Di sepanjang perjalanan, Tris sedikit heran karena Nadia tidsk terdengar meracau lagi. Dia melirik nyonyanya yang duduk di kursi belakang lewat kaca spion. Tris sedikit cemas saat melihat Nadia menyandarkan kepalanya pada jendela sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Nyonya, anda tidak papa kan ?" Tanyanya sambil sesekali melirik Nadia lewat kaca spion. Nadia tak langsung menjawab, dia hanya melambaikan telapak tangannya yang sebelah lagi untuk menjawab pertanyaan Tris.Walau Nadia memberi isyarat bahwa dia tidak kenapa-napa, tapi Tris tetap merasa cemas. Untung saja letak tokonya sudah sangat dekat. Mobil pun langsung memasuki lapangan lebar yang terletak di samping toko. Nadia langsung turun dengan terburu-buru dan berlari menuju semak-semak yang cukup tinggi di belakang toko. Tris yang melihat nyonyanya sedang berjongkok di sana pun langsung berlari menyusul. Ternyata di sana ada aliran air kecil yang hampir tertutup sempurna oleh rerumputan.Huweeek huweekkNadia berk
Alex dan Tris sedang menunggu hasil pemeriksaan dokter dengan tak sabar. "Tuan, duduk dulu saja." Ucap Tris"Ah, tidak perlu." Jawab Alex. Dia pun terus saja mondar mandir kesana kemari, membuat Tris terkekeh melihat tuan besarnya yang terlihat bagaikan seorang ayah yang menunggu kelahiran anaknya. Sebegitunya tuan, mungkin karena saking sudah inginnya tuan punya cucu. Gumam Tris dalam hati. CeklekPintu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat anggun dan berwibawa dengan jas putihnya, dialah dokter Lia. "Dokter, bagaimana keadaan cucu saya ?" Tanya Alex yang langsung menodong dokter Lia dengan pertanyaan begitu dia keluar dari kamar, tentu saja hal itu membuatnya terkejut."Tenang, tuan. Cucu anda baik-baik saja." Ucap dokter Lia setelah mengelus dadanya. "Cucu anda hanya perlu banyak istirahat dulu. Jangan dulu berkendara, apalagi jauh-jauh. Dan, makannya harus teratur. Itu saja, saya sudah tinggalkan resep di dalam, nanti tinggal menebusnya ke apotik
"Res, masa ibu..." Nadia belum meneruskan ucapannya saja, Resti sudah mendengus kesal. Dia mengusap wajahnya dengan kesal dan kemudian berkacak pinggang."Jadi, maksud kamu itu aku yang nyuri uang toko ?" Tanya Resti membuat Nadia langsung mendongak dan menggeleng."Bukan begitu, Res.""Nad, aku tau kamu itu sayang sama itu si ibu tiri. Tapi, mereka belum tentu mempunyai perasaan yang sama, sama kamu. Dan lagi, kalau saja memang aku sama Fani atau aku sendiri yang ngambil uang toko, udah aja kali aku gak perlu kerja lagi hari ini. Mendingan kabur sama anak aku yang jauh bawa uang itu. Tapi ini enggak, dan malah si ibu tiri sama anaknya yang ngilang. Udah ah, terserah kamu. Kalau bahkan kamu lapor polisi pun aku gak takut, bahkan aku bakalan dukung kamu." Resti kemudian meninggalkan Nadia yang masuh termenung di kursinya dan melanjutkan membuat kue dengan resep yang memang sudah tertera di dinding dapur. Resti sangat kecewa dengan Nadia. Iya, memang dia tau sifat Nadia yang kelewat p
Nadia datang ke toko setelah mendapat telpon lagi dari Resti dengan suara yang sangat heboh. Semua itu karena ternyata uang yang dia dan Fani sembunyikan kembali hilang, padahal dia sudah yakin sekali kalau tidak akan ada pencuri yang mengetahui keberadaan uang itu. Nadia tetap berusaha tenang, toko sengaja belum di buka karena mereka ingin menuntaskan masalah ini terlebih dulu."Kamu menyimpannya dimana, Res ?" Tanya Nadia dengan dingin. "Di tong sampah." Ucapnya dengan sedikit rasa gugup. Nadia hari ini terlihat berbeda sejak pertama kali datang. Dia terlihat lebih kalem, tapi malah membuatnya memiliki aura yang mengintimidasi."Kamu menyimpannya atau membuangnya ?" Tanya Nadia semakin membuat Resti dan Fani semakin menunduk."Y-ya... Di simpen lah, Nad. Aku rencananya mau ambil lagi pagi ini. Tapi, keburu di bawa sama pencurinya." Ucapnya dengan wajah memelas.Nadia Berjalan mendekati Tris, dia membawa laptopnya dan berjalan memasuki toko. "Res, Fan, sini !" Ucap Nadia pada ked
