Seharian ini Nadia sibuk mengurus kakeknya yang malah semakin parah. Walaupun ada beberapa pelayan, Nadia tetap bersikukuh mengurus kakek sendiri, sedangkan pelayan hanya membantu pekerjaan Nadia. Nadia sudah mengakjk kakek supaya di rawat di rumah sakit, tapi kakek bersikukuh tidak mau dan hanya ingin di rumah saja. Demamnya cukup meninggi, dan kakek pun terus-terusan batuk. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Nadia kini sedang menyuapi kakek dengan sup hangat. Arian tiba-tiba datang dengan wajah panik, pria itu langsung menghampiri dan duduk di tepi ranjang lain yang berlawanan dengan Nadia. "Kek, kenapa kakek gak mau kerumah sakit ?" Tanyanya setelah emnyentuh dahi sang kakek."Tidak, Rian. Kakek cuma demam saja. Uhuukk... Uhuuk..." Nadia dengan sigap mengulurkan gelas air minum dan kakek segera meminumnya. Arian menatap Nadia sejenak, kemudian kembali lagi menatap kakek. "Kenapa kamu gak ngabarin aku dari siang kalau kakek sakut ?" Tanya Arian tanpa menoleh pada Nadia
Di sepertiga malam, semua penghuni rumah di buat gempar dengan kabar tuan besar yang tak sadarkan diri. Dengan sigap Arian pun membawa sang kakek kedalam mobil, Nadia pun ikut dan duduk di kursi belakang menemani sang kakek. Selama perjalanan Nadia menggosok telapak tangan Alex dan mengoleskan kayu putih di dekat hidung pria paruh baya itu. Namun tak ada hasil apapun. Setelah tiba di halaman rumah sakit, Arian segera memanggil perawat untuk mengambilkan brankar supaya memudahkan membawa kakeknya ke ruangan periksa.Arian dan Nadia terus berjalan mengikuti petugas yang mendorong brankar berisi kakek mereka hingga petugas menyuruh mereka menunggu di luar ruangan. Nadia tak mengeluarkan sepatah katapun, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, tatapannya kosong, dan kedua matanya terlihat sudah berkaca-kaca. Arian yang sedari tadi menundukkan kepalanya pun mulai mendongak, dia mengusap wajahnya kemudian menyandarkan punggung di tembok. Raut kecemasan sangat terlihat dari keduanya, dalam
Esok harinya, Nadia sedang sibuk memasukkan semua barang-barang pada tas. Hari ini kakek jadi pulang kerumah karena dokter sudah memberinya izin, dengan syarat harus rutin melakukan chek-up ke rumah sakit. "Sudah belum ?" Tanya Arian yang baru datang dari luar. Dia semalaman menginap di rumah sakit bersama Nadia karena supaya tak repot."Heh ! Bantu istrimu ! Bukannya malah terus mendesaknya supaya cepat." Ucap Alex yang sedang duduk di tepi ranjang pasien. Arian dengan segera melakukan apa yang kakeknya perintahkan tanpa protes. Membuat pekerjaan Nadia pun jadi selesai lebih cepat.Arian memapah sang kakek untuk berjalan menuju parkiran, sedangkan Nadia membawa tas yang tak terlalu besar. "Kakek di belakang saja." Tolak Alex saat Arian membukakan pintu kursi depan. "Ya sudah kalau begitu." Ucap Arian yang kemudian beralih ke pintu kursi belakang. "Eh, tapi apa gak sebaiknya kakek di depan saja ? Biar Nadia yang duduk di belakang." Tanya Nadia yang merasa tak enak jika kakeknya d
Beberapa bulan berlalu, kehidupan mereka kini sudah sangat baik, tak ada lagi gangguan yang berarti. Bahkan, entah kenapa Silvi dan Leni pun tak pernah lagi dengan sengaja menunjukkan dirinya. Hanya pernah sesekali tak sengaja berpapasan, dan mereka bersikap seolah tak saling mengenal. Hanya, Nadia masih dapat melihat ketidak sukaan merrka dalam tatapannya. Kehamilan Nadia sudah memasuki usia ke 5 bulan, membuat perutnya kian membuncit. Dia juga kini di larang untuk ikut andil di toko, hanya sekedar keluar dan menyaksikan kesibukan karyawan-karyawannya yang sudsh bertambah. Resti yang bertanggung jawab mengurus segalanya. Ponsel Nadia berdering, wanita itu pun dengan cepat merogoh tasnya dan menempelkan ponsel itu di telinganya. "Ya, mas ?""Kamu masih di toko ?""Iya, mas. Kenapa memangnya ?""Cepat pulang, ya ? Kakek mengajak kita berkumpul di rumah. Ini mas juga sedang di jalan, mau pulang." "Oh, baiklah."Sambungan terputus. Nadia langsung mencari Tris untuk mengajaknya kembal
