“Aaahh ….”Lengkuhan panjang itu keluar dari bibir Lingga saat dia berhasil mendapatkan kepuasan yang dimau. “Jangan menangis, nanti aku akan memberimu uang,” katanya santai.Dengan tanpa rasa bersalah Lingga beranjak dari atas ranjang. Memunguti baju dan celana yang berserakan di lantai. Menoleh sebentar, menatap gadis yang masih menangis dengan tangan yang mengenggam erat selimut. Matanya menatap ke arah seprai yang terdapat noda merah, menandakan jika ia baru saja merenggut keprawanan seorang gadis.Ah, tapi Lingga tidak akan mengambil dengan gratis kok. Hari ini dia tidak memiliki uang cash, jadi dia harus pergi ke atm dulu untuk menarik uang. Membiarkan gadis itu begitu saja, memilih melangkah pergi, keluar dari kamar pembantu.Sedangkan Nada, gadis berusia 20 tahun kurang beberapa bulan. Gadis yang baru sebulan bekerja di rumah besar ini, masih meringkuk di atas ranjang. Di usianya yang masih sangat muda, baru satu tahun lalu menyelesaikan sekolah di SMA. Pagi ini dia telah kehi
Mobil warna hitam yang Lingga kendarai berhenti tepat di depan rumah besar tempat tinggal Adis. Lingga menoleh tanpa mematikan mesin mobil.“Aku langsung ke kantor ya,” katanya.Ada rasa ingin protes. Jam longgar Lingga enggak banyak dan seringnya mereka berdua bisa jalan jika menemani Adis cek up seperti tadi itu. Setelahnya, Lingga akan kembali sibuk di kantor. Bukankah wajar seorang kekasih menginginkan banyak waktu berduaan?“Uumm, enggak mampir? Mama ada di rumah.” Adis menawari dan sangat berharap Lingga bisa duduk sebentar di rumahnya.Lingga mengangkat tangan kiri, menatap jam yang melingkar di sana. “Jam sepuluh aku ada janji temu sama pak Ragil. Aku harus nyiapin berkas dan file yang mau kupresentasikan ke beliau. Aku mampirnya kapan-kapan aja, oke?”Kedua bahu Adis melemah, jelas terlihat kalau dia kecewa.Lingga tersenyum manis, menarik tengkuk Adis dan mendaratkan kecupan di kening Adis cukup lama. “Jangan cemberut gitu. Cantiknya luntur.” Gombalnya sembari mencubit manja
Slep! “Aaa!” jerit Nada, berusaha melepaskan tangan Lingga yang mencekal lengannya. “Eeggh!” dia menggerang karna bibirnya dibekap dengan telapak tangan besar milik Lingga. Lalu menggelengkan kepala. Wajahnya sudah berderai air mata. Lingga memepet Nada di tembok sebelah jendela yang belum sempat dibuka. “Jangan teriak! Aku bisa membunuhmu dan membuang jasadmu di laut lepas sana! Setelahnya, keluargamu di kampung sana akan menerima akibatnya!” ancam Lingga. Bulir menetes begitu saja di pipi putih Nada. Takut dan dalam dadanya sana terasa sakit karna perlakuan Lingga ini. Tangannya yang berusaha menarik lengan tanggan Lingga itu sedikit melemah. “Kamu tinggal diam, menikmati apa yang aku lakukan. Jangan menolak karna aku akan membayarmu. Aku tidak mengambil kenikmatan itu dengan gratis, kan?” satu sudut bibir Lingga tertarik ke atas. “Kamu saja yang sok-sok’an tidak mau menerima uangku. Padahal kamu ada di sini karna mencari uang.” Mata Nada yang tergenang embun bening itu melebar
Gelas keramik khusus yang memang udah jadi takaran kopinya Lingga. Gula dan kopi udah melekat di tangan Nada. Maksudnya si Nada udah hafal seberapa takar kesukaan Lingga. Pelan Nada melangkah menaiki undakan tangga. Kedua tangan membawa nampan berisi segelas kopi. Kepala Nada sibuk dengan bayangan detik-detik di depan mata. Setelah pagi hari yang waktu itu, Lingga tidak pernah menyusup ke kamarnya lagi. Nada juga berhasil menjauh dan hampir tidak pernah bertemu dengan Lingga walau ada di satu rumah. Kedua kaki Nada berdiri tepat di depan pintu kamar Lingga. Beberapa kali Nada meneguk ludah. Menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Nada celingukan menatap ke kiri kanan. Lantai atas sepi, benar-benar sepi karna Lauren ada di bawah. Saudara-saudara pak Fandi sedang keluar, jalan-jalan entah ke mana. “Den—aaa—eeggh!” Mulut Nada baru saja terbuka, baru memanggil dan akan berteriak. Tapi pintu di depannya terbuka cepat. Tangan Nada langsung ditarik. Nampan yang miring dan gelasny