Hari ini dia harus memberikan peringatan yang tegas untuk ibu serta saudari tirinya. Ah, padahal mereka nmhanyalah orang lain yang kebetulan pernah menjalin hubungan dengan almarhum ayahnya. Dan sekarang ? Setelah ayahnya meninggal bukankah mereka kembali menjadi orang asing ? Seharusnya Nadia menyadari hal itu sejak dulu, namun sayang, kebodohan sepertinya terlalu menguasai hatinya. "Kek, Nadia pergi dulu ke toko." Ucap Nadia pada sang kakek. Sedangkan Arian sudah berangkat bekerja sejak tadi pagi. "Ya, hati-hati." Alex mengelus pucuk kepala Nadia sejenak seambil tersenyum. Nadia pun membalas senyuman itu dan kemudian berjalan menuju teras. "Tris !" Nadia sedikit teriak sambil melambaikan tangannya pada salah seorang pria yang sedang berkumpul di pos satpam.Merasa namanya yang di panggil, pria itu berjalan dengan sedikit berlari supaya nyonyanya tidak menunggu lama. "Ya, nyonya ? Anda mau ke toko ?""Ya, seperti biasa. Tidak ada tujuan lain kalau aku keluar rumah." Ucapnya samb
Silvi dan Leni pun berjalan terpincang-pincang semakin mendekati rumah mereka. Tentunya dengan berpura-pura tidak mengetahui keberadaan Nadia yang sedang duduk di kursi depan. Melihat orang yang di tunggunya datang, Nadia segera berdiri dan berjalan mendekat. "Ayo, nak. Hati-hati." Ucap Leni sambil memperhatikan kaki Silvi."Bu !" Suara itu membuat Leni dan Silvi langsung mendongak, mereka masih bersikap santai seolah tak ada sesuatu yang di sembunyikan. "Eh, Nadia ? Kamu sejak kapan disini ? Ada apa ?" Tanya Leni berwajah ramah. "Iya, tumben banget kamu kesini ?" Tanya Silvi"Aku ada urusan. Kamu kenapa ?" Tanya Nadia sambil menatap Silvi."Aku jatuh tadi, terkilir." Nadia tak bersuara lagi, Leni dan Silvi saling pandang. Sikap Nadia sedikit berbeda pada mereka, dia terlihat dingin dan acuh. Namun, Leni tak berfikiran macam-macam."Masuk Nad ?" "Ah, tidak usah. Disini saja." Ucapnya semakin membuat Leni dan Silvi kebingungan."Aku kesini cuma mau minta kunci toko yang ibu sim
Nadia menanggapi sikap ibu tirinya dengan senyuman sinis sambil menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia masih bersikap keras seperti ini setelah semuanya terbukti. "Ibu, kenapa ibu malah balik marah ? Harusnya aku loh yang marah disini, kenapa ibu merebut peranku ?" Tanya Nadia masih santai. Leni semakin tersulut emosi melihat sikap Nadai yang seolah mengejeknya. "Dasar kamu ya... Anak gak tau diuntung !" Leni bergerak cepat hendak menyerang Nadia. Namun, Nadia berhasil menghindar tepat waktu. "Kalian sungguh tidak tau terima kasih, sudah untung aku tidak menjebloskan kalian ke penjara. Tapi lihatlah, apa yang kalian lakukan untuk membalas kebaikanku itu. Bahkan kamu bertindak kasar. Jika aku mau, aku bisa melaporkan kamu ke polisi debgan dua kasus sekaligus !" Leni semakin marah, tapi dia tak kunjung bertindak. Dia hanya berdiri mematung sambil menatap Nadia dengan penuh kebencian, dadanya pun terlihat kembang kempis karena amarahnya. "Silvi ! Ambil laptopnya, kita harus meng
"Ibu !" "Diam kamu !" Leni mengusap wajahnya dengan lesu, sedangkan Silvi masih terus merengek sambil menggerak-gerakkan kakinya asal."Hiks, tuan tampan itu ternyata suaminya Nadia. Ibu, aku tidan percaya semua ini... Pasti dia berbohong kan ? Bagaimana Nadia bisa menikahi pria sultan sepertinya ?" "Yah, ibu juga tidak bisa percaya ini. Tiba-tiba saja pria itu datang dan menyebut Nadia sebagai istrinya. Ini sangat tidak masuk akal.""Ibu... Apa yang harus kita lakukan sekarang ? Kalaupun itu bohong, aku ingin memperjuangkan cintaku, dimana dia tinggal ?" "Silvi, tenanglah dulu. Jangankan tempat tinggal, namanya saja kita tidak tau."***Sepasang suami istri itu baru sampai di toko, sepanjang perjalanan, keduanya sama-sama larut dalam fikirannya masing-masing. Nadia menatap Arian yang masih fokus menatap kedepan. Ada perasaan hangat yang menelusup kedalam dadanya, ucapan Arian tadi di depan Leni dan Silvi terus terngiang-ngiang di telinganya. Arian langsung menepikan mobil, melih