Semua bapak-bapak di belakang Arian hendak melayangkan ledekannya lagi. Namun, pak penghulu dengan segera mengangkat sebelah tangannya, membuat mereka urung mendebat pembelaan Arian. "Jadi, tuan ini menghamili nona ini ?" Tanya penghulu menunjuk Arian dan Silvi bergantian. "Tidak !""Iya, pak !" Jawab Silvi dan Arian bersamaan. Arian menatap Silvi dengan bengis. Sungguh, dia sangat muak dengan wanita itu. "Pak, saya sama sekali tidak melakukannya. Demi allah ! Saya sudah punya istri, dan saya mencintai istri saya."Sambil menunduk, Silvi menyembunyikan bibirnya yang mencebik mendengar ucapan Arian."Haha, zaman sekarang mah udah punya istri, kek. Udah punya suami, kek. Kalau otaknya konslet tetep aja nyari mangsa lagi. Ya gak ?" Tanya salah seorang bapak-bapak itu yang di sambut dengan tawa dari yang lainnya. Arian berdiri, dia sudah cukup sabar menghadapi sikap so tau mereka."Itu menurut orang yang otaknya konslet. Tapi, saya tidak seperti itu. Saya masih normal, otak saya mas
"Ini, inilah yang saya tadi ingin bicarakan sama kamu. Juli, dia tadi pagi masuk rumah sakit mendadak karena di temukan tak sadarkan diri di kamarnya. Tapi keadaannya sudah stabil tadi, makanya saya pergi bekerja. Tapi tadi, suster menelpon mengabari kondiri Juli yang kritis." "Ap-apa ?? Juli ?" Felix menjadi gugup. Raut kecemasan terlihat dengan jelas di wajahnya. "Saya ke rumah sakit dulu, permisi pak Arian, pak Felix." "Tunggu, pak ! Saya ikut !" Ucap Felix "Baiklah, ikuti saja mobil saya." Ucap Samsudin sambil sedikit berlari menuju keluar restoran.Felix dengan terburu-buru merogoh dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang pada Arian. "Pak Arian, saya mohon maaf sekali karena harus meninggalkan anda. Ini, saya yang bayar." "Tidak usah, pak Felix. Saya mengerti kok.""Tidak papa, anggap saja ini sebagai permintaan maaf saya karena tak jadi menemani anda makan siang, padahal saya yang ngajak tadi. Sudah ya, syaa tifak punya banyak waktu. Sekali lagi saya minta maaf, dan
"Loh, itukan si Nadia ?" Gumam wanita tersebut dalam hati. "Sayang, kamu kenapa ?" Tanya Dev, pria tampan yang bersama dengan Silvi. Dari penampilannya, Dev seperti pria kaya lainnya, keren, rapi, dan juga terawat, lagipula, jika saja Dev bukan pria ber-uang, mana mungkin Silvi akan mau berhubungan dengannya. "Eh, eem... Aku mau ke toilet dulu deh sayang. Sebentar, ya ? Kamu tunggu saja di mobil.""Baiklah, jangan lama." Silvi tersenyum, Dev pun berjalan menuju parkiran meninggalkan Silvi. Silvi ternyata juga berkencan dengan Dev di resort itu. Setelah hatinya hancur kemarin karena Arian yang ternyata suami Nadia, Silvi langsung pergi mencari kesenangan ke club langganannya, dan disanalah dia bertemu dengan Dev. Perlahan Silvi mengendap-endap untuk melihat pasangan tersebut semakin dekat. "Oh shit ! Iya itu mereka ! Jadi mereka emang suami istri ?" Silvi mengumpat sambil menatap tak suka ke arah mereka.Pasangan yang serasi, mereka terlihat begitu bahagia satu sama lain. Aura k
Arian sudah keluar dari kamar mandi, kini giliran Nadia yang harus membersihkan tubuhnya dari air hujan yang sempat mengguyurnya beberapa saat lalu. Arian duduk di sofa, dia memesan beberapa cemilan dan juga minuman hangat pada petugas resort. Sambil menunggu pesanan tiba, Arian membuka ponselnya dan mendapatkan beberapa pesan. Hampir semuanya tentang pekerjaan, Arian sudah meminta sekretarisnya untuk menghendel pekerjaan selama dia berada disini. Gerakan jempolnya terhenti saat mendapati panggilan tak terjawab dari kakeknya. Aahh... Arian sampai lupa tidak memberitahukan pada kakeknya kemana mereka pergi. Arian menekan tombol panggil, dan tak menunggu lama akhirnya panggilan tersambung. "Halo ?" "Halo, kek.""Jadi, kemana kamu membawa cucu menantuku ?" Tanya Alex to the poin. Arian mendesah pelan, tadi dia hanya menitipkan pesan pada Tris, untuk memberitahukan pada kakeknya bahwa dirinya akan pulang sedikit terlambat bersama Nadia. Namun, dia tidak mengatakan tujuannya dan kapan