Lingga melepaskan cekalan tangannya, melangkah lebar ke arah skat dapur. "Adis," serunya saat melihat Adis yang jongkok sambil memunguti pecahan gelas.Adis mendongak, tersenyum palsu. "Licin gelasnya, pas mau nyalain dispenser malah jatuh—aaww!"Adis ngangkat jarinya yang berdarah. Pecahan belih yang tadi ia ambil terlalu runcing dan membuat jari telunjuknya terluka."Yaampun kak Adis, udah nggak usah diberesin. Nada! Nad!" Lauren yang menghampiri langsung berteriak. Ia meraih kedia bahu Adis, membantunya untuk berdiri."Iya, non." Nada muncul dari skat dapur, berdiri di sebelah Lingga."Ini gelasnya pecah. Bersihin ya," suruh Lauren dan menuntuk Adis menuju ke kursi makan. "Gue ambilin obat."Nada meremas jari-jemarinya. Ada rasa takut di dalam dada sana. Takut kalau Adis tadi mendengar perbincangannya sama Lingga. Hampir melangkah masuk ke dapur untuk mengambil sapu, tapi tangannya dicekal Lingga. Nada mendongak.Bibir Lingga sedikit terbuka, terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi
Begitu sampai di rumah, Lingga langsung masuk. Menjabat tangan tamu papa Fandi yang sedang ngobrol di ruang tamu. Dia pamit masuk ke dalam dengan alasan ingin ke kamar mandi. Lingga menghela nafas saat ada beberapa orang di ruang tengah. Pengen nyari Nada, pengen ngomongin tentang testpack dan masih ada yang mau ia bahas lagi. Tapi kalau ada banyak orang begini, Lingga takut semua mencurigainya. Santai kaya’ nggak ada masalah apa pun, Lingga melangkah ke kulkas. Mengambil botol air minum dingin dan menuangnya ke gelas. Melirik ke arah dapur untuk mencari keberadaan Nada. Dan sialnya di dapur Cuma ada Bu Sari sama ibu tetangga sebelah yang membantu mama Ajeng masak. Memberanikan diri masuk ke dapur. “Eh, Mas Lingga. Mau cari apa, Mas?” tanya bu Sari. “Uumm,” gumam Lingga, menggaruk sisi kepala. “Nada di mana? Mau nanyain kemeja yang kemarin dia setrika.” “Oh, si Nada tadi disuruh ibu beliin isi staples,” jawab Bu Sari. Lingga mengangguk
“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.**“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai.
Ijab kobul yang berlangsung lancar, walau Lingga harus mengulanginya sampai tiga kali. Break sebentar untuk ganti kostum dan segera menuju ke aula party yang telah dipersiapkan dengan matang. Partynya mewah dan ramai oleh banyaknya tamu undangan dari berbagai daerah.Lingga si pebisnis muda, pak Fandi yang juga memiliki relasi bisnis pertama tentu teman-temannya juga ada banyak. Terlebih ini adalah pertama kali mereka memiliki acara besar.Pukul 8.30pmAdisti yang memang tidak sesehat orang-orang, sudah merasa amat lelah. Dia diantarkan Lauren untuk mundur. Istirahat di kamar pengantin; kamar hotel yang juga telah dipesan sebagai kamar pengantin.“Istirahat, kak. Nanti masih akan ada moment panjang lho,” goda Lauren sembari tertawa kecilAdisti nabok lengan Lauren pelan. “Iiihh, masih kecil juga!”“Hihihi… aku balik ke party lagi ya.”Adis menganggukkan kepala, membalas lambaian tangan Lauren. Menutup pintu kamar dan diam berdiri menatap ranjang king size berseprai putih di depannya.