Di restoran yang masih termasuk di area resort, Arian dan Nadia sedang makan bersama di salah satu meja. Ada beberapa meja lain yang sama-sama terisi oleh pengunjung lain, namun tak mengurangi kenikmatan hidangan tersebut. Setelah Arian selesai membersihkan dirinya, keduanya langsung pergi keluar untuk makan siang yang sudah kesorean. Nadia maupun Arian menyantap makanannya dengan lahap tanpa ada perbincangan saking sudah laparnya, hingga tak butuh waktu lama untuk mereka berdua menghabiskan semua menu yang tersaji di meja. "Ayo !" Ucap Arian setelah selesai mengelap bibirnya menggunakan tissue. "Mau kemana lagi, mas ?" Tanya Nadia setelah meneguk habis minumannya. "Kemana saja, jalan-jalan." Ucapnya yang segera berdiri dan menarik tangan Nadia. Nadia pun menurut dan hanya mengikuti langkah sang suami saja. Dia benar-benar tida menyangka, kalau ternyata Arian Trisatya, seorang pria yang terkenal dingin dan acuh itu memiliki sisi yang berbeda. Nadia melihat suaminya kini seperti pr
Setelah perjalanan selama setengah jam, akhirnya mereka tiba di sebuah Resort yang Resti katakan tadi. Bangjnan itu cukup luas dan terlihat sangat nyaman. Walaupun tidak terlihat mewah, karena resort itu memberikan tampilan bernuansa pedesaan atau pantai.Arian tak berkata apa-apa, dia langsung meraih tangan Nadia dan menarik istrinya itu untuk mengikuti langkahnya. Arian langsung menuju resepsionis, setelah semua keperluannya selesai, mereka langsung menuju kamar yang sudah menjadi milik mereka untuk beberapa hari kedepan."Tuan, apa saya tidak salah dengar tadi ?" Tanya Nadia sambil berjalan menuju kamar mereka. "Apanya yang salah ?""Tiga hari ? Anda akan menginap disini selama tiga hari ?""Ya, seperti yang kamu dengar. Kenapa ?" Arian membuka pintu, terlihat sebuah ruangan yang cukup luas dan sangat bersih di dalamnya. Awal masuk mereka seperti di sambut oleh ruang tamu mini yang hanya terdapat sofa panjang dan meja kecil. Nadia terpana, dia melepaskan pegangan tangan Arian dan
"Ibu !" "Diam kamu !" Leni mengusap wajahnya dengan lesu, sedangkan Silvi masih terus merengek sambil menggerak-gerakkan kakinya asal."Hiks, tuan tampan itu ternyata suaminya Nadia. Ibu, aku tidan percaya semua ini... Pasti dia berbohong kan ? Bagaimana Nadia bisa menikahi pria sultan sepertinya ?" "Yah, ibu juga tidak bisa percaya ini. Tiba-tiba saja pria itu datang dan menyebut Nadia sebagai istrinya. Ini sangat tidak masuk akal.""Ibu... Apa yang harus kita lakukan sekarang ? Kalaupun itu bohong, aku ingin memperjuangkan cintaku, dimana dia tinggal ?" "Silvi, tenanglah dulu. Jangankan tempat tinggal, namanya saja kita tidak tau."***Sepasang suami istri itu baru sampai di toko, sepanjang perjalanan, keduanya sama-sama larut dalam fikirannya masing-masing. Nadia menatap Arian yang masih fokus menatap kedepan. Ada perasaan hangat yang menelusup kedalam dadanya, ucapan Arian tadi di depan Leni dan Silvi terus terngiang-ngiang di telinganya. Arian langsung menepikan mobil, melih
Nadia menanggapi sikap ibu tirinya dengan senyuman sinis sambil menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia masih bersikap keras seperti ini setelah semuanya terbukti. "Ibu, kenapa ibu malah balik marah ? Harusnya aku loh yang marah disini, kenapa ibu merebut peranku ?" Tanya Nadia masih santai. Leni semakin tersulut emosi melihat sikap Nadai yang seolah mengejeknya. "Dasar kamu ya... Anak gak tau diuntung !" Leni bergerak cepat hendak menyerang Nadia. Namun, Nadia berhasil menghindar tepat waktu. "Kalian sungguh tidak tau terima kasih, sudah untung aku tidak menjebloskan kalian ke penjara. Tapi lihatlah, apa yang kalian lakukan untuk membalas kebaikanku itu. Bahkan kamu bertindak kasar. Jika aku mau, aku bisa melaporkan kamu ke polisi debgan dua kasus sekaligus !" Leni semakin marah, tapi dia tak kunjung bertindak. Dia hanya berdiri mematung sambil menatap Nadia dengan penuh kebencian, dadanya pun terlihat kembang kempis karena amarahnya. "Silvi ! Ambil laptopnya, kita harus